Septian berdiri di depanku dengan tas jinjing di tangannya. Dia menyerahkan tas yang dibawanya padaku, “ini untukmu.”
Dengan penuh keraguan, aku menerima tas tersebut dan melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah vas bunga berwarna putih yang sangat cantik berada di dalam tas yang kupegang. Pandanganku beralih menatap Septian, “kenapa?”
Septian mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak ingin menatapku, “hanya oleh-oleh kecil.”
Melihat reaksi Septian membuatku menyungging senyum. Terlepas dari sikap menyebalkannya, dia masih punya sikap lembut yang aku yakin sangat jarang ditunjukkan pada orang lain.
Aku membuka pintu lebih lebar, “masuklah, aku akan membuatkan kopi untukmu.”
Tanpa banyak berpikir, Septian melangkah masuk. Aku pun segera membuntutinya. Saat sampai di depan ruanganku, aku bergegas membuka pintu dan mempersilakan baginya untuk masuk, “tunggulah di sini. Aku akan membuat kopi. Apa
Pukul 8 pagi, aku masih sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan disaat yang bersamaan sebuah klakson mobil di depan rumahku. Aku berpikir itu pasti Septian. Tanpa melepas apronku, aku bergegas membuka pintu dan Septian sudah berdiri di depan pintu rumah.Aku yang terkejut karenanya hanya bisa berdiam diri di ambang pintu.Septian menatapku dengan tatapan tidak suka, “kenapa masih pakai apron?”Aku tersenyum kaku, “aku baru saja selesai membuat sarapan. Kamu mau ikut sarapan?” tanyaku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.Septian terlihat menghela napas sembari menatapku dengan tatapan yang lebih lembut, “apa yang sedang kamu masak?”“Omurice. Masuklah,” aku menyingkir dari pintu dan memersilakan baginya untuk masuk.Septian melangkah masuk sembari memerhatikan sekitar. Pintu kembali kututup lantas berjalan mensejajari langkah Septian menuju ruang makan. Septian menarik kursi lalu duduk sembari m
Hana berpikir sejenak lalu menjawab, “beliau tegas, pekerja keras. Beliau juga baik hati. Saat ibu saya masuk rumah sakit, Beliau tidak membebankan pekerjaan pada saya. Yang ada justru Tuan Septian memberikan saya cuti satu minggu untuk menemani ibu saya.”Aku sedikit tidak percaya dengan kata ‘baik hati’ yang diucapkan oleh Hana. Cukup sulit untuk membayangkan apa yang Hana ceritakan sekaligus sulit untuk membayangkan Septian dalam mode baik hati. Aku menundukkan kepala, berusaha untuk menahan tawaku. Demi menghindari sikap curiga dari Hana, aku kembali meminum minuman di tanganku.“Walaupun kadang Tuan Septian galak. Apalagi beliau selalu menatap orang lain dengan tatapan tajam dan dinginnya. Hal itu membuat semua orang takut padanya. Selama saya bekerja saya belum pernah sekalipun melihat Tuan Septian tersenyum ataupun menatap orang lain dengan tatapan yang lebih ramah,” sambung Hana.Sekali lagi aku diam, mengingat kembali
Septian yang melihatku tersungkur bergerak cepat mendekap tubuhku, “kamu baik-baik saja?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku, memeriksa suhuku, “kamu demam?”Tanganku memegang lengannya, “maaf. Kepalaku rasanya sakit.” Setelah kalimat itu terucap, kesadaranku perlahan mulai hilang dan semuanya menjadi gelap.Dengan sigap Septian mengangkat tubuhku lalu membaringkannya ke sofa. Septian mengambil ponselnya dan berniat menghubungi dokter, namun pintu ruangan lebih dulu terbuka dengan Mako dan Alan yang berdiri diambang pintu.Melihatku yang terbaring sontak membuat Mako panik. Cepat-cepat dia mendekat lalu menanyakan keadaanku pada Septian, “apa yang terjadi pada nona? Apa dia baik-baik saja?”“Tidak. Aku akan menghubungi dokter,” tindakan Septian kembali terhenti saat Alan mendekat padanya dan berkata dialah yang akan memeriksaku.Septian mengalihkan pandangannya menatap tidak pe
Kembali ke rumah sakit tempatku dirawat. Aku membuka mata setelah rasanya begitu lama aku menutup mata. Kualihkan pandanganku menatap sekitar. Ruangan ini serba putih, tanganku diinfus, dan aku berbaring di sebuah tempat tidur tidak kukenal. Aku bisa menebak kalau saat ini aku berada di salah satu ruangan di rumah sakit. Perasaan ini mengingatkanku kalau aku pernah terbaring di ranjang rumah sakit. Kuedarkan pandanganku menatap seisi ruangan dan terhenti saat melihat Alan tengah menyusun bunga ke dalam vas. “Alan?” aku bertanya dengan nada pelan. Alan menoleh padaku lalu meninggalkan vas bunga kemudian berjalan mendekati tempat tidurku, “kepalamu masih sakit?” Alan menarik kursi dan duduk di samping tempat tidurku. Aku menggeleng, “sudah lebih baik.” Alan tersenyum, “syukurlah. Untuk sementara kamu harus dirawat di sini hingga benar-benar sembuh.” Aku hanya bisa mengangguk. Alan mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang, “
Kuterima panggilan tersebut kemudian mendekatkan ponsel ke telingaku, “hai, Alan.”“Hai, Carissa. Bagaimana kabarmu?”Kudorong kembali troli sembari mencari sambil berbincang dengan Alan, “aku sudah baik-baik saja, Alan.”“Kuingatkan padamu, jangan asal makan atau minum sesuatu yang belum terbiasa untukmu. Oke?”Mendengar nasihat darinya justru membuatku tertawa pelan, “oke. Oke. Aku akan mengingat nasihatmu, dokter.”Terdengar kekehan dari Alan di seberang, “itu benar. Pasien harus mendengarkan ucapan dokter. Jangan sampai kelelahan. Jaga kesehatanmu.”Aku berdehem, “oke. Kamu sedang tidak bekerja?”“Ini sedang bekerja. Tugasku hanya menjadi pengawas.”Aku berhenti di depan rak yang penuh dengan bumbu dapur, memilah beberapa kemudian memasukkannya ke dalam troli, “tidak masalah, kah? Rekan-rekanmu se
Septian menyingkirkan tangan wanita itu dari lengannya sembari menatapnya dingin, “apa maumu, Riska?”Riska menyilangkan tangannya, menatap santai kearah lawan bicaranya, “Carissa.”Mendengar namaku disebut, Septian menatap tajam Riska tanpa mengatakan apapun. Septian tahu siapa yang menyebabku keracunan hari itu dan pelakunya saat ini tengah berdiri di depannya.“Turuti semua ucapanku, dengan begitu aku tidak akan menyentuhnya. Bagaimana?” Riska mengabaikan tatapan tajam Septian dan tanpa rasa takut dia mengucapkan apa yang sebenarnya dia inginkan.Ucapan Riska tidak direspon sama sekali oleh Septian. Dia tahu kalau wanita di depannya akan melakukan apapun untuk mendapatkan dirinya, bahkan dengan cara kotor sekalipun.Riska kembali mendekat dan memeluk lengan Septian, “pertama-tama, mari kita makan malam bersama.” Riska tahu ucapannya seakan menjadi ancaman untuk Septian dan dia akan terus mengancam
Pukul 12 siang, aku sudah sampai di rumah. Sepulang dari swalayan, aku berpamitan pada Ren untuk langsung pulang. Sedangkan dia pun akan pergi mengantarkan komiknya. Kutata semua bahan makanan ke dalam kulkas. Hari ini aku tidak berniat untuk ke kafe. Aku juga sudah mengatakannya pada Mako. Sebuah dering ponsel mengalihkan perhatianku. Kututup pintu kulkas kemudian mendekat ke ponselku yang berada di meja makan. Nama Septian tertera di layar ponsel, membuatku mengerutkan dahi. Tidak biasanya dia menelponku, karena dia biasanya akan langsung datang ke rumahku dan mengajakku rapat sesukanya. Kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “...Kamu ada di rumah?” Aku berdehem, “kenapa?” “Jangan pergi kemanapun jika tidak penting.” Aku mengangguk, “iya. Kamu masih di kantor?” “Iya.” “Apa ada pekerjaan yang harus kukerjakan?” “...Tidak. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Mendengar
Ren mengakhiri panggilan. Aku pun segera berganti menghubungi Septian. Namun Septian lebih dulu menghubungiku. Kembali kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “Aku sudah menerima makanan darimu. Aku mau makanan seperti ini besok pagi. Jika bahannya kurang, aku akan menyuruh Will berbelanja.” Mendengar apa yang diucapkan Septian membuatku tertawa, “masih ada kok bahannya. Besok akan kumasakkan lagi.” “Hm. Besok kamu akan ke kafe?” Aku berdiri dari sofa kemudian melangkah ke dapur, “iya, karena hari ini aku sama sekali tidak ke kafe.” Aku memeriksa bahan makanan yang berada di dalam kulkas. Setidaknya masih ada cadangan untuk membuat makanan besok. “Will akan menjemputmu dan mengantarmu ke kafe.” Aku duduk di ruang makan masih dengan ponsel di telingaku, “tidak perlu. Aku bisa ke kafe sendirian.” “Tidak. Will tetap akan mengantarmu. Jangan menolak.” Mendengar ucapan tegas dari Septian m