Bayu tersenyum puas, “Bayangkan. Kita bisa memperbaiki ekonomi kita dengan benda ini.” Ia memandang kedua temannya.
Mereka bertiga tampaknya sangat bahagia dengan angan-angan yang sangat terang itu. Membayangkan kehidupan yang lebih terjamin tentunya sangat luar biasa bagi mereka yang telah lama terpuruk dalam kemiskinan.
“Sekarang aku akan menawarkan barang ini kepada Amang Ucai. Siapa tahu ia punya minat untuk membelinya.”
“Sebaiknya jangan!” cegah Rukmana, “Amang Ucai itu pelit dan licik. Aku melihat beberapa hari yang lalu ia membeli gelang dari seseorang dengan sangat murah. Padahal gelang itu cukup bagus untuk dihargai lebih dari yang ditawarkan Amang Ucai.”
“Aku setuju dengan Rukmana,” Sutha menyetujui sambil mengusap-usap kalung itu.
“Lalu ke mana kita menjualnya?”
“Kepada Kolektor benda berharga!” jawab Rukmana yakin.
“Aku setuju dengan Rukmana,” Sutha masih tetap mengelus-elus kalung itu.
“Aku punya kenalan kolektor, dia salah satu orang yang dulu ikut mengantar almarhum ayahku ke rumah sakit setelah kecelakaan. Namanya Surya Andira. Ini kartu namanya.” Rukmana menyerahkan sebuah kartu nama dari dompetnya kepada Bayu.
Bayu meneliti kartu nama itu sejenak. “Surya Andira. Alamat jalan Temanggung Tilung 21.”
“Menurutmu lebih aku langsung menemuinya di rumahnya sekarang?” tanya Bayu lagi.
“Lebih cepat lebh baik.”
“Aku setuju dengan Rukmana,” kali ini Sutha mengusap kalung itu dengan hidungnya.
“kau tak punya kosa kata lain!” bentak Bayu jengkel kepada Sutha.
“Aku akan ke sana sekarang…”
“Sebaiknya benda ini kau tinggalkan di sini saja. Kami akan menjaganya. Kau akan punya banyak resiko serius jika membawanya ke rumah Pak Surya.”
“Aku Setuju dengan Ruk…”
Bayu keburu menimpuk Sutha dengan serbet. Dan tepat mendarat di hidungnya.
“Kalau begitu kalian harus menjaga benda ini baik-baik. Apalagi dengan pria menyebalkan itu,” Bayu menunjuk Sutha yang sepertinya tak menyadari.
“Tentu saja,” Rukmana memandang Sutha sambil tersenyum geli, “ia selalu setuju denganku.”
“Dia selalu setuju dengan siapapun yang bisa menguntungkannya,” tuding Bayu sebal
“Aha! Kali ini aku setuju padamu, Bayu,” sahut Sutha sambil tertawa.
“Pergilah sana. Jangan buang-buang waktumu.” saran Rukmana sambil tersenyum.
Bayu hanya cemberut.
..................................................................................................................................................................................
Palangka Raya, Jalan Temanggung Tilung, Maret 2010
Bayu turun dari angkutan kota berwarna orange yang di atapnya ada papan putih kecil bertuliskan inisial jurusan angkot itu, F.
Jalan Temanggung Tilung induk. Ia kini tinggal mencari jalan Temanggung Tilung 21 dan rumah Pak Surya. Setelah itu semuanya akan terlihat mudah bagi Bayu. Ini seperti nafas baru yang ia hirup.
Dan tentu saja ia herus berterima kasih kepada pria memakai kantong tadi malam yang telah lengah dan membuatnya bisa dengan mudah menyelipkan tangannya ke dalam kantongnya dan mengambil benda berharga itu. Benda berharga yang sebenarnya sangat sayang ia jual jika bukan karena kesulitan ekonomi. Benda itu berbentuk kalung dengan kepala permata mengagumkan.
Bayu telah melalui Temanggung Tilung 23, tinggal melewati Temanggung Tilung 22 saja lagi, dan ia akan menemukan jalan yang ia cari. Bayu baru menyadari kalau ia mulai merasa deg-degan.
Kakinya terus melangkah cepat. Ia ingin sekali segera mengakhiri pencarian ini dan segera menghirup nafas baru dalam hidupnya. Semakin cepat langkah kakinya semakin kencang pula degup jantungnya. Ia tak menyadari ada beberapa orang yang heran dengan tingkahnya dan caranya berjalan, belum lagi dengan mukanya yang tegang. Mungkin orang-orang berpikir bocah itu sedang mengejar atau melarikan diri dari sesuatu yang berbahaya.
Dan akhirnya Bayu tepat berhenti di depan gerbang jalan Temanggung Tilung 21. Gerbang yang tampaknya tak dihiraukan dan sudah mulai usang bertuliskan SELAMAT DATANG DI SENTRAL INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH.
Bayu melangkahkan kakinya perlahan mencoba setenang mungkin, setidaknya ia tak akan membuat Pak Surya curiga ia mendapatkan barang itu dari mana. Ia sudah punya banyak cerita bagus untuk menjawab kecurigaan Pak Surya, dan ia tak ingin kegugupannya menghancurkan semuanya.
Ia kini mengeluarkan kartu nama Pak Surya, berusaha meyakinkan alamatnya. Dan sialnya tak ada data yang menyebutkan nomor rumah Pak Surya. Itu artinya ia harus lebih lama meredam perasaannya yang semakin deg-degan. Ia berdoa semoga di wilayah ini tak ada anjing ia tak ingin berurusan dengan hewan itu. Tapi tampaknya ia harus lebih banyak berdoa, karena teman-temannya pernah bercerita bahwa wilayah ini cukup banyak pemilik rumah yang punya rasa penyayang anjing. Bayu ingin sekali memaki Pak Surya jika saja ia tak melihat sebuah rumah bagus berpagar besi warna merah yang tertempel plang kecil bertulis “Surya Andira Ketua RT III”.
Hati Bayu berteriak girang, ia telah membayangkan uang yang akan ia dapatkan dari pria pemilik rumah yang ternyata juga ketua RT ini. Ia semakin menyadari degup jantungnya telah benar-benar meledak-ledak, Tangannya bersiap menyentuh bel pagar besi merah itu. Pagar yang akan membawa mimpinya melambung mimpi. Dan ia tak akan pernah turun lagi.
Namun sebelum ia sempat menekan bel, tiba-tiba muncul asap tebal berwarna abu-abu pekat di depan mukanya. Dan yang lebih mengejutkan, asap tebal itu perlahan berubah menjadi dua sosok laki-laki dengan wajah yang menyebalkan, seorang laki-laki pendek dan seorang laki-laki bermuka seperti ingin tertawa yang berambut sangat berantakan.
“Taraaaa! Kejutan anak muda!”
Pria pendek membuat Bayu terlonjak kaget
“Si.. siapa bapak-bapak ini?”
“Kami? Algojomu! Dahup, kenapa kau diam saja! Ayo ikat tangan pencuri ini!” kata pria pendek yang tak lain adalah Samira.Dahup langsung bertindak dan mengikat tangan Bayu dengan seutas rantai yang tampaknya sudah diisi dengan sihir aneh oleh Samira.Bayu hanya berdiam saja, ia tampaknya pasrah dan mengira dua orang pria nyentrik yang menyergapnya ini adalah polisi yang telah lama mengincarnya. Tiba-tiba impiannya yang baru saja membumbung tinggi dengan sangat deras menghantam kembali dalam titik terendah harapannya.“Sekarang beritahu kami, dimana kau sembunyikan benda yang kau curi itu?”“Ben..benda yang mana, Pak?”“Kau masih mau membantah? Apa perlu kucabut gigimu baru kau mau mengaku?”Bayu seketika ketakutan, “Saya tidak tahu benda yang bapak maksud sebelum Bapak menjelaskan seperti apa benda itu.”Samira memandang sok serius pada Dahup. Sialnya Dahup malah sedang mempe
“Di mana itu?”“Yang jelas di tempat yang tidak akan kalian temukan jika kita terus duduk berbincang di sini”“Berapa lama kah kami di sana?”“Sampai urusan kalian selesai.. ”“Tapi.....” Rukmana berusaha menahan kepanikannya, “Saya harus sekolah, membantu Ibu saya jualan.”“Bagaimana Gusti?” Gama meminta kebijakan dari Patih Tarkas.“Baiklah. Khusus untuk anak ini,” Patih Tarkas menunjuk Rukmana, “Kuperintahkan kau, Arni, untuk sedikit membuat ibunya sejenak melupakan anaknya, ya semacam menghapus ingatan seperti itu. Bisa?”“Dengan senang hati, Gusti.”Arni lalu mendekati Rukmana menyentuh ubun-ubun gadis remaja itu dengan telapak tangannya. Rukmana bingung sekaligus takut dengan apa yang dilakukan Arni namun ia hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, begitu pula dengan kedua sahabatnya. Arni memejamka
Rumah Tawanan Ramina, Kota Mandira, Negeri Danta, 2010 “Demi Tuhan, aku tak mengerti apa yang terjadi pada kita bertiga saat ini..” ucap Rukmana pagi itu. Tiga sahabat itu ditempatkan di sebuah rumah yang cukup besar di lingkungan istana, cukup nyaman. Mereka hampir bukan lagi sebagai tawanan. Yang membuat mereka dikenali sebagai tawanan adalah karena mereka diawasi ketat oleh beberapa pengawal yang berbaris di depan rumah itu. Apapun yang ingin atau mereka lakukan harus dilaporkan kepada pengawal itu. Sungguh suatu hal yang sangat menyebalkan, pikir mereka. Mereka yang terbiasa hidup bebas berkeliaran ke sana kemari, kini harus diawasi super ketat. Tak hanya ada mereka di tempat itu, ada pula seorang perempuan separuh baya yang bertugas memasak di tempat itu, dan seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang menjadi petugas kebersihan di rumah itu. Untungnya, dua orang itu begitu ramah kepada Bayu dan dua sahabatnya, setidaknya selam
“Paman, saya selalu mencoba menebak negeri apa ini?” tanya Bayu kepada Sandanu sesaat ketika mereka menikmati istirahat setelah membersihkan kolam ikan hias di samping tempat pemandian air panas yang sering digunakan para istri pejabat istana. Sandanu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bayu itu. Ia menuang air dari kendi sebesar topi besi perang ke dalam gelasnya dan gelas Bayu lalu mereguknya perlahan. “Saya mencoba mencarinya di buku yang ada di rumah yang kami tempati, namun saya tak menemukannya.” Sandanu menyodorkan segelas air kepada Bayu, ia sendiri langsung meminum air di gelasnya sendiri, “Aku tak pernah tahu pasti apa yang terjadi, namun kakekku pernah bercerita bahwa Dunia di balik kabut merupakan dunia tersembunyi yang diisi oleh masyarakat layaknya duniamu, Nak.” “Maksudmu alam gaib?” tanya Bayu antusias. “Sejenis dunia yang berisi hantu? Apakah wajahku semenyeramkan itu?” Sandanu tertawa,”Dunia ini tak ada bedanya
“Apa Paduka Ratu tidak ingin bertemu dengan para remaja tawanan kita itu?” tanya seorang dayangnya ketika sedang menyisir rambut indah Ayunda sore itu. Ayunda tidak menjawab, matanya melempar pandangan ke luar jendela kamarnya. Mencoba menerawang keagkuhan sore kala itu, mencoba membius udara sore yang kering. Angin kering. Beberapa ekor burung kecil berjejer terbang melintasi udara di luar kamar Ayunda yang memang berada di lantai atas istananya yang megah. Ayunda melempar senyum cantiknya pada barisan burung yang sedang menyapa angkasa itu, burung-burung tersebut berkicau mesra menyambut senyum sang Ratu. “Seluruh pelosok negeri tahu jika anda memiliki senyuman yang mampu membuat pohon yang kering kembali menuai bunganya, Paduka...” kata dayang tersebut seraya mengurai rambut Ayunda. Ayunda menoleh ke arah dayangnya sambil tersenyum, “Dan kau adalah sahabat terbaik yang aku miliki, Riani...” Riani, Dayang tersebut, melangkah pelan mengambil sebuah s
“Ikutilah apa kata Bibimu..” ujar Sandanu, “Ia sudah memasak makanan yang sangat lezat untuk kita malam ini..” Bayu dengan enggan akhirnya masuk ke kamarnya. Ia tampak sangat belum puas. Dicobanya merebahkan diri di dipan, berusaha serileks mungkin. Namun hal itu begitu sulit dilakukannya. Pikirannya melayang pada kalung Gajahsora, pada peperangan yang akan terjadi, dan pada dunia yang katanya tak kasat mata yang selama beberapa hari ini ia diami. Ia sendiri tak habis pikir, sebenarnya Bayu adalah orang yang sulit untuk membiasakan diri memperhatikan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengannya. Namun kali ini otaknya seakan memaksanya untuk larut dan turut serta memikirkan urusan dunia yang sebenarnya begitu asing baginya ini. Tak merasa nyaman berbaring, ia mencoba berjalan ke sebuah lemari buku di salah satu sisi kamar tersebut. Ketika baru datang, Bayu mencoba untuk tertarik pada buku-buku itu, namun sulit. Buku-buku itu begitu tebal dan nampak usang.
Panah-panah tersebut dengan cepat menghujani Bayu. Bayu dengan segala sisa kemampuannya mencoba menghindar sambil sesekali memekik antara ketakutan, panik, mengumpulkan keberanian, dan meminta pertolongan. Ada beberapa yang sempat menyerempet bagian tubuhnya, namun tak sampai membunuhnya. Bayu dengan penuh kesakitan berlari sambil terus memegangi panah yang menancap tubuhnya ke arah pintu. Ia berlari dengan gontai sambil memanggil Sandanu, Jumara, Rukmana, Sutha, bahkan siapa saja yang diharapnya mampu mendengarnya. Di tengah derita itu, ia sempat mendengar derap kaki panik mendekatinya. Sandanu memeluk tubuhnya dengan kepanikan. Di belakangnya ada Jumara, Sutha dan Rukmana dengan raut wajah tak kalah cemas. “Panggil pengawal segera!!!” pekik Sandanu dengan cemas. Ia memeluk tubuh Bayu yang basah kuyup dengan darah. Sutha segera berlari ke luar menemui pengawal yang nampaknya tak menyadari ada kejadian ini di kamar Bayu. “Jumara, bawa Rukmana ke tempa
Bayu terbangun dengan keringat mengucur deras dari dahinya. Ia seperti baru saja melakukan pertarungan yang begitu keras. Untuk beberapa saat ia merasa panadangannya nanar, semua yang ditangkap oleh kornea matanya hanya berupa visualisasi buram. Ia seperti melihat bayangan banyak benda pada air yang sedang bergejolak, perlahan dan perlahan sehingga kembali normal. Hal pertama yang ia sadari adalah ia merasakan nyeri yang begitu dalam pada sisi di bawah tulang iganya. Ia mengeluh tertahan. Kemudian ia menoleh ke sisi kananya, seorang perempuan tua sedang mengupas apel di situ. “Jangan terlalu banyak bergerak, Nak. Akan membuat lukamu semakin membesar...” ucap perempuan itu sambil terus mengupas apelnya. “Apa yang terjadi sebenarnya...?” Bayu berusaha mengumpulkan memorinya. “Kau terluka parah, hampir mati, dan sejak tadi malam kau terus-terusan mengerang kesakitan sambil memejamkan mata. Kau membuat murid-muridku, para perawat pemula itu menjadi panik.