Share

Choice

Cowok itu lagi!

Sumpah mati Lala tidak sudi melihat mukanya lagi.

“Permisi,” pamit Lala sambil melepaskan tangan Aiden dari bahunya.

Aiden menggeram. Detik berikutnya dia menyeret Lala keluar kelab.

“Kenapa main seret-seret sih?!” maki cewek itu saat mereka sudah di luar kelab.

Aiden memandangi Lala dari atas sampai bawah. Wajahnya yang beraut hangat berubah datar dan dingin. “Kamu ngapain di sini?”

Lala membuang muka. “Bukan urusan kamu.”

Tubuh tinggi Aiden semakin menjulang karena badan laki-laki itu menegap. “Jawab aku, La. Kamu ngapain ada di sini? pakai baju kayak gini, lagi. Baju kurang kain. Kayak bukan kamu aja. Terus, aku liat kamu tadi duduk bareng Deson. Kamu nggak sedang godain dia, kan?”

“Aku nggak ada waktu untuk menjawab pertanyaan kamu. Aku sibuk.”

Lala berlalu. Bermaksud kembali ke dalam kelab.

Aiden menyentak lengannya dan langsung meneriakinya. “Aku tanya kamu ngapain di sini?!”

Tubuh Lala kontan mematung. Kaget dengan sikap Aiden. Detik berikutnya dia ikut-ikutan berteriak. “Kerja! Aku kerja di sini!"

"Kerja?" ulang Aiden, tidak percaya.

"Iya! Kenapa? Kamu mau nyewa aku? Mau jadiin aku wanita simpanan juga? Mau jadikan aku mainan lagi?” Dadanya naik turun cepat setelah mengucapkan rentetan kalimat itu.

Aiden tampak kesulitan meneguk ludah. Tangannya terulur ingin memeluk Lala tapi urung ketika melihat tatapan benci yang dilayangkan perempuan itu padanya.

“Kamu nggak cocok kerja di sini, La. Tempat ini terlalu keras buat kamu.”

Lala menggeleng lemah. “Cuma tempat ini yang mau menerimaku.”

 “Banyak tempat lain yang lebih bagus, La. Tapi kenapa kamu malah milih kerja di sini? Kamu emang suka godain pria-pria pengusaha itu, ya? yang duitnya banyak. Kamu jual tubuh kamu ke-.”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Aiden dan membuatnya terdiam. Matanya mengerjap dan tangannya terulur lambat untuk mengusap pipinya yang kebas karena ditampar Lala.

“Cukup kamu menghinaku! Kamu kira aku mau kerja di tempat beginian? Nggak! Kamu pikir hidupku semulus hidupmu? Nggak, Mas! Aku tetap kayak dulu, yang miskin melarat tapi sok jual mahal. Aku kerja di sini karena lagi perlu uang banyak buat biaya pengobatan ibuku.” Lala menyapu pipinya yang basah dengan kasar. Tidak peduli jika dandanannya luntur dan penampilannya akan berubah seperti hantu penunggu kamar kosnya, seperti yang diceritakan Stef. Bahkan hantu itu sepertinya lebih beruntung dari dirinya.

Aiden terkesiap. Mengerjap. Sadar sudah menyakiti hati Lala. “La … aku nggak bermaksud ngomong kayak gitu. Maaf, tadi aku cuma terbawa emosi ….”

Sialnya, Lala sudah terlanjur sakit hati. Bahunya semakin bergetar hebat. Tangannya kini menutupi seluruh wajah. Isakan kecil keluar dari mulutnya.

“Tolong berhenti kerja di sini. Kamu kerja di rumah aku aja, ya. Jadi guru privatnya Ruli. Sekalian jadi pengasuhnya ya, mau, kan? Masalah gaji, berapapun kamu minta aku nggak keberatan.”

Perempuan yang tingginya hanya sedada Aiden itu menggeleng pelan. “Aku nggak butuh belas kasihan kamu.”

Aiden mendesah lirih. “Nggak masalah kalau kamu nggak mau dikasihani. Aku cuma kasihan sama Ruli, La. Kamu nggak kasihan sama dia? Dia nangis-nangis saat kamu pergi sore itu. Dia nggak mau diajar sama yang lain. Dia maunya sama kamu.”

“Aku nggak mau. Aku akan tetap kerja di sini.”

Helaan napas berat keluar dari mulut Aiden. Laki-laki berambut hitam itu melepas jas dan menyampirkannya ke bahu Lala. Dia menangkap tangan Lala yang mencoba melepas jasnya. “Udara malam itu dingin, La. Jangan dilepas kalau kamu nggak mau masuk angin.”

Lalu Stefani datang dari pintu kelab dengan wajah agak panik. Tergesa-gesa menghampiri Lala. Dia melirik sekilas ke arah Aiden sebelum membulatkan mata. Tapi buru-buru diputusnya pandangannya. Dia lalu memandang Lala.

“Kak, tante kakak nelepon tadi. Nggak sempat kuangkat. Telepon balik gih. Siapa tahu penting.”

Lala menerima ponselnya. Dia menghubungi sang tante setelah Stefani kembali ke dalam kelab sebelum mengerling nakal padanya.

“Kenapa, Tan?” tanya Lala saat telepon sudah terhubung.

“Uangnya belum kamu kirim?”

“Ah … itu …, aku belum gajian, Tan. Bos juga lagi di luar kota jadi nggak bisa ditemui.” Lala menggigiti bibir. “ Umm, Tante bisa ngomong sama pihak rumah sakit dulu, nggak, supaya kasih waktu beberapa hari ….”

“Tante udah coba ngomong tadi, La. Kata mereka nggak bisa.”

Lala memijit pelipis. Dengan suara bergetar dia berkata, “Mungkin Lala harus pinjam ke pak Damar, Tan.”

“Nggak bisa deh, kayaknya La. Kamu nggak lihat berita? Rumah pak Damar kebakaran. Ludes semua.”

Saat itu Lala merasa langit runtuh dan menindih tubuh kurusnya. Menghimpit dada. Membuatnya kesulitan bernapas. Kenapa takdir begitu kejam mempermainkan hidupnya?

Lala menjauhkan ponselnya dari telinga. Menggenggam benda itu sampai buku-buku tangannya memutih. Dengan gontai Lala menghampiri Aiden yang masih berdiri di tempatnya. Dia mengembalikan jas Aiden dan berlalu.

“Ada apa?” Aiden mencegat langkahnya.

“Nggak ada apa-apa.”

“Sepuluh juta, La.”

Langkah Lala terhenti dan dia berbalik menghadap Aiden.

“Sepuluhjuta sebulan. Kamu cuma perlu ngajarin Ruli membaca, menulis dan berhitung, terus jagain Ruli sementara aku kerja. Cuma itu aja.”

Alis Lala bertautan. Dia memandang Aiden dengan ekspresi tidak percaya.

“Kamu udah gila ngeluarin uang sebanyak itu,” cibirnya.

“Aku pernah lebih gila dari ini.”

Perempuan itu menghela napas. Baginya gaji dua puluh juta sangat luar biasa. Orang waras mana yang menolak?

Sayangnya Lala bukanlah orang waras. Hatinya masih kukuh, menolak. Lagipula, denyutan sakitnya masih terasa di sana. Jika menerima tawaran Aiden sama saja mengizinkan hatinya disakiti secara cuma-cuma.

“Aku nggak bisa.”

“Kenapa?”

Lal menggeleng pelam. “Aku nggak mau ketemu kamu lagi.”

Aiden mendekati Lala. Kembali menyampirkan jasnya di bahu kecil itu. “Itu gampang diatur, La. Aku akan pergi saat kamu datang. Kamu bisa pulang sebelum aku kembali dari kantor. Pokoknya akan aku usahain kamu nggak liat wajahku selama kamu ada di rumahku.”

Melihat raut bingung Lala Aiden kembali berkata, “Atau gini aja, Ruli aku antar ke kos kamu deh, pagi-pagi. Setelah aku pulang kerja aku jemput dia lagi. Itu lebih mudah, kan? Mau, ya La?”

“Aku-.”

“Sepuluh juta aku bayar sekarang,” kata Aiden, memotong ucapan Lala. “Tugas kamu cuma jadi pengajar sekaligus pengasuh Ruli. Dan ….”

“Dan?”

“Berhenti kerja di sini.”

Aiden menarik tangan Lala menjauhi kelab malam itu. Sampai di mobil hitam, Aiden berhenti. Membukakan pintu mobil untuk Lala.

Gadis itu menatap Aiden, keheranan.

“Masuk. Aku antar kamu pulang.”

“Aku nggak mau pulang.”

Cowok itu kembali menghela napas. Meremas bahu Lala lembut dan berkata, “Gimana kalau aku naikin bayaran kamu? Lima belas juta sebulan, La. Tanpa ketemu aku sedetikpun. Aku jamin.”

“Oh?” Lala mengerjap.

“Aku anggap kamu setuju.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status