Urusan menata hati itu hanya menjadi daftar nomor sekian di hidup Lala yang sekarang. Mulai saat ini dia berusaha memainkan peran sebagai seorang mama yang baik untuk anak berumur lima tahun yang sangat haus kasih sayang mamanya. Lala rela mengesampingkan jeritan perih hatinya ketika Aiden memberikan perlakuan manis. Seperti mengelap sudut bibirnya yang belepotan minyak atau cokelat, menuangkan segelas air untuknya, mengikat rambutnya saat tangannya kotor. Dan banyak lagi perlakuan manis yang Aiden lakukan di depan Ruli.
Ingat, La. Semua ini demi Ruli. Setidaknya, berkat ini dia berharap Ruli tidak tumbuh besar menjadi anak nakal.
“Besok Ruli ulang tahun.” Aiden mengagetkan Lala yang sibuk memasak sarapan. Cowok itu melingkarkan tangannya di perut Lala dan menopangkan dagunya di tengkuk Lala.
“Lepas, Mas.” Lala berontak kecil dalam dekapan Aiden. “Ruli lagi tidur, kan? Kita sepakat nggak kontak fisik kalau nggak ada Ruli di sekitar
Jaga jarak adalah hal yang Lala gaung-gaungkan sejak lima menit yang lalu mereka sampai di mal ini. Dia hanya tidak mau orang-orang menggunjingkannya. Masalahnya bukan di dirinya saja, tapi di Aiden juga akan digunjingkan. Bayangkan kalau Aiden yang notabenenya adalah pewaris tunggal perusahaan Baratya kedapatan jalan dengan wanita dekil sepertinya. Pasti akan gempar seantero jagat raya. Tapi ujung-ujungnya yang di-judge pasti Lala. Yang tidak bersalah menjadi bersalah karena mereka bukan siapa-siapa. Iya, kan? Lala tahu betul itu karena dia sering mengalaminya.Belum lagi jika dia ketahuan Mario. Bisa sangat gawat ceritanya. Lalu, dari Mario sampai ke tante dan ibunya. Duh, bener deh! Lala pasti akan mati dirajam! Ini meskipun Aiden sudah Lala suruh menyamar dengan memakai topi dan kacamata hitam, tetap saja perempuan itu masih ketar-ketir.“La, aku sudah pakai topi sama kacamata gini lho! Kok kamu masih nggak mau jalan di samping aku?” Aiden yang
Ponsel di nakas berbunyi nyaring. Dua orang yang meringkuk di atas tempat tidur tanpa sehelai benang melekat di tubuh, menggeliat. Lala membuka mata ketika tangan yang melingkari perutnya bergerak dan punggungnya di gesek dengan hidung.“Mas Aiden, ada telepon tuh,” kata Lala dengan suara serak.Dia duduk. Bersandar pada kepala ranjang sambil menarik selimut sampai ke dada, sedangkan Aiden dengan mata setengah terbuka meraih ponselnya. Menempelkan ke telinga.Lala mengamati kamar Aiden yang mirip kapal pecah. Meja belajar Aiden berantakan. Lantai kamar berserakan seragam SMA dan tas mereka. Kasur yang selimutnya tak beraturan lagi bentuknya. Bra dan celana dalamnya terletak mengenaskan di kursi meja belajar. Baju kaos dan celana dalam Aiden bahkan tersangkut di kusen jendela.Lala menghela napas. Ada sesal datang menyusup setelah dia melakukan hal terlarang bersama Aiden dua jam lalu.“Kamu nyesal?” Aiden meletakkan ponselny
Langkah Lala terhenti ketika mendengar suara anak menangis tak jauh dari tempatnya sekarang. Cewek itu segera menghampiri segerombolan anak yang sedang mengelilingi seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu menekuk lutut. Terisak hebat.“Ruli nggak punya mama ... karena Ruli anak nakal. Mama Ruli nggak suka Ruli karena cengeng dan nakal.”Begitulah, gerombolan anak itu menyanyi sambil bertepuk tangan. Mereka berdiri membentuk lingkaran lalu mengelilingi seorang anak laki-laki bernama Ruli.“Ruli nggak nakal! Ruli nggak cengeng!”“Ruli emang nakal dan cengeng. Weee ….”Lala buru-buru masuk ke dalam lingkaran dan memeluk Ruli. “Sssttt, kamu jangan nangis lagi, ya. Ada Kakak di sini.”Dia lalu memandangi teman-teman Ruli satu-satu. “Kalian jangan gitu lagi, ya. Nggak boleh bikin teman kalian nangis. Mau nanti dihukum Tuhan?”Anak-anak itu langsung pucat. Mereka menggelen
Lala terbangun karena mendengar deringan ponselnya. Dengan setengah terpejam dia meraih ponsel itu. Tubuhnya langsung beku ketika tante dengan suara bergetar menyapanya lebih dulu.“Halo, La. Maaf Tante ganggu. Tante cuma mau ngasih tahu kalau besok tenggat terakhir pembayaran biaya rumah sakit mama kamu.”Lala terdiam. Memijit pelipis sejenak sebelum berkata, “Iya, makasih Tante,” dengan lirih.“Kamu sudah ada uangnya?”“Eeemmm … belum,” jawab Lala hati-hati.Terdengar tantenya mendesah pelan di ujung telepon. Hal itu sukses membuat Lala tidak nyaman. Merasa sangat merepotkan adik mamanya itu, yang sudah rela merawat mama selama tiga tahun ini tanpa diberi upah sepeserpun. Tak jarang tante malah memberinya uang untuk menebus obat dan keperluan mama yang lain. Padahal, tantenya sama tidak punya uangnya seperti mereka.“Halo? Kamu masih di sana, La?”
Gemerlap cahaya lampu menjadi penghias kelab malam yang ramai pengunjung. Lampu-lampu redup di pasang di seluruh penjuru bar. Menimbulkan kesan remang-remang, bahkan tak jarang ada juga yang menganggapnya romantis. Sekalipun musik yang diputar di sana sanggup bikin pekak telinga.Lala, seperti biasa, dengan gaun kurang kain berwarna merah menyala, lipstik merah, dan sepatu berhak yang juga berwarna merah, berjalan gemulai membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Meletakkannya di meja pengunjung yang memesan. Berlalu setelah melempar senyuman manis terkesan genit. Bukan bermaksud menggoda. Tidak ada sama sekali niat menggoda para laki-laki berdompet tebal. Ini murni suruhan atasan. Bos empunya kelab.Lala berkumpul dengan pelayan lain di ujung meja di sudut kelab. Berdiri sambil mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Hentakan musik tidak mampu membuat tubuh Lala ikut menari. Dia bahkan tidak menikmati kehadirannya di sini. Walapun sudah tiga tahun bekerja, dia masih
Cowok itu lagi!Sumpah mati Lala tidak sudi melihat mukanya lagi.“Permisi,” pamit Lala sambil melepaskan tangan Aiden dari bahunya.Aiden menggeram. Detik berikutnya dia menyeret Lala keluar kelab.“Kenapa main seret-seret sih?!” maki cewek itu saat mereka sudah di luar kelab.Aiden memandangi Lala dari atas sampai bawah. Wajahnya yang beraut hangat berubah datar dan dingin. “Kamu ngapain di sini?”Lala membuang muka. “Bukan urusan kamu.”Tubuh tinggi Aiden semakin menjulang karena badan laki-laki itu menegap. “Jawab aku, La. Kamu ngapain ada di sini? pakai baju kayak gini, lagi. Baju kurang kain. Kayak bukan kamu aja. Terus, aku liat kamu tadi duduk bareng Deson. Kamu nggak sedang godain dia, kan?”“Aku nggak ada waktu untuk menjawab pertanyaan kamu. Aku sibuk.”Lala berlalu. Bermaksud kembali ke dalam kelab.Aiden menyentak lengannya dan la
Alis Lala bertaut. Pagi-pagi, jam enam, pintu kamar kosnya diketuk. Dia yang tengah sibuk menyetitka baju bangkit perlahan. Berjalan menuju pintu penuh pertimbangan. Habisnya, beberapa tahun dia tinggal di kamar sederhana ini, baru kali ini ada yang mengetuk sepagi ini. Tidak mungkin bu Meira karena wanita setengah baya itu sedang keluar kota.Wajahnya memucat. Sambil menggigit bibir, Lala membuka pintu. Pupil matanya langsung melebar ketika melihat Aiden berdiri gagah di depan pintu kamarnya.“Hai.” Aiden menyapa dengan senyum menawan. Senyuman yang sama persis seperti delapan tahun silam.Lala membeku. Denyutan itu terasa lagi. Membuat sesak. Susah bernapas. Bibir Aiden yang tersungging senyum memaksanya kembali ke memori masa lalu. Indah sekaligus menyakitkan itu.Sweet but shit!Meskipun sudah delapan tahun berlalu, tapi sakit hatinya tidak pernah membaik. Lala dibuat heran dengan dirinya sendiri. Orang lain bis
Sepulang dari sekolah, Lala duduk di sofa menemani Ruli belajar membaca. Setelah selesai merapikan rumah –yang-sebenarnya-tidak-pernah-berantakan-, tapi karena Lala merasa sungkan, digaji puluhan juta sedangkan kerjaannya semrawutan. Akhirnya dia secara sukarela menjadi pembantu di sini. Bersih-bersih rumah, menyiapkan makan siang untuk Ruli dan mencuci piring. Bahkan semua itu tidak sepadan dengan gajinya yang luar biasa.Aiden memang gila. Rela mengeluarkan uang puluhan juta cuma untuk membayar tenaganya yang tidak seberapa. Tanpa sadar Lala menggelengkan kepala. Dia kembali memerhatikan Ruli yang sibuk menulis huruf-huruf di bukunya. Lala akui, anak Aiden ini, kepintarannya di atas rata-rata. Saat anak seusianya masih sibuk menghapal huruf, dia sudah bisa membaca. Saat anak-anak lain masih menghapal angka, Ruli sudah hapal perkalian tiga. Gila!Pasti otak encernya ketularan sang papa. Lala ingat saat masih SMA Aiden pasti, selalu, memenangkan olimpiade. Membua