Share

Bab 2 Kejutan Dinner

Setelah puas menangis karena kecewa atas sikap mas Juan tadi pagi, aku keluar menuju halaman belakang duduk bersandar di bawah gazebo. Sambil menikmati pemandangan tanaman hias yang memanjakan mata. 

Di sana ada beberapa jenis tanaman Algonema pemberian mama mertuaku saat pertama kali aku dan mas Juan menempati rumah ini.

Ibu dari suamiku itu sangat baik dan perhatian terhadapku. Ia sering memberi nasihat tentang karakter mas Juan yang memang sangat dingin dan pemarah.

“Juan anak baik dan sayang pada kedua orang tuanya. Karakternya sangat mirip dengan mendiang papanya. Bukan hanya rupanya saja, tapi semuanya.” ungkap Mama kala itu. Tangannya bergerak kembali menyiram bibit Dona Carmen dan lipstik di depannya yang baru saja berpindah pot. “Anak itu memang tidak banyak bicara, tidak suka basa-basi dan hal remeh temeh. Terkadang sikap dinginnya membuat orang di sampingnya jengah.” Mama tertawa, lalu kemudian wanita beruban itu meletakkan penyiram di bawah.

Kemudian ia bergerak menuju gazebo dan duduk di sana. Sepertinya beliau mulai lelah. Wajarlah tubuhnya sudah mulai renta dan mudah sekali capek.

Setelah selesai menata berbagai jenis tanaman Algonema dengan rapi berjejer di pinggiran kolam kecil. Aku menyusul mertuaku di mana ia berada.

Menuangkan jus apel kesukaannya ke dalam gelas lantas menyodorkan minuman yang diblender itu ke hadapannya. Mama tersenyum hangat menyambut perlakuanku dengan baik.

“Semoga kamu betah di sini, terutama ....” beliau menjeda ucapannya. “Betah berada di sisi Juan,” lanjutnya tersenyum sendu, dan entah kenapa seperti ada yang janggal dari kata-kata terakhirnya barusan.

***

Mengingat hal itu membuatku mengerti jika memang ada yang mama sembunyikan. Mungkinkah itu tentang Mala? Tapi mana mungkin, kulihat hubungan mereka sangat baik.

Satu notifikasi pesan masuk mengalihkan perhatianku dari lamunan.

Sebuah pesan dari mas Juan.

“Ras, aku minta maaf sudah kasar sama kamu”

Aku mencebik. Malas untuk membalasnya, Karena masih marah atas sikapnya tadi pagi. Kuletakan kembali gawai di atas meja kayu berbentuk bundar.

“Aku sungguh menyesal. Sebagai permintaan maaf dariku, bagaimana kalau nanti malam kita Dinner berdua?”

Keterlaluan, memang benar kata ibu mas Juan tak ada romantis-romantisnya sama sekali. Bilang sayang, kek. Atau apalah yang bisa membuat hati istrinya ini senang.

Seperti tahu dengan apa yang ada dalam pikiranku. Ia kembali mengirim pesan yang seketika membuatku tersenyum.

“Iya ini aku bilang sayang.”

Kemudian aku mengirim balasan sambil senyum-senyum, nyaris seperti remaja yang sedang kasmaran.

“Iya, di maafkan”

“Oke, tar sore jam 8 kamu datang ke Restoran favorit kita. Nanti aku dari kantor langsung ke sana.”

Usai berbalas pesan dengan mas Juan aku kembali ke kamar untuk melakukan persiapan. Semoga dengan adanya Dinner nanti malam, hubunganku dengan mas Juan bisa harmonis kembali. 

-

Usai salat magrib aku mulai berdandan dan mematut diriku di depan cermin. Gamis polos biru langit dengan kerudung menjuntai sampai menutupi bokong. Tepat pukul tujuh aku berangkat menggunakan taksi Online.

Jarak tempat Restoran favorit kami tidak jauh, hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai ke sana. Menghampiri salah satu pelayan di sana yang sudah siap menyambutku.

“Atas nama Juanda Salim.” Pelayan itu mengangguk dan mengarahkanku ke tempat yang telah dipesan oleh mas Juan sebelumnya.

“Silakan Bu,” ucap pelayan wanita yang belum kutahu namanya.

“Terima kasih.”

Tak lama pelayan datang membawakan hidangan favorit kami yang ternyata juga sudah dipesan oleh suamiku.

Aku menatap gawai, melihat jam di handphone sudah menunjukkan pukul delapan, tapi mas Juan belum datang juga. Rasa khawatir mulai memenuhi perasaanku.

Setengah jam berlalu. Akhirnya kucoba telepon. Namun nomornya tidak aktif, terus kucoba hingga puluhan kali tetap tak aktif. Apa mas Juan lupa dengan janjinya? Tidak, tidak mungkin.

 Aku berusaha untuk terus berpikir positif. Mas Juan adalah tipe pria yang selalu menepati janji.

“Maaf Bu. Restoran sudah mau tutup,” ucap  pelayan yang menyadarkanku dari lamunan.

“Ah iya. Memang ini pukul berapa Mas?” tanyaku.

“Sepuluh malam.” Jawabnya.

“Bolehkah saya menunggu suami saya sebentar lagi di sini?” pintaku, yang masih yakin bahwa mas Juan akan segera datang.

Ia terlihat sedang menimbang.

“Baiklah, selagi kami beres-beres ibu boleh tunggu suaminya." Aku mengangguk masih terus berharap mas Juan datang.

Mas Juan, ke mana kamu mas? Apa kamu lupa dengan janji kamu sendiri? bisik batinku. Aku kembali menghubungi nomornya. Namun, hasilnya tetap sama tidak aktif.

Setengah jam kemudian.

“Bu, waktunya kami tutup Restoran.”

“Oh, iya. Kalau begitu mana tagihannya?” ucapku lemas.

“Ini Bu.” Ia menyodorkan nota tagihan makanan yang sudah dipesan mas Juan yang belum dibayar.

“Baik, terima kasih.” usai membayar, aku berdiri dan hendak melangkah pergi. Namun, si pelayan tadi memanggilku kembali.

"Bu, ini makanannya enggak di bungkus?” tanyanya menunjuk hidangan spesial di atas meja.

Aku tersenyum. “Enggak usah Mas, saya sudah tidak lapar lagi.” Aku berlalu melanjutkan langkahku yang sempat tertunda tadi. Meninggalkan Restoran dengan wajah kusut dan hati yang kecewa.

Aku memesan taksi Online yang masih beroperasi di malam hari. Tanpa terasa aku meneteskan air mata yang sedari tadi kutahani.

Setelah tiba di rumah, aku menatap bingung saat menemukan mobil mas Juan terparkir di halaman.

Bukankah tadi siang ia berkata akan langsung ke restoran, tapi kenapa sekarang suamiku ada di rumah. Apa mungkin mas Juan pulang dulu?

Untuk menjawab kebingunganku dengan cepat aku masuk ke dalam rumah—membuka pintu yang tak terkunci, seketika mataku terbelalak menyaksikan apa yang terjadi di sana.

Tanpa kata aku bergegas masuk dan menarik perempuan yang bersandar manja di dada bidang mas Juan. Melempar tubuh Mala agar menjauh dari suamiku.

Perempuan itu menjerit kesakitan, saat tubuhnya mendarat di lantai.

Aku menatap suamiku yang masih tergeletak di atas sofa dengan kesadaran yang timbul tenggelam.

Mengguncang tubuhnya, agar ia terbangun. Namun, mas Juan hanya merespons lirih sambil memegangi kepalanya. Kemudian mataku menemukan gelas kosong di atas meja. Kuraih dan menciumnya, bau alkohol yang menyengat membuatku meringis.

Suamiku bukan peminum dan tidak akan pernah menyentuh barang haram itu. Aku tahu bagaimana mas Juan. Ketika masih menjadi sekretarisnya dulu, pria itu selalu menghindari minuman ink. Dari sana aku dapat menyimpulkan jika dirinya memang bukanlah peminum.

“Apa yang kamu lakukan pada suamiku? Hah!” teriakku pada Mala, “jawab!” aku membentaknya.

Perempuan itu tersenyum mengejek, membuatku semakin geram dibuatnya.

“Aku hanya ingin bersenang-senang dengan suamimu, mbak.” Ia menjawab dengan nada menyebalkan, membuatku kalap dan refleks menamparnya, hingga sudut bibirnya berdarah.

Mala menyeringai, kemudian ia balik menamparku. Tentu saja itu membuat diriku semakin kalap. Dan akhirnya terjadi perseteruan di antara kami.

Karena tubuh Mala lebih kecil dari postur tubuhku yang lebih tinggi dan berisi. Aku pun berhasil menjatuhkannya. Ia tersungkur kembali di lantai, sambil meraung kesakitan. Rasakan!

“Panas,” lirih mas Juan membuatku menoleh padanya. Panas? Apa maksudnya? Aku langsung menggandeng tubuh tegapnya ke kamar.

Sampai di kamar ia masih terus merancau kepanasan. Kemudian aku menggandengnya membawa mas Juan masuk ke kamar mandi dan mengguyurnya dengan air dingin. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status