Siska terdiam dengan tatapan kosong, saat ini perasaanya hampa dan satu-satunya yang tersisa hanyalah rasa sesak di dalam dadanya, ia sudah putus asa dengan nasib keluarga kecilnya.
Ia kehilangan harapan dan semangat hidup, kehilangan suami yang sangat ia cintai dan kehilangan sumber kebahagiaan. Ini sungguh cobaan yang sangat berat bagi Siska, ia merasa tidak mampu menjalani semua kepahitan ini.
"Ma-maafkan aku ya, Sayang," ucap Ilham sambil memeluk Siska, namun dengan segera Siska melepaskan pelukan suaminya itu.
"Tinggalkan aku dulu, Mas! Aku ngga bisa sekarang, aku masih shock. Aku belum bisa menerima kenyataan pahit ini, Mas."
"Ya sudah kamu istirahat dulu ya!" ucapnya lirih, lalu mengecup kening istirnya itu.
"Bunda kenapa, Yah? Sakit ya?" tanya Aqila dengan polos kepada Ayahnya.
"Iya sayang, Bunda lagi sakit. Kamu jagain Bunda ya! Ayo kamu lanjut lagi bobonya!"
Ilham merebahkan tubuh mungil putrinya di samping Siska, ia pun juga ikut merebahkan tubuhnya dan mengusap lembut kepala putri manisnya itu agar segera tidur kembali.
Setelah beberapa saat, akhirnya Aqila pun memejamkan mata dan terlelap dalam tidurnya. Namun, tidak dengan Siksa, mata istrinya itu masih terbuka lebar dan terus meneteskan air mata.
"Sayang, kenapa kamu belum tidur juga?" tanya Ilham yang kini sedang berjongkok memandang wajah istrinya.
"Bagaimana aku bisa tidur, sedangkan pikiran dan hatiku sedang kacau begini, Mas?" jawab Siska dengan tatapan kosong.
Ilham menghela napas frustasi.
"Sebaiknya kamu temani saja istri mudamu! Aku tak ingin melihat wajahmu, Mas. Rasanya sangat menyakitkan."
"Maaf, Siska." Ilham bangkit dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar utama.
Sungguh pilu hati Siska melihat kepergian suaminya untuk menemui istri mudanya itu, namun ia juga tak sanggup berlama-lama melihat wajah suami yang dengan tega memberikannya adik madu tanpa persetujuannya terlebih dahulu.
Dadanya kembali merasa nyeri, ia memikirkan betapa bahagianya kedua pasangan pengantin baru itu, pasti sekarang mereka sedang bersenang-senang, sedangkan Siska terbaring lemah dengan segala sesak yang menyelimuti dadanya.
***
Keeseokan paginya Siska terbangun dengan tubuh yang terasa sangat lemas, saat ia ingin bangkit dari tidurnya namun ia merasa tidak kuat karena kepalanya terasa sangat pusing dan berdenyut dengan kencang.
"Astaghfirullah, kenapa tubuhku sangat lemas sekali, Ya Allah? Dan kepalaku terasa sangat pusing, arghhhh."
Siska memengang kepalanya dengan kuat, namun kepalanya justru semakin terasa sakit.
Ia mengambil segelas air yang dibawakan oleh Ilham tadi malam, ia segera menengguk air itu dengan perlahan kemudian kembali merebahkan badannya.
Ia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, ia berharap kejadian semalam itu hanya mimpi buruk semata dan tidak benar-benar terjadi dalam kehidupannya. Namun, saat melihat ke sebelah putrinya dan melihat tidak ada suaminya di sana, ia kembali menyadari bahwa semua yang terjadi adalah nyata dan bukan sekedar mimpi.
"Aku masih tak percaya kebahagianku sudah lenyap begitu saja karena kehadiran wanita. Ahh, entah ku sebut apa wanita yang telah merusak kebahagiaan di rumahku ini," gumam Siska lirih.
Karena adzan subuh sudah berkumandang, dengan badan lemas dan kepala yang terasa sangat sakit pun tetap ia usahankan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Pergi ke kamar mandi, mengambil wudhu dan segera menghamparkan sajadah.
Air matanya terus mengalir deras, ia mengaduhkan semua kepahitan yang sedang ia rasakan.
"Ya Robbi, Hamba sungguh tak mampu menghadapi ujianmu yang begitu berat ini, hamba sungguh tak mampu." Siska menangis tersedu-sedu, dadanya masih terasa sangat sesak hingga ia kesulitan untuk bernapas.
Tiba-tiba pintu diketuk dan perlahan terbuka, Ilham masuk sembari membawa nampan berisikan makanan untuk Siska sarapan. Tak sanggup lagi Siska menatap wajah suaminya itu, wajah yang dulu selalu ia rindukan.
Tubuhnya yang selalu ia peluk untuk melabuhkan rasa gundah, tatap matanya yang menjadi penentram dalam jiwa Siska. Kini musnah semuanya. Rasa cinta dan segalanya.
"Kamu sudah bangun, Bunda?" tanya Ilham dengan sangat hati-hati.
Siska tak menjawab sedikit pun, menoleh pada Ilham pun juga tidak.
"Ayah..." Aqila yang mendengar suara Ayah itu perlahan membuka matanya yang masih terasa sangat lengket.
Ilham tersenyum lembut pada putri kecilnya, lalu meletakkan nampan yang berisikan makanan tadi di atas meja.
"Ehhhh... anak Ayah yang paling cantik udah bangun." Ilham menghampiri Aqila yang masih merebahkan tubuh mungilnya di samping Siska.
"Tapi masih ngantuk nih, Yah," ucap Aqila dengan manja.
"Ini udah pagi Qila sayang.... Ayo dong bangun, sarapan dulu!"
"Mas," panggil Siska lirih.
Ilham menoleh ke arah Siska yang sedang memandang lurus ke arah pintu, matanya berbinar-binar, bibirnya gemetar dengan kedua mata yang sembab akibat semalaman menangis pilu.
Kedatangan wanita muda yang tidak ia inginkan sama sekali kehadirannya itu sungguh menghantam dadanya begitu dahsyat. Ia dibuat terperangah dengan kenyataan yang mau tidak mau harus ia terima dan hadapi seorang diri.
"Siska... Makan dulu ya, Sayang! Atau mau Mas yang nyuapin?" ucap Ilham seraya mengangkat piring yang telah ia bawakan untuk Siska sarapan pagi ini.
"Aku ngga mau makan, Mas. Sama sekali ngga ada selera."
"Dari kemarin sore kamu belum makan apa-apa loh, nanti sakit. Ayo makan dulu, Sayang!" Ilham berusaha untuk membujuk Siska agar mau mengisi perutnya, namun saat Ilham hendak mengarah sendok ke arah Siska, istrinya itu justru segera menepisnya hingga jatuh ke lantai dan nasi pun berceceran.
"Siska! Apa-apaan kamu ini?" bentak Ilham dengan kedua mata terbuka lebar, ia tidak menyangka istrinya akan bersikap tidak sopan seperti ini kepadanya.
"Aku hanya ingin menyuapimu, dari kemarin sore kamu belum makan apa-apa. Kalau kamu sakit siapa juga yang repot, kan?" lanjutnya dengan wajah yang mulai memanas dan suara napasnya terengah-engah.
Pandangan Siska kini beralih ke suaminya itu, dengan tatapan sinis dan penuh amarah. Sebenarnya ia tak berniat bersikap kurang ajar begitu pada suaminya. Tapi, amarahnya lah yang membuat ia seolah kehilangan kelembutan dan rasa hormat kepada suaminya sendiri.
"Kalau tidak mau repot, ceraikan saja aku, Mas!"
Ilham menghela napasnya kasar dan membuang pandangannya dari Siska. Ia sadar sikap istrinya seperti ini karena masih syok dengan kejadian semalam, tapi ia juga akan tetap terpancing emosinya jika Siska bersikap tidak sopan seperti ini.
"Kenapa diam? Ceraikan saja aku dan berbahagialah dengan istri mudamu yang cantik itu!" Kalimatnya sendiri terasa pahit di tenggorokan.
Kini Ilham kembali menatap wajah Siska, keadaanya sudah tidak semarah sebelumnya. Ia berusaha memaklumi dengan berubah sikap istrinya, ia menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan kedua matanya lalu menghembuskannya dengan perlahan.
"Kumohon Siska! Aku mohon tenanglah dulu! Semua akan baik-baik saja."
"Hah? Baik-baik saja katamu, Mas. Itu kamu yang akan baik-baik saja, bukan aku."
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,