Share

Night With You

Alis Lala bertaut. Pagi-pagi, jam enam, pintu kamar kosnya diketuk. Dia yang tengah sibuk menyetitka baju bangkit perlahan. Berjalan menuju pintu penuh pertimbangan. Habisnya, beberapa tahun dia tinggal di kamar sederhana ini, baru kali ini ada yang mengetuk  sepagi ini. Tidak mungkin bu Meira karena wanita setengah baya itu sedang keluar kota.

Wajahnya memucat. Sambil menggigit bibir, Lala membuka pintu.  Pupil matanya langsung melebar ketika melihat Aiden berdiri gagah di depan pintu kamarnya.

“Hai.” Aiden menyapa dengan senyum menawan. Senyuman yang sama persis seperti delapan tahun silam.

Lala membeku. Denyutan itu terasa lagi. Membuat sesak. Susah bernapas. Bibir Aiden yang tersungging senyum memaksanya kembali ke memori masa lalu. Indah sekaligus menyakitkan itu.

Sweet but shit!

Meskipun sudah delapan tahun berlalu, tapi sakit hatinya tidak pernah membaik. Lala dibuat heran dengan dirinya sendiri. Orang lain bisa dengan mudahnya bangkit setelah menerima kenyataan pahit di hidup mereka. Terpuruk beberapa saat, lalu kembali melangkah seperti sedia kala. Tapi dia? Senyumannya selama ini hanyalah topeng.

Sungguh, dia bukan wanita pendendam. Memaafkan Aiden sudah jauh-jauh tahun dia lakukan. Tapi untuk bertemu dengan cowok itu lagi, Lala sangat enggan. Jangan sampai kejadian!

Sialnya, takdir mempermainkannya. Pertemuan itu kembali tercipta. Secara tidak sengaja, padahal. Meskipun sudah berusaha menjauh, dia tetap dipertemukan lagi. Dan lagi. Rasanya sia-sia saja terus menghindar jika di suratan takdirnya  sudah tertulis nama Aiden. Sepuluh ribu kali.

“Kamu kok bengong?”

Tangan Aiden mengelus pipi tirus Lala. Hal itu berhasil membuat Lala tersentak dan buru-buru menjauhkan tangan Aiden dari wajahnya. Dia beralih menatap Aiden murka.

“Gimana kamu bisa ada di sini?” tanya Lala tanpa mempersilakan Aiden masuk ke dalam kamar kosnya.

Aiden mengedik. “Yaaa, aku tinggal buka pintu utama dan masuk. Terus ngetuk kamar kamu,” jawabnya santai. Seolah masuk ke sini bukanlah kesalahan.

Padahal, di mata Lala, Aiden jelas salah total. Tidakkah cowok itu membaca tulisan besar di depan?

Laki-laki dilarang masuk. Kecuali orang tua penghuni kos.

Walaupun tidak ada larangan tersebut, Lala tetap tidak akan mempersilakan Aiden masuk!

Cewek itu lalu berjalan melewati ambang pintu. Menutup pintu kamarnya lalu menarik Aiden. Membawa cowok kekar itu ke teras kos.

“Ngapain kamu di sini?” desis Lala sesampainya di teras. “Kukira kita sudah sepakat tentang nggak akan tatap muka selama aku kerja sama kamu.” Tangannya diletakkan di depan dada.

Aiden menggaruk belakang kepalanya. “Maaf. Tapi, sumpah, ini yang terakhir, La.”

Wajah Lala tetap datar seperti saat pertama dia membuka pintu kamarnya. “Oke. Jadi kamu mau apa?”

“Bentar!”

Aiden berlari keluar pagar kos. Membuka pintu mobil. Tak lama kembali lagi ke teras sambil menjinjing keresek putih. Dia langsung mengulurkannya ke Lala.

“Itu apa?” Lala meneliti kresek putih di tangan Aiden tanpa berniat mengambilnya.

“Sarapan. Buat kamu.”

Cewek itu menghela napas. Memutar bola matanya sebelum akhirnya berbalik. Bermaksud masuk kembali ke dalam kamarnya dan mengunci pintu. Tidak ada gunanya meladeni Aiden pagi-pagi buta seperti ini.

“Ambil dong, La.” Aiden menahan langkahnya. “Nasi goreng sosis. Kamu dulu suka makan ini, kan?”

“Aku nggak biasa sarapan.” Lala berbalik. Memandang Aiden murka. “Kenapa kamu ngelakuin ini? Sok-sokan baik ke aku. Aku nggak perlu belas kasihan kamu. Mending pulang aja sana.”

“Tunggu! Tunggu!” Sekali lagi Aiden mencekal tangan Lala.

“Apa lagi sih?! Kamu buang-buang waktu tahu, nggak?!”

Aiden meringis sebelum berkata, “Aku ada meeting pagi ini. Jam tujuh. Bisa kan, kamu temenin Ruli dari jam segitu?”

Sebelah alis Lala terangkat. “Oke. Nanti aku ke sana.”

“Sekarang, La. Ruli aku tinggal sendiri di rumah. Dia masih tidur tadi. Aku takut sekarang dia udah bangun dan lagi nangis nyariin aku.”

Mata Lala membulat sempurna. Orang tua mana yang tega meninggalkan anaknya sendirian di rumah super besar dan super megah tanpa penjagaan?! Aiden ini benar-benar gila!

“Kamu …,” geram Lala, tidak habis pikir. “Tunggu aku ambil jaket dulu.”

Dia bergegas masuk ke kamarnya. Kembali lagi ke teras setelah dua menit. Jaket sudah terpasang di tubuhnya. Mengiring langkah Aiden menuju mobil. Sebelum duduk manis di kursi penumpang, Aiden menyampirkan jaket yang lebih tebal ke bahu Lala.

“Pakai ini sekalian. Kamu gampang masuk angin, kan?”

Lala bersiap menolak. Tapi ancaman Aiden berhasil membuatnya mengurungkan niat.

“Kalau kamu sakit dan absen satu hari dari ngasuh Ruli, gaji kamu aku potong satu juta.”

* * *

Jam lima sore. Harusnya Lala sudah berada di kosnya. Tapi dia masih di rumah besar ini. Anak tunggal Aiden menangis sesenggukan sejak setengah jam yang lalu. Melarangnya pulang. Memaksa menginap di rumahnya saja.

Nggak bisa!

Lala berjongkok. Menyejajarkan tingginya dengan tinggi Ruli. Dia mengelus pipi berisi anak laki-laki itu sambil tersenyum dan berkata, “Jangan nangis, dong. Besok kan, Kakak balik ke sini lagi.”

Ruli menyeka kasar sudut matanya dan berkata, “Asal Kakak nggak pulang, Ruli akan berhenti nangis.”

Lala tetap menyungging senyum. Meskipun, sebenarnya dia mati-matian menahan geregetannya. “Nggak bisa, Ruli …. Kakak punya kucing di rumah. Kasian kucingnya kalau Kakak nggak pulang. Siapa yang mau beri makan coba?” kilahnya, berbohong.

Ruli menangis lagi. “Kucingnya bawa ke sini aja. Ruli suka kucing kok.”

Seperempat jam kemudian, Lala masih ada di rumah superbesar ini. Meskipun Ruli sudah berhenti menangis, tapi dia tetap tidak bisa pulang karena anak itu tertidur di pangkuannya. Ingin meninggalkan Ruli seorang diri, dia tidak tega. Terpaksa dia menunggu sampai Aiden pulang.

Setelah cukup lama menunggu, Aiden akhirnya pulang. Cowok itu terkejut ketika melihat Lala masih ada di rumahnya dengan tampang kusut.

“Ruli?” Alis Aiden naik sebelah ketika melihat Ruli yang meringkuk di pangkuan Lala.

“Kecapekan. Habis nangis tadi.”

“Nangis?” Aiden menghampiri Lala yang duduk di sofa. Dia mengambil Ruli dari pangkuan Lala dengan hati-hati.

“Dia nggak mau aku pulang.” Lala mengambil tas kecilnya sebelum beranjak dari ruang tamu menuju pintu.

Ketika tangannya terulur menarik gagang, suara cempreng mengagetkannya. Tahu-tahu, Ruli sudah memeluk tubuh bagian bawahnya erat-erat.

“Ruli … Kakak harus pulang.”

“Nggak mau! Nggak mau! Kakak nggak boleh pulang!”

Cewek itu menghembuskan napas keras-keras. Lalu memandang Aiden, meminta pertolongan. Sayangnya cowok itu hanya menggaruk belakang kepala sambil meringis.

“Oke deh. Kakak nggak akan pulang.”

Ruli dan Aiden tersentak bersamaan. Dua-duanya menyiratkan raut senang di wajah mereka. Ruli dengan polosnya melonjak kegirangan. Dia menarik tangan Lala menuju sofa. Menyuruhnya duduk di samping papanya. Sedangkan dia naik ke pangkuan sang papa.

“Kakak tidur sama Ruli nanti, ya.”

“Bukannya Ruli tidur sama papa?”

Ruli mengangguk antusias. “Iya. Kakak tidur bareng-bareng kami.”

Lala kontan membelalakkan mata. “Nggak bisa, Sayang. Nggak boleh kayak gitu.”

“Kenapa nggak boleh?” tanya Ruli polos.

“Ya, enggak boleh aja. Kakak nanti tidur di kamar lain aja.”

Aiden yang semula diam mendengarkan sambil mengulum senyum, menyahut. “Masalahnya kamar lain sudah jadi gudang, La. Diisi mainan Ruli.”

“Kalau gitu aku tidur di sofa aja,” putus Lala.

Dan Lala memang tidur di sofa pada akhirnya. Bahkan sofa berwarna merah hati ini lebih nyaman daripada kasur butut di kosnya. Aiden juga memberikannya selimut tebal, lembut dan harum. Jauh beda dengan selimut di kosnya.

Lala semakin menyamankan punggungnya di sofa. Jadi orang kaya enak banget, ya.

Dia meraih ponselnya yang terletak di atas meja. Ada pesan dari tante yang mengatakan kondisi mamanya sudah jauh lebih baik. Lalu pesan kedua, menanyakan di mana Lala dapat uang untuk membayar biaya rumah sakit dan obat-obatan. Untuk yang satu ini Lala tidak akan mengatakannya. Jika mamanya tahu Lala kembali berhubungan dengan Aiden, wanita setengah baya itu pasti akan langsung membunuhnya.

Jam berdentang sepuluh kali. Lala kembali meletakkan ponselnya ke meja sebelum menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Dia memejamkan mata. Tak lama kemudian, napasnya mulai teratur.

* * *

Lala tersentak dari tidur ketika mendengar bunyi deringan jam di belakangnya. Setan mana yang sudah berani mengganggu acara tidur sakralnya? Ini adalah saat tidur paling nyaman selama dia berada di kota ini.

Dua hal postif dari Aiden adalah uangnya dan sofanya yang sangat empuk.

Jam itu masih berdering. Lala enggan bangun walaupun hanya untuk mematikannya. Jam laknat itu akhirnya berhenti berteriak setelah seseorang mematikannya. Entah seseorang yang mematikannya, atau berhenti sendiri. Lala tidak mau ambil pusing.

Lalu, masih dalam keadaan setengah tidur, Lala merasa ada tangan yang melingkar di pinggangnya. Pucuk kepalanya dicium bertubi-tubi seiring mengeratnya pelukan di pinggangnya. Situasi yang aneh ini mengharuskan Lala membuka matanya. Tapi kenapa sepasang indera penglihatan ini masih sibuk bersembunyi di bawah kelopaknya?

Aneh, tapi nyaman. Sangat nyaman. Alih-alih bangun dan melihat keadaan, Lala malah semakin terbuai. Detik selanjutnya, dia kembali larut dalam mimpinya.

Sedangkan Aiden, orang yang memeluk Lala, membuka matanya. Cewek itu sudah dia pindahkan ke kamarnya tanpa sepengetahuannya.

Memeluk tubuh kurus Lala seperti ini membuat hatinya menghangat.

“Maaf ya, La. Tapi tolong buka hati kamu sekali lagi untuk aku. Kasih aku kesempatan untuk menebus kesalahan aku di masa lalu.”

Setetes airmata keluar dari sudut mata Aiden sebelum akhirnya dia ikut memejamkan mata. Hari ini dia sudah memutuskan akan datang telat ke kantor demi bisa bersama Lala lebih lama. Karena hanya pada saat Lala tidurlah Aiden bisa memandangi wajahnya lebih lama. Kalau mata indah itu sudah terbuka, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status