Share

Bayi yang Menangis di Tengah Asap

Author: OhmyTwizz
last update Last Updated: 2025-08-18 04:47:26

Lembah Artha—dunia paling rendah dalam tatanan Alam Sembilan—tidak pernah merasakan sinar mentari. Di langitnya yang abu-abu, hanya asap tebal dari gunung berapi mati yang menggantung seperti jaring laba-laba hitam. Batu-batu rune kuno berserakan di mana-mana, sebagian retak, sebagian ditumbuhi lumut berwarna merah darah. Di tengah lingkaran batu itu, telur naga hitam sebesar rumah mengapung setinggi lima meter di atas tanah, dikelilingi tujuh batu rune yang menyala pelan-pelan dengan cahaya ungu pucat.

Sejak tiga hari lalu, telur itu mulai retak. Setiap retakan menimbulkan dentingan seperti kaca yang dipanaskan perlahan di atas bara. Penduduk lembah—manusia siluman, goblin, bahkan para siluman serigala—berkumpul di kejauhan, menatap dengan takut. Mereka tahu legenda: setiap kali telur naga hitam retak, dunia akan berdarah.

Hari ini, retakan terbesar terjadi.

CREEAAAKK!

Sebuah suara melengking, seperti tulang raksasa yang direnggut. Dari dalam telur, pancaran darah emas muncrat, membentuk busur cahaya di udara. Darah itu tidak membeku di tanah, melainkan mengalir seperti sungai cairan emas, berkilauan di bawah cahaya asap. Bau belerang bercampur aroma harum bunga sakura yang tidak pernah tumbuh di dunia ini.

Dalam detik berikutnya, telur pecah dua.

Bayi muncul.

Bayi itu—ya, ia adalah bayi—tergantung di udara, dikelilingi lapisan tipis cahaya emas yang membentuk naga kecil transparan. Tubuhnya telanjang, kulitnya putih pucat seperti marmer, namun terdapat tato rune kecil berbentuk naga yang melingkar di sekitar lengan kanannya. Matanya—ketika terbuka—bukan hitam atau cokelat, melainkan merah delima, seperti refleksi darah yang baru saja menetes dari langit.

Bayi itu menangis.

Tangisan itu tidak seperti tangisan bayi biasa. Lebih seperti raungan naga yang terluka, bergema di seluruh lembah, membuat batu-batu rune bergetar. Getaran itu menyebar, membuat asap di langit berputar menjadi pusaran hitam. Di kejauhan, burung gagak hitam terbang tergesa-gesa, meninggalkan sarang mereka.

Di tepi lingkaran batu, seorang wanita tua berdiri. Namanya adalah Granny Mei, ahli ramal lembah yang sudah buta sejak lahir, namun bisa “melihat” melalui getaran darah. Matanya putih keruh, tapi bibirnya bergerak pelan, seolah berbicara dengan bayi yang baru lahir.

“Akhirnya… kau kembali,” bisiknya. “Dewa Naga yang Terbuang.”

Granny Mei berlutut, menekan tongkat rune-nya ke tanah. Tanah di bawahnya menyerupai permukaan air, menampilkan bayangan kilas balik: seorang pria berseragam emas terbakar di atas pilar cahaya, tubuhnya hancur, namun matanya tetap terbuka—menatap kehancuran yang baru saja dimulai.

Bayi itu tiba-tiba berhenti menangis. Ia menatap Granny Mei, seolah mengerti. Cahaya emas di sekitarnya menebalkan, membentuk lapisan pelindung. Dari dalam pelindung itu, terdengar suara—bukan suara bayi, melainkan suara dalam yang membuat Granny Mei menahan napas.

“Surga… akan berdarah.”

***

Di langit lembah, tujuh cahaya emas menyelinap turun. Mereka bergerak cepat, seperti meteor yang sengaja ditujukan. Cahaya itu berbentuk manusia berseragam emas, namun wajah mereka tertutup topeng metalik. Di dada mereka, terdapat lambang tujuh bintang yang menyala—lambang yang sama persis dengan formasi Segi Tujuh Surgawi.

Mereka mendarat di tepi lingkaran batu, mengelilingi bayi. Salah satu dari mereka—pria berpostur tinggi dengan topeng berbentuk naga—mengangkat tangan. Cahaya emas di tangannya berubah menjadi pedang energi yang menyala terang.

“Bayi ini adalah sisa kekuatan Kaisar yang Terbuang,” katanya, suaranya serak tapi jelas. “Kita harus menghancurkannya sekarang.”

Granny Mei berdiri, menahan tongkat rune-nya. “Tidak. Dia adalah harapan kami. Dunia bawah akan terlindungi olehnya.”

Pria bertopeng naga menatap Granny Mei tanpa ekspresi. “Harapan? Dunia bawah adalah tempat sampah. Kami datang untuk membersihkan.”

Pedang energi menyala lebih terang. Cahaya pedang menyentuh lapisan pelindung emas di sekitar bayi. Lapisan itu bergetar, tapi tidak pecah. Bayi itu menatap pedang, matanya merah semakin terang. Dari dalam matanya, terdengar raungan pelan—seperti naga yang baru saja bangun dari tidur panjang.

Tiba-tiba, tanah di bawah bayi mulai bergetar. Batu-batu rune kuno yang retak tadi mulai bersinar kembali, membentuk pola naga yang melingkar. Darah emas yang mengalir dari telur pecah mulai naik, membentuk silinder pelindung di sekitar bayi dan Granny Mei.

Pria bertopeng naga mengangkat tangan, memberi sinyal kepada keenam rekannya. Mereka bergerak serentak, membentuk formasi Segi Tujuh kecil. Namun sebelum mereka bisa menyerang, bayi itu menatap mereka—dan tiba-tiba, seluruh lingkaran batu meledak.

Ledakan itu tidak menghasilkan asap, melainkan cahaya emas yang menyerupai matahari kecil. Cahaya itu menyebar, memantul ke tujuh penyerbu, membuat mereka terhuyung mundur. Salah satu dari mereka—wanita berpostur kecil—jatuh ke tanah, topengnya pecah, menampilkan wajah yang terbakar separuh.

“Kutukan…” bisik wanita itu, sebelum tubuhnya menguap menjadi serpihan cahaya.

Pria bertopeng naga menggeram. “Ini adalah awal.”

Ia mengangkat pedang energi, namun sebelum bisa menyerang lagi, Granny Mei menekan tongkat rune-nya ke tanah. Tanah di bawah mereka mulai menelan kedua kaki mereka, membentuk kubah tanah liat yang menyerupai cangkang naga. Cahaya emas di sekitar bayi menebalkan, membentuk lapisan kedua yang lebih kuat.

“Kami akan melindungi bayi ini,” kata Granny Mei, suaranya tenang tapi penuh kekuatan. “Kalian bisa pergi sekarang. Atau kalian bisa mati di sini.”

Pria bertopeng naga menatap bayi—yang kini tertidur pulen di pangkuan Granny Mei, seolah tidak peduli dengan dunia yang baru saja hancur di sekitarnya. Ia menggeram pelan, lalu mengangkat tangan, memberi sinyal kepada lima rekannya yang tersisa. Mereka mundur perlahan, namun mata mereka tetap menatap bayi—seolah mereka tahu bahwa pertarungan ini baru saja dimulai.

Di langit, asap hitam membentuk wajah naga yang menatap ke bawah. Wajah itu tidak berbicara, namun mata naga itu menyala merah—seolah mengingatkan dunia bahwa dendam yang baru saja lahir tidak akan pernah padam.

Dan di pangkuan Granny Mei, bayi itu tersenyum dalam tidurnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Pintu Api Menuju Surga Ke -4

    Rawa selatan, 10:35. Kabut pagi sudah hilang, tapi cahaya MERAH dari mercusuar surga ke-3 masih menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas unggu di dadanya berkilat seperti takhta penuh, seolah matahari, malam, dan ungu bergabung dalam satu cahaya. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-3 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api, untuk pertempuran terakhir.Target: naik ke surga ke-4, menuju Istana Api, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri yang kini telah menyerah tapi masih menunggu untuk dimaafkan atau untuk dihancurkan total.Jalur: naik tangga api merah lewat Pintu Api menuju Dataran Api surga ke-4 lalu ke Istana Api yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal api merah sebesar telur, berdenyut seperti jantung api, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 10, da

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Ibu yang Menunggu di Takhta Retak

    Puncak Tangga Nama surga ke-3. Kabut ungu menyelimuti dataran batu giok putih. Di tengah dataran: Dewi Surga berdiri tegak, berjubah ungu tua bermahkota kristal, mata rubi merah berkilat, tangan menggenggam tongkat rune “Tujuh Langit Terkunci” level 9, berdenyut seperti jantung malam. Di belakangnya: Istana Kaca putih transparan, berkilat seperti es, di dalamnya fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, menunggu untuk diambil atau untuk menghancurkan yang mengambil.Di depan istana: Long Yichen berdiri tegak, kaki kecil menapak batu giok, mahkota hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakangnya: Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berlutut setengah, menatap ibu, seolah menatap takhta yang baru saja retak dan siap untuk diruntuhkan atau untuk dimaafkan.Angin surga ke-3 berhembus pelan, membawa aroma bunga surga yang tidak pernah tumbuh di dunia manusia, tapi juga membawa aroma darah yang pernah menetes di anak

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Api Merah di Pintu Surga Ke -3

    Rawa selatan, 10:40. Kabut pagi mulai surut, tapi cahaya MERAH dari mercusuar menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-2 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api.Target: naik ke surga ke-3, menuju Istana Ibu, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri.Jalur: naik tangga angin putih lewat Pintu Angin Hitam menuju Dataran Nama surga ke-3 lalu ke Istana Ibu yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 9, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” naga ungu tua level 9, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Waktu: 4 jam – sebelum matahari tenggelam sebelum mercusu

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Ruang Bawah Tanah Mercusuar

    Dalam mercusuar besar “天”, 10:05. Pintu batu giok tertutup rapat di belakang Granny Mei, menahan suara derap pasukan di luar. Di ruang bawah tanah mercusuar, lorong batu hitam menyempit, lampu kristal merah berkedip pelan, memantalkan bayangan rombongan yang bergerak cepat. Granny Mei membawa Long Yichen di gendongan, mahkota hitam emas di dadanya redup tertutup kain, tapi denyutnya terasa seperti detak jantung kesepuluh yang baru saja lahir.Di depan mereka: pintu rune besar bertuliskan (Tian Lao – Penjara Langit), dikunci rune “Tujuh Langit Terkunci” level 7, hanya bisa dibuka dengan “izin keluar” bertanda tangan Dewan Surga – yang kini ada di tangan Granny Mei. Di belakang pintu: Ruang Tertutup Lantai B-3, tempat fragmen kesepuluh: kristal hitam sebesar kelereng, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi lingkaran rune “Tujuh Langit Terkunci” penuh, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” – naga batu hitam level 7, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Rencan

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Mercusuar yang Menangis Antara Dua Nama

    Puncak Tangga Nama, 09:55. Kabut putih menyelimuti mercusuar besar “天” yang berdenyut seperti jantung raksasa. Di depan pintu masuk batu giok putih lebar dua kelompok berdiri saling menatap seperti dua bayang bayang yang baru saja bangkit dari kenangan yang sama.Di kiri Long Yichen, bayi 9 hari, mahkota hitam emas di dadanya tertutup kain tapi denyutnya terasa seperti jantung kesembilan yang baru saja mengalahkan pedang. Di belakangnya Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berdiri tegak seperti tembok yang baru saja dibangun dari kenangan yang hilang.Di kanan Xue Lian, pedang Tian Qiong retak di tangan, mata dingin seperti es abadi tapi di dalamnya terdapat air mata yang tidak pernah jatuh. Di belakangnya Fang Yu, tongkat rune hampir habis, tapi tangan masih menggenggam racun terakhir seperti bayangan yang tidak pernah bisa dilepaskan.Di tengah mercusuar “天” berdenyut menunggu seperti menunggu dua nama yang baru saja kembali dan hanya satu yang akan masuk.Aturan surga hanya satu kelom

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Seribu Anak Tangga Menangis

    Dataran Nama, 08:35. Tangga emas seribu anak tangga berdenyut di bawah kaki Long Yichen, setiap pijakan memantulkan wajah bayi dan bayangan laki laki dewasa berseragam putih yang pedangnya retak. Di anak tangga ke tiga belas batu menangis, air mata biru meleleh, membentuk bintik yang berkilat seperti permata. Di anak tangga ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan Xue Lian berlutut, pedang Tian Qiong yang kini hancur berkeping di tanah, matanya merah karena air mata bukan darah.Granny Mei berjalan di belakang bayi, napasnya teratur, tangan siap menangkap jika tangga goyang. Lin Hu, Mei Xue, Kael mengawasi kanan kiri, waspada terhadap singa emas yang mulai bergerak. Mercusuar besar di puncak berdenyut seperti jantung raksasa yang menunggu kepulangan.Setiap seratus anak tangga, Pijakan Nama muncul. Di pijakan ke seratus kilas balik muncul: Xue Feng remaja tersenyum pada kakaknya, tapi mata kakaknya kosong. Di pijakan ke dua ratus kilas balik: Xue Feng menatap ibunya di puncak, ibu m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status