LOGINLembah Artha, malam kedua.
Asap hitam masih menggantung seperti tirai tebal, tapi api ungu dari rune-rune kuno telah padam. Hanya sisa cahaya emas yang berdenyut pelan di sekitar kubah tanah liat—bekas pertahanan Granny Mei—menandakan bahwa kekuatan luar biasa baru saja meledak di sini. Di dalam kubah, api kecil dinyalakan. Kayu kering mengepul, mengeluarkan bau harum kemenyan, sekaligus bau darah yang masih menempel di batu. Granny Mei duduk bersila di atas tikar anyaman tua, menatap bayi yang tertidur di pangkuan. Di sekeliling mereka, tiga orang—satu perempuan dua laki-laki—berlutut diam. Mereka adalah pengikut setia Granny Mei yang selama ini menjaga telur naga hitam: Lin Hu, si serigala hitam berusia tujuh puluh tahun tapi masih berwujud pemuda; Mei Xue, gadis manusia setengah siluman berumur delapan belas yang bisa berbicara dengan batu; dan Kael, si goblin berkepala botak berwarna hijau lumut yang menguasai racun. “Dia bukan bayi biasa,” bisik Lin Hu, telinganya yang lebat mengejang. “Aku bisa mendengar detak jantungnya seperti dentuman genderang perang.” Mei Xue mengangguk, jari-jarinya menari di atas permukaan batu. “Batu di sini berbisik. Mereka bilang: ‘Naga yang Terbuang kembali.’” Kael menggerutu, menggaruk kepalanya. “Bagus. Kita baru saja membangunkan monster yang akan dikejar tujuh elit surga. Apakah kita punya rencana, atau kita hanya menunggu mati?” Granny Mei mengangkat tangan, hentikan percakapan. “Kita punya rencana. Tapi pertama-tama, bayi ini butuh nama.” Lin Hu mengernyit. “Nama? Kita baru saja bertahan hidup dari ledakan kecil, dan kita bicara nama?” “Nama adalah kekuatan,” jawab Granny Mei tegas. “Nama adalah rune pertama yang akan mengikat jiwanya, sebelum musuh menemukan cara untuk mengikatnya dengan kutukan.” Mei Xue menatap bayi. Di dahi bayi, rune kecil berbentuk naga melingkar—seperti tato yang baru saja muncul. “Aku melihat rune itu,” katanya. “Ini adalah karakter kuno ‘Long’—naga—dan ‘Yichen’—cahaya yang tersembunyi. Mungkin itu adalah namanya.” Granny Mei menatap rune itu lama. Matanya buta, tapi ia bisa merasakan getaran darah. “Long Yichen,” ucapnya pelan. “Nama yang mengandung dua kutub: naga yang gelap, dan cahaya yang tersembunyi. Cocok.” Bayi itu tiba-tiba membuka mata. Matanya merah delima menatap langsung ke mata Granny Mei. Seolah ia mengerti. Seolah ia sudah menunggu nama itu selama ribuan tahun. Di luar kubah, malam semakin sunyi. Namun di kejauhan, lima sosok berseragam emas berdiri di atas batu rune yang retak. Mereka adalah sisa dari tujuh penyerbu tadi, tanpa wanita berpostur kecil yang telah menguap. Pria bertopeng naga—yang ternyata bernama Fang Yu—menatap kubah dengan tatapan dingin. “Kubah darah,” bisiknya. “Ritual pelindung darah naga. Kuno. Tidak akan bertahan lama.” Salah satu rekannya—pria pendek berotot—mengangkat tangan. “Kita serang lagi?” Fang Yu menggeleng. “Tidak. Kita butuh bantuan. Kirimkan burung api ke surga ke-8. Katakan bahwa sisa kekuatan Kaisar yang Terbuang telah bangkit. Mereka akan mengirim ‘Pemangsa Jiwa’.” Pria pendek mengangguk, lalu melempar seekor burung api kecil dari sakunya. Burung itu melesat ke langit, meninggalkan jejak api ungu di udara. Fang Yu menatap kubah sekali lagi. “Long Yichen,” ucapnya pelan, seolah mencicipi nama itu. “Kali ini, kau tidak akan pernah kembali.” Di dalam kubah, Granny Mei menutup mata sejenak. Ia bisa merasakan getaran di udara—getaran yang menandakan bahwa bantuan musuh akan datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Ia menatap bayi—Long Yichen—yang kini tertidur kembali, mulutnya mengerucut seperti anak kucing. “Kita punya waktu tiga hari,” kata Granny Mei. “Tiga hari untuk membangkitkan ingatan tersembunyi di tubuh ini. Tiga hari untuk membuatnya bisa berjalan, minimal.” Lin Hu mengangkat alis. “Tiga hari untuk membuat bayi berjalan? Bahkan anak serigala butuh tiga bulan.” Granny Mei tersenyum tipis. “Ini bukan bayi biasa. Ini naga yang baru saja dilahirkan ulang.” Mei Xue mengangguk. “Apa yang harus kita lakukan?” Granny Mei menatap tato rune di lengan bayi. “Kita mulai dengan membangkitkan fragmen jiwa pertama. Fragmen yang tersimpan di darahnya. Untuk itu, kita butuh tiga hal: darah naga tua, air mata bulan, dan nyala api dari gunung berapi yang mati.” Kael mengangkat tangan. “Saya punya racun bisa membuat gunung berapi mati menyala kembali—tapi hanya selama satu jam.” Granny Mei mengangguk. “Cukup.” Lin Hu berdiri, mengepalkan tinju. “Maka kita berburu malam ini. Mei Xue, kau cari air mata bulan. Kael, kau siapkan racun. Aku cari darah naga tua—meski harus memburu naga yang tidur di gua bawah tanah.” Mei Xue tersenyum tipis. “Dan kalau naga itu bangun?” Lin Hu mengangkat senyum serigala. “Kita beri dia mimpi indah—sebelum kita ambil darahnya.” Granny Mei menatap bayi. “Long Yichen,” ucapnya pelan. “Kau akan bangkit. Tapi kau akan bangkit dengan dendam, atau dengan harapan. Itu yang akan kau tentukan sendiri.” Di luar kubah, angin malam berubah arah. Asap hitam bergeser, membentuk wajah naga yang menatap ke bawah—seolah mengingatkan dunia bahwa fragmen pertama baru saja mulai berdenyut.Rawa selatan, 10:35. Kabut pagi sudah hilang, tapi cahaya MERAH dari mercusuar surga ke-3 masih menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas unggu di dadanya berkilat seperti takhta penuh, seolah matahari, malam, dan ungu bergabung dalam satu cahaya. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-3 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api, untuk pertempuran terakhir.Target: naik ke surga ke-4, menuju Istana Api, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri yang kini telah menyerah tapi masih menunggu untuk dimaafkan atau untuk dihancurkan total.Jalur: naik tangga api merah lewat Pintu Api menuju Dataran Api surga ke-4 lalu ke Istana Api yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal api merah sebesar telur, berdenyut seperti jantung api, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 10, da
Puncak Tangga Nama surga ke-3. Kabut ungu menyelimuti dataran batu giok putih. Di tengah dataran: Dewi Surga berdiri tegak, berjubah ungu tua bermahkota kristal, mata rubi merah berkilat, tangan menggenggam tongkat rune “Tujuh Langit Terkunci” level 9, berdenyut seperti jantung malam. Di belakangnya: Istana Kaca putih transparan, berkilat seperti es, di dalamnya fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, menunggu untuk diambil atau untuk menghancurkan yang mengambil.Di depan istana: Long Yichen berdiri tegak, kaki kecil menapak batu giok, mahkota hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakangnya: Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berlutut setengah, menatap ibu, seolah menatap takhta yang baru saja retak dan siap untuk diruntuhkan atau untuk dimaafkan.Angin surga ke-3 berhembus pelan, membawa aroma bunga surga yang tidak pernah tumbuh di dunia manusia, tapi juga membawa aroma darah yang pernah menetes di anak
Rawa selatan, 10:40. Kabut pagi mulai surut, tapi cahaya MERAH dari mercusuar menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-2 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api.Target: naik ke surga ke-3, menuju Istana Ibu, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri.Jalur: naik tangga angin putih lewat Pintu Angin Hitam menuju Dataran Nama surga ke-3 lalu ke Istana Ibu yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 9, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” naga ungu tua level 9, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Waktu: 4 jam – sebelum matahari tenggelam sebelum mercusu
Dalam mercusuar besar “天”, 10:05. Pintu batu giok tertutup rapat di belakang Granny Mei, menahan suara derap pasukan di luar. Di ruang bawah tanah mercusuar, lorong batu hitam menyempit, lampu kristal merah berkedip pelan, memantalkan bayangan rombongan yang bergerak cepat. Granny Mei membawa Long Yichen di gendongan, mahkota hitam emas di dadanya redup tertutup kain, tapi denyutnya terasa seperti detak jantung kesepuluh yang baru saja lahir.Di depan mereka: pintu rune besar bertuliskan (Tian Lao – Penjara Langit), dikunci rune “Tujuh Langit Terkunci” level 7, hanya bisa dibuka dengan “izin keluar” bertanda tangan Dewan Surga – yang kini ada di tangan Granny Mei. Di belakang pintu: Ruang Tertutup Lantai B-3, tempat fragmen kesepuluh: kristal hitam sebesar kelereng, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi lingkaran rune “Tujuh Langit Terkunci” penuh, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” – naga batu hitam level 7, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Rencan
Puncak Tangga Nama, 09:55. Kabut putih menyelimuti mercusuar besar “天” yang berdenyut seperti jantung raksasa. Di depan pintu masuk batu giok putih lebar dua kelompok berdiri saling menatap seperti dua bayang bayang yang baru saja bangkit dari kenangan yang sama.Di kiri Long Yichen, bayi 9 hari, mahkota hitam emas di dadanya tertutup kain tapi denyutnya terasa seperti jantung kesembilan yang baru saja mengalahkan pedang. Di belakangnya Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berdiri tegak seperti tembok yang baru saja dibangun dari kenangan yang hilang.Di kanan Xue Lian, pedang Tian Qiong retak di tangan, mata dingin seperti es abadi tapi di dalamnya terdapat air mata yang tidak pernah jatuh. Di belakangnya Fang Yu, tongkat rune hampir habis, tapi tangan masih menggenggam racun terakhir seperti bayangan yang tidak pernah bisa dilepaskan.Di tengah mercusuar “天” berdenyut menunggu seperti menunggu dua nama yang baru saja kembali dan hanya satu yang akan masuk.Aturan surga hanya satu kelom
Dataran Nama, 08:35. Tangga emas seribu anak tangga berdenyut di bawah kaki Long Yichen, setiap pijakan memantulkan wajah bayi dan bayangan laki laki dewasa berseragam putih yang pedangnya retak. Di anak tangga ke tiga belas batu menangis, air mata biru meleleh, membentuk bintik yang berkilat seperti permata. Di anak tangga ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan Xue Lian berlutut, pedang Tian Qiong yang kini hancur berkeping di tanah, matanya merah karena air mata bukan darah.Granny Mei berjalan di belakang bayi, napasnya teratur, tangan siap menangkap jika tangga goyang. Lin Hu, Mei Xue, Kael mengawasi kanan kiri, waspada terhadap singa emas yang mulai bergerak. Mercusuar besar di puncak berdenyut seperti jantung raksasa yang menunggu kepulangan.Setiap seratus anak tangga, Pijakan Nama muncul. Di pijakan ke seratus kilas balik muncul: Xue Feng remaja tersenyum pada kakaknya, tapi mata kakaknya kosong. Di pijakan ke dua ratus kilas balik: Xue Feng menatap ibunya di puncak, ibu m







