“Tak kusangka takdir arwah laki-laki itu begitu pilu,” ucap Angi yang sedang duduk di kursi kamarnya.
“Apakah dia akan kembali ke alamnya? Atau tetap dalam belenggu sang ular raksasa itu?” tanya Angi mendalam.
”Aku bukan super hero yang bisa menolong orang lain. Hanya kelebihan dari sang pencipta ini yang ku jaga,” ucap Angi dengan nada kesal.
”Andai saja aku tidak punya indra keenam ini. Mungkin hidupku akan lebih tenang. Aku tak perlu menyaksikan hal-hal gaib seperti tadi.”
Kejadian kecelakaan tadi membekaskan rasa pilu dan misteri untuk Angi. Ia merasa kecewa karena tak bisa membantu apapun terhadap sang korban kecelakaan. Di sisi lain, ia bertemu dengan sang ular yang tak asing baginya.
“Aku harus menanyakan soal ini kepada ayah,” ucap Angi. “dan makhluk yang selalu menggangguku itu. Menyebalkan.”
Angi kemudian mengambil handphone dan langsung menelpon ayahnya yang berada di kampung. Angi menceritakan semua kejadian yang ia alami kepada sang ayah. Dari awal mula ia bertemu dengan makhluk astral yang mengganggunya hingga sang ular yang tak asing baginya.
Tiba-tiba Angi terkejut mendengar kata-kata ayahnya di telepon.
”Dia itu calon suamimu. Jadi kau tak perlu takut, nak,” ucap sang ayah di telepon.
”Apa?” terkejut Angi.”Siapa calon suamiku?” tanya lagi kepada ayahnya.
”Ular itu adalah calon suamimu. Dia selalu menjagamu. Jadi kau tak perlu takut,” jelas sang ayah di telepon.
”Tiddaaakkk!” ucap Angi. ”Tiddaakk ayahh!”
”Dia adalah takdirmu,” jelas ayah. ”Kau tak bisa mengubahnya. Ini sudah suratan takdir dari yang Maha Kuasa.”
Angi yang tak percaya dengan penjelasan sang ayah kemudian langsung mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon.
”Ayah sudah gila!” kesal Angi. “Aku tidak percaya ini!”
”Aku tak percaya takdirku harus hidup selamanya bersama ular gaib itu.”
“Aku yakin aku bisa keluar dari lingkungan keluarga paranormal ini,” tangkas Angi.
Angi yang kesal dengan penjelasan sang ayah langsung mengumpulkan semua benda-benda yang diberikan ayahnya untuk menjaga dirinya dari segala marabahaya. Ia kemudian menyimpannya dalam sebuah kotak besar dan ditempatkan di atas lemari bajunya.
”Aku tak butuh ini,” ucap Angi. “Aku punya Allah.”
Angi merasa muak dengan lingkungan keluarga yang menjadi paranormal secara turun-temurun. Semua keluarga Angi berprofesi yang sama. Namun, Angi mencoba untuk keluar jalur dengan pergi ke Jakarta dan merubah nasibnya sendiri. Angi yakin bahwa nasib bisa berubah asalkan ia mau berusaha untuk merubah nasibnya sendiri.
“Aku yakin Allah tidak tidur,” ucap Angi yang yakin atas kekuasaan Allah.
“Aku adalah calon suamimu. Sudah tertulis sejak dulu sebelum kau lahir kedunia ini,” sontak makhluk astral itu merespon ucapan Angi. “Aku adalah takdirmu.”
“Tidak,” balas Angi. “Kau bukan calon suamiku.”
“Tidakkah kau ingat, aku sudah beberapa kali menolongmu dalam keadaan sakaratul mautmu,” kata sang makhluk.
“Ingatkah saat kau bermain dengan hantu di belakang sekolahmu. Dia hampir saja membawa arwahmu ke dimensinya dan kau takkan bisa kembali ke duniamu.”
”Atau, kecelakaan bermotor yang kau alami bersama temanmu saat SMA. Arwahmu sudah berada di samping jasadmu. Semua orang mengira kau meninggal. Keluargamu sudah membuat acara pemakaman mu. Tapi, aku berhasil mengembalikkan mu ke dunia ini.”
Angi yang mendengar penjelasan sang makhluk menjadi tertegun dan terdiam. Ia langsung mengingat kembali kejadian-kejadian tragis dalam hidupnya yang hampir merenggut nyawanya tersebut.
“Aku ingat, aku menaikimu saat jasadku tergeletak di aspal dan kau membawaku pergi,” ucap Angi. “Tapi aku tak tahu lagi.”
Kemudian, kepala Angi langsung terasa pusing, berat dan badannya tak mampu berdiri.
Ia pingsan.”Akhirnya kau datang juga kepadaku,” seru makhluk astral berwujud manusia itu. ”ini aku, takdirmu.””Kenapa kau memakan arwah laki-laki yang menjadi korban kecelakaan tadi?” tanya Angi.
”Seseorang membuat perjanjian denganku dan arwah itu adalah imbalannya,” jawab sang makhluk.
”Lalu, siapa kau sebenarnya?” tanya Angi lagi.
”Aku adalah Ki Slamet. Keturunan Nyi Roro Kidul yang ketujuh. Aku sudah diberi tugas untuk mejagamu dan menjadi calon suamimu kelak. Itu sudah tertulis sejak dahulu. Aku hanya menjalankan suratan takdirku,” jawab Ki Slamet
”Ambillah darahku. Banyak orang yang membutuhkan bantuanmu. Kau bisa membantu mereka dengan meminum darahku ini,” lanjut sang makhluk.
“Tidak, aku tidak membutuhkan darahmu,” balas Angi. “Nyi Roro Kidul hanyalah konco wingking yang sangat kuno. Tak percaya aku!”
“Esok hari akan ada beberapa temanmu datang mengunjungimu. Teman yang tak kau sangka masih ingat denganmu. Bantullah ia,” ucap Ki Slamet
”Aku tak mempercayaimu,” tangkas Angi.
“Ambil darahku kapan saja kau butuh. Aku selalu ada di dekatmu. Kau harus percaya semua ini. Karena ini adalah takdirmu, Angi,” balas Ki Slamet
”Kau harus jawab dulu, di mana kau sembunyikan arwah laki-laki tak berdosa itu?” ucap Angi.
Kemudian dalam sekejap Ki Slamet membawa Angi ke dimensi arwah, dimana ia bisa melihat sang arwah laki-laki korban kecelakaan itu terombang-ambing dalam energi negatif dari dimensi tersebut. Arwah tersebut adalah arwah tumbal dari suatu perjanjian yang dibuat seorang manusia dengan makhluk gaib. Mereka yang menjadi tumbal akan masuk kedalam dimensi yang seperti mengambang. Tidak lanjut ke atas dan tidak pula kembali pulang. Itulah penyebab arwah-arwah tersebut kadang masih bisa terlihat di sekeliling manusia atau yang disebut dengan keluarga dan kerabat dekatnya.
”Aku harus menolongnya!” ucap Angi yang mau berlari ke arah arwah tersebut.
”Tunggu, jika kau mendekat ke arahnya kau akan terbawa ke dimensi itu,” respon Ki Slamet. ”Lebih baik kau tunggu disini.”
”Setidaknya dia bisa mati dengan tenang. Tolonglah!” minta Angi kepada Ki Slamet.
”Itu sudah suratan takdirnya. Kau tak bisa mengubahnya,” jawab Ki Slamet. ”Dia akan terbawa masuk bersamaan dengan energi negatif itu.”
”Kenapa harus bersama energi negatif itu? Tak bisakah kau masukkan ia dalam energi positif?” pinta Angi kepada Ki Slamet.
”Manusia-manusia yang menjadi tumbal dalam perjanjian makhluk gaib pasti akan berada disana. Itulah dimensi yang akan mereka lalui terlebih dahulu,” jawab Ki Slamet.
Angi hanya bisa menangis melihat keadaan arwah laki-laki itu yang terombang-ambing diatas pusaran ruang waktu. Ia tak bisa berbuat apa-apa meskipun ia sudah dekat. Ki Slamet yang sejak tadi bersamanya pun tiba-tiba menghilang tanpa aba-aba.
Angi yang masih berada di dimensi arwah tersebut kemudian mendengar sebuah suara dari kejauhan. Suara yang tak asing di telinganya. Semakin dekat suara itu mengelilinginya. Lebih dekat, lebih terasa dan lebih nyata.
”Suara iniiiiii ….,” ucap Angi yang masih menerka suara tersebut. ”Bagaimana aku bisa kembali?”
”Aku masih terperangkap disini!”Ruang waktu tersebut kemudian menjadi lebih pengap dan hitam. Ia tak mampu menahan arus gelombang dimensi tersebut. Ia terbawa arus. Lalu, hilang.
Angi yang masih dalam keadaaan pingsan itu kemudian terbangun karena suara HP yang berdering. Nada dering HP tersebut memecah keheningan di kamar Angi. Musik instrumental khas jawa yang menjadi nada dering Angi ini seakan mengantarkannya untuk terbangun.Angi yang baru saja tersadar dari pingsannya langsung mencari HP yang berdering. Tak disangka sang kakek buyut menelpon Angi. “Kenapa kakek buyut nelpon ya?” ucap Angi sambil menatap layar HP yang berdering. “Assalamualaikum, Angi. Gimana kabarmu ndok? Kamu sehat kan di sana?” berkata sang buyut kepada Angi yang masih duduk di atas lantai. ”Aku sehat kek. Kakek tumben menelpon Angi. Ada apa kek?” ucap Angi. ”Semalam Ki Slamet datang kepada kakek. Katanya dia sudah ngobrol sama kamu ya ndok?” kata sang uyut. ”Kamu sudah siap?” ”Tidak kek, maaf. Aku tidak mau,” balas Angi. “Garis hidupmu adalah menjadi paranormal. Mau kamu jungkir balik di dunia tetap takdirmu adalah paranorma
“Pendarahan yang sangat hebat tapi pasien ini bisa melaluinya dengan selamat,” tutur seorang dokter jaga di ruang ICU. “mukjizat itu memang nyata.” “Ini data profil pasien beserta riwayat penyakit yang dideritanya dok,” ucap perawat yang sedang bertugas. “Baik. Tolong resepkan ini kepada pasien, Co-amoxiclav, untuk mempercepat penyembuhan luka dan kesadarannya segera pulih,” ucap sang dokter. “Baik, dok,” ucap perawat. Dokter Alan sebagai dokter jaga di ruang ICU tempat Angi di rawat kemudian memanggil anggota keluarga Angi. Tak lama, datanglah adhimas sebagai perwakilannya. “Dengan keluarga Angi?” tanya dokter. “Saya perwakilan dari keluarganya pak. Keluarga Angi masih di kampung belum tiba disini,” jawab adhimas. ”Baik. Begini pak Adhimas. Saya sampaikan bahwa pasien Angi ini bisa rawat jalan apabila kondisi luka sudah 70% membaik dan kesadarannya sudah stabil. Untuk saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya t
Di tempat lain, suara mikrofon dari ruang ICU terdengar dengan jelas oleh Adhimas yang sedang berada tak jauh dari ruang tunggu pasien. Ia langsung berjalan cepat menuju ruangan Angi. Adhimas terkejut dan tak menyangka sama sekali dengan apa yang terjadi.Ibu kos dan Nisa yang juga sedang berada di ruangan menangis sejadi-jadinya.Ruangan ICU yang dingin menumpahkan rasa kehampaan dan ketidakpastian.Dentingan suara alat bantu itu terdengar semakin tak berirama. Irama demi iramanya mulai tak tersusun dengan rapi. Wajah sang dokter dan perawat tak bisa membohongi kondisi yang terjadi. Wajah pucat pasi menghiasi wajah Angi yang sejak tadi malam tak memberikan perubahan.“Ada apa dok?” tanya Adhimas cepat.“Bagaimana ini bisa terjadi?”“Sabar pak Adhimas. Kami sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk pasien. Namun, tiba-tiba saja pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran yang sangat tinggi. Semua langsung drop
Perjalanan bapak dan emak menuju Jakarta berubah menjadi suram. Hanya doa yang bisa mereka panjatkan agar anaknya bisa istirahat dengan tenang di alam sana. Mobil travel itu pun terus melaju dengan cepat menuju Rumah Sakit. Suasana malam kota Jakarta dengan taburan lampu-lampu jalanan yang remang mengiringi perjalanan menuju Rumah Sakit. Jalan raya yang terbentang luas tak satupun terlihat kendaraan berlalu-lalang. Sunyi dan sepi. Namun, gedung-gendung pencakar langit itu seakan masih menunjukkan kehidupan. Terlihat angkuh untuk sosok mata yang sederhana. Perjalanan mulai diiringi gemercik hujan. Tetesan air itu mulai menjatuhi kaca mobil yang terang. Terlihat titik-titik air itu membulat dan memenuhi semua ruang kaca mobil. Tetesan itu jatuh perlahan dan tak membuat gaduh. Hujan itu seakan hanya ingin mengalihkan perhatian mereka yang sedang berkelabu. Iringan hujan terus menemani mobil travel yang melaju di Jl. Diponegoro. Suasana Kenari di malam ha
Raka berjalan cepat menuju pintu keluar rumah dan ia terhenyak. Ia tak mampu berkata-kata saat melihat jenazah adiknya dikeluarkan dari dalam mobil. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Lalu, seluruh badannya mulai terkujur lemas hingga tak mampu menopang badannya yang tinggi semampai seperti TNI itu. “Raka!” ”Raka, cepat bantu ke sini!” ucap emak dari sisi ambulance. Suara emak yang memekik sontak membuyarkan kebingungan Raka. “Iya, mak,” jawab Raka dengan tertatih. Ia berlari menuju ambulance dan tanpa ragu ia langsung memegang keranda adiknya itu. Dengan wajah menahan sedih dan berusaha membendung air matanya itu, Raka menyimpan salah satu kaki keranda itu di atas bahu kanannya. Mereka berjalan perlahan menuju ke rumah. Salah satu tetangga datang menghampiri emak yang sedang berjalan menuju ke rumahnya. “Mak, maaf, siapa yang meninggal?” tanya si tetangga. “Angi, mbak. Tolong maaf kan Angi bila ada kesalahan d
Ia membuka pintu mobil dan keluar. Ia berlari sekencang-kencangnya menjauhi mobil itu. Ia berlari tanpa menoleh ke bekalang. Makhluk itu menjatuhkan dahan pohon tepat di depan wajah pak supir.“Baaakkkk!!” badan pak supir menabrak dahan itu dan terjatuh dengan kepala terbentur batu besar.Mereka semua mati. Makhluk itu tertawa senang dengan darah segar yang mengalir dari manusia tak berdaya.*Di Masjid.Saat imam menoleh ke sebelah kiri dan mengucapkan salam terkahir dalam shalat jenazah, keranda jenazah berguncang.Sang imam yang baru saja menyelesaikan rukun shalatnya, sontak terkaget dengan keranda yang berguncang tepat di depan dirinya.“Astagfirullahh!!”“Allahu Akbar!!”Para jamaah shalat jenazah terheran dengan perilaku sang imam yang sedikit berteriak itu. Barisan depan jamaah yang tepat di belakang sang imam langsung membuyarkan barisannya tanpa aba-aba dari sang imam.
“Terima kasih, Adhimas,” ucap Angi yang kemudian membetulkan posisi kemejanya hingga presisi. Tercium aroma parfum berkesan woody dan maskulin dari kemejanya. Mereka mulai berjalan bersama menuju rumah. Bapak dan Raka memboyong emak yang masih terlihat kelelahan sedangkan Adhimas menemani Angi yang berjalan tepat di belakang mereka. Sesampainya mereka di rumah, mereka sudah disambut oleh beberapa keluarga yang masih membantu akomodasi serta konsumsi. Semua orang syok melihat Angi yang hidup kembali. Mereka tak henti memasang kedua bola mata mereka untuk menatap Angi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mereka masih tak percaya dengan semua telah terjadi. ”Jadi, benar kata pak Anwar kalau ada orang meninggal hidup lagi. Ups!” salah seorang keceplosan. Wajahnya memerah malu. “Doakan semoga Angi selalu diberi umur panjang dan kesehatan oleh Allah swt. Ammiinnn,” berkata bapak membuyarkan semua orang yang sedang bergumam ricuh. “Silahkan semuanya
”Dan, saat ini aku dihidupkan kembali dari kematianku. Bersama ular itu aku melintasi dimensi waktu dan akhirnya aku dikembalikan ke tubuhku ini.””Ular itu memang calon suamimu, nak” ucap bapak merespon penjelasan Angi kepada Adhimas.Adhimas yang mendengar ucapan bapak langsung menelan air ludahnya dan membuka matanya dengan lebar. Ia merasa tak terima dengan takdir ini.Adhimas yang masih syok dengan perkataan Bapak, melirik ke arah Angi mencoba mendapatkan jawaban yang lebih menenangkan. Namun, Angi tak membalas lirikan Adhimas. Ia hanya menunduk dan menatap kedua tangannya.“Aku minta maaf, Adhimas,” ucap Angi sendu. ”Aku juga akan berbesar hati menerima sosok ular itu meskipun rasanya berat.””Baik, aku mengerti dengan keadaanmu. Tapi, aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik bagimu.””Aku harap takdirmu adalah aku,” gumam Adhimas dalam hatinya.”N