Ren duduk di sampingku, menemaniku hingga aku benar-benar terlelap. Setelah memastikan aku tertidur, Ren melangkah pelan sembari mendorong troli makanan keluar dari kamar. Siapa sangka, Septian sudah duduk di kursi tunggu di luar kamar.
Ren yang menyadari maksud dari tatapan Septian padanya, melangkah mendekat kemudian mengambil duduk di sebelah Septian. “Aku harus berterimakasih padamu karena bersedia mengurusi keperluan Carissa.”
Septian berdehem. “...Aku dengar dari Carissa. Kalau dia tidak mengingat mengenai masa lalunya. Sebagai sahabat, kamu tahu sesuatu?”
Ren bergeming. Dia enggan untuk menjawab dan memilih untuk beranjak dari duduknya, kembali mendorong troli. Namun langkahnya kembali terhenti dengan mata melirik ke arah Septian. “Jangan pernah membahas hal itu di depannya.”
Tidak ada balasan dari Septian. Dia hanya menatap punggung Ren yang semakin menjauh. Kemarin malam, Riska pergi tepat setelah tidak terima dengan ancaman dari Septian. Kep
Kembali ke tempat Septian. Dia meletakkan ponselnya begitu saja kemudian menginjak gas mobil lebih dalam untuk mempercepat laju mobilnya. Tujuannya kini berganti ke perusahaan megah di kota seberang. Pertemuan dengan direktur Perusahaan MS Group dimajukan olehnya karena ada banyak urusan yang harus ditanganinya.“Sialan. Wanita itu benar-benar psikopat,” umpatnya kesal.***“Kalian kesana dan culik dia,” ucap Riska dengan seseorang di seberang telepon.“...”Panggilan berakhir. Riska menyimpan ponselnya lantas tersenyum. “Kita mulai, Carissa.”Untuk yang kesekian kalinya, aku mengeluh pelan. Bagaimana tidak! Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit milik pribadi milik Septian. Berulang kali dia menegaskan padaku untuk tidak pulang sebelum tiga minggu dirawat dan itu membuatku kesal.“Aku bosan, Ren,” keluhku pelan. Ya, selama aku dirawat, Ren-lah yang menemaniku. Tanpa ber
Nuansa klasik menyambutku kala memasuki kafe. Sebuah kafe sederhana yang terletak di tengah-tengah kota dengan menu yang disajikan yaitu aneka kopi dan makanan ringan. Beberapa pelayan mulai bersiap untuk membuka kafe. Kafe ini sangat diminati oleh orang-orang yang akan pergi ke kantor maupun mahasiswa yang akan berangkat ke kampus. Kafe buka saat jarum jam tepat di angka 9.Semua pelayan seketika menghentikan aktivitasnya lalu membungkuk hormat kearahku, “selamat pagi, nona,” sapa mereka bersamaan.Aku tersenyum, “pagi.”Inilah kehidupanku, sebagai pemilik kafe yang memegang kendali 10 karyawan. Sudah tiga tahun, aku menjalani rutinitas ini dan kafe ini semakin lama semakin banyak dikenal. Tugasku disini hanyalah memeriksa pengeluaran, memantau, dan sisanya bersantai. Aku berniat untuk mencari rekan untuk membantuku mengembangkan kafe ini. Namun mendapatkannya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.Kudorong perlahan pintu
Astaga! Kenapa dunia sempit sekali!! Aku mematung di ambang pintu. Ingin rasanya kaki ini berbalik dan menjauh sejauh mungkin dari laki-laki yang tadi pagi sukses membuatku terlihat bodoh. “Hai, sayang. Sudah pulang? Masuklah, kenapa berdiri di situ?” suara intruksi dari ibuku berhasil menyadarkanku. Dengan berusaha menormalkan gelagatku, aku berjalan menghampiri Ibu, “apa Ibu sedang ada tamu?” tanyaku dengan nada pelan. Ibu meletakkan minuman dan potongan buah di atas meja lalu beralih menatapku, “perkenalkan dia, Alan. Tadi dia membantu Ibu mengambil buah yang terjatuh dari kantong plastik yang Ibu bawa dalam perjalanan kemari. Sekalian mengajaknya mampir ke rumah.” pandangan Ibu beralih menatap laki-laki yang duduk memperhatikan kami berdua, “perkenalkan nak Alan, ini anakku, Carissa.” Alan berdiri lalu menyodorkan tangannya, “hai, Carissa. Aku Alan.” Dengan penuh keragu-raguan aku membalas uluran tangannya sembari sesekali menatap
Pukul 12 siang. Aku dan Henry sudah berada di festival makanan. Hari ini cukup mendukung karena matahari tidak bersinar terlalu terik. Angin pun berhembus cukup sering, membuat suasana di sekitar menjadi sejuk. Di depanku saat ini sudah berjajar rapi aneka stand makanan tanpa melupakan area untuk makan. Tulisan dibanner besar menyambut kami, “SELAMAT DATANG DI FESTIVAL MAKANAN DUNIA”. “Ayo masuk,” Henry menarikku untuk segera mengikutinya. Kami berjalan berkeliling stan. Festival ini benar-benar sesuai dengan tulisan sebelumnya. Aneka hidangan dari penjuru negara ada dalam satu tempat. Pizza, Parfait, Takoyaki, Taiyaki, Kebab, dan banyak lagi. Pengunjung pun tak begitu ramai hari ini membuat kami dengan mudah berkeliling. Kami berhenti di pusat festival yaitu sebuah panggung yang nantinya akan ada konser untuk penutupan festival. “Kupon ini hanya bisa untuk membeli 3 makan. Jadi, jika kita memiliki dua kupon maka kita dapat membeli sebanyak 6 jenis makanan. U
Sesuatu yang keras menghantamku membuat keseimbanganku goyah dan akhirnya dua kardus yang kubawa terjatuh, termasuk diriku yang terduduk di atas trotoar. “Apa kamu tidak bisa melihat jalan?” sebuah pertanyaan pelan namun sangat tajam membuatku seketika mendongak, menatap laki-laki berjas rapi yang berdiri di depanku. Melihat tatapan dingin darinya, aku segera berdiri dan meminta maaf, “maaf, tuan. Saya tidak sengaja. Maaf.” “Perhatikan jalanmu,” laki-laki berucap singkat lalu berjalan mendahuluiku. Mataku hanya mengikuti langkahnya tanpa beranjak dari posisiku. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti lalu berbalik menatapku, “kenapa diam saja? Aku masih belum sepenuhnya memaafkanmu. Traktir aku makan. Di kafe itu.” Dia menunjuk kafeku yang berada tidak jauh darinya. Satu kesan untuk orang ini, menyebalkan. Aku segera mengambil kardus yang berjatuhan lalu kembali membawanya. Dia bahkan sama sekali tidak ingin membantuku. Dia menyuruhku jalan lebih dulu, karen
Laki-laki itu keluar ruangan. Aku pun tidak memiliki kesempatan untuk menyela ucapannya. Aku berdecak kesal lalu duduk di kursi sembari memijat pelipisku. Pandanganku menatap tumpukan kertas di atas meja. Mengerjakan semua ini? Jangan bercanda denganku.Aku diam sejenak, berusaha mencari jalan keluar. Namun sama sekali tidak mendapatkan satu ide pun. Aku menghembuskan napas panjang. Sepertinya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Pukul 10 siang, aku mulai mengerjakan pekerjaan berat ini. Pekerjaan ini dua kali lipat jauh lebih berat dibanding aku meninjau laporan keuangan kafeku. Lebih parahnya lagi, aku tidak tahu kapan aku akan menyelesaikan semua kertas-kertas ini. Satu jam. Dua jam. Aku berhasil menyelesaikan setengah dari tumpukan sebelumnya dan sekarang aku mulai bosan. Kurenggangkan otot tanganku sembari bersandar di kursi. Mungkin istirahat sejenak akan lebih baik.Pandanganku mengedar menatap satu persatu hiasan dinding. Ruangan ini
Dia menautkan alisnya, menatapku dengan tatapan kesal, “apa yang aku lakukan di sini? Ini kamarku.”Sontak aku langsung bangkit dari tidurku dan justru mengakibatkan kepalaku berdenyut cukup kuat hingga membuatku didekap oleh laki-laki di depanku. Aku segera menjauhkan diri dengan berusaha menahan pusing di kepalaku. Mataku beralih menatapnya, “bagaimana aku bisa di kamarmu? Kamu tidak melakukan sesuatu, kan?”“Aku tidak tertarik melakukan sesuatu padamu,” jawabnya dingin, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.Aku menghela napas pelan. Lagipula pakaianku masih lengkap. Sejak awal pun dia lebih suka mempermainkanku karena dia keturunan laki-laki menyebalkan. Suara lembut sebelumnya mungkin hanya imajinasiku saja.“Makanlah,” laki-laki itu menyodorkan nasi yang sudah dicampur dengan sup ayam.Aku mengangguk dan menerima mangkuk darinya. Perlahan namun pasti, aku mulai makan. Makanan ini enak, mirip den
Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal. Nomor baru? Siapa? Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku. Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?” “Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang s