Perempuan itu tidak menjawab. Ia menyingkap kain hijau yang menutup nisan ketiga makam itu. Hingga tulisan di nisan itu kini dapat terlihat dengan jelas.
Makam pertama bertuliskan :
Terbaring dengan mesra dan damai
Aswathama Arya
Lahir 03-01-1963
Wafat 29-03-1995
Makam kedua yang berukuran sama bertuliskan :
Terbaring dengan mesra dan damai
Aruna Prahesti
Lahir 16-07-1966
Wafat 29-03-1995
Dan di makam terakhir yang ukurannya paling kecil tertulis :
Terbaring dengan mesra dan damai
Ganendra Aryasathya
Lahir 25-09-1986
Wafat 29-03-1995
Mereka membaca tulisan di ketiga makam itu berulang-ulang kali berharap ada kesalahan saat mereka membaca nisan itu. Namun tak ada yang berubah.
“Jadi Ganendra Aryasathya…” kata Tadana putus asa.
Perempuan itu membersihkan ketiga makam dengan perlahan dan perasaan diliputi kenangan yang berat dan perih, “Mereka pergi begitu mendadak di hari yang sama, jam yang sama, detik yang sama 15 tahun lalu. Mereka diracuni, entah oleh siapa. Saat itu saya sedang tak ada di rumah, saya izin pulang kampung untuk menjenguk keluarga yang sakit. Tapi saya mendapat kabar buruk itu dan langsung kembali ke sini. Dan hanya menemukan makamnya di sini.”
“Sebenarnya anda siapa?” tanya Patih Tarkas.
“Bukan siapa-siapa,” perempuan itu kali ini membersihkan dan merapikan foto yang tertempal di dinding ruangan itu, “hanya wanita tua yang diselamatkan oleh ibu Tuan Ganendra ketika saya hampir saja bunuh diri ketika mengetahui suami saya selingkuh. Ia yang membawa saya ke sini dan menjadikan saya bagian dari keluarganya. Dan saya memang telah mengabdikan diri pada keluarga ini.”
Mereka terdiam sejenak. harapan yang tadi melambung tinggi kini pecah bagai balon berisi air yang ditusuk dengan jarum yang tidak hanya menghasilkan kekecewaan tapi juga menumpahkan kesedihan yang sangat dalam ketika mendengar cerita tragis keluarga bahagia itu.
“Tapi ngomong-ngomong. Apa sebenarnya yang tuan ini ingin bicarakan dengan Tuan Ganendra?”
Gama sepertinya tidak siap menjawab pertanyaan mendadak dari perempuan itu. Ia memandang Patih Tarkas, Sang Patih pun sepertinya mempunyai masalah yang sama. Sebelum Samira berbisik kepadanya.
“Tenang, Gusti. Paduka Ratu Ayunda tentu tak ingin hal ini dibocorkan. Dan saya sepertinya punya bakat mengarang bebas untuk ini.”
Untuk pertama kalinya sejak perjalanan itu, Samira tersenyum hangat yang kali ini tampaknya murni tulus dari hatinya yang ternyata tidak begitu dangkal. Ia menatap ramah kepada perempuan itu. “Begini, Bu, Sebenarnya….”
.......................................................................................................................................................................................
Palangka Raya, Maret dini hari, 2010
Empat belas pria berjalan meninggalkan rumah Ganendra Aryasathya dengan tampang yang sangat tidak diinginkan dimiliki oleh siapapun. Pikiran mereka bercampur aduk antara kecewa, sedih, heran, bingung, dan putus asa yang berputar-putar dengan leluasa di dalam kepala mereka. mereka telah meninggalkan rumah Sang Pahlawan yang diramalkan Ampu Estungkara adalah pemilik dari Kalung Gajahsora.
Tentu saja berkat cerita mengharukan dari Samira yang mengatakan kepada Perempuan yang berada di rumah Ganendra, bahwa sebenarnya mereka adalah saudara jauh dari Aswathama Arya, ayah Ganendra, yang ingin bertemu dengan Ganendra Aryasathya untuk membicarakan masalah pembagian warisan yang melibatkan bocah malang itu, sebelum mereka tahu kalau keluarga kecil harmonis itu telah tiada. Dan tentunya cerita itu sedikit banyaknya telah membuat perempuan itu beberapa kali menghabiskan tisu untuk menyapu air matanya.
Yang paling terpukul tampaknya adalah Arni. Terutama karena Sang Gahyaka yang dipuja-pujanya ternyata malah membawa mereka pada kekecewaan.
Samira duduk disebuah batu besar dipinggir jalan raya yang sepi yang dikelilingi oleh rawa setelah mereka memutuskan untuk beristirahat di situ, “Aku masih tak mengerti apa yang diinginkan oleh Rusa nyentrik itu.”
Tatra merebahkan diri di atas rumput tebal di sebelah Samira, “Padahal katanya yang ditunjukkan Gahyaka itu selalu tepat.”
“Ya, aku juga tahu itu. Ia binatang peliharaan dewa yang paling cerdas. Sering menjadi simbol ilham dan inspirasi, “ Samira menambahkan, “Aku diceritakan guruku. Ia adalah Yustanus, kalian tahu, khan. salah satu penyihir yang katanya paling sering bertemu Gahyaka.”
“Tampaknya yang paling terpukul dengan kejadian ini adalah Arni,” kata Tadana.
“Hei, jangan lupakan aku,” Seru Dahup, “Sekarang aku ternyata lebih memilih semua catatan penjelajahanku daripada menyentuhnya.”
Meskipun cukup terpukul, Arni masih berusaha tersenyum, “Lupakan sajalah. Sepertinya dewa sedang punya selera humor yang tinggi.”
“Sekarang, apa yang kita lakukan?” tanya Susena.
Tidak ada yang menjawab.
Patih Tarkas berdiri dan menatap jauh ke arah rawa-rawa, “Kita kembali ke Negeri Danta. Ceritakan yang terjadi pada Ratu Ayunda.”
“Dengan membawa Kalung Gajahsora?”
Semuanya diam.
Dirga mengangkat tangannya.
Patih Tarkas menatap Dirga dengan antusias, “Ada apa, Dirga?”
“Mohon maaf sebelumnya. Tapi bukankah kembali ke Danta dengan membawa Kalung Gajahsora sangat berbahaya? Mengapa kita tak mencoba menyembunyikannya sementara waktu di tempat yang aman?”
“Di mana?”
“Di dalam makam Ganendra Aryasathya!” jawab Dirga yakin. “Kita mungkin tidak bisa membuat Ganendra hidup dan mengalahkan musuh. Tapi dengan menyimpannya di pusara Ganendra, setidaknya ada kekuatan yang tak kita ketahui yang akan melindungi kalung itu, seperti kata Ampu Estungkara, Ganendra ditakdirkan untuk Kalung Gajahsora. Dan tentu takdir itu punya kekuatan yang akan melindungi kalung itu bagaimanapun kondisi Ganendra. Benar, kan?”
Semua anggota tampaknya menyetujui gagasan itu.
Bahkan Patih Tarkas tersenyum bangga pada Dirga yang tak lain adalah anak angkatnya sendiri, “Ide cemerlang seorang Panglima.”
“Terima Kasih, Gusti.”
“Bagaimana kalau kita sekarang saja ke makam Ganendra. Masih cukup malam, hampir dini hari. Kalau siang, kita tentu tak dapat membongkar makamnya dengan tanpa mencurigakan, bukan,” usul Dahup.
Samira yang tampaknya belum puas beristirahat menggerutu. “Ide cemerlang seorang penjelajah.”
Gama yang sedari tadi lebih banyak diam, kini tersenyum, “Terlebih dahulu aku harus memastikan kalung Gajahsora tetap di posisinya.”
Gama mememasukkan tangannya ke dalam Kantongnya mencoba menggapai Kalung Gajahsora yang dibungkus dengan kain perunggu. Tapi roman mukanya langsung berubah panik. Apa yang dicarinya tidak ada. Hanya tertinggal kain perunggunya saja. dikeluarkannya seluruh isi kantong itu dan sialnya kalung itu betul-betul menghilang.
Gama memandang teman-temannya dengan muka yang sangat menyesal. Dan tak perlu penjelasan panjang lebar bagi yang lain untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
"Maafkan saya... " ucap Gama penuh sesal.
Rombongan utusan itu semakin terpukul, muka lesu dan putus asa terpampang jelas dari raut wajah mereka. Beberapa di antaranya malah memutuskan untuk duduk di trotoar karena saking putus asa.
Entah 'Kejutan' apalagi yang disiapkan oleh Para Dewa, pikir mereka dalam kekalutan dini hari itu.
Cukup lama larut dalam kebingungan putus asa, dan kepanikan dalam diam akhirnya Patih Tarkas menepuk Gama dengan bijak dan berusaha tenang sebagai salah satu pejabat senior kerajaan, “Ini bukan salahmu. Kau telah menjadi penunjuk perjalanan yang hebat.”
“Apa mungkin dicuri pasukan pengintai Adighana?” gumam Dahup.
“Mustahil,” sanggah Dirga, “Keberangkatan kita ini sangat rahasia. Hanya Paduka Ratu dan beberapa pejabat istana yang tahu. Kecuali ada penghianat di antara kita. Tapi kuharap tidak.”
“Sekarang bagaimana?” tanya Samira.
Patih Tarkas mendesah panjang. “Sudahlah. Kita tidak boleh saling menuduh. Ini ujian dalam tugas kita. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah memastikan kalau Kalung itu tidak berada di tangan pasukan pengintai itu, dan tentu saja kita harus menemukan kembali kalung itu”
“Bagaimana caranya?” pria Beraroma kemenyan angkat bicara.
“Tatra tahu,” jawab Arni. “Dia bisa menerawang pencuri itu, asalkan dia adalah manusia biasa.”
Tatra mengeluh putus asa, “Aku telah mengira dari tadi kalian pasti akan melakukan ini padaku.”
Tatra mengambil segelas air dari Kantong Gama. Kemudian ia memejamkan matanya di depan air itu dan menumpahkannya ke kepalanya sendiri.
“Ritual yang menjengkelkanku,” gumamnya tak senang.
“Berkonsentrasilah,” Tadana memperingatkan.
Tatra berkonsentrasi sambil memejamkan mata sejenak. Setelah ia membuka mata, ia langsung dihadang oleh pandangan tegang dan penasaran teman-temannya.
“Bukan masalah berat. Yang mencuri kalung pusaka itu hanyalah remaja kurus berambut gelombang,” ungkap Tatra.
“Di mana kita bisa menemukannya?”
Tatra tersenyum tak bersemangat, “Itulah masalah kecilnya. Aku sama sekali tak pernah belajar cara melacak keberadaan bocah itu.”
“Lalu bagaimana kita menemukannya?” tanya peramal yang lain.
Samira bersuara, “Gusti Patih, apa sihir sudah boleh dilakukan?”
“Tentu saja. Apa kau tak melihat Tatra barusaja melakukannya. Asal jangan berlebihan.”
“Kalau begitu serahkan padaku tugas ini. Tapi aku perlu seorang penjelajah bersemangat yang ikut menemaniku.”
“Tentu saja aku ikut,” sahut Dahup begitu bernafsu.
“Tatra, apa kau pernah belajar menyambung penglihatan? Kau murid Ampu Sibarsa, bukan?”
“Ya. Aku akan melakukannya untukmu, Samira. Kau bisa mengetahui bagaimana wajah bocah itu. Dan terserah kau mau kau apakan saja dia.”
“Bocah itu harus dibawa ke sini dalam keadaan hidup. Kita akan membawanya ke Danta. Sepertinya ia punya intelijensi luar biasa. Sehingga bisa mengecoh kita dan membawa kabur Kalung Gajahsora. Mungkin saja dia punya motif tersembunyi di balik itu,” usul Dirga.
“Ya. Maksudku juga begitu,” Tatra meralat.
Samira merengut. Padahal ia ingin sekali menerima perintah silakan hajar dia sepuas hatimu, Samira. Kau tentu paham cara membuat muka orang menjadi tak dikenali lagi. Sepatumu cukup keras kaan?.
“Tatra. Berikan sambungan penglihatan itu sekarang,” perintah Patih Tarkas.
Arni mengusap matanya sambil menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti sayatan biola yang karatan. Kemudian ia mengusap mata Samira dengan tangan yang digunakannya untuk mengusap matanya tadi. Samira tampak sangat tidak rela dengan hal ini. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ini idenya sendiri. Dalam hati ia memaki kejeniusan otaknya.
“Oke. Sekarang sudah selesai. Dan ingat, Samira. Hubungan penglihatan itu hanya bertahan satu hari. Pergunakan sebaik-baiknya,” jelas Tatra, “Semoga berhasil.”
Samira dan Dahup langsung berangkat dengan perasaan yang berbeda. Dahup dengan semangatnya untuk menjelajahi kota ini. Sedangkan Samira dengan kekesalannya karena aroma tak menyenangkan dari tangan Arni masih menempel dengan setia di mukanya.
..................................................................................................................................................................................
Palangka Raya, pagi Maret, 2010, kontrakan Bayu
Bayu, Sutha, dan Rukmana tampak mengagumi sebuah benda berkilau di ruang depan barak kontrakan Bayu. Sutha beberapa kali mengelus benda itu dengan diikuti decak kagum yang membuat Bayu bosan mendengarnya. Tapi itu lebih baik ketimbang harus mendengarkan siulannya.
“Coba tebak berapa uang yang akan kita dapatkan dari benda hebat ini?”
“Jangan Tanya aku, Bayu. Aku memang sedikit bodoh dalam matematika tapi aku tahu pasti banyak sekali,” jawab Sutha.
Bayu tersenyum puas, “Bayangkan. Kita bisa memperbaiki ekonomi kita dengan benda ini.” Ia memandang kedua temannya.Mereka bertiga tampaknya sangat bahagia dengan angan-angan yang sangat terang itu. Membayangkan kehidupan yang lebih terjamin tentunya sangat luar biasa bagi mereka yang telah lama terpuruk dalam kemiskinan.“Sekarang aku akan menawarkan barang ini kepada Amang Ucai. Siapa tahu ia punya minat untuk membelinya.”“Sebaiknya jangan!” cegah Rukmana, “Amang Ucai itu pelit dan licik. Aku melihat beberapa hari yang lalu ia membeli gelang dari seseorang dengan sangat murah. Padahal gelang itu cukup bagus untuk dihargai lebih dari yang ditawarkan Amang Ucai.”“Aku setuju dengan Rukmana,” Sutha menyetujui sambil mengusap-usap kalung itu.“Lalu ke mana kita menjualnya?”“Kepada Kolektor benda berharga!” jawab Rukmana yakin.
“Kami? Algojomu! Dahup, kenapa kau diam saja! Ayo ikat tangan pencuri ini!” kata pria pendek yang tak lain adalah Samira.Dahup langsung bertindak dan mengikat tangan Bayu dengan seutas rantai yang tampaknya sudah diisi dengan sihir aneh oleh Samira.Bayu hanya berdiam saja, ia tampaknya pasrah dan mengira dua orang pria nyentrik yang menyergapnya ini adalah polisi yang telah lama mengincarnya. Tiba-tiba impiannya yang baru saja membumbung tinggi dengan sangat deras menghantam kembali dalam titik terendah harapannya.“Sekarang beritahu kami, dimana kau sembunyikan benda yang kau curi itu?”“Ben..benda yang mana, Pak?”“Kau masih mau membantah? Apa perlu kucabut gigimu baru kau mau mengaku?”Bayu seketika ketakutan, “Saya tidak tahu benda yang bapak maksud sebelum Bapak menjelaskan seperti apa benda itu.”Samira memandang sok serius pada Dahup. Sialnya Dahup malah sedang mempe
“Di mana itu?”“Yang jelas di tempat yang tidak akan kalian temukan jika kita terus duduk berbincang di sini”“Berapa lama kah kami di sana?”“Sampai urusan kalian selesai.. ”“Tapi.....” Rukmana berusaha menahan kepanikannya, “Saya harus sekolah, membantu Ibu saya jualan.”“Bagaimana Gusti?” Gama meminta kebijakan dari Patih Tarkas.“Baiklah. Khusus untuk anak ini,” Patih Tarkas menunjuk Rukmana, “Kuperintahkan kau, Arni, untuk sedikit membuat ibunya sejenak melupakan anaknya, ya semacam menghapus ingatan seperti itu. Bisa?”“Dengan senang hati, Gusti.”Arni lalu mendekati Rukmana menyentuh ubun-ubun gadis remaja itu dengan telapak tangannya. Rukmana bingung sekaligus takut dengan apa yang dilakukan Arni namun ia hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, begitu pula dengan kedua sahabatnya. Arni memejamka
Rumah Tawanan Ramina, Kota Mandira, Negeri Danta, 2010 “Demi Tuhan, aku tak mengerti apa yang terjadi pada kita bertiga saat ini..” ucap Rukmana pagi itu. Tiga sahabat itu ditempatkan di sebuah rumah yang cukup besar di lingkungan istana, cukup nyaman. Mereka hampir bukan lagi sebagai tawanan. Yang membuat mereka dikenali sebagai tawanan adalah karena mereka diawasi ketat oleh beberapa pengawal yang berbaris di depan rumah itu. Apapun yang ingin atau mereka lakukan harus dilaporkan kepada pengawal itu. Sungguh suatu hal yang sangat menyebalkan, pikir mereka. Mereka yang terbiasa hidup bebas berkeliaran ke sana kemari, kini harus diawasi super ketat. Tak hanya ada mereka di tempat itu, ada pula seorang perempuan separuh baya yang bertugas memasak di tempat itu, dan seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang menjadi petugas kebersihan di rumah itu. Untungnya, dua orang itu begitu ramah kepada Bayu dan dua sahabatnya, setidaknya selam
“Paman, saya selalu mencoba menebak negeri apa ini?” tanya Bayu kepada Sandanu sesaat ketika mereka menikmati istirahat setelah membersihkan kolam ikan hias di samping tempat pemandian air panas yang sering digunakan para istri pejabat istana. Sandanu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bayu itu. Ia menuang air dari kendi sebesar topi besi perang ke dalam gelasnya dan gelas Bayu lalu mereguknya perlahan. “Saya mencoba mencarinya di buku yang ada di rumah yang kami tempati, namun saya tak menemukannya.” Sandanu menyodorkan segelas air kepada Bayu, ia sendiri langsung meminum air di gelasnya sendiri, “Aku tak pernah tahu pasti apa yang terjadi, namun kakekku pernah bercerita bahwa Dunia di balik kabut merupakan dunia tersembunyi yang diisi oleh masyarakat layaknya duniamu, Nak.” “Maksudmu alam gaib?” tanya Bayu antusias. “Sejenis dunia yang berisi hantu? Apakah wajahku semenyeramkan itu?” Sandanu tertawa,”Dunia ini tak ada bedanya
“Apa Paduka Ratu tidak ingin bertemu dengan para remaja tawanan kita itu?” tanya seorang dayangnya ketika sedang menyisir rambut indah Ayunda sore itu. Ayunda tidak menjawab, matanya melempar pandangan ke luar jendela kamarnya. Mencoba menerawang keagkuhan sore kala itu, mencoba membius udara sore yang kering. Angin kering. Beberapa ekor burung kecil berjejer terbang melintasi udara di luar kamar Ayunda yang memang berada di lantai atas istananya yang megah. Ayunda melempar senyum cantiknya pada barisan burung yang sedang menyapa angkasa itu, burung-burung tersebut berkicau mesra menyambut senyum sang Ratu. “Seluruh pelosok negeri tahu jika anda memiliki senyuman yang mampu membuat pohon yang kering kembali menuai bunganya, Paduka...” kata dayang tersebut seraya mengurai rambut Ayunda. Ayunda menoleh ke arah dayangnya sambil tersenyum, “Dan kau adalah sahabat terbaik yang aku miliki, Riani...” Riani, Dayang tersebut, melangkah pelan mengambil sebuah s
“Ikutilah apa kata Bibimu..” ujar Sandanu, “Ia sudah memasak makanan yang sangat lezat untuk kita malam ini..” Bayu dengan enggan akhirnya masuk ke kamarnya. Ia tampak sangat belum puas. Dicobanya merebahkan diri di dipan, berusaha serileks mungkin. Namun hal itu begitu sulit dilakukannya. Pikirannya melayang pada kalung Gajahsora, pada peperangan yang akan terjadi, dan pada dunia yang katanya tak kasat mata yang selama beberapa hari ini ia diami. Ia sendiri tak habis pikir, sebenarnya Bayu adalah orang yang sulit untuk membiasakan diri memperhatikan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengannya. Namun kali ini otaknya seakan memaksanya untuk larut dan turut serta memikirkan urusan dunia yang sebenarnya begitu asing baginya ini. Tak merasa nyaman berbaring, ia mencoba berjalan ke sebuah lemari buku di salah satu sisi kamar tersebut. Ketika baru datang, Bayu mencoba untuk tertarik pada buku-buku itu, namun sulit. Buku-buku itu begitu tebal dan nampak usang.
Panah-panah tersebut dengan cepat menghujani Bayu. Bayu dengan segala sisa kemampuannya mencoba menghindar sambil sesekali memekik antara ketakutan, panik, mengumpulkan keberanian, dan meminta pertolongan. Ada beberapa yang sempat menyerempet bagian tubuhnya, namun tak sampai membunuhnya. Bayu dengan penuh kesakitan berlari sambil terus memegangi panah yang menancap tubuhnya ke arah pintu. Ia berlari dengan gontai sambil memanggil Sandanu, Jumara, Rukmana, Sutha, bahkan siapa saja yang diharapnya mampu mendengarnya. Di tengah derita itu, ia sempat mendengar derap kaki panik mendekatinya. Sandanu memeluk tubuhnya dengan kepanikan. Di belakangnya ada Jumara, Sutha dan Rukmana dengan raut wajah tak kalah cemas. “Panggil pengawal segera!!!” pekik Sandanu dengan cemas. Ia memeluk tubuh Bayu yang basah kuyup dengan darah. Sutha segera berlari ke luar menemui pengawal yang nampaknya tak menyadari ada kejadian ini di kamar Bayu. “Jumara, bawa Rukmana ke tempa