Share

Bab 3 Kebenaran Apa Ini?

Kejadian semalam membuatku benar-bebar tak bisa tinggal diam. Aku menyalakan laptop. Memeriksa  CCTV dan menunjukkannya pada mas Juan. Ia terlihat menahan marah agar tidak meledak.

“Kamu sadar enggak sih. Perbuatan kamu itu hampir saja membuat mas Juan melakukan zina!” bentakku.

“Maaf Mbak, Mas. Aku khilaf,” ucapnya terisak.

“Apa? Khilaf katamu?” ucapku semakin geram mendengar penyesalannya yang di buat-buat.

Mas Juan menyentuh pundakku mencoba menenangkan. Agar tak bertindak kasar pada adik angkatnya itu. 

“Mas benar-benar kecewa sama kamu Mala.” Mas Juan mulai angkat suara. “Sebaiknya kamu kembali ke rumah Mama,” putusnya.

“Apa? Mas aku enggak mau kembali ke rumah itu. Apa Mas lupa, Mas janji akan selalu menjagaku sampai kapan pun,” protes Mala. “Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?” ungkapnya, membuatku terkejut.

Apa? Cinta?

Seolah ingin menjawab keterkejutanku. Mala tersenyum licik.

“Kenapa Mbak? Kamu belum tahu apa yang selama ini disembunyikan oleh suami tercintamu ini?” ucapnya mengejek.

“Mala. Cukup!” bentak mas Juan. 

Bukannya diam perempuan itu justru kembali berucap, “mas Juan itu tidak cinta sama kamu mbak.”

“Mala!” kembali mas Juan membentaknya.

Mala tak menghiraukan mas Juan, ia terus menceritakan apa yang terjadi di antara mereka selama ini. Ternyata Mala dan suamiku dulu saling mencintai, mereka sempat meminta restu pada almarhum mertuaku untuk menikah. Namun, keinginan mereka tak di restui, dengan alasan Mala bukan dari kalangan orang berada.

Ibu mas Juan mengangkatnya sebagai anak hanya karena ia kasihan melihat Mala hidup sebatang kara di jalanan. Membesarkan perempuan itu tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan terpandang.

Mendengar pengakuan Mala barusan. Aku jadi sangsi mempertanyakan perasaan mas Juan selama ini padaku. Pantas saja ia tak pernah mau mengucapkan kata cinta padaku. Mungkin, karena cintanya hanya untuk perempuan itu.

Aku menatap mas Juan, meminta penjelasan darinya. Ia menggelengkan kepalanya seraya memintaku agar tak percaya dengan apa yang di katakan oleh Mala.

“Selesaikan urusan kalian berdua. Jika kalian masih saling mencintai kutunggu surat ceraimu, Mas.” Aku berdiri hendak pergi dari hadapan keduanya.

“Ras.” Mas Juan meraih lenganku. Aku menoleh dengan mata berkaca-kaca, menekan rasa kecewa pada pria di hadapanku ini.

“Ras, dengarkan penjelasanku dulu,” mohonnya.

“Sudahlah Mas, mengaku saja jika semua itu benar. Bahkan sampai sekarang pun kau belum bisa melupakanku, benar kan?” sela Mala memprovokasi.

“Diam kamu Mala! Jangan melebih-lebihkan apa yang sebenarnya terjadi!” bentak mas Juan dengan tangan mengepal.

Entahlah, siapa yang harus aku percaya. Saat ini aku merasa menjadi orang bodoh di depan mereka.

Kepalaku terasa berdenyut nyeri, begitu pun dengan pandangan yang mulai berkunang-kunang. Setelah itu gelap.

 ***

 Aku terbangun menatap ke sekeliling ruangan tembok bercat putih. Terlihat Mas Juan duduk di samping dan tersenyum menatap ke arahku.

“Sayang, syukurlah kamu sudah siuman?” Mas Juan meraih telapak tanganku, yang tak terpasang infus. Sementara sebelahnga lagi mengusap lembut kepalaku yang tertutup hijab.

 Aku bergeming mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelumnya.

Ulu hatiku berdenyut nyeri saat mengingat kembali apa yang dikatakan Mala soal perasaan mas Juan terhadapku. Aku merasa seperti wanita bodoh yang berdiri di antara mereka yang saling mencinta. Apa lebih baik kuakhiri saja pernikahan ini.

Ya Tuhan semakin aku memikirkannya, kepala ini rasanya mau pecah.

Aku menoleh saat pintu terbuka menampilkan sosok wanita yang telah melahirkan dan mendidikku dengan baik.

“Sayang, bagaimana, sudah baikkan?” tanyanya mengusap lembut kepalaku. Aku tersenyum mengangguk dan memeluknya.

Rasanya ingin sekali aku menangis dan mengatakan semua kekesalanku terhadap mas Juan. Namun, aku tak bisa melibatkan orang tuaku dalam hal ini. Sebaiknya memang mereka tak perlu tahu dulu dengan apa yang terjadi pada putrinya.

Setelah puas memeluk bunda, aku pun melepasnya.

“Kenapa, Ras. Kayaknya kamu kangen banget sama Bunda.” Bunda berucap sembari mengusap kepalaku sayang.

Kemudian bunda menyodorkan Paper bag restoran ternama di hadapan mas Juan.

“Ambillah, kamu belum makan dari tadi siang,” ucap bunda tersenyum ramah. Mas Juan mengangguk dan mengambilnya. Pria itu membuka kotak makanan dan menyantapnya dengan lahap.

“Bunda?” panggilku lirih. Bunda meraih tanganku yang terpasang selang infus.

“Aku ingin pulang ke rumah bunda ya besok?” ucapku pada wanita yang masih cantik di usia setengah abad itu. Beliau mengerutkan keningnya heran.

“Loh, kenapa?” Tanyanya kemudian menatap ke arahku dan mas Juan bergantian.

“Sayang, enggak boleh begitu. Dalam keadaan apa pun seorang istri harus tetap berada di samping suaminya.” Bunda mulai menyampaikan petuahnya. Kemudian ia berpamitan keluar. Memberikan waktu untukku dan mas Juan bicara.

Mas Juan mendekat, meraih tanganku kembali. Namun, kutepis. Aku memalingkan wajah ke samping, malas untuk beradu pandang dengannya.

Terdengar helaan napas lelah dari mulutnya. “Tolong kasih aku waktu untuk menjelaskan semuanya,” ucapnya memohon. Namun, tak kuhiraukan.

Tak lama nada panggil gawainya berdering. Aku menoleh, ia dengan sigap mengangkat telepon.

“Waalikummussalam. Ia Bik, kenapa?” tanya mas Juan kemudian ia menekan tombol loudspeaker agar aku dapat mendengarnya.

“Tuan, non Mala Tuan.” Terdengar nada khawatir dari Bik Imah. Wanita paru baya itu ternyata sudah kembali bekerja.

“Kenapa Mala, Bik?”

“Non Mala menangis histeris Tuan. Tadi hampir saja mau bunuh diri, beruntung saya lihat dan mencegahnya.

Terlihat guratan khawatir di wajah pria yang mulai ditumbuhi bulu di bagian dagunya itu.

Ia menatapku seolah meminta persetujuan untuk pulang menemui Mala. Aku bergeming dan memalingkan wajah. Malas rasanya berurusan dengan dua orang itu.

“Ras, aku pulang dulu ya? Jika urusan Mala sudah selesai, aku janji akan segera balik ke sini lagi jemput kamu.”

“Kenapa harus minta izin dariku? Bukannya kalian memang saling peduli. Oh ralat, saling mencintai maksudku,” ketusku.

Mas Juan menghela napas frustrasi. Kemudian ia mencium keningku dan bergerak melangkah keluar. Aku menatap kepergiannya dengan nanar.

Rasa kecewa mendongkol dalam dada. Tak kuasa membendung air mata yang mulai membasahi pipi.

Tak lama bunda masuk dan menyapaku dengan senyuman khasnya. Segera aku menghapus jejak air mata ini, tak mau bunda tahu jika anaknya ini begitu rapuh.

“Sama bunda dulu ya? Juan ada urusan katanya.” Aku hanya mengangguk mengiyakan. Bunda duduk di sampingku dan membuka mushaf. Ia mulai tilawah, sungguh menyejukkan jiwa. Entah kapan terakhir kali aku membacanya. Tak lama aku mulai mengantuk dan tertidur pulas.

 ***

Keesokan harinya aku bersiap untuk pulang ke rumah. Bunda tak mengizinkanku menginap di rumahnya. Begitu pun dengan mas Juan, dan sekarang entah ke mana laki-laki itu. Bukannya ia sudah janji akan menjemputku.

Pikiran buruk menyelimutiku kembali. Mungkinkah ia sedang memadu kasih dengan Mala. Secara mereka itu...ah sudahlah aku benci memikirkannya.

Bunda mengantarku sampai rumah. Setelah itu ia langsung pamit karena ada urusan pekerjaan di toko miliknya.

“Bik,” panggilku pada wanita paruh baya itu. Ia menoleh dan segera mendekat padaku.

“Iya Nyonya?” tanyanya.

“Tuan, ke mana?” aku bertanya sambil menuangkan air ke dalam gelas, dan meneguknya perlahan.

“Tuan sama non Mala tadi pagi-pagi sekali pergi. Katanya mau ke ski...ski apa ya tadi?” ucapnya dengan jari telunjuk yang di tempelkan di dagunya.

“Psikiater?” jawabku.

“Ho, oh, itu maksudnya.”

Mas Juan benar-benar di bodohi oleh perempuan itu. Lihat saja nanti akan kubongkar semua kedokmu Mala.

Terdengar suara deruman mobil di depan, sepertinya mereka sudah kembali. Aku lekas beranjak menuju depan untuk menyambut kepulangan mereka.

Kuintip mereka di balik jendela, oh, sungguh menjijikkan!

Terlihat Mala bergelayut manja di lengan mas Juan. Sementara mas Juan hanya diam saja. Awas kamu!

Aku berlari duduk di sofa dan berpura-pura membaca majalah yang tergeletak di atas meja.

“Sayang, kamu sudah sampai rumah?” tegur mas Juan. Aku menoleh dan menampilkan senyum terbaikku.

Kuletakan majalah ke atas meja dan beranjak menyambutnya.

Aku menghampirinya, menarik lengan mas Juan dari tangan Mala dengan sedikit mendorongnya. Ia terjengkang dan mengaduh.

“Oh, maaf,” ucapku meliriknya tajam.

“Ayo sayang. Kita ke kamar aku kangen sama kamu,” ucapku sembari mengerling nakal pada mas Juan.

Ia pun tersenyum, kemudian meletakkan lengannya di pinggangku. Menggiringku menuju kamar.

Aku menoleh menatap Mala yang kini terlihat menahan marah sembari mengentakkan kakinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status