Angi yang masih dalam keadaaan pingsan itu kemudian terbangun karena suara HP yang berdering. Nada dering HP tersebut memecah keheningan di kamar Angi.
Musik instrumental khas jawa yang menjadi nada dering Angi ini seakan mengantarkannya untuk terbangun.
Angi yang baru saja tersadar dari pingsannya langsung mencari HP yang berdering. Tak disangka sang kakek buyut menelpon Angi.“Kenapa kakek buyut nelpon ya?” ucap Angi sambil menatap layar HP yang berdering.
“Assalamualaikum, Angi. Gimana kabarmu ndok? Kamu sehat kan di sana?” berkata sang buyut kepada Angi yang masih duduk di atas lantai.
”Aku sehat kek. Kakek tumben menelpon Angi. Ada apa kek?” ucap Angi.
”Semalam Ki Slamet datang kepada kakek. Katanya dia sudah ngobrol sama kamu ya ndok?” kata sang uyut. ”Kamu sudah siap?”
”Tidak kek, maaf. Aku tidak mau,” balas Angi.
“Garis hidupmu adalah menjadi paranormal. Mau kamu jungkir balik di dunia tetap takdirmu adalah paranormal,” kata sang uyut.
“Tidak, kek. Aku minta maaf. Aku tidak bisa meneruskan jejak paranormal kakek,” balas Angi. ”Aku akan berusaha sendiri untuk membangun kehidupan baruku kek.”
”Takdirmu adalah sebagai paranormal. Kau tidak bisa lari dari itu,” kata sang uyut merespon pernyataan Angi. ”Sudah. Kakek pamit dulu ndok.”
Telepon pun berakhir dengan suara kakek buyut yang terdengar kesal dengan keputusan Angi yang tidak mau melanjutkan profesi sebagai paranormal bahkan ia juga menolak untuk menikah dengan ular gaib yang menjadi calon suaminya.
Angi kemudian membuka kotak besar tempat ia menyimpan semua benda-benda mistis yang diberikan ayahnya. Ia melihat tumpukan album foto keluarganya. Ia kemudian membukanya dan terlihat keluarga tercintanya ada dalam lingkungan paranormal termasuk kakak laki-lakinya yang pendiam itu.
”Kak Rama, apa kau juga mengalami hal yang sama denganku?” tanya Angi saat menatap foto kakaknya.
”Kenapa harus paranormal? Apa bedanya dengan kehidupan normal?” kecewa Angi dengan nasibnya. ”Hanya kelebihan ini yang ku punya. Tak bisakah ini tetap normal?”
Kemudian Angi menemukan kalung jimat yang selalu ia pakai kemanapun dia pergi. Semenjak tinggal di Jakarta dia terus menyimpan kalung itu di dalam kotak. Ia tak mau orang lain risih dengan kalung yang diberikan ayahnya itu. Ia kemudian mengambil kalung itu dan hendak membuangnya di pembakaran sampah di depan kosannya.
”Sebaiknya ini cepat disingkirkan,” ucap Angi yang bergegas keluar kamar kosan dan menuju tempat pembuangan sampah.
Ia mengeluarkan korek api dan mulai membakar sampah beserta jimat yang diberikan ayahnya itu. Api berwarna merah itu terus membakar sedikit demi sedikit tali jimat itu dan berlanjut menuju kain yang membelit isi jimat. Api itu sudah membubukkan seluruh jimat itu. Angi kemudian kembali lagi ke kamarnya yang berada di lantai dua itu.
“Sudah waktunya aku hidup normal. Tidak ada hal mistis lagi di dekatku,” ucap Angi saat masuk ke kamarnya.
Saat Angi memindahkan kotaknya itu ke atas lemarinya, ia terkejut dengan jimat yang sudah ia bakar muncul kembali di atas meja belajarnya.
“Tidak mungkin!” terkejut ia melihat jimat itu masih utuh.
Ia kembali ke pembakaran sampah dan mulai membakarnya kembali dengan menambahkan sedikit bensin di atas jimatnya. Ia menunggu jimat itu terbakar dan benar-benar sudah tidak berbekas. Bahkan ia melihat beberapa penghuni kosan yang lain membuang sampah di atas jimat yang terbakar itu.
Kemudian ia kembali lagi ke kamarnya. Tak disangka jimat itu tetap ada di atas meja belajarnya. Ia merasa tak percaya dengan hal yang ia alami. Angi kemudian membuang jimat itu keluar dari jendela kamarnya.
Saat ia berbalik dari jendela, ia melihat jimat itu masih ada di atas meja belajarnya. Angi kemudian membuangnya ke dalam kloset kamar mandi kosannya dan menunggu jimat itu terbuang bersama air di dalam kloset tersebut. Angi keluar kamar mandi dan jimat itu kembali ada di atas mejanya.
“Sudah cukup!” teriak Angi kesal. “Keluar kau makhluk gaib!”
Angi yang mengerang marah tak mampu menahan emosinya itu kemudian mengambil pisau didekatnya dan mencoba mengiris nadinya sendiri. Tapi ada kekuatan lain yang menahan pisau yang dipegangnya itu. Pisau itu terlempar jauh. Angi kemudian dengan cepat mengambil pisau tersebut dan mengiris tangannya sendiri.
”Ini yang kamu mau kan???” teriak Angi. ”Ayo habiskan darahku!!” ”Aku lebih sudi mati!”
Kucuran darah dari tangan Angi semakin banyak dan tak tertahan. Ia jatuh dan tergeletak di lantai dengan darah menggenangi wajahnya dan sebagian tubuhnya.
Di luar kamar, beberapa penghuni kosan sedang asik mengobrol. Mereka mendengar suara benda jatuh yang sangat keras dari dalam kamar Angi.
”Eh, kenapa tuh si Angi! Ada suara benda jatuh di kamarnya. Ayo! Cepet ke kamarnya!” ucap salah satu penghuni kamar di samping Angi.
Mereka segera masuk ke kamar Angi lalu bergegas menolongnya untuk dibawa ke posko kesehatan terdekat.
”Gila itu tangannya udah mau putus!” ucap salah satu teman kosannya. ”Gua gak yakin dia masih hidup!”
”Seerreeemmmm!! Sebelah kamar gue angker!” ucap teman kosannya yang lain.
“Gua rasa dia psikopat. Gua gak pernah liat tuh dia berinteraksi sosial sama yang lain.””Kita gak boleh menuduh dulu sebelum kita tahu alasan dia bunuh diri di kamarnya,” ucap ibu kosan.
Kemudian salah satu perawat keluar menanyakan identitas dan keluarga Angi yang bisa dihubungi. Kemudian ibu kosan memberikan semua informasi tentang Angi yang ia miliki. Ia juga memberikan nomer HP orang tuanya yang bisa dihubungi.
”Baik, bu. Kami akan membawa pasien ini ke ruang ICU agar bisa ditangani lebih dalam,” ucap perawat.
”Lalu bagaimana keadaanya sekarang?” tanya ibu kos.
”Keadaanya sangat kritis dan kehabisan banyak darah. Tingkat kesadarannya sangat tipis. Kami tak bisa berharap banyak,” ucap perawat.
”Baik kalau begitu, bu,”ucap ibu kos.
Ibu kosan dan beberapa teman kosan Angi menunggu di ruang tunggu. Tak lama datanglah seorang laki-laki yang akan bertanggung jawab atas Angi. Kemudian ibu kosan dan teman-temannya pun terkejut melihat ada lelaki tampan tiba-tiba muncul di depan mereka.
”Selamat siang. Saya Adhimas. Teman Angi sejak kecil,” tutur Adhimas yang kedatangannya mengagetkan. “Saya akan bertanggung jawab untuk administrasinya. Jadi ibu dan teman-teman bisa kembali kerumah. Saya juga akan segera menghubungi keluarga Angi di kampung.”
”Oh.. oohhh.. iya. Baiklah kalau begitu pak,” ucap ibu kos terbata-bata karena masih terkejut. ”Kalau begitu kami permisi dulu ya, pak. Kami juga mau ganti baju dulu karena ini banyak bekas darah Angi yang berceceran.”
”Baik, bu. Saya akan menjaga Angi disini,” ucap Adhimas.
Ibu kos dan teman-teman penghuni kosan tersebut kembali pulang. Mereka berjalan sambil bertatapan satu sama lain seakan ingin cepat membahas si lelaki tampan itu.
”Ya ampuunn.. Malaikat udah turun dari langit,” ucap salah satu teman
”Sumpah! Shock berat liatnya! Gua sampe speechless,” ucap teman yang lain.
”Diantara kalian, ada yang pernah melihat lelaki tampan itu sebelumnya?” tanya ibu kos.
”Belum,bu. Baru kali ini kami lihat ada yang dekat sama Angi,” ucap salah satu dari mereka. ”Kami belum pernah lihat siapapun datang ke kosan Angi.”
“Sejak Angi ngekos disini, ibu juga belum pernah lihat teman atau kerabat dekatnya. Dia selalu sendirian. Anak yang sangat mandiri,” lanjut ibu kos.
Mereka yang sudah tiba di kosan segera membersihkan pakaian mereka dan membantu ibu kos merapihkan kamar Angi yang berantakan.
Disisi lain, jimat itu hilang. Tak ada di atas mejanya hanya kamar yang berantakan, genangan darah yang mulai mengering dan pisau yang masih berlumuran darah.
“Pendarahan yang sangat hebat tapi pasien ini bisa melaluinya dengan selamat,” tutur seorang dokter jaga di ruang ICU. “mukjizat itu memang nyata.” “Ini data profil pasien beserta riwayat penyakit yang dideritanya dok,” ucap perawat yang sedang bertugas. “Baik. Tolong resepkan ini kepada pasien, Co-amoxiclav, untuk mempercepat penyembuhan luka dan kesadarannya segera pulih,” ucap sang dokter. “Baik, dok,” ucap perawat. Dokter Alan sebagai dokter jaga di ruang ICU tempat Angi di rawat kemudian memanggil anggota keluarga Angi. Tak lama, datanglah adhimas sebagai perwakilannya. “Dengan keluarga Angi?” tanya dokter. “Saya perwakilan dari keluarganya pak. Keluarga Angi masih di kampung belum tiba disini,” jawab adhimas. ”Baik. Begini pak Adhimas. Saya sampaikan bahwa pasien Angi ini bisa rawat jalan apabila kondisi luka sudah 70% membaik dan kesadarannya sudah stabil. Untuk saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya t
Di tempat lain, suara mikrofon dari ruang ICU terdengar dengan jelas oleh Adhimas yang sedang berada tak jauh dari ruang tunggu pasien. Ia langsung berjalan cepat menuju ruangan Angi. Adhimas terkejut dan tak menyangka sama sekali dengan apa yang terjadi.Ibu kos dan Nisa yang juga sedang berada di ruangan menangis sejadi-jadinya.Ruangan ICU yang dingin menumpahkan rasa kehampaan dan ketidakpastian.Dentingan suara alat bantu itu terdengar semakin tak berirama. Irama demi iramanya mulai tak tersusun dengan rapi. Wajah sang dokter dan perawat tak bisa membohongi kondisi yang terjadi. Wajah pucat pasi menghiasi wajah Angi yang sejak tadi malam tak memberikan perubahan.“Ada apa dok?” tanya Adhimas cepat.“Bagaimana ini bisa terjadi?”“Sabar pak Adhimas. Kami sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk pasien. Namun, tiba-tiba saja pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran yang sangat tinggi. Semua langsung drop
Perjalanan bapak dan emak menuju Jakarta berubah menjadi suram. Hanya doa yang bisa mereka panjatkan agar anaknya bisa istirahat dengan tenang di alam sana. Mobil travel itu pun terus melaju dengan cepat menuju Rumah Sakit. Suasana malam kota Jakarta dengan taburan lampu-lampu jalanan yang remang mengiringi perjalanan menuju Rumah Sakit. Jalan raya yang terbentang luas tak satupun terlihat kendaraan berlalu-lalang. Sunyi dan sepi. Namun, gedung-gendung pencakar langit itu seakan masih menunjukkan kehidupan. Terlihat angkuh untuk sosok mata yang sederhana. Perjalanan mulai diiringi gemercik hujan. Tetesan air itu mulai menjatuhi kaca mobil yang terang. Terlihat titik-titik air itu membulat dan memenuhi semua ruang kaca mobil. Tetesan itu jatuh perlahan dan tak membuat gaduh. Hujan itu seakan hanya ingin mengalihkan perhatian mereka yang sedang berkelabu. Iringan hujan terus menemani mobil travel yang melaju di Jl. Diponegoro. Suasana Kenari di malam ha
Raka berjalan cepat menuju pintu keluar rumah dan ia terhenyak. Ia tak mampu berkata-kata saat melihat jenazah adiknya dikeluarkan dari dalam mobil. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Lalu, seluruh badannya mulai terkujur lemas hingga tak mampu menopang badannya yang tinggi semampai seperti TNI itu. “Raka!” ”Raka, cepat bantu ke sini!” ucap emak dari sisi ambulance. Suara emak yang memekik sontak membuyarkan kebingungan Raka. “Iya, mak,” jawab Raka dengan tertatih. Ia berlari menuju ambulance dan tanpa ragu ia langsung memegang keranda adiknya itu. Dengan wajah menahan sedih dan berusaha membendung air matanya itu, Raka menyimpan salah satu kaki keranda itu di atas bahu kanannya. Mereka berjalan perlahan menuju ke rumah. Salah satu tetangga datang menghampiri emak yang sedang berjalan menuju ke rumahnya. “Mak, maaf, siapa yang meninggal?” tanya si tetangga. “Angi, mbak. Tolong maaf kan Angi bila ada kesalahan d
Ia membuka pintu mobil dan keluar. Ia berlari sekencang-kencangnya menjauhi mobil itu. Ia berlari tanpa menoleh ke bekalang. Makhluk itu menjatuhkan dahan pohon tepat di depan wajah pak supir.“Baaakkkk!!” badan pak supir menabrak dahan itu dan terjatuh dengan kepala terbentur batu besar.Mereka semua mati. Makhluk itu tertawa senang dengan darah segar yang mengalir dari manusia tak berdaya.*Di Masjid.Saat imam menoleh ke sebelah kiri dan mengucapkan salam terkahir dalam shalat jenazah, keranda jenazah berguncang.Sang imam yang baru saja menyelesaikan rukun shalatnya, sontak terkaget dengan keranda yang berguncang tepat di depan dirinya.“Astagfirullahh!!”“Allahu Akbar!!”Para jamaah shalat jenazah terheran dengan perilaku sang imam yang sedikit berteriak itu. Barisan depan jamaah yang tepat di belakang sang imam langsung membuyarkan barisannya tanpa aba-aba dari sang imam.
“Terima kasih, Adhimas,” ucap Angi yang kemudian membetulkan posisi kemejanya hingga presisi. Tercium aroma parfum berkesan woody dan maskulin dari kemejanya. Mereka mulai berjalan bersama menuju rumah. Bapak dan Raka memboyong emak yang masih terlihat kelelahan sedangkan Adhimas menemani Angi yang berjalan tepat di belakang mereka. Sesampainya mereka di rumah, mereka sudah disambut oleh beberapa keluarga yang masih membantu akomodasi serta konsumsi. Semua orang syok melihat Angi yang hidup kembali. Mereka tak henti memasang kedua bola mata mereka untuk menatap Angi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mereka masih tak percaya dengan semua telah terjadi. ”Jadi, benar kata pak Anwar kalau ada orang meninggal hidup lagi. Ups!” salah seorang keceplosan. Wajahnya memerah malu. “Doakan semoga Angi selalu diberi umur panjang dan kesehatan oleh Allah swt. Ammiinnn,” berkata bapak membuyarkan semua orang yang sedang bergumam ricuh. “Silahkan semuanya
”Dan, saat ini aku dihidupkan kembali dari kematianku. Bersama ular itu aku melintasi dimensi waktu dan akhirnya aku dikembalikan ke tubuhku ini.””Ular itu memang calon suamimu, nak” ucap bapak merespon penjelasan Angi kepada Adhimas.Adhimas yang mendengar ucapan bapak langsung menelan air ludahnya dan membuka matanya dengan lebar. Ia merasa tak terima dengan takdir ini.Adhimas yang masih syok dengan perkataan Bapak, melirik ke arah Angi mencoba mendapatkan jawaban yang lebih menenangkan. Namun, Angi tak membalas lirikan Adhimas. Ia hanya menunduk dan menatap kedua tangannya.“Aku minta maaf, Adhimas,” ucap Angi sendu. ”Aku juga akan berbesar hati menerima sosok ular itu meskipun rasanya berat.””Baik, aku mengerti dengan keadaanmu. Tapi, aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik bagimu.””Aku harap takdirmu adalah aku,” gumam Adhimas dalam hatinya.”N
”Terima kasih atas informasi yang bapak berikan. Akhirnya, kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik,” berkata salah satu perwakilan polisi yang bertugas. “Sama-sama, pak,” jawab Adhimas.Pak polisi dan segenap petugas segera kembali untuk mengotopsi korban dan mengecek sidik jari yang tertinggal di ambulance. Namun, Adhimas dan Angi masih berada di tempat. Tiba-tiba Angi merasakanuh pening di kepalanya. Muncul sebuah ilusi bayangan seorang laki-laki paruh baya sedang menatap tajam pada mereka. Ia berdiri tepat dibawah pohon mahoni besar yang berada di sisi jalan. “Ada Angi?” tanya Adhimas. “Ada seseorang yang memerhatikan kita,” jawab Angi. ”Bau ini…. sangat kental sekali. Segar dan pekat,” lanjut Adhimas. Ia berjalan mengikuti bau yang terasa di penciumannya. Dalam ilusi bayangannya ia melihat kejadian tragis yang dialami supir dan perawat itu. Ia melihat sosok pak supir dengan kepala hancur dan ceceran darah menutupi sebagian