Share

10. KEJUTAN PARA DEWA

Perempuan itu tidak menjawab. Ia menyingkap kain hijau yang menutup nisan ketiga makam itu. Hingga tulisan di nisan itu kini dapat terlihat dengan jelas.

Makam pertama bertuliskan :

Terbaring dengan mesra dan damai

Aswathama Arya

Lahir 03-01-1963

Wafat 29-03-1995

Makam kedua yang berukuran sama bertuliskan :

Terbaring dengan mesra dan damai

 Aruna Prahesti

Lahir 16-07-1966

Wafat 29-03-1995

Dan di makam terakhir yang ukurannya paling kecil tertulis :

Terbaring dengan mesra dan damai

Ganendra Aryasathya

Lahir 25-09-1986

Wafat 29-03-1995

Mereka membaca tulisan di ketiga makam itu berulang-ulang kali berharap ada kesalahan saat mereka membaca nisan itu. Namun tak ada yang berubah.

“Jadi Ganendra Aryasathya…” kata Tadana putus asa.

Perempuan itu membersihkan ketiga makam dengan perlahan dan perasaan diliputi kenangan yang berat dan perih, “Mereka pergi begitu mendadak di hari yang sama, jam yang sama, detik yang sama 15 tahun lalu. Mereka diracuni, entah oleh siapa. Saat itu saya sedang tak ada di rumah, saya izin pulang kampung untuk menjenguk keluarga yang sakit. Tapi saya mendapat kabar buruk itu dan langsung kembali ke sini. Dan hanya menemukan makamnya di sini.”

“Sebenarnya anda siapa?” tanya Patih Tarkas.

“Bukan siapa-siapa,” perempuan itu kali ini membersihkan dan merapikan foto yang tertempal di dinding ruangan itu, “hanya wanita tua yang diselamatkan oleh ibu Tuan Ganendra ketika saya hampir saja bunuh diri ketika mengetahui suami saya selingkuh. Ia yang membawa saya ke sini dan menjadikan saya bagian dari keluarganya. Dan saya memang telah mengabdikan diri pada keluarga ini.”

Mereka terdiam sejenak. harapan yang tadi melambung tinggi kini pecah bagai balon berisi air yang ditusuk dengan jarum yang tidak hanya menghasilkan kekecewaan tapi juga menumpahkan kesedihan yang sangat dalam ketika mendengar cerita tragis keluarga bahagia itu.

“Tapi ngomong-ngomong. Apa sebenarnya yang tuan ini ingin bicarakan dengan Tuan Ganendra?”

Gama sepertinya tidak siap menjawab pertanyaan mendadak dari perempuan itu. Ia memandang Patih Tarkas, Sang Patih pun sepertinya mempunyai masalah yang sama. Sebelum Samira berbisik kepadanya.

“Tenang, Gusti. Paduka Ratu Ayunda tentu tak ingin hal ini dibocorkan. Dan saya sepertinya punya bakat mengarang bebas untuk ini.”

Untuk pertama kalinya sejak perjalanan itu, Samira tersenyum hangat yang kali ini tampaknya murni tulus dari hatinya yang ternyata tidak begitu dangkal. Ia menatap ramah kepada perempuan itu. “Begini, Bu, Sebenarnya….”

.......................................................................................................................................................................................

Palangka Raya, Maret dini hari, 2010

Empat belas pria berjalan meninggalkan rumah Ganendra Aryasathya dengan tampang yang sangat tidak diinginkan dimiliki oleh siapapun. Pikiran mereka bercampur aduk antara kecewa, sedih, heran, bingung, dan putus asa yang berputar-putar dengan leluasa di dalam kepala mereka. mereka telah meninggalkan rumah Sang Pahlawan yang diramalkan Ampu Estungkara adalah pemilik dari Kalung Gajahsora.

Tentu saja berkat cerita mengharukan dari Samira yang mengatakan kepada Perempuan yang berada di rumah Ganendra, bahwa sebenarnya mereka adalah saudara jauh dari Aswathama Arya, ayah Ganendra, yang ingin bertemu dengan Ganendra Aryasathya untuk membicarakan masalah pembagian warisan yang melibatkan bocah malang itu, sebelum mereka tahu kalau keluarga kecil harmonis itu telah tiada. Dan tentunya cerita itu sedikit banyaknya telah membuat perempuan itu beberapa kali menghabiskan tisu untuk menyapu air matanya.

Yang paling terpukul tampaknya adalah Arni. Terutama karena Sang Gahyaka yang dipuja-pujanya ternyata malah membawa mereka pada kekecewaan.

Samira duduk disebuah batu besar dipinggir jalan raya yang sepi yang dikelilingi oleh rawa setelah mereka memutuskan untuk beristirahat di situ, “Aku masih tak mengerti apa yang diinginkan oleh Rusa nyentrik itu.”

Tatra merebahkan diri di atas rumput tebal di sebelah Samira, “Padahal katanya yang ditunjukkan Gahyaka itu selalu tepat.”

“Ya, aku juga tahu itu. Ia binatang peliharaan dewa yang paling cerdas. Sering menjadi simbol ilham dan inspirasi, “ Samira menambahkan, “Aku diceritakan guruku. Ia adalah Yustanus, kalian tahu, khan. salah satu penyihir yang katanya paling sering bertemu Gahyaka.”

“Tampaknya yang paling terpukul dengan kejadian ini adalah Arni,” kata Tadana.

“Hei, jangan lupakan aku,” Seru Dahup, “Sekarang aku ternyata lebih memilih semua catatan penjelajahanku daripada menyentuhnya.”

Meskipun cukup terpukul, Arni masih berusaha tersenyum, “Lupakan sajalah. Sepertinya dewa sedang punya selera humor yang tinggi.”

“Sekarang, apa yang kita lakukan?” tanya Susena.

Tidak ada yang menjawab.

Patih Tarkas berdiri dan menatap jauh ke arah rawa-rawa, “Kita kembali ke Negeri Danta. Ceritakan yang terjadi pada Ratu Ayunda.”

“Dengan membawa Kalung Gajahsora?”

Semuanya diam.

Dirga mengangkat tangannya.

Patih Tarkas menatap Dirga dengan antusias, “Ada apa, Dirga?”

“Mohon maaf sebelumnya. Tapi bukankah kembali ke Danta dengan membawa Kalung Gajahsora sangat berbahaya? Mengapa kita tak mencoba menyembunyikannya sementara waktu di tempat yang aman?”

“Di mana?”

“Di dalam makam Ganendra Aryasathya!” jawab Dirga yakin. “Kita mungkin tidak bisa membuat Ganendra hidup dan mengalahkan musuh. Tapi dengan menyimpannya di pusara Ganendra, setidaknya ada kekuatan yang tak kita ketahui yang akan melindungi kalung itu, seperti kata Ampu Estungkara, Ganendra ditakdirkan untuk Kalung Gajahsora. Dan tentu takdir itu punya kekuatan yang akan melindungi kalung itu bagaimanapun kondisi Ganendra. Benar, kan?”

Semua anggota tampaknya menyetujui gagasan itu.

Bahkan Patih Tarkas tersenyum bangga pada Dirga yang tak lain adalah anak angkatnya sendiri, “Ide cemerlang seorang Panglima.”

“Terima Kasih, Gusti.”

“Bagaimana kalau kita sekarang saja ke makam Ganendra. Masih cukup malam, hampir dini hari. Kalau siang, kita tentu tak dapat membongkar makamnya dengan tanpa mencurigakan, bukan,” usul Dahup.

Samira yang tampaknya belum puas beristirahat menggerutu. “Ide cemerlang seorang penjelajah.”

Gama yang sedari tadi lebih banyak diam, kini tersenyum, “Terlebih dahulu aku harus memastikan kalung Gajahsora tetap di posisinya.”

Gama mememasukkan tangannya ke dalam Kantongnya mencoba menggapai Kalung Gajahsora yang dibungkus dengan kain perunggu. Tapi roman mukanya langsung berubah panik. Apa yang dicarinya tidak ada. Hanya tertinggal kain perunggunya saja. dikeluarkannya seluruh isi kantong itu dan sialnya kalung itu betul-betul menghilang.

Gama memandang teman-temannya dengan muka yang sangat menyesal. Dan tak perlu penjelasan panjang lebar bagi yang lain untuk mengerti apa yang sedang terjadi.

"Maafkan saya... " ucap Gama penuh sesal.

Rombongan utusan itu semakin terpukul, muka lesu dan putus asa terpampang jelas dari raut wajah mereka. Beberapa di antaranya malah memutuskan untuk duduk di trotoar karena saking putus asa.

Entah 'Kejutan' apalagi yang disiapkan oleh Para Dewa, pikir mereka dalam kekalutan dini hari itu.

Cukup lama larut dalam kebingungan putus asa, dan kepanikan dalam diam akhirnya Patih Tarkas menepuk Gama dengan bijak dan berusaha tenang sebagai salah satu pejabat senior kerajaan, “Ini bukan salahmu. Kau telah menjadi penunjuk perjalanan yang hebat.”

“Apa mungkin dicuri pasukan pengintai Adighana?” gumam Dahup.

“Mustahil,” sanggah Dirga, “Keberangkatan kita ini sangat rahasia. Hanya Paduka Ratu dan beberapa pejabat istana yang tahu. Kecuali ada penghianat di antara kita. Tapi kuharap tidak.”

“Sekarang bagaimana?” tanya Samira.

Patih Tarkas mendesah panjang. “Sudahlah. Kita tidak boleh saling menuduh. Ini ujian dalam tugas kita. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah memastikan kalau Kalung itu tidak berada di tangan pasukan pengintai itu, dan tentu saja kita harus menemukan kembali kalung itu”

“Bagaimana caranya?” pria Beraroma kemenyan angkat bicara.

“Tatra tahu,” jawab Arni. “Dia bisa menerawang pencuri itu, asalkan dia adalah manusia biasa.”

Tatra mengeluh putus asa, “Aku telah mengira dari tadi kalian pasti akan melakukan ini padaku.”

Tatra mengambil segelas air dari Kantong Gama. Kemudian ia memejamkan matanya di depan air itu dan menumpahkannya ke kepalanya sendiri.

“Ritual yang menjengkelkanku,” gumamnya tak senang.

“Berkonsentrasilah,” Tadana memperingatkan.

Tatra berkonsentrasi sambil memejamkan mata sejenak. Setelah ia membuka mata, ia langsung dihadang oleh pandangan tegang dan penasaran teman-temannya.

“Bukan masalah berat. Yang mencuri kalung pusaka itu hanyalah remaja kurus berambut gelombang,” ungkap Tatra.

“Di mana kita bisa menemukannya?”

Tatra tersenyum tak bersemangat, “Itulah masalah kecilnya. Aku sama sekali tak pernah belajar cara melacak keberadaan bocah itu.”

“Lalu bagaimana kita menemukannya?” tanya peramal yang lain.

Samira bersuara, “Gusti Patih, apa sihir sudah boleh dilakukan?”

“Tentu saja. Apa kau tak melihat Tatra barusaja melakukannya. Asal jangan berlebihan.”

“Kalau begitu serahkan padaku tugas ini. Tapi aku perlu seorang penjelajah bersemangat yang ikut menemaniku.”

“Tentu saja aku ikut,” sahut Dahup begitu bernafsu.

“Tatra, apa kau pernah belajar menyambung penglihatan? Kau murid Ampu Sibarsa, bukan?”

“Ya. Aku akan melakukannya untukmu, Samira. Kau bisa mengetahui bagaimana wajah bocah itu. Dan terserah kau mau kau apakan saja dia.”

“Bocah itu harus dibawa ke sini dalam keadaan hidup. Kita akan membawanya ke Danta. Sepertinya ia punya intelijensi luar biasa. Sehingga bisa mengecoh kita dan membawa kabur Kalung Gajahsora. Mungkin saja dia punya motif tersembunyi di balik itu,” usul Dirga.

“Ya. Maksudku juga begitu,” Tatra meralat.

Samira merengut. Padahal ia ingin sekali menerima perintah silakan hajar dia sepuas hatimu, Samira. Kau tentu paham cara membuat muka orang menjadi tak dikenali lagi. Sepatumu cukup keras kaan?.

“Tatra. Berikan sambungan penglihatan itu sekarang,” perintah Patih Tarkas.

Arni mengusap matanya sambil menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti sayatan biola yang karatan. Kemudian ia mengusap mata Samira dengan tangan yang digunakannya untuk mengusap matanya tadi. Samira tampak sangat tidak rela dengan hal ini. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ini idenya sendiri. Dalam hati ia memaki kejeniusan otaknya.

“Oke. Sekarang sudah selesai. Dan ingat, Samira. Hubungan penglihatan itu hanya bertahan satu hari. Pergunakan sebaik-baiknya,” jelas Tatra, “Semoga berhasil.”

Samira dan Dahup langsung berangkat dengan perasaan yang berbeda. Dahup dengan semangatnya untuk menjelajahi kota ini. Sedangkan Samira dengan kekesalannya karena aroma tak menyenangkan dari tangan Arni masih menempel dengan setia di mukanya.

..................................................................................................................................................................................

Palangka Raya, pagi Maret, 2010, kontrakan Bayu

Bayu, Sutha, dan Rukmana tampak mengagumi sebuah benda berkilau di ruang depan barak kontrakan Bayu. Sutha beberapa kali mengelus benda itu dengan diikuti decak kagum yang membuat Bayu bosan mendengarnya. Tapi itu lebih baik ketimbang harus mendengarkan siulannya.

“Coba tebak berapa uang yang akan kita dapatkan dari benda hebat ini?”

“Jangan Tanya aku, Bayu. Aku memang sedikit bodoh dalam matematika tapi aku tahu pasti banyak sekali,” jawab Sutha.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status