Share

Bab 5. Minta Cerai

           Siska turun dari kasurnya lalu menjatuhkan diri di lutut Ilham lagi seperti tadi malam lalu, memeluknya dengan erat dan menangis sejadi-jadinya.             

          "Siska apa yang kamu lakukan? Ayo berdiri!" Ilham segera mengangkat bahu Siska untuk bangun tapi istrinya itu enggan dan tetap memilih untuk berlutut di hadapannya.

          "Aku ngga sanggup di madu, Mas, ngga sanggup. Lebih baik ceraikan saja aku, Mas! Aku ngga kuat jika harus satu atap dengan maduku itu. Ng-ngga kuat, Mas."

         Siska meratap pilu, menangis tersedu-sedu dan memohon agar ia segera di jauhkan dari wanita yang telah membuat keluarganya yang dulu bahagia dan penuh dengan kehangatan dari suaminya kini berubah menjadi neraka hanya dalam satu malam saja.

         "Ngga! Sampe kapan pun Mas ngga akan ceraikan kamu."

         "Egois sekali kamu, Mas!"

         "Dengar ya, Mas!" kata Siska dengan air mata yang lagi-lagi mengucur dengan sendirinya, "selama dia di sini, aku ngga akan bahagia sedikit pun, aku ngga bisa tenang, Mas."

         "Tapi, Sayang." Ilham meraih tangan Siska dan menggenggamnya erat, "dia adalah istriku yang posisinya dalam agama sama seperti denganmu, Mas harus bagaimana?"

          "Minimal pindahkan dia dari rumah ini! Karena sejujurnya aku ngga akan kuat bertahan Mas, jadi ceraikan saja aku! Biarlah aku yang mengalah dan Mas bisa hidup bahagia pindah dari rumah ini dan membangun hidup baru," terang Siska.

         "Tapi kan, ini rumah Mas juga," jawabnya manja dan merayu Siska.

         "Ini rumah yang kita bangun dengan mimpi dan harapan agar kita berbahagia hingga hari tua. Andai Mas mengatakan rumah ini akan dibagi untuk tiga orang dan satu ranjang, aku tidak akan setuju dari awal, Mas," desis Siska dengan suara yang nyaris tenggelam karena terlalu lelah bersedih.

        "Dengar sayang! Kalau terus-terusan begini kamu bisa sakit dan drop, kumohon!" Ilham menatap Siska serius.

        "Kalau kamu memang peduli dengan kesehatanku, tentu kamu tidak akan pernah membawa wanita itu ke rumah kita ini. Kamu ngga akan menghianatiku, Mas!"

        "Hey, Sayang aku tidak pernah menghianatimu, aku begitu mencintaimu, kau tau posisiku amat sulit, ayahnya ingin putrinya menikah saat itu juga karena keadaanya sudah diujung maut dan aku lah penyebabnya, jadi aku merasa bersalah dan harus bertanggung jawab dengan cara menikahi putrinya saat itu juga. Aku tak bermaksut menghianatimu, karena sungguh.... aku sangat mencintaimu," bujuk Ilham sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Siska.

         "Tidak mungkin bisa berkumpul dua cinta dalam satu hati, Mas."

         "Karena sesungguhnya aku lebih mencintaimu," bisik Ilham.

         "Jangan bohong!" Siska berusaha mendorong wajahnya.

         "Demi Allah, Siska," kata Ilham.

          Pintu diketuk dan wanita itu muncul dari balik daun pintu menggunakan gamis berwarna merah muda dengan jilbab lebar menjulur ke depan menutup dada. Wajahnya terlihat segar dan anggun sekali, ketika manik matanya bersitatap dengan Ilham ada rona halus yang tergurat di pipinya, ia menunduk dengan penuh rasa cinta dan hormat pada suaminya yang tentu saja juga suami Siska itu.

         Jujur saja hati Siska perih, ia tak sanggup, Siska membenci wanita itu. Walaupun tidak pernah bertindak zhalim, tapi tetap saja Siska sangat membencinya keberadaannya.

         "Ada apa, Nabila?" tanya Ilham.

         "Sarapannya udah siap, Mas." Nada suaranya begitu lembut.

         "Baik, kamu makan saja duluan, aku akan menemani Bunda Aqila," jawab Ilham.

         "Tidak apa, saya akan menunggu, Mas," jawabnya juga tak menyerah.

         "Tidak usah menunggu, makan saja lebih dulu," jawab Ilham dan wanita itu pun berlalu.

         "Aku ngga bisa, Mas, aku ngga bisa." tangisnya kembali pecah seraya menggelengkan kepalanya.

        "Bunda, Aqila lapar," kata putri kecil mereka sambil menarik lengan Siska.

        "Aqila makan sama Ayah, ya."

        "Bunda kenapa nangis terus?"

        "Ngga apa, Sayang. Makan sama Ayah, ya."

           Ilham meraih Aqila lalu menggendongnya dan diajak sarapan, sedangkan Siska, ia sendiri tertinggal sedih di dalam rumah sendiri. Ia merasa semua kebahagiannya seketika menjadi kelam, harinya suram dan hidupnya menjadi menderita.

           Sungguh tak sanggup ia menghadapi semua ini.

          Siska belum bisa menerima kenyataan pahit ini, ia mengintrupsi keputusan Tuhan untuk menghadirkan wanita lain di rumah ini. Sejatinya cinta suci tak memiliki tempat bagi orang ketiga, namun semuanya terjadi tanpa ia sadari. Ia merasa begitu bodoh dan polos tidak menyadari muslihat suaminya yang diam-diam menikah lagi.

          "Ya Allah, hamba tidak mau. Hamba tidak sanggup, Ya Allah. Walau Engkau bersabda bahwa sabar itu indah, sungguh hamba tak sanggup menjalani keindahan yang menyakitkan ini."

         Tubuhnya terasa gemetar dan dingin, ia kembali merasakan denyutan yang cukup kencang di kepalanya sampai telinganya pun ikut berdenging.

        "Arghhh, sakit sekali kepalaku." Siska memejamkan kedua matanya sambil meminjat pelan di bagian keningnya.

        "Mungkin karena dari kemarin perutku belum terisi oleh apa pun, makanya aku jadi pusing gini."

         Ia mengambil piring berisikan nasi putih, capcay dan ikan laut goreg yang telah dibawakan oleh suaminya tadi.

         "Aku harus makan, ini demi putriku. Jika aku sakit dan sampai kehilangan nyawaku karena terlalu tak mampu menghadapi semua ini pasti wanita itu akan merasa sangat bahagia dan merasa telah menang." Siska tersenyum getir mengingat wajah cantik dan lugu dari wanita yang membuat hidupnya menjadi pahit.

         Baru saja ia hendak membuka mulutnya tiba-tiba ia sudah merasa sangat mual dan segera lari ke kamar mandi, perutnya terasa seperti diaduk-aduk, iya terus merasa mual dan berkali-kali muntah, tapi yang ia keluarkan hanya air saja karena memang perutnya dari kemarin tidak terisi apa-apa.

        "Astaghfirullah, sampe masuk angin gini." Siska memijak lehernya sambil melihat ke arah cermin, begitu pucat wajahnya di pagi ini.

        "Apa aku sudah tidak menarik lagi di mata Mas Ilham? Mungkin saja dia hanya beralasan tentang kecelakaan yang ia ceritakan itu untuk menutupi kebohongannya bahwa memang ia ingin menikah lagi karena aku sudah tidak menarik dan secantik dulu lagi," ucap Siska seraya terus memperhatikan dirinya dari pantulan cermin yang ada di dalam kamar mandinya.

        Siska duduk kembali ke kasurnya dan ia melanjutkan acara makannya. Baru saja sendok ia dekatkan ke arah mulutnya ia sudah kembali merasa mual yang begitu hebat.

        Dengan langkah cepat ia masuk lagi ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, namun ya tetap saja hanya air yang keluar dari mulutnya.

        Ia terus muntah-muntah sampai merasa lemas.

        "Ya Allah, gimana ini? Kalau ngga makan pasti keadaanku akan lebih memburuk, tapi baru mencium baunya saja kenapa langsung mual begini?"

        Tubuhnya semakin bergetar lebih dari sebelumnya, matanya berkunang-kunang, ia merasa tubuhnya sangat lemas dan tak ada tenaga.

        "Astaghfirullah, aku kenapa Ya Allah?" ucap Siska dengan suara yang sangat lirih dan mata sayup, sekelilingnya mulai terlihat buram.

        'Brukkk."

        Tubunya tersungkur di lantai kamar mandi, jelas saja tidak ada orang yang mengetahuinya.

       ***

        Sayup-sayup kedua mata Siska terbuka perlahan, ia melihat Ilham yang sedang mengendong putrinya sedang tersenyum lebar menatap dirinya yang baru saja sadar dan berada kasurnya.

        Aqila segera turun dari gendongan Ayahnya dan memeluk Siska dengan erat.

        "Yeee... Aqila bakalan jadi Kakak."

         "Makasih ya, Bunda."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status