Share

Nama di Balik Rune

Author: OhmyTwizz
last update Last Updated: 2025-08-18 04:50:28

Lembah Artha, malam kedua.

Asap hitam masih menggantung seperti tirai tebal, tapi api ungu dari rune-rune kuno telah padam. Hanya sisa cahaya emas yang berdenyut pelan di sekitar kubah tanah liat—bekas pertahanan Granny Mei—menandakan bahwa kekuatan luar biasa baru saja meledak di sini. Di dalam kubah, api kecil dinyalakan. Kayu kering mengepul, mengeluarkan bau harum kemenyan, sekaligus bau darah yang masih menempel di batu.

Granny Mei duduk bersila di atas tikar anyaman tua, menatap bayi yang tertidur di pangkuan. Di sekeliling mereka, tiga orang—satu perempuan dua laki-laki—berlutut diam. Mereka adalah pengikut setia Granny Mei yang selama ini menjaga telur naga hitam: Lin Hu, si serigala hitam berusia tujuh puluh tahun tapi masih berwujud pemuda; Mei Xue, gadis manusia setengah siluman berumur delapan belas yang bisa berbicara dengan batu; dan Kael, si goblin berkepala botak berwarna hijau lumut yang menguasai racun.

“Dia bukan bayi biasa,” bisik Lin Hu, telinganya yang lebat mengejang. “Aku bisa mendengar detak jantungnya seperti dentuman genderang perang.”

Mei Xue mengangguk, jari-jarinya menari di atas permukaan batu. “Batu di sini berbisik. Mereka bilang: ‘Naga yang Terbuang kembali.’”

Kael menggerutu, menggaruk kepalanya. “Bagus. Kita baru saja membangunkan monster yang akan dikejar tujuh elit surga. Apakah kita punya rencana, atau kita hanya menunggu mati?”

Granny Mei mengangkat tangan, hentikan percakapan. “Kita punya rencana. Tapi pertama-tama, bayi ini butuh nama.”

Lin Hu mengernyit. “Nama? Kita baru saja bertahan hidup dari ledakan kecil, dan kita bicara nama?”

“Nama adalah kekuatan,” jawab Granny Mei tegas. “Nama adalah rune pertama yang akan mengikat jiwanya, sebelum musuh menemukan cara untuk mengikatnya dengan kutukan.”

Mei Xue menatap bayi. Di dahi bayi, rune kecil berbentuk naga melingkar—seperti tato yang baru saja muncul. “Aku melihat rune itu,” katanya. “Ini adalah karakter kuno ‘Long’—naga—dan ‘Yichen’—cahaya yang tersembunyi. Mungkin itu adalah namanya.”

Granny Mei menatap rune itu lama. Matanya buta, tapi ia bisa merasakan getaran darah. “Long Yichen,” ucapnya pelan. “Nama yang mengandung dua kutub: naga yang gelap, dan cahaya yang tersembunyi. Cocok.”

Bayi itu tiba-tiba membuka mata. Matanya merah delima menatap langsung ke mata Granny Mei. Seolah ia mengerti. Seolah ia sudah menunggu nama itu selama ribuan tahun.

Di luar kubah, malam semakin sunyi. Namun di kejauhan, lima sosok berseragam emas berdiri di atas batu rune yang retak. Mereka adalah sisa dari tujuh penyerbu tadi, tanpa wanita berpostur kecil yang telah menguap. Pria bertopeng naga—yang ternyata bernama Fang Yu—menatap kubah dengan tatapan dingin.

“Kubah darah,” bisiknya. “Ritual pelindung darah naga. Kuno. Tidak akan bertahan lama.”

Salah satu rekannya—pria pendek berotot—mengangkat tangan. “Kita serang lagi?”

Fang Yu menggeleng. “Tidak. Kita butuh bantuan. Kirimkan burung api ke surga ke-8. Katakan bahwa sisa kekuatan Kaisar yang Terbuang telah bangkit. Mereka akan mengirim ‘Pemangsa Jiwa’.”

Pria pendek mengangguk, lalu melempar seekor burung api kecil dari sakunya. Burung itu melesat ke langit, meninggalkan jejak api ungu di udara.

Fang Yu menatap kubah sekali lagi. “Long Yichen,” ucapnya pelan, seolah mencicipi nama itu. “Kali ini, kau tidak akan pernah kembali.”

Di dalam kubah, Granny Mei menutup mata sejenak. Ia bisa merasakan getaran di udara—getaran yang menandakan bahwa bantuan musuh akan datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Ia menatap bayi—Long Yichen—yang kini tertidur kembali, mulutnya mengerucut seperti anak kucing.

“Kita punya waktu tiga hari,” kata Granny Mei. “Tiga hari untuk membangkitkan ingatan tersembunyi di tubuh ini. Tiga hari untuk membuatnya bisa berjalan, minimal.”

Lin Hu mengangkat alis. “Tiga hari untuk membuat bayi berjalan? Bahkan anak serigala butuh tiga bulan.”

Granny Mei tersenyum tipis. “Ini bukan bayi biasa. Ini naga yang baru saja dilahirkan ulang.”

Mei Xue mengangguk. “Apa yang harus kita lakukan?”

Granny Mei menatap tato rune di lengan bayi. “Kita mulai dengan membangkitkan fragmen jiwa pertama. Fragmen yang tersimpan di darahnya. Untuk itu, kita butuh tiga hal: darah naga tua, air mata bulan, dan nyala api dari gunung berapi yang mati.”

Kael mengangkat tangan. “Saya punya racun bisa membuat gunung berapi mati menyala kembali—tapi hanya selama satu jam.”

Granny Mei mengangguk. “Cukup.”

Lin Hu berdiri, mengepalkan tinju. “Maka kita berburu malam ini. Mei Xue, kau cari air mata bulan. Kael, kau siapkan racun. Aku cari darah naga tua—meski harus memburu naga yang tidur di gua bawah tanah.”

Mei Xue tersenyum tipis. “Dan kalau naga itu bangun?”

Lin Hu mengangkat senyum serigala. “Kita beri dia mimpi indah—sebelum kita ambil darahnya.”

Granny Mei menatap bayi. “Long Yichen,” ucapnya pelan. “Kau akan bangkit. Tapi kau akan bangkit dengan dendam, atau dengan harapan. Itu yang akan kau tentukan sendiri.”

Di luar kubah, angin malam berubah arah. Asap hitam bergeser, membentuk wajah naga yang menatap ke bawah—seolah mengingatkan dunia bahwa fragmen pertama baru saja mulai berdenyut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Nama yang Terucap, Bayang yang Datang

    Fajar di Hutan Bambu Qi Xian terasa dingin seperti air es yang menetes dari urun daun. Kabut putih naik perlahan, membawa bau tanah basah dan asap unggun tipis. Di gubuk kayu tua, Long Yichen duduk di atas tikar anyaman, matanya merah delima menatap api kecil yang berkobar. Di dalam api, bayangan pedang berkelok-kelok, seolah menari mengikuti irama detak jantungnya yang baru saja berkata: “Feng…”Granny Mei berlutut di sampingnya, menekan telunjuk ke dahi bayi. “Namamu adalah Xue Feng. Tapi kau Long Yichen sekarang. Ingat dua nama—karena dua dunia menuntutmu.”Bayi itu mengejutkan: ia mengangguk. Perlahan, tapi pasti.Di luar gubuk, Lin Hu mengawasi langit. Telinganya bergerak-gerak, menangkap desing angin yang membawa aroma api ungu. “Burung api pengintai,” desisnya. “Tiga ekor. Jarak lima kilometer, kecepatan tinggi.”Mei Xue muncul dari balik pohon bambu, membawa selembar kristal tipis. “Sinyal resonansi pecahan inti—kuat. Mereka mengunci posisi kita.”Kael melempar kantung racun k

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Portal Darah dan Nama yang Terlupakan

    Lorong dalam Gua Rune Tua bergetar seperti tali layang yang ditarik badai. Batu rune di dinding retak satu per satu, melepaskan serpihan kristal yang melayang seperti kupu-kupu berdarah. Portal darah berdiameter tiga meter berdenyut di ujung lorong—permukaannya seperti kaca cair yang dipanaskan dari dalam, kadang memunculkan wajah bayi yang menangis, kadang wajah naga yang menyeram.Granny Mei berlari terhuyung-huyung, Long Yichen di gendongan kain yang diikat di dadanya. Darah dari luka di lengan bawahnya menetes ke tanah, membentuk jejak cahaya merah yang langsung diserap batu—seolah gua sendiri menuntun mereka menuju portal.“Tiga detik lagi!” teriak Mei Xue dari belakang. Ia melempar rune penghalang terakhir—batu rune melebur menjadi dinding kristal setebal satu meter, menutup lorong. Sekejap kemudian, suara dentuman keras bergema: Lei Zhen versi mini Pemangsa Jiwa menabrak dinding, cakar batunya menyisir permukaan hingga terkelupas serpihan kristal seperti kuku kucing.Lin Hu ber

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Jegetan Bayi di Tengah Badai

    Gua Rune Tua, tengah malam kedua.Angin topan dari sayap Pemangsa Jiwa menerobos lorong batu, menyeret abu kristal hingga berkilauan seperti hujan emas. Di depan kolam darah kristal, Long Yichen—bayi berusia empat hari—duduk tegak di pangkuan Granny Mei. Matanya merah delima menatap ke luar: lima siluet berseragam emas melangkah perlahan, di belakangnya bayang-bayang burung batu sebesar rumah.Fang Yu berdiri paling depan, tongkat rune retak di tangan kirinya. “Keluar,” katanya datar. “Aku tahu kau punya pecahan inti. Kami akan mengambilnya—bersama bayi itu.”Granny Mei mengangkat punggungnya. Darah segar mengalir dari luka di telapak tangan—ia meneteskannya ke kolam. Darah kristal mendidih kembali, membentuk lapisan tembus pandang berwarna merah delima di depan mereka.Mei Xue berkata pelan, “Kita punya satu menit sebelum lapisan pecah.”Lin Hu menggeram, taring serigala terlihat. “Satu menit cukup.”Langkah 1 – Bayi menari.Granny Mei meletakkan Long Yichen di atas batu rune datar.

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Pecahan Inti Meteor

    Gua Rune Tua, tengah malam.Suara batu yang retak masih bergema di lorong-lorong sempit. Fang Yu menatap retakan halus pada tongkat rune-nya—seperti jaring laba-laba emas yang menyebar dari titik tumbukan pedang bayi tadi. Ia menekan ujung jari pada retakan; aura hangat menusuk kulit, membawa kilas kenangan tujuh abad silam.Kilas itu datang kilat: api ungu yang menjilat langit ke-9, Xue Feng berdiri di puncak awan, pedang putih panjang terhunus di tangan kanan. Di hulu pedang, rune Tian Qiong bersinar terang—rune yang ditulis oleh tangan Fang Yu sendiri, dulu, ketika ia masih berlutut di hadapan Kaisar sebagai “Prajurit Bayangan”.Fang Yu menutup mata, menahan getaran yang menggetarkan tulangnya. Ia tahu persis: pedang bayi itu bukan tiruan. Itulah inti meteor yang seharusnya telah ia hancurkan bersama tubuh Xue Feng.Lima tahun lalu – Istana Tian Qiong, malam pengkhianatan.Fang Yu mengangkat cawan lava surgawi. Di dalamnya, inti meteor berbentuk telur sebesar kepalan tangan berdeny

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Pemangsa Jiwa datang dengan Senja

    Senja di Lembah Artha bukanlah kemerah-merahan biasa—ia tenggelam dalam ungu gelap, bergemuruh seperti ombak yang siap menelan darat. Di langit rendah, awan asap hitam berputar mengelilingi gunung berapi mati, menutupi sisa cahaya senja dengan cepat. Di atas tanah retak, lima sosok berseragam emas berdiri di tengah formasi lingkaran rune tersembunyi—masing-masing memegang kristal hitam berdenyut, seolah jantung iblis yang baru saja dicabut. Di tengah formasi, Fang Yu menatap ke arah Gua Rune Tua, menunggu satu hal: matahari sepenuhnya tenggelam.Di dalam gua, Granny Mei merasakan denyut aneh di ubun-ubunnya. Ia mengangkat kepala, menatap langit gua yang tinggi. “Mereka datang lebih cepat dari perkiraan,” bisiknya.Lin Hu yang sedang menggendong Long Yichen—sekarang sudah bisa duduk tegak di pangkuannya—mengencangkan lengan. “Berapa banyak?”“Lima,” jawab Mei Xue, jari-jarinya menari di atas permukaan batu. “Tapi satu di antaranya membawa sesuatu yang bukan manusia.”Kael menggerutu, m

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Hari Pertama Latihan

    Di lembah Artha, fajar tidak pernah benar-benar datang—hanya kabut abu-abu yang menebal, lalu meredup lagi. Namun di dalam kubah tanah liat, cahaya emas di dada Long Yichen tetap berdenyut, menandakan fragmen pertama telah aktif. Bayi itu kini mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan kekuatan yang tidak lazim: ketika ia menendang udara, hembusan angin keluar dari telapak kakinya, menumbangkan botol kosong di sudut ruangan.Granny Mei melihat ke arah Lin Hu, Mei Xue, dan Kael. “Tiga hari. Hari pertama: stabilitas. Hari kedua: mobilitas. Hari ketiga: resonansi fragmen. Kita mulai.”Hari pertama: stabilitas.Latihan stabilisasi inti jiwa dilakukan di tepi jurang batu tajam. Granny Mei menempatkan Long Yichen di atas batu rune datar sebesar piring. Jika bayi itu menangis, rune akan menyerap getaran dan menjatuhkannya ke jurang—hanya beberapa meter, cukup untuk membangunkan naluri terbang naga. Jika ia tenang, rune akan menebalkan, memperkuat fragmen.Pertama, bayi itu menangis. Jurang be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status