Kejadian semalam membuatku benar-bebar tak bisa tinggal diam. Aku menyalakan laptop. Memeriksa CCTV dan menunjukkannya pada mas Juan. Ia terlihat menahan marah agar tidak meledak.
“Kamu sadar enggak sih. Perbuatan kamu itu hampir saja membuat mas Juan melakukan zina!” bentakku.
“Maaf Mbak, Mas. Aku khilaf,” ucapnya terisak.
“Apa? Khilaf katamu?” ucapku semakin geram mendengar penyesalannya yang di buat-buat.
Mas Juan menyentuh pundakku mencoba menenangkan. Agar tak bertindak kasar pada adik angkatnya itu.
“Mas benar-benar kecewa sama kamu Mala.” Mas Juan mulai angkat suara. “Sebaiknya kamu kembali ke rumah Mama,” putusnya.
“Apa? Mas aku enggak mau kembali ke rumah itu. Apa Mas lupa, Mas janji akan selalu menjagaku sampai kapan pun,” protes Mala. “Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?” ungkapnya, membuatku terkejut.
Apa? Cinta?
Seolah ingin menjawab keterkejutanku. Mala tersenyum licik.
“Kenapa Mbak? Kamu belum tahu apa yang selama ini disembunyikan oleh suami tercintamu ini?” ucapnya mengejek.
“Mala. Cukup!” bentak mas Juan.
Bukannya diam perempuan itu justru kembali berucap, “mas Juan itu tidak cinta sama kamu mbak.”
“Mala!” kembali mas Juan membentaknya.
Mala tak menghiraukan mas Juan, ia terus menceritakan apa yang terjadi di antara mereka selama ini. Ternyata Mala dan suamiku dulu saling mencintai, mereka sempat meminta restu pada almarhum mertuaku untuk menikah. Namun, keinginan mereka tak di restui, dengan alasan Mala bukan dari kalangan orang berada.
Ibu mas Juan mengangkatnya sebagai anak hanya karena ia kasihan melihat Mala hidup sebatang kara di jalanan. Membesarkan perempuan itu tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan terpandang.
Mendengar pengakuan Mala barusan. Aku jadi sangsi mempertanyakan perasaan mas Juan selama ini padaku. Pantas saja ia tak pernah mau mengucapkan kata cinta padaku. Mungkin, karena cintanya hanya untuk perempuan itu.
Aku menatap mas Juan, meminta penjelasan darinya. Ia menggelengkan kepalanya seraya memintaku agar tak percaya dengan apa yang di katakan oleh Mala.
“Selesaikan urusan kalian berdua. Jika kalian masih saling mencintai kutunggu surat ceraimu, Mas.” Aku berdiri hendak pergi dari hadapan keduanya.
“Ras.” Mas Juan meraih lenganku. Aku menoleh dengan mata berkaca-kaca, menekan rasa kecewa pada pria di hadapanku ini.
“Ras, dengarkan penjelasanku dulu,” mohonnya.
“Sudahlah Mas, mengaku saja jika semua itu benar. Bahkan sampai sekarang pun kau belum bisa melupakanku, benar kan?” sela Mala memprovokasi.
“Diam kamu Mala! Jangan melebih-lebihkan apa yang sebenarnya terjadi!” bentak mas Juan dengan tangan mengepal.
Entahlah, siapa yang harus aku percaya. Saat ini aku merasa menjadi orang bodoh di depan mereka.
Kepalaku terasa berdenyut nyeri, begitu pun dengan pandangan yang mulai berkunang-kunang. Setelah itu gelap.
***
Aku terbangun menatap ke sekeliling ruangan tembok bercat putih. Terlihat Mas Juan duduk di samping dan tersenyum menatap ke arahku.
“Sayang, syukurlah kamu sudah siuman?” Mas Juan meraih telapak tanganku, yang tak terpasang infus. Sementara sebelahnga lagi mengusap lembut kepalaku yang tertutup hijab.
Aku bergeming mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelumnya.
Ulu hatiku berdenyut nyeri saat mengingat kembali apa yang dikatakan Mala soal perasaan mas Juan terhadapku. Aku merasa seperti wanita bodoh yang berdiri di antara mereka yang saling mencinta. Apa lebih baik kuakhiri saja pernikahan ini.
Ya Tuhan semakin aku memikirkannya, kepala ini rasanya mau pecah.
Aku menoleh saat pintu terbuka menampilkan sosok wanita yang telah melahirkan dan mendidikku dengan baik.
“Sayang, bagaimana, sudah baikkan?” tanyanya mengusap lembut kepalaku. Aku tersenyum mengangguk dan memeluknya.
Rasanya ingin sekali aku menangis dan mengatakan semua kekesalanku terhadap mas Juan. Namun, aku tak bisa melibatkan orang tuaku dalam hal ini. Sebaiknya memang mereka tak perlu tahu dulu dengan apa yang terjadi pada putrinya.
Setelah puas memeluk bunda, aku pun melepasnya.
“Kenapa, Ras. Kayaknya kamu kangen banget sama Bunda.” Bunda berucap sembari mengusap kepalaku sayang.
Kemudian bunda menyodorkan Paper bag restoran ternama di hadapan mas Juan.
“Ambillah, kamu belum makan dari tadi siang,” ucap bunda tersenyum ramah. Mas Juan mengangguk dan mengambilnya. Pria itu membuka kotak makanan dan menyantapnya dengan lahap.
“Bunda?” panggilku lirih. Bunda meraih tanganku yang terpasang selang infus.
“Aku ingin pulang ke rumah bunda ya besok?” ucapku pada wanita yang masih cantik di usia setengah abad itu. Beliau mengerutkan keningnya heran.
“Loh, kenapa?” Tanyanya kemudian menatap ke arahku dan mas Juan bergantian.
“Sayang, enggak boleh begitu. Dalam keadaan apa pun seorang istri harus tetap berada di samping suaminya.” Bunda mulai menyampaikan petuahnya. Kemudian ia berpamitan keluar. Memberikan waktu untukku dan mas Juan bicara.
Mas Juan mendekat, meraih tanganku kembali. Namun, kutepis. Aku memalingkan wajah ke samping, malas untuk beradu pandang dengannya.
Terdengar helaan napas lelah dari mulutnya. “Tolong kasih aku waktu untuk menjelaskan semuanya,” ucapnya memohon. Namun, tak kuhiraukan.
Tak lama nada panggil gawainya berdering. Aku menoleh, ia dengan sigap mengangkat telepon.
“Waalikummussalam. Ia Bik, kenapa?” tanya mas Juan kemudian ia menekan tombol loudspeaker agar aku dapat mendengarnya.
“Tuan, non Mala Tuan.” Terdengar nada khawatir dari Bik Imah. Wanita paru baya itu ternyata sudah kembali bekerja.
“Kenapa Mala, Bik?”
“Non Mala menangis histeris Tuan. Tadi hampir saja mau bunuh diri, beruntung saya lihat dan mencegahnya.
Terlihat guratan khawatir di wajah pria yang mulai ditumbuhi bulu di bagian dagunya itu.
Ia menatapku seolah meminta persetujuan untuk pulang menemui Mala. Aku bergeming dan memalingkan wajah. Malas rasanya berurusan dengan dua orang itu.
“Ras, aku pulang dulu ya? Jika urusan Mala sudah selesai, aku janji akan segera balik ke sini lagi jemput kamu.”
“Kenapa harus minta izin dariku? Bukannya kalian memang saling peduli. Oh ralat, saling mencintai maksudku,” ketusku.
Mas Juan menghela napas frustrasi. Kemudian ia mencium keningku dan bergerak melangkah keluar. Aku menatap kepergiannya dengan nanar.
Rasa kecewa mendongkol dalam dada. Tak kuasa membendung air mata yang mulai membasahi pipi.
Tak lama bunda masuk dan menyapaku dengan senyuman khasnya. Segera aku menghapus jejak air mata ini, tak mau bunda tahu jika anaknya ini begitu rapuh.
“Sama bunda dulu ya? Juan ada urusan katanya.” Aku hanya mengangguk mengiyakan. Bunda duduk di sampingku dan membuka mushaf. Ia mulai tilawah, sungguh menyejukkan jiwa. Entah kapan terakhir kali aku membacanya. Tak lama aku mulai mengantuk dan tertidur pulas.
***
Keesokan harinya aku bersiap untuk pulang ke rumah. Bunda tak mengizinkanku menginap di rumahnya. Begitu pun dengan mas Juan, dan sekarang entah ke mana laki-laki itu. Bukannya ia sudah janji akan menjemputku.
Pikiran buruk menyelimutiku kembali. Mungkinkah ia sedang memadu kasih dengan Mala. Secara mereka itu...ah sudahlah aku benci memikirkannya.
Bunda mengantarku sampai rumah. Setelah itu ia langsung pamit karena ada urusan pekerjaan di toko miliknya.
“Bik,” panggilku pada wanita paruh baya itu. Ia menoleh dan segera mendekat padaku.
“Iya Nyonya?” tanyanya.
“Tuan, ke mana?” aku bertanya sambil menuangkan air ke dalam gelas, dan meneguknya perlahan.
“Tuan sama non Mala tadi pagi-pagi sekali pergi. Katanya mau ke ski...ski apa ya tadi?” ucapnya dengan jari telunjuk yang di tempelkan di dagunya.
“Psikiater?” jawabku.
“Ho, oh, itu maksudnya.”
Mas Juan benar-benar di bodohi oleh perempuan itu. Lihat saja nanti akan kubongkar semua kedokmu Mala.
Terdengar suara deruman mobil di depan, sepertinya mereka sudah kembali. Aku lekas beranjak menuju depan untuk menyambut kepulangan mereka.
Kuintip mereka di balik jendela, oh, sungguh menjijikkan!
Terlihat Mala bergelayut manja di lengan mas Juan. Sementara mas Juan hanya diam saja. Awas kamu!
Aku berlari duduk di sofa dan berpura-pura membaca majalah yang tergeletak di atas meja.
“Sayang, kamu sudah sampai rumah?” tegur mas Juan. Aku menoleh dan menampilkan senyum terbaikku.
Kuletakan majalah ke atas meja dan beranjak menyambutnya.
Aku menghampirinya, menarik lengan mas Juan dari tangan Mala dengan sedikit mendorongnya. Ia terjengkang dan mengaduh.
“Oh, maaf,” ucapku meliriknya tajam.
“Ayo sayang. Kita ke kamar aku kangen sama kamu,” ucapku sembari mengerling nakal pada mas Juan.
Ia pun tersenyum, kemudian meletakkan lengannya di pinggangku. Menggiringku menuju kamar.
Aku menoleh menatap Mala yang kini terlihat menahan marah sembari mengentakkan kakinya.
Aku terbangun saat mendengar suara mas Juan berbicara dengan seseorang di telepon.“Iya Mas segera ke sana,” ucapnya lalu menutup gawainya dan meletakkannya di atas nakas.“Siapa Mas?” tanyaku.“Mala. Dia bilang katanya minta di temani sebentar. Sepertinya ia mulai ketakutan lagi,” jelas mas Juan.“Mas tunggu!” panggilku. Mas Juan menghentikan langkahnya dan menoleh padaku heran.“Ada apa?” tanyanya yang masih berdiri di depan pintu.“Biar aku saja yang menemani Mala, Mas lanjut tidur lagi.” Aku menawarkan diri. Mas Juan terlihat menimbang dan akhirnya ia mengangguk.“Baiklah.” Kembali ia merebahkan diri di kasur.Aku tersenyum menyeringai. Lihat saja Mala, akan kubuat kau menyesal.Aku mengetuk pintu bercat cokelat itu perlahan dan tak lama pintu terbuka. Ah, cepat sekali dia. Sepertinya memang ia sudah siap menggoda suamiku.Mata
Aku membuka mata perlahan, kepala masih terasa pusing, saat Mencoba mengiat-ingat kembali apa yang telah terjadi padaku.Handphone-ku? Aku panik ketika otakku mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku dibekap tadi.Aku bangun dari tempat tidur dan mencari benda pipih itu. Pintu terbuka menampilkan tubuh tegap mas Juan dengan wajah datar. Rahangnya mengeras seolah ia tengah menahan amarah.Perasaanku mulai tak enak, aku merasa akan terjadi sesuatu yang buruk.Mas Juan melangkah perlahan mendekat padaku dan seketika kedua tangan kekarnya menarik lenganku kuat. Sehingga membuat diriku meringis kesakitan.“Apa yang sudah kau lakukan dengan pria itu. Hah!” Teriaknya, tepat di depan wajahku. Tatapannya begitu tajam menusuk ke dalam mataku.“Ini, yang kamu cari. Hah!” mas Juan menunjukkan gawai milikku di tangannya.Saat hendak meraihnya, mas Juan menarik
Bau obat menyergap di penciumanku, saat aku tersadar dengan kepala yang masih terasa berdenyut nyeri.“Sudah sadar.” Aku menoleh pada sumber suara. Wanita berhijab dengan jas putih itu tersenyum ramah padaku.Melirik sebelah kiri mas Juan diam tanpa kata. Terlihat wajahnya seperti menahan amarah. Entahlah apa lagi yang terjadi, setelah aku pingsan tadi. Aku benar-benar sudah pasrah.“Selamat ya Bu. Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ibu,” ucap dokter tersenyum ramah.Sungguh aku bahagia mendengar berita yang selama ini sangat dinantikan. Setahun lebih kami menunggu kehadiran sang buah hati, dan akhirnya Allah mengabulkannya.Tak terasa aku menitikkan air mata haru. Mengelus perut yang masih rata, sembari mengucapkan kalimat hamdalah.“Ayo kita pulang!” ucap mas Juan tiba-tiba dengan wajah datar. Apa dia tidak bahagia? Bukankah ia juga begitu mengharapkan anak selama ini.Aku mengangguk mengiyakan, lalu ia membantuku
Keesokan harinya aku terbangun masih dengan morning sickness yang luar biasa. Bolak-balik kamar mandi. Kebetulan memang di rumah bunda yang sederhana setiap kamar tidak memiliki toilet, tak seperti di rumah mas Juan. Karena merasa lelah kuletakan bokong di kursi meja makan. Ternyata seperti ini rasanya mengidam yang sering para wanita bersuami keluhkan. Aku menelungkup kan wajah di atas meja dengan di topang kedua tangan.Tubuhku rasanya lemas sekali, ditambah kepala pusing dan mual yang tiada berkesudahan.“Minumlah, ini bisa mengurangi sedikit rasa mualmu,” kata bunda menyodorkan segelas teh lemon hangat dengan madu di hadapanku.Aku mengangkat kepala, meraihnya lantas meminumnya perlahan. Benar saja, rasa mual sedikit berkurang, bunda memang terbaik.Bunda tersenyum melihat perubahan raut wajahku yang terlihat lega. Mengelus kepala ini yang tak tertutup hijab saat di dalam rumah, karena tak ada pria yang buka mahram di sini
“Jangan sembarangan menerima ajakan pria yang bukan mahram, apalagi memberikan nomor, ingat! kamu itu wanita bersuami.” Peringat bunda, wanita itu terus mengoceh saat kami sudah berada di dalam jok penumpang. Untunglah taksi yang kami pesan tadi cepat datang sehingga kami tidak harus menunggu sambil kepanasan di depan rumah sakit. “Iya, Bun. Tadi Laras hanya menghormatinya saja. Lagi pula belum tentu kan kita bertemu lagi dengan David,” sambungku sembari memijat kening yang mulai terasa pusing kembali. “Dia pria yang dulu ayahmu ceritakan itu, bukan?” tanya bunda memastikan. “Iya.” Aku tak percaya bunda masih ingat dengan David. Pria dulu pernah mengutarakan cinta di depan ayah yang pada saat itu menjemputku di sekolah. “Hati-hati, jangan di respons kalau pria itu kembali menghubungi kamu. Ingat kamu sudah bersuami, dan Juan masih jadi menantu kesayangan Bunda!” putusnya sewot, jika
Berkali-kali aku menguap, rasanya sangat mengantuk. Padahal, masih pukul sembilan pagi. Hamil membuatku ingin rebahan terus.“Mau ngapain?” tegur bunda cepat, usai melayani pelanggan.“Rebahan, Laras ngantuk.” Aku langsung menempelkan kepala di atas sofa panjang yang di sediakan bunda untuk pelanggan yang biasa menunggu pesanan.“Masih pagi, jangan di biasakan, enggak baik buat janin.” Bunda menarik lenganku supaya bangun.“Bunda ....” rengekku, karena sudah sangat mengantuk.“Ayo, bangun, bergerak bantu Lela sama Darmi di belakang sana!” Beliau menggiringku ke dapur tempat membuat aneka kue tradisional.Bunda memiliki usaha toko kue tradisional sejak aku masih SMP. Kue- kue buatannya sudah terkenal enak dan terjangkau. Dan para pelanggannya pun sudah banyak bahkan sudah mencapai luar kota. Sesampainya di tempat khusus memproduksi kue-kue, bunda menyuruh kedua bawahannya memberiku pekerjaan.“Darmi, Lela, kasih Laras kerjaan!” titahnya pada kedua wanita yang tengah membungkus lemper.
"Kenapa, kita ke sini?" tanyaku, saat mobil mas Juan berhenti di depan perusahaannya."Memangnya kau mau diberondong sejuta pertanyaan oleh bunda, jika aku antar ke rumah?" Jawabnya. Benar juga, tadi kan aku bilang ke bunda mau pergi ke rumah teman dan akan pulang sore. Jika, pulang sekarang bisa curiga, apalagi di antar mas Juan. Ah, tak bisa dibayangkan mulut manis bunda nyerocos sepanjang jalan kenangan nanti."Eh, Bu Laras, lama enggak ketemu. Apa kabar, Bu?” sapa pak Yanto security di perusahaan mas Juan, usai membukakan pintu mobil untukku.Aku mengangguk tersenyum ramah padanya. "Baik, Pak. Kalau Pak Yanto sendiri bagaimana kabarnya?""Alhamdulillah, saya teh selalu diberikan kesehatan sama Allah," jawabnya melempar senyum padaku."Ekhm!" Deheman mas Juan tiba-tiba membuat pria berkumis itu seketika wajahnya berubah tegang. Kemudian menunduk hormat."Parkiran mobil saya, jangan sampai lecet seperti kemarin, jika itu terjadi kembali, maka bukan hanya gaji kamu yang saya potong,
Aku terbangun dari tidur. Menatap jam dinding pukul empat pagi. Lantas kepalaku menoleh ke samping di mana Laras masih tertidur lelap. Aku tersenyum menatapnya. Lantas bergerak mengecup bibirnya yang tak pernah berhenti mengoceh. Namun, menjadi candu bagiku. Laras bergerak, karena merasa terusik dengan perbuatanku barusan.Selimut yang membalut tubuhnya sedikit terbuka karena pergerakannya. Aku menarik kembali dan membenahi. Menutup tubuh polosnya yang di penuhi tanda merah hasil karyaku.Kemarin, saat setelah perdebatan kami yang tak pernah berujung. Akhirnya aku mengalah dan membawa Laras makan malam romantis di salah satu restoran favorit kami. Lantas menginap di hotel dan menghabiskan malam indah bersama istriku. Anggap saja sebagai pengganti dinner yang gagal tempo lalu, karena ulah Mala yang waktu itu memintaku untuk menemaninya sebentar yang ternyata ia menjebakku.Mala memberiku jus yang ternyata sudah diberikan obat perangsang. Bukan hanya itu saja bahkan ia pun mencekoki ak