Falisha memberikan bayi itu kepada Farah dan Fattan untuk mereka rawat dan besarkan. Meskipun hatinya terasa sedih dan sakit tapi dia harus melakukannya demi mereka, demi Farah kakak angkatnya.
Sebenarnya Farah sudah berusaha mencegahnya untuk tidak pergi tapi dia pun sadar cinta itu tidak boleh hadir diantara mereka. Fattan pun mengerti posisi Falisha dia pun tak ingin memperkeruh keadaan meskipun hatinya mulai merasakan getaran cinta dengan Falisha.“Mbak aku sudah menepati janjiku untuk kalian dan sekarang aku bebas. Mas Fattan harus menceraikan aku juga. Tinggal kalian yang harus menepati janji untuk membuat orang itu menderita. Aku masih tidak rela jika dia hidup bahagia sementara aku tidak bisa melupakan orang itu sampai sekarang!” keluhnya menagih janji kepada mereka.“Kamu jangan khawatir aku akan menepatinya, dan ini ...” Fattan memberikan selembar cek yang bertuliskan nominal angka tertera sangat jelas.Kedua bola mata membulat sempurna saat melihat angka nominalnya.“Ambillah Lis, Mbak mohon dan jika kamu mau mengubah keputusan kamu untuk kembali ke rumah ini silakan, aku tidak akan melarang,” sahut Farah yang kini dengan mata berkaca-kaca.Falisha memeluk hangat Farah, mereka pun saling menangis . Setelah puas dia lalu mencium kening anaknya. Tak ingin lebih sakit lagi dia pun segera pergi dari rumah itu.“Aku akan selalu menunggu kamu Falisha, aku yakin takdir akan membawa kamu kembali ke sini,” ucap Fattan dalam hati sambil menatap punggung wanita itu.*** Falisha tak ingin menyesali perbuatannya, sekuat tenaga menghapus rekam jejak mereka. Kini Falisha bisa melanjutkan perjalanan hidup sesuai keinginannya.“Aku harus menjadi orang sukses untuk bisa membalas dendam dengan orang itu, meskipun aku tahu mereka tidak melakukan karena Mbak Farah pasti mencegahnya, tapi aku akan tetap melakukannya,” ucap Falisha dalam hati.Waktu terus berlalu, Falisha begitu giat belajar dan membuang masa lalunya. Sampai waktunya tidak terasa sudah enam tahun Falisha berada di kota lain . Perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan minuman membuat Lisha dipercaya untuk membuka cabang di luar kota dan terpilih adalah kota Surabaya kota kelahirannya sekaligus masa lalunya.“Maaf Pak, bisa di kota lain saja? Atau orang lain saja yang memegang cabang di sana, saya sudah betah di sini?” pinta Lisha kepada pimpinannya yang menugaskannya.“Kamu atau saya pimpinannya?” tanya pria paru baya itu dengan mata melotot.“Maaf Pak,” sahutnya menundukkan kepala.“Saya nggak mau tahu ya Falisha, kamu yang harus memimpin cabang di sana, lagian kamu itu sangat aneh naik jabatan malah nggak mau, padahal teman-teman kamu itu sangat iri dengan keberhasilan kamu ini, tapi kok kamu malah nggak semangat gitu, atau jangan-jangan ada mantan kamu di sana?” selidik Pak Agus menatap tajam.“Bu—bukan begitu Pak, maksud saya masih banyak orang-orang yang berpengalaman dari saya, kenapa saya yang dipilih?” kilahnya lagi.“Karena saya bisa melihat kinerja kamu yang selalu meningkat dan sayang jika kamu tidak mengembangkan potensi kamu. Dan kamu tenang saja Silvi dan Aldi juga akan menemani kamu, karena saya tahu kalian bertiga seperti kepompong nggak bisa dipisahkan, lagian mereka pun juga setuju kok.”“Duh, mereka itu ya nggak kasih tahu aku dulu, menyebalkan sekali!” gerutunya kesal.Di saat Lisha masih bingung, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Lisha pun meminta izin untuk mengangkatnya karena melihat di layar ponsel itu tertera nama Mbok Ijah.“Ya Mbok, ada yang penting, Lisha masih kerja, nanti aja ya Mbok!”“Tunggu Neng! Mbok hanya mengabarkan kalau Neng Farah meninggal dan Neng harus balik ke sini!”Mata Lisha melotot, lidahnya terasa kelu, tubuhnya bergetar saat mendengar berita itu. Pak Agus yang melihat reaksi Lisha begitu syok mulai penasaran.“Kamu baik-baik saja, Lis? Apa yang terjadi?”“Pak, saya menyetujui permintaan Bapak untuk pergi ke Surabaya. Siapkan saja kalau bisa hari ini, karena ....“Ada apa Lis, katakan apa yang terjadi?”“Kakak saya meninggal Pak, tapi saya tidak tahu karena apa, saya harus pulang. ““Baiklah, kamu bisa langsung duluan ke Surabaya, sedangkan urusan yang lain biar Silvi dan Aldi yang akan menyelesaikannya. Saya turut berduka cita dan tunggu dulu ...Bukannya kamu bilang tidak ada saudara atau keluarga di sana?”“Maaf Pak, saya memang berbohong, saya harus mengubur masa lalu itu tapi hari ini saya harus pulang sekarang, Pak!”“Oke!”Pria paru baya itu segera menugaskan sekretarisnya untuk menyiapkan tiket untuk kepulangan Falisha. Setelah undur diri dari ruangan Agus, Falisha hampir limbung tapi untuk ada Silvi yang memapahnya.“Kamu kenapa, Lis? Ada apa? Kamu belum makan, lebih baik kita ke kantin dulu, yuk!” ajak Silvi merasa khawatir.“Aku mau pulang ke Surabaya duluan ya. Sampai bertemu di sana, aku buru-buru.,” ucapnya sambil berteriak dan melangkah pergi.Silvi bingung dengan perkataan Falisha. Di saat memikirkan perkataan Falisha, seorang cleaning service mengagetkannya dan meminta untuk datang ke ruangan Pak Agus. ***Falisha sudah bersiap untuk pulang. Hanya Mbok Ijah yang selalu memberi kabar tentang kehidupan mereka yang terbilang harmonis dan bahagia sesuai keinginannya.Rasa gugup, penasaran, sedih dan bahagia karena bisa pulang ke Surabaya tapi penyesalan karena tidak bisa bertemu Farah kakak angkatnyaBeberapa jam kemudian akhirnya Falisha telah sampai di kota itu. Kini kembali menginjak kota kelahirannya sendiri. Falisha pun langsung meluncur ke rumah itu. Rumah yang pernah dia tinggal di dalamnya. Alamat rumah itu pun dia tidak lupa.Sampai akhirnya dua puluh menit berlalu akhirnya dia sampai di rumah itu. Tampak bendera kuning terlihat. Badannya mulai lemas saat telah sampai di depan ruang besar itu.“Jangan menangis Lisha, Ayuk tunjukkan dirimu kalau kamu baik-baik saja!” celetuknya dalam hati“Assalamualaikum!” sapa Falisha saat telah sampai di depan pintu rumah. Semua orang tertuju kepadanya begitu juga dengan Mbok Ija dan tentu saja pria dingin itu.Falisha tidak memperhatikan Fathan yang menatapnya penuh arti, karena wanita cantik itu tertuju dengan jenazah kakaknya. Falisha mendekati dan memeluk untuk yang terakhir kalinya tubuh yang sudah menjadi jenazah itu.Seketika air mata pun tak terbendung lagi. Mbok Ijah pun memeluk Falisha. Mereka pun hanyut dalam tangisan.Setelah acara pemakaman barulah Mbok Ijah menceritakan apa yang terjadi dengan Farah. Setelah kepergian Falisha waktu itu mereka pun hidup bahagia, keluarga Fattan pun sangat bahagia melihat kehadiran seorang bayi laki-laki untuk penerus keluarganya.Sampai akhirnya di saat menginjak enam tahun, saat salat subuh tiba-tiba Farah sudah meninggal dalam sujudnya. ***“Apa ini Mas?” tanya Falisha saat Fattan memberikan sebuah amplop berwarna putih itu.“Kamu akan tahu setelah membacanya, anggap saja itu seperti surat wasiat!” tegas Fattan sedikit melirik kearahnya.“Maksud Mas Fattan , Mbak Farah meninggalkan surat wasiat untukku?” tanya Falisha penasaran.“Iya dan itu harus kamu lakukan, suka atau tidak suka,” jawab Fathan sedikit ketus dan sedikit penekanan.“Mbok di mana Mas Fattan?” tanya Farah pelan.“Belum pulang Bu,” jawab Mbok Ijah singkat. Farah melirik ke jam dingin yang terpajang cantik di dalam kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, membuat Farah sedikit khawatir. Namun, sesaat kemudian kekhawatiran itu berangsur sirna dikala dia mengingat kalau ada wanita lain yang biasa menemaninya. “Apa yang Bu Farah pikirkan?” Mbok Ijah menemani Farah di dalam kamar.“Mas Fattan pasti dengan Syakira. Mbok apakah Mas Fattan mencintai Syakira, sepertinya mereka saling mencintai? Apakah Syakira adalah cinta pertama Mas Fattan?” tanya Farah mulai bimbang. “Enggak Bu, mereka hanya teman masa kecil. Dulu Syakira pergi dari kehidupan Den Fattan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah Syakira ditugaskan di Semarang saat Syakira berusia sembilan tahun dan Den Fattan berusia dua belas tahun. Setelah itu mereka tidak pernah saling menghubungi atau bertukar kabar. Kalau sekarang Mbok enggak tahu juga apakah Den Fatta
“Jika kamu mencintainya kenapa kamu dulu pergi meninggalkannya? Kenapa Syakira? Kenapa kamu malah pergi dari kehidupan Mas Fattan dan kenapa kembali disaat Mas Fattan sudah menikah denganku?” Farah menghujaninya begitu banyak pertanyaan yang dari dulu ingin sekali dia tanyakan kepada Syakira.Syakira terdiam sesaat sambil menatap sendu wanita di hadapannya dan kemudian kembali tersenyum sebelum berbicara. “Aku kembali bukan karena ingin merebut Mas Fattan dari kamu, Mbak. Aku kembali karena langkah kakiku yang menuntunku sampai ke sini. Apakah ini yang bisa dibilang sebuah takdir? Bahkan berkat kerja kerasku selama ini akhirnya kembali ke sini dan bertemu Mas Fattan. Aku hanya ingin menjadi temanmu, Mbak dan berbagi apa saja jika Mbak mau. Aku juga bisa menjadi teman curhat dan menjadi pendengar yang baik,” jelasnya.“Kata-katamu sungguh manis dan cukup mengesankan. Apa yang kamu inginkan Syakira? Kehidupanku atau cinta suamiku?” tanya Farah pelan. “Hanya Mbak Farah yang tahu jaw
Fahri pun mengangkat ponsel itu dengan sedikit malas. “Halo, Pi? Ada apa?”“Fahr? Di mana mami? Kenapa kamu yang angkat telepon mami? Apa mami baik-baik saja?” “Kenapa Papi mencari mami? Untuk sekarang mami enggak bisa diganggu. Papi urus saja pekerjaan penting Papi itu!” “Fahri! Halo ...halo!” Terdengar suara Fahri memutuskan sambungan telepon itu. Kecewa dan marah itu yang dirasakan olehnya. Tak lama kudian ponsel Farah kembali berbunyi. Takut membangunkan Farah sehingga Fahri langsung mematikan ponsel itu. “Untuk apa Papi mengetahui keadaan mami? Papi lebih sayang dengan pekerjaan tante pirang itu,” gerutu dalam hati sambil menatap lekat wajah Farah yang semakin tirus dan pucat. Fahri mengecup kening Farah. Seharusnya bukan anak kecil itu yang menunggu di rumah sakit, tapi anak kecil itu memohon kepada pihak rumah sakit untuk bisa tidur dengan Farah dalam satu ruangan. Ingin menemaninya dalam tidur. Fahri begitu menyayangi Farah dan tak ingin berpisah sedetik pun apalagi
“Mami kenapa Mbok?” tanya Fahri semakin cemas.Farah masih mengatur napasnya perlahan-lahan. Dia berusaha untuk bisa meredam sakit hatinya saat melihat penampakan di sana.Mbok Ijah terlihat panik. Begitu juga dengan Mang Ujang yang langsung ingin menggendong Farah untuk masuk ke dalam mobil kembali. Namun, entah kenapa pandangan wanita paruh baya itu ternyata melihat sang majikan pria yang sedang bahagia bersama wanita lain yang tidak lain adalah Syakira.“Den Fattan?” Mbok Ijah terdiam sesaat. Fahri pun menengok dan mendengarkan ucapan Mbok Ijah. Apalagi pandangan Mbok Ijah tertuju ke satu arah. Fahri mengikuti arah pandangan wanita paru baya itu. Dan benar saja papinya sedang bersama dengan wanita lain. Tentu saja membuat hati Fahri begitu sakit, marah melihat mereka begitu dekat seperti yang dia lihat saat di ruangan papinya sendiri.“Pa—Papi ada di sini juga? Bukannya papi bilang kalau ada urusan mendadak di kantor tapi kenapa ada di sini bersama Tante itu?” kesalnya dan ingin
Hari-hari pun berlalu seperti biasa. Farah pun sudah terbiasa dengan kedatangan Syakira ke rumahnya. Entah itu tentang pekerjaan atau hanya sekedar bertamu. Syakira berusaha untuk menjadi teman dekat Farah dan membuatnya merasa nyaman . Namun, tidak dengan Fahri yang mulai risih dengan kedatangan Syakira. Anak kecil itu tidak terlalu suka jika Syakira sering datang ke rumahnya. Bahkan di hari libur pun Syakira tidak absen untuk bisa jadi di tengah keluarga mereka. Seperti saat ini Fahri yang sudah sedikit melupakan tentang masalah mainan robot itu, kini sedikit terobati saat Fattan berniat untuk mengajak mereka ke pantai. Fahri sangat bahagia karena susah lama mereka tidak pergi berlibur bersama-sama.Dengan penuh semangat Fahri menyiapkan semua keperluan nya sendiri. Mulai dari baju ganti sampai makanan atau camilan untuk di sana. Anak kecil itu begitu Mandiri dia bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri karena Fahri berpikir untuk tidak merepotkan ibunya yang sering sakit-sak
Sudah tiga hari Farah masih terbaring di rumah sakit. Tubuhnya begitu lemas. Panas dingin kembali menyelimuti dirinya. Meskipun sudah mendapatkan kenangan yang maksimal tapi tubuh kurus itu semakin lemah. Matanya terlihat cekung dengan bibir sedikit pecah. Wajah pucat seperti mayat hidup. Farah menahan rasa sakit semuanya sendiri karena tidak ingin menjadi beban suaminya lagi sehingga dia pun menyembunyikan penyakitnya sendiri. Farah kembali mengingat masa lalu yang begitu romantis disaat Farah masih terlihat segar dan cantik. Fattan begitu memuji kecantikan dan sangat mencintai Farah. Bahkan dia teka menentang keluarga besarnya untuk bisa menikah dengan wanita yang miskin.Keluarga Fattan tidak menyukai pilihan Fattan tapi tidak bisa menolak pilihan Fattan karena begitu menyayangi Fattan. Mereka berdua pun menyembunyikan rahasia besar kalau Farah tidak akan bisa mempunyai anak dari rahimnya karena rahim Farah sudah diangkat karena rusak akibat kecelakaan sebelum mereka menikah.