Share

6. PARA UTUSAN RATU

last update Last Updated: 2022-02-07 10:35:56

Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010

“Apa nama kota ini?” tanya seorang pria jangkung yang mengenakan pakaian berwarna ungu.

“Palangka Raya,” jawab seorang pria lain yang memegang gulungan mirip peta.

“Seumur hidupku, aku belum pernah menjelajahi kota ini. Dan segera setelah tugas ini selesai, aku akan menjelajahi kota ini sampai tak menyisakan sudut kecilnya,” kata pria lain begitu bernafsu.

“Kalau kau ingin segera menyelesaikan tugas ini, ayo kita segera menemukan Ganendra Aryasathya.” pria yang membawa peta itu menyahut sambil memandang ke sekitarnya.

Empat belas pria itu langsung berjalan beriringan menyebrangi jalan raya. Dengan pria yang menggunakan peta memimpin di depan.

“Kau yakin kita akan menemukannya di sini, Gama?” tanya salah seorang rombongan itu.

“Kata Ampu Estungkara, kita memang seharusnya menemukannya di sini,” jawab Pria yang membawa peta sambil terus berjalan.

“Di mana tepatnya?”

“Jangan berdiskusi di sini, Nak. Seharusnya kita mencari tempat yang lebih bagus. Kota ini begitu panas,” saran Pria yang paling tua sambil menyapu rambut putihnya.

“Anda benar, Gusti Patih. Kita harus mencari tempat yang nyaman terlebih dahulu sebelum memutuskan langkah selanjutnya,” Gama menyetujui pendapat pria yang paling tua itu.

Mereka berjalan tanpa kata, hanya sesekali menyumpah dengan pelan tentang panasnya cuaca siang itu. Bahkan seorang penyihir pendek yang ikut dalam rombongan itu yang bernama Samira bersumpah kalau ada yang ingin menukar tongkat sihirnya dengan topi atau apa saja yang bisa melindunginya dari sengatan matahari ia akan senang hati menyetujuinya. Mereka memang dilarang Ratu Ayunda yang memerintahkan mereka dalam misi ini untuk tidak menggunakan kekuatan supranatural mereka kalau tidak mendesak.

Setelah sekitar dua puluh menit berjalan sambil tak henti mengutuk dewa matahari dalam hati, mereka akhirnya tiba di sebuah pos ronda yang tampaknya tidak terpakai lagi. Hampir tak ada rumah dalam radius dua ratus meter dari situ. Mereka memutuskan untuk beristirahat dan memutuskan langkah selanjutnya di tempat itu. Walaupun jumlah mereka ada empat belas orang yang membuat mereka berjejal di tempat itu.

Setelah sekitar sepuluh menit beristirahat, mereka mulai mengatur rencana selanjutnya.

“Arni, kau yakin di kota ini kita akan menemukannya?” tanya Gama kepada penyihir yang menggunakan kemeja ungu dengan kancing aneh.

“Bagaimana detailnya?” tanya seorang prajurit bernama Susena.

“Ada kilatan hijau zamrud di pandangan batinku,” jawab Arni sambil memejamkan matanya.

“Maksudmu?”

“Aku juga tak tahu pasti, yang jelas batin sihirku mengatakan hal itu.”

“Kenapa tak bilang dari awal?” bisik salah seorang prajurit yang agak takut jika terdengar oleh Arni. “Kita telah melewati banyak kota dengan hasil yang nihil.”

“Prajurit Bodoh! Kau pikir aku senang berjalan tanpa tujuan? Para penyihir seperti aku hanya akan mampu mendeteksinya incarannya dalam radius beberapa mil saja.”

Prajurit itu terdiam. Barangkali ia takut kalau mesti di sihir jadi tupai oleh Arni.

“Menurutmu, berapa jauh jarak kita dengannya?” tanya Patih Tarkas.

“Tidak terlalu jauh, Gusti,” sahut Arni penuh keyakinan.

“Siapa yang bisa melihat ini selain kau?” tanya Gama.

“Tatra!”

Penyihir jangkung yang memakai sorban kusam berwarna cokelat tebal yang dari tadi diam kali ini mengangguk, “Masalahnya, penglihatanku tak setajam Arni.”

“Tak masalah!“ ucap Dirga, sang panglima perang yang nampaknya adalah pemimpin rombongan ini tersenyum penuh harapan, “Kita berpencar enam orang ikut Tatra, dan enam orang lain ikut Arni! Nanti malam kita berkumpul di tempat ini lagi.”

Akhirnya mereka berpencar. Mereka membagi diri menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin Tatra dan anggotanya adalah Dirga, satu pejabat muda berhidung bengkok yang bernama Tadana, dua orang peramal, dan dua orang prajurit. Sedangkan kelompok kedua dipimpin oleh Arni, dan anggotanya adalah Patih Tarkas, Gama, Samira, sang penjelajah bernama Dahup, sorang peramal yang tak pernah lepas dari balsem beraroma kemenyan, dan juga Susena, prajurit bertubuh tegap namun bermata sipit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   113. ESTUNGKARA

    Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   112. TRISULA DI BIBIR PANTAI

    Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   111. MIMPI DARI TAHTA YANG DIRAMPAS

    Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   110. DERMAGA PERJALANAN

    Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   109. JALAN PARA PEJUANG

    Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   108. HUTAN PADANG SEBAT

    Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status