로그인Gua Rune Tua, tengah malam.
Suara batu yang retak masih bergema di lorong-lorong sempit. Fang Yu menatap retakan halus pada tongkat rune-nya—seperti jaring laba-laba emas yang menyebar dari titik tumbukan pedang bayi tadi. Ia menekan ujung jari pada retakan; aura hangat menusuk kulit, membawa kilas kenangan tujuh abad silam. Kilas itu datang kilat: api ungu yang menjilat langit ke-9, Xue Feng berdiri di puncak awan, pedang putih panjang terhunus di tangan kanan. Di hulu pedang, rune Tian Qiong bersinar terang—rune yang ditulis oleh tangan Fang Yu sendiri, dulu, ketika ia masih berlutut di hadapan Kaisar sebagai “Prajurit Bayangan”. Fang Yu menutup mata, menahan getaran yang menggetarkan tulangnya. Ia tahu persis: pedang bayi itu bukan tiruan. Itulah inti meteor yang seharusnya telah ia hancurkan bersama tubuh Xue Feng. Lima tahun lalu – Istana Tian Qiong, malam pengkhianatan. Fang Yu mengangkat cawan lava surgawi. Di dalamnya, inti meteor berbentuk telur sebesar kepalan tangan berdenyut pelan—seolah menolak api yang mampu melebur gunung. Ia meneteskan tujuh tetes darah Kaisar (yang ia ambil diam-diam saat Xue Feng terluka latihan) ke dalam lava. Api meledak, namun inti meteor tetap utuh—mengeluarkan cahaya putih yang menolak segala unsur. Fang Yu menggeram. Ia tahu inti ini terikat dengan jiwa sang Kaisar; selama Xue Feng belum benar-benar lenyap, inti akan terus hidup. Ia lalu mengambil pecahan kecil inti (sebesar kuku kelingking), menyimpannya di dalam kapsul kristal, dan menanam kapsul itu di batang tongkat rune-nya—sebagai “alarm” jika inti utama kembali aktif. Malam ini, alarm itu berbunyi. Kini – Gua Rune Tua, lorong luar. Fang Yu mengangkat tongkat rune-nya, memutar ujung batang. Kapsul kristal terbuka; pecahan inti meteor—sebesar kuku—berkilau merah menyala. Cahaya itu menunjuk langsung ke arah kolam darah kristal di dalam gua—di mana Long Yichen tertidur di pangkuan Granny Mei. “Inti utama telah kembali,” bisik Fang Yu kepada rekannya, pria pendek bernama Lei Zhen. “Pedang bayi itu adalah wadah sementara—inti meteor sedang mencari tubuh baru. Tubuh bayi itu akan menjadi kandang naga, jika kita biarkan.” Lei Zhen menggeram. “Maka kita hancurkan tubuh itu sekarang.” Fang Yu menggeleng. “Tidak cukup. Inti bisa meloncat ke tubuh mana pun yang memiliki garis darah Kaisar. Kita butuh pembungkus jiwa—wadah yang tidak bisa ditolak inti.” Ia menatap Lei Zhen, mata tanpa ekspresi. “Kita butuh dirimu.” Lei Zhen menatap kembali—mengerti maksudnya. Tubuhnya adalah garis darah cabang Kaisar (leluhur mereka berdua adalah saudara jauh). Jika inti bisa dipaksa masuk ke tubuh Lei Zhen, mereka bisa menyegelnya selamanya. Tapi itu artinya Lei Zhen harus mati. Lei Zhen menelan ludah. “Apa jaminanku?” Fang Yu mengangkat kristal hitam—segel Pemangsa Jiwa. “Setelah inti masuk, aku akan memecahkan segel ini di tubuhmu. Tubuhmu akan hancur, inti akan terperangkap. Kau mati sebagai pahlawan surga.” Lei Zhen tertawa getir. “Atau kau mati sebagai penghianat kedua kalinya.” Fang Yu tidak menjawab. Ia menatap ke dalam gua, menunggu waktu. Di dalam kolam darah kristal, Long Yichen tersentak. Sebuah getaran—seperti tali yang ditarik dari jauh—menariknya keluar dari tidur. Ia tidak mengerti kata-kata, tapi ia mengerti gambar: sebuah pecahan batu merah berkilau, terbang di udara, memanggilnya. Rune pedang di telapak tangannya berdenyut, seolah menjawab. Darah kristal di kolam mulai berputar, membentuk pusaran kecil di bawah batu rune. Granny Mei merasakan getaran itu. Ia menatap telapak tangan bayi—rune pedang kini berubah bentuk: ujungnya memanjang, membentuk anak panah kecil yang menunjuk ke arah luar gua. “Pecahan inti meteor,” bisik Granny Mei. “Mereka punya pecahan. Mereka ingin menarik inti utama ke dalam tubuh bayi ini.” Lin Hu mengencangkan tinju. “Maka kita hancurkan pecahan itu.” Granny Mei menggeleng. “Tidak cukup. Inti bisa meloncat. Kita butuh ‘jejak balik’—menandai pecahan itu sebelum mereka pakai.” Ia menatap Mei Xue. “Kau bisa menulis rune pelacak pada pecahan?” Mei Xue mengangguk. “Tapi aku butuh darah si pemilik pecahan.” Granny Mei menatap bayi. “Kita punya darah Kaisar—melekat pada tubuh bayi ini. Cukup.” Di luar gua, Fang Yu memegang pecahan inti meteor di telapak tangan. Ia mulai menggambar rune penyegelan—rune yang sama persis dengan yang dulu ia tulis di hulu pedang Kaisar. Tapi sebelum ia selesai, pecahan itu tiba-tiba bergetar keras, menariknya ke arah dalam gua. Fang Yu menahan diri. “Inti mencari tubuh asli,” katanya kepada Lei Zhen. “Waktunya.” Ia melemparkan pecahan itu ke udara. Pecahan itu melesat—mengarah langsung ke arah kolam darah kristal di dalam gua. Di dalam gua, Granny Mei menempatkan Long Yichen di atas batu rune, lalu memotong telapak tangannya sendiri—darahnya mengalir ke kolam, membentuk rune pelacak yang berkilau emas. Rune itu menunggu—siap menandai pecahan inti meteor yang akan masuk. Dari lorong luar, pecahan inti meteor melesat masuk—mengarah langsung ke dada bayi. Tapi sebelum bisa menyentuh kulit bayi, rune pelacak Granny Mei menyala terang, membungkus pecahan dengan lapisan emas. Pecahan itu berhenti di udara—bergetar, berusaha menembus lapisan emas. Tapi lapisan itu semakin menebal, membentuk rantai emas yang mengikat pecahan. Granny Mei menatap Fang Yu yang baru saja muncul di ujung lorong. “Pecahan ini milikmu, bukan?” Fang Yu menatap rantai emas—mata lebar. Ia tahu rune itu: rune yang sama persis dengan yang dulu ia tulis di hulu pedang. Ia tahu Granny Mei tahu. “Tidak,” jawab Fang Yu, suaranya datar. “Ini milik Kaisar yang Terbuang. Kau baru saja menandainya.” Granny Mei tersenyum tipis. “Tepat. Sekarang kita tahu di mana kau berada.” Fang Yu menatap bayi—Long Yichen—yang kini menatap balik, mata merah delima menunjukkan kilas balik terakhir: wajah Fang Yu sendiri, berdiri di atas pilar cahaya, menatapnya dengan tatapan kosong. Fang Yu menutup mata sejenak. “Permainan baru saja dimulai.”Rawa selatan, 10:35. Kabut pagi sudah hilang, tapi cahaya MERAH dari mercusuar surga ke-3 masih menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas unggu di dadanya berkilat seperti takhta penuh, seolah matahari, malam, dan ungu bergabung dalam satu cahaya. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-3 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api, untuk pertempuran terakhir.Target: naik ke surga ke-4, menuju Istana Api, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri yang kini telah menyerah tapi masih menunggu untuk dimaafkan atau untuk dihancurkan total.Jalur: naik tangga api merah lewat Pintu Api menuju Dataran Api surga ke-4 lalu ke Istana Api yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal api merah sebesar telur, berdenyut seperti jantung api, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 10, da
Puncak Tangga Nama surga ke-3. Kabut ungu menyelimuti dataran batu giok putih. Di tengah dataran: Dewi Surga berdiri tegak, berjubah ungu tua bermahkota kristal, mata rubi merah berkilat, tangan menggenggam tongkat rune “Tujuh Langit Terkunci” level 9, berdenyut seperti jantung malam. Di belakangnya: Istana Kaca putih transparan, berkilat seperti es, di dalamnya fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, menunggu untuk diambil atau untuk menghancurkan yang mengambil.Di depan istana: Long Yichen berdiri tegak, kaki kecil menapak batu giok, mahkota hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakangnya: Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berlutut setengah, menatap ibu, seolah menatap takhta yang baru saja retak dan siap untuk diruntuhkan atau untuk dimaafkan.Angin surga ke-3 berhembus pelan, membawa aroma bunga surga yang tidak pernah tumbuh di dunia manusia, tapi juga membawa aroma darah yang pernah menetes di anak
Rawa selatan, 10:40. Kabut pagi mulai surut, tapi cahaya MERAH dari mercusuar menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-2 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api.Target: naik ke surga ke-3, menuju Istana Ibu, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri.Jalur: naik tangga angin putih lewat Pintu Angin Hitam menuju Dataran Nama surga ke-3 lalu ke Istana Ibu yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 9, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” naga ungu tua level 9, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Waktu: 4 jam – sebelum matahari tenggelam sebelum mercusu
Dalam mercusuar besar “天”, 10:05. Pintu batu giok tertutup rapat di belakang Granny Mei, menahan suara derap pasukan di luar. Di ruang bawah tanah mercusuar, lorong batu hitam menyempit, lampu kristal merah berkedip pelan, memantalkan bayangan rombongan yang bergerak cepat. Granny Mei membawa Long Yichen di gendongan, mahkota hitam emas di dadanya redup tertutup kain, tapi denyutnya terasa seperti detak jantung kesepuluh yang baru saja lahir.Di depan mereka: pintu rune besar bertuliskan (Tian Lao – Penjara Langit), dikunci rune “Tujuh Langit Terkunci” level 7, hanya bisa dibuka dengan “izin keluar” bertanda tangan Dewan Surga – yang kini ada di tangan Granny Mei. Di belakang pintu: Ruang Tertutup Lantai B-3, tempat fragmen kesepuluh: kristal hitam sebesar kelereng, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi lingkaran rune “Tujuh Langit Terkunci” penuh, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” – naga batu hitam level 7, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Rencan
Puncak Tangga Nama, 09:55. Kabut putih menyelimuti mercusuar besar “天” yang berdenyut seperti jantung raksasa. Di depan pintu masuk batu giok putih lebar dua kelompok berdiri saling menatap seperti dua bayang bayang yang baru saja bangkit dari kenangan yang sama.Di kiri Long Yichen, bayi 9 hari, mahkota hitam emas di dadanya tertutup kain tapi denyutnya terasa seperti jantung kesembilan yang baru saja mengalahkan pedang. Di belakangnya Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berdiri tegak seperti tembok yang baru saja dibangun dari kenangan yang hilang.Di kanan Xue Lian, pedang Tian Qiong retak di tangan, mata dingin seperti es abadi tapi di dalamnya terdapat air mata yang tidak pernah jatuh. Di belakangnya Fang Yu, tongkat rune hampir habis, tapi tangan masih menggenggam racun terakhir seperti bayangan yang tidak pernah bisa dilepaskan.Di tengah mercusuar “天” berdenyut menunggu seperti menunggu dua nama yang baru saja kembali dan hanya satu yang akan masuk.Aturan surga hanya satu kelom
Dataran Nama, 08:35. Tangga emas seribu anak tangga berdenyut di bawah kaki Long Yichen, setiap pijakan memantulkan wajah bayi dan bayangan laki laki dewasa berseragam putih yang pedangnya retak. Di anak tangga ke tiga belas batu menangis, air mata biru meleleh, membentuk bintik yang berkilat seperti permata. Di anak tangga ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan Xue Lian berlutut, pedang Tian Qiong yang kini hancur berkeping di tanah, matanya merah karena air mata bukan darah.Granny Mei berjalan di belakang bayi, napasnya teratur, tangan siap menangkap jika tangga goyang. Lin Hu, Mei Xue, Kael mengawasi kanan kiri, waspada terhadap singa emas yang mulai bergerak. Mercusuar besar di puncak berdenyut seperti jantung raksasa yang menunggu kepulangan.Setiap seratus anak tangga, Pijakan Nama muncul. Di pijakan ke seratus kilas balik muncul: Xue Feng remaja tersenyum pada kakaknya, tapi mata kakaknya kosong. Di pijakan ke dua ratus kilas balik: Xue Feng menatap ibunya di puncak, ibu m







