Share

Bab 4. Putus Asa

         Siska terdiam dengan tatapan kosong, saat ini perasaanya hampa dan satu-satunya yang tersisa hanyalah rasa sesak di dalam dadanya, ia sudah putus asa dengan nasib keluarga kecilnya.

         Ia kehilangan harapan dan semangat hidup, kehilangan suami yang sangat ia cintai dan kehilangan sumber kebahagiaan. Ini sungguh cobaan yang sangat berat bagi Siska, ia merasa tidak mampu menjalani semua kepahitan ini.

        "Ma-maafkan aku ya, Sayang," ucap Ilham sambil memeluk Siska, namun dengan segera Siska melepaskan pelukan suaminya itu.

        "Tinggalkan aku dulu, Mas! Aku ngga bisa sekarang, aku masih shock. Aku belum bisa menerima kenyataan pahit ini, Mas."

        "Ya sudah kamu istirahat dulu ya!" ucapnya lirih, lalu mengecup kening istirnya itu.

        "Bunda kenapa, Yah? Sakit ya?" tanya Aqila dengan polos kepada Ayahnya.

        "Iya sayang, Bunda lagi sakit. Kamu jagain Bunda ya! Ayo kamu lanjut lagi bobonya!"

         Ilham merebahkan tubuh mungil putrinya di samping Siska, ia pun juga ikut merebahkan tubuhnya dan mengusap lembut kepala putri manisnya itu agar segera tidur kembali.

         Setelah beberapa saat, akhirnya Aqila pun memejamkan mata dan terlelap dalam tidurnya. Namun, tidak dengan Siksa, mata istrinya itu masih terbuka lebar dan terus meneteskan air mata.

        "Sayang, kenapa kamu belum tidur juga?" tanya Ilham yang kini sedang berjongkok memandang wajah istrinya.

         "Bagaimana aku bisa tidur, sedangkan pikiran dan hatiku sedang kacau begini, Mas?" jawab Siska dengan tatapan kosong.

         Ilham menghela napas frustasi.

         "Sebaiknya kamu temani saja istri mudamu! Aku tak ingin melihat wajahmu, Mas. Rasanya sangat menyakitkan."

        "Maaf, Siska." Ilham bangkit dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar utama.

        Sungguh pilu hati Siska melihat kepergian suaminya untuk menemui istri mudanya itu, namun ia juga tak sanggup berlama-lama melihat wajah suami yang dengan tega memberikannya adik madu tanpa persetujuannya terlebih dahulu.

         Dadanya kembali merasa nyeri, ia memikirkan betapa bahagianya kedua pasangan pengantin baru itu, pasti sekarang mereka sedang bersenang-senang, sedangkan Siska terbaring lemah dengan segala sesak yang menyelimuti dadanya.

       ***

       Keeseokan paginya Siska terbangun dengan tubuh yang terasa sangat lemas, saat ia ingin bangkit dari tidurnya namun ia merasa tidak kuat karena kepalanya terasa sangat pusing dan berdenyut dengan kencang.

       "Astaghfirullah, kenapa tubuhku sangat lemas sekali, Ya Allah? Dan kepalaku terasa sangat pusing, arghhhh."

         Siska memengang kepalanya dengan kuat, namun kepalanya justru semakin terasa sakit.

         Ia mengambil segelas air yang dibawakan oleh Ilham tadi malam, ia segera menengguk air itu dengan perlahan kemudian kembali merebahkan badannya.

         Ia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, ia berharap kejadian semalam itu hanya mimpi buruk semata dan tidak benar-benar terjadi dalam kehidupannya. Namun, saat melihat ke sebelah putrinya dan melihat tidak ada suaminya di sana, ia kembali menyadari bahwa semua yang terjadi adalah nyata dan bukan sekedar mimpi.

         "Aku masih tak percaya kebahagianku sudah lenyap begitu saja karena kehadiran wanita. Ahh, entah ku sebut apa wanita yang telah merusak kebahagiaan di rumahku ini," gumam Siska lirih.

         Karena adzan subuh sudah berkumandang, dengan badan lemas dan kepala yang terasa sangat sakit pun tetap ia usahankan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Pergi ke kamar mandi, mengambil wudhu dan segera menghamparkan sajadah.

         Air matanya terus mengalir deras, ia mengaduhkan semua kepahitan yang sedang ia rasakan.

          "Ya Robbi, Hamba sungguh tak mampu menghadapi ujianmu yang begitu berat ini, hamba sungguh tak mampu." Siska menangis tersedu-sedu, dadanya masih terasa sangat sesak hingga ia kesulitan untuk bernapas.

          Tiba-tiba pintu diketuk dan perlahan terbuka, Ilham masuk sembari membawa nampan berisikan makanan untuk Siska sarapan. Tak sanggup lagi Siska menatap wajah suaminya itu, wajah yang dulu selalu ia rindukan.

          Tubuhnya yang selalu ia peluk untuk melabuhkan rasa gundah, tatap matanya yang menjadi penentram dalam jiwa Siska. Kini musnah semuanya. Rasa cinta dan segalanya.

         "Kamu sudah bangun, Bunda?" tanya Ilham dengan sangat hati-hati.

         Siska tak menjawab sedikit pun, menoleh pada Ilham pun juga tidak.

         "Ayah..." Aqila yang mendengar suara Ayah itu perlahan membuka matanya yang masih terasa sangat lengket.

         Ilham tersenyum lembut pada putri kecilnya, lalu meletakkan nampan yang berisikan makanan tadi di atas meja.

         "Ehhhh... anak Ayah yang paling cantik udah bangun." Ilham menghampiri Aqila yang masih merebahkan tubuh mungilnya di samping Siska.

         "Tapi masih ngantuk nih, Yah," ucap Aqila dengan manja.

         "Ini udah pagi Qila sayang.... Ayo dong bangun, sarapan dulu!"

         "Mas," panggil Siska lirih.

         Ilham menoleh ke arah Siska yang sedang memandang lurus ke arah pintu, matanya berbinar-binar, bibirnya gemetar dengan kedua mata yang sembab akibat semalaman menangis pilu.

          Kedatangan wanita muda yang tidak ia inginkan sama sekali kehadirannya itu sungguh menghantam dadanya begitu dahsyat. Ia dibuat terperangah dengan kenyataan yang mau tidak mau harus ia terima dan hadapi seorang diri.

          "Siska... Makan dulu ya, Sayang! Atau mau Mas yang nyuapin?" ucap Ilham seraya mengangkat piring yang telah ia bawakan untuk Siska sarapan pagi ini.

          "Aku ngga mau makan, Mas. Sama sekali ngga ada selera."

          "Dari kemarin sore kamu belum makan apa-apa loh, nanti sakit. Ayo makan dulu, Sayang!" Ilham berusaha untuk membujuk Siska agar mau mengisi perutnya, namun saat Ilham hendak mengarah sendok ke arah Siska, istrinya itu justru segera menepisnya hingga jatuh ke lantai dan nasi pun berceceran.

         "Siska! Apa-apaan kamu ini?" bentak Ilham dengan kedua mata terbuka lebar, ia tidak menyangka istrinya akan bersikap tidak sopan seperti ini kepadanya.

         "Aku hanya ingin menyuapimu, dari kemarin sore kamu belum makan apa-apa. Kalau kamu sakit siapa juga yang repot, kan?" lanjutnya dengan wajah yang mulai memanas dan suara napasnya terengah-engah.

          Pandangan Siska kini beralih ke suaminya itu, dengan tatapan sinis dan penuh amarah. Sebenarnya ia tak berniat bersikap kurang ajar begitu pada suaminya. Tapi, amarahnya lah yang membuat ia seolah kehilangan kelembutan dan rasa hormat kepada suaminya sendiri.

         "Kalau tidak mau repot, ceraikan saja aku, Mas!"

         Ilham menghela napasnya kasar dan membuang pandangannya dari Siska. Ia sadar sikap istrinya seperti ini karena masih syok dengan kejadian semalam, tapi ia juga akan tetap terpancing emosinya jika Siska bersikap tidak sopan seperti ini.

        "Kenapa diam? Ceraikan saja aku dan berbahagialah dengan istri mudamu yang cantik itu!" Kalimatnya sendiri terasa pahit di tenggorokan.

         Kini Ilham kembali menatap wajah Siska, keadaanya sudah tidak semarah sebelumnya. Ia berusaha memaklumi dengan berubah sikap istrinya, ia menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan kedua matanya lalu menghembuskannya dengan perlahan.

         "Kumohon Siska! Aku mohon tenanglah dulu! Semua akan baik-baik saja."

         "Hah? Baik-baik saja katamu, Mas. Itu kamu yang akan baik-baik saja, bukan aku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status