Ahda hanya duduk dalam diam melihat sahabatnya itu menangis tersedu-sedu. Ia tidak dapat melakukan apa-apa untuk menenangkan kekalutan hati gadis bermata indah itu. Ahda tahu kata-kata saja tidak akan cukup untuk memberikan ketenangan. Kedua mata indah gadis itu terlihat bengkak dan merah, Ahda tahu pastilah gadis itu telah menangis selama berhari-hari.
Sejak beberapa hari lalu, Ahda terus mencari-cari sosok sahabatnya itu di sekitar kampus, namun sosok gadis itu seakan raib begitu saja. Tanpa jejak, tanpa kabar. Ia mendatangi kelas kuliah Faza, namun gadis itu juga tidak hadir di kelasnya. Teman-teman sekelasnya juga tidak ada satu pun yang tahu kemana gerangan gadis itu menghilang. Sudah lima hari ia tidak masuk kelas tanpa kabar berita. Ahda mencoba menelepon hp nya, namun hanya suara operator yang menjawab. Khawatir. Itulah perasaan yang dirasakan Ahda. Khawatir jika gadis itu menghilang kembali.
Akhirnya, siang itu, usai mengikuti kelas, Ahda memutuskan untuk bert
Waktu berlalu bergitu cepat, tanpa terasa waktu pengabdian untuk Rania tinggal hitungan jari. Satu minggu usai hari raya ia bebas dari kewajiban yang mengikatnya dan tinggallah mengambil ijazah di Pondok Maarif pusat. Tentu mengambil ijazah juga bukan hal yang mudah, butuh kesabaran dan keuletan. Rania, Syifa, dan Marwah telah berencana untuk langsung ke pondok pusat selesai dibebas tugaskan. Mereka telah memesan tiket kereta sejak satu bulan yang lalu. Barang-barang yang sudah tidak begitu mereka perlukan telah dibereskan dan dikirim ke rumah masing-masing. Meski jarak rumah Rania tidak terlalu jauh, namun ia juga memilih untuk menggunakan jasa paket karena tidak ingin menyusahkan keluarganya. Syifa dan Rania memutuskan untuk menceritakan segala rahasia yang mereka sembunyikan dari Marwah ketika melakukan perjalanan ke pondok pusat. Mereka tidak ingin Marwah mendengar dari orang lain karena ditakutkan akan menimbulkan kesalah pahaman.Rania merasa tidak sabar untuk segera le
“Hei ngelamun terus kamu nih,” Syifa yang baru pulang dari Shalat Tarawih bersama Marwah mengagetkan Rania yang sedang memainkan rubik di tangannya, namun pandangan matanya tidak terpaku pada benda berbuntuk kubus itu.“Kalian ini bikin orang jantungan saja,” ucap Rania dengan memasang wajah kesal.“Kamu sih ngelamun terus, orang lagi salam bukannya dijawab,” Marwah kali ini yang perotes.“Hehehe maaf, maaf aku tidak mendengarnya.”“Ya iyalah kamu tidak mendengarnya, orang lagi melamun,” goda Syifa.“Lagi melamunkan Ustaz Ahda ya?” Marwah menimpali.Rania menggelengkan kepalanya.“Aku sedang mikirin nenek,” ucap Rania beberapa saat kemudian.Syifa dan Marwah saling berpandangan.“Nenek kamu lagi sakit?” Tanya Syifa.“Tidak, tapi nenek menyuruhku untuk pergi ke London setelah selesai ujian masuk perguruan tinggi.&r
Ahda memandang sahabatnya dengan sedih. Gadis yang selama ini dikenalnya periang dan ceria tiba-tiba menjadi begitu kacau. Raut wajahnya hanya menyiratkan duka dan kesedihan. Sudah lebih dari satu minggu ibu Faza terbaring tak sadarkan diri, gadis itu dengan setia menemani ibunya dengan penuh kesabaran.“Da...da sini,” Faza tiba-tiba histeris membuat Ahda yang duduk di sofa kamar perawatan terkejut.“Ada apa Faz?” tanya Ahda ketika telah berada di samping Faza.“Tangan umi bergerak,” raut wajah Faza memancarkan sedikit sinar kebahagiaan.Pandangan Ahda beralih pada tangan yang digenggam oleh Faza. Ahda dapat melihat tangan Umi Fatimah yang bergerak-gerak perlahan.“Aku akan panggilkan dokter dulu Faz,” Ahda berlari ke luar perawatan tanpa menunggu jawaban dari Faza.Beberapa saat setelah kepergian Ahda, Umi Fatimah membuka matanya dan mengeratkan genggaman tangan Faza.“Umi, akhirn
Ahda menceritakan semua alasan Rania dan dirinya harus memutuskan hubungan. Ahda menceritakan surat-surat yang dikirim Rania dan juga surat-surat balasan yang dikirimkan oleh Ahda pada Rania.“Kenapa kamu tidak menceritakanya?” akhirnya hanya kata-kata itu yang mampu untuk diucapkan oleh Faza.“Belum menemukan waktu yang tepat dan baru hari ini lah waktu yang tepat itu datang.”Faza melirik kesal pada sahabatnya itu.“Jadi, tidak ada masalah bukan sekarang?” Ahda kembali bersuara.Faza semakin kesal mendengar ucapan dari Ahda.“Kamu tidak mengerti juga ya? Aku tidak bisa Ahda, aku tidak bisa menikah denganmu atau dengan pria lainnya,” Faza kembali meningikan nada bicaranya.“Faza, jika alasan kamu tidak mau menikah dengan ku karena kamu takut tidak bisa memberian keturunan untukku, tolong lupakan alasan bodoh itu,” Ahda kembali mencoba menyakinkan Faza.“Apa kamu
Sudah dua minggu Rania berada di rumahnya. Hari Raya Idul Fitri tahun ini dia habiskan di Pondok Al-Hikmah karena ustazah-ustazah yang pengabdiannya hanya satu tahun memang ditugaskan untuk menunggu pondok pesantren. H+6 usai Hari Raya Idul Fitri barulah para ustazah baru diizinkan pulang dan dibebaskan dari kewajiban pengabdian. Meskipun demikian Rania memilih untuk tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia bersama temannya Syifa dan Marwah langsung pergi ke Pondok Maarif pusat untuk mengambil ijazah mereka. Membutuhkan waktu sekitar satu minggu lamanya untuk mereka mendapatkan ijazah karena urusan birokrasi yang cukup panjang dan rumit, namun dengan kesabaran dan doa mereka, akhirnya ijazah itu dapat berada di tangan mereka.Selama dua minggu di rumah tidak banyak hal yang dilakukan oleh Rania. Satu minggu pertama, ia memang sibuk belajar untuk tes masuk perguruan tinggi, namun setelah selesai melakukan tes di hari kesepuluh ia di rumah, gadis itu tidak memiliki kegiatan yang m
“Hai Nek, maaf ya menunggu lama Rania mandi,” Rania mencium neneknya yang sedang duduk di meja makan, namun pandangan gadis itu kearah yang berbeda. Pandangannya tertuju pada sosok pria yang sedang duduk di seberang sang nenek.“Iya tidak masalah sayang. Oh iya Ran perkenalkan dia Robert, anak asuh nenek.”Pria yang bernama Robert itu berdiri dari tempat duduknya dan mengulurkan tangannya ke hadapan Rania, namun gadis bermata teduh itu tidak membalas uluran tangan pria bermata hazel tersebut, ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum, “Rania.”Robert kembali menarik tangannya dan membalas senyum Rania, “Robert.”“Rania, Robert ayo duduk, kita mulai makan malam kita, sepertinya Rania sudah sangat lapar.”Rania tertawa mendengar ucapan sang nenek, “Nenek memang paling tahu ya kalau cacing-cacing di perutku sudah berdemo minta diberi makan.”“Rani
Rania terbangun ketika mendengar Adzan Subuh dari hp miliknya. Dengan mata yang masih setengah tertutup ia melihat jam dinding yang terpajang di dalam kamar yang ditempatinya. Rania berjalan dengan gontai menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri dan mengambil air wudu.Usai menyelesaikan urusannya di dalam kamar mandi, Rania pun mengambil mukenahnya yang diletakkan di atas sofa kamar, ketika Rania sedang menggelar sajadahnya, tiba-tiba seseorang mengetuk pitu kamar tidurnya.“Rania, kamu sudah bangun sayang?” suara Nenek Ainun menyertai ketukan tersebut.Rania menggeletakkan sajadahnya yang belum tergelar dengan sempurna begitu saja, kemudian berjalan kearah pintu kamar. Ia membuka pintu itu dengan perlahan, sosok Nenek Ainun yang sedang menggunakan mukenah berdiri tegak di balik pintu.“Nenek,,,” Rania tersenyum melihat sang nenek.“Kamu sudah salat Rania?” Nenek Ainun memperhatikan cucunya dari kepala hingga k
Usai mandi dan sarapan Rania memilih untuk menonton televisi di ruang keluarga tanpa disangka Robert pun sedang berada di ruang keluarga, namun pria itu tidak sedang menonton siaran televisi, ia sedang memandangi layar laptop miliknya.“Kamu sedang apa?” Rania menyapa Robert.“Eh kamu Ran, sejak kapan di situ.”Rania memutar bola matanya kesal, “Robert,,,Robert aku tanya apa kamu jawab apa,” keluh Rania.“Iya,,,iya aku dengar kok pertanyaan kamu. Aku sedang mengecek laporan kantor dari sekertarisku.”“Oh begitu, pantas saja serius banget. Kalau aku nonton tv terganggu atau tidak?”“Tidak kok, tonton saja ini sebentar lagi juga selesai.”Rania pun mengambil remot tv yang tergeletak di atas meja. Gadis itu terus memencet-mencet tombol remot untuk mencari saluran yang menarik, namun tidak juga mendapatkan siran yang menarik. Robert menyadari bahwa R