Pencarian itu tampaknya adalah salah satu hari-hari terburuk dan paling menyebabkan dalam hidup mereka. Setelah seharian menyusuri jalan-jalan kota Palangka Raya, dengan harapan yang memenuhi ubun-ubun mereka. Namun, mereka akhirnya kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya, malam harinya.
“Aneh sekali. Aku tak mengerti mengapa pandangan batin yang membuatku yakin lenyap begitu saja,” ungkap Arni penuh kekesalan,”Kau juga merasakannya, kan, Tatra?”
Tatra mengangguk yang gerakannya lebih mirip menahan kantuk.
“Apa yang kita lakukan selanjutnya ini?” Dirga tampak mulai tak bersemangat.
Patih Tarkas mengusir nyamuk yang mencoba hinggap di hidungnya, “Sebaiknya kita istirahat dulu. Banyak perbedaan yang terjadi apabila kita memutuskan suatu hal yang cukup penting ketika memikirkannya dalam keadaan yang letih dengan keadaan yang lebih segar.”
“Jujur. Aku sebenarnya masih bersemangat untuk menjelajahi kota ini,” timpal Dahup.
“Seperti kata Gusti Patih. Kita pergunakan waktu ini untuk beristirahat. Dan kupikir semuanya setuju,” putus Dirga.
Anggota lain tampaknya tak ada yang punya pendapat berbeda. Termasuk Samira yang kali ini telah memejamkan matanya. Dahup tampak tak terlalu puas dengan keputusan Gama, ia lebih memilih membaca peta kota Palangka Raya yang dipinjamnya dari Gama sambil sesekali melirik Samira yang dengan santai tidur sambil menahan ngorok.
Seluruh anggota rombongan tampaknya mulai beristirahat dengan caranya masing-masing. Kecuali Arni yang lebih memilih berdiri di pinggir jalan dan menatap jauh ke depan, berharap mampu menerawang rahasia alam tentang keberadaan Ganendra Aryasathya.
Dalam hati Arni berdoa pada leluhurnya, “Tolong bantu kami., tunjukkan kami suatu tanda yang memudahkan kami.”
Dalam sepuluh menit tak ada suatu hal ajaib pun yang terjadi. sebelas menit, dua belas menit, tiga belas menit, hingga lima belas menit.
Arni menatap langit malam dengan wajah yang sama sekali jelek, “Bahkan para leluhurku pun kadang-kadang sangat menyebalkan.”
Arni membalikkan badannya. Tak ada alasan lagi selain beristirahat sambil memikirkan beberapa doa yang cukup bagus di dengar oleh leluhurnya untuk dikabulkan. Baru saja beberapa langkah ia berjalan ke arah pos, tiba-tiba ada kilauan redup cahaya yang masih bisa ditangkapnya. Cahaya itu sempat menyapu kemeja ungunya. Tempat yang ia awasi tak kurang dari enam belas menit yang lalu. Arni membalikkan kembali tubuhnya ke arah jalan.
Cahaya redup itu berangsur-angsur mulai membesar dan semakin terang. Arni sedikit melindungi matanya dengan tangannya. Cahaya itu hanya sebentar saja seterang itu kemudian berangsur-angsur meredup kembali dan mengecil. Dan membentuk sesosok yang familiar namun tak wajar dengan cahaya tidak terlalu terang dan tidak terlalu redup di sekelilingnya.
Arni beberapa saat takjub, kemudian baru menyadari keterperanjatannya dengan desis hampir tak percaya, “Gahyaka!”
“Gusti Patih, Panglima, teman-teman, bangun semuanya! Ayo cepat!”
Arni berlari menghampiri teman-teman rombongannya yang telah tertidur. Membangunkan mereka. sebagian dari mereka bangun dengan ikhlas dan penuh perhatian, namun ada beberapa yang bangun dengan pandangan mengerikan kepada Arni. Namun sepertinya Arni tak memperhatikan itu. Ia menunjuk-nunjuk ke arah jalan.
“Leluhurku ,menolong kita! Di sana ada Gahyaka!”
Seluruh anggota rombongan bangun dengan tergesa-gesa dan mengikuti arah lari Arni yang begitu bersemangat kecuali Samira yang sibuk menguap dan berjalan terhuyung-huyung.
“Luar biasa,” komentar kagum beberapa dari mereka.
Sementara yang lain tak mampu berkata apa-apa. Lidah mereka terkunci rapat ketika menyaksikan sang Gahyaka, rusa bersayap yang bercahaya begitu mengagumkan yang kini sedang asyik mengais-ngais tanah sambil berlenggak lenggok begitu cantik.
“Ini betul-betul keajaiban. Aku rela menukar seluruh catatan penjelajahanku untuk menyentuh makhluk itu,” harap Dahup sambil melangkah menghampiri sang Gahyaka yang sangat tenang bermain dengan rumput dan tumbuhan liar di sisinya.
“Jangan! Jangan mendekatinya dalam jarak lima kaki apalagi menyentuhnya apabila kau tidak ingin terbakar dan ia akan lenyap begitu saja. Kau akan menyesal sepanjang umurmu untuk itu” cegah Arni
Dahup mengurungkan niatnya namun tampak masih bernafsu dengan makhluk itu, "Berbahaya sekali tampaknya. Namun semakin menambah kecantikannya.”
Samira telah bergabung dengan teman-temannya setelah urusannya dengan mata kantuknya selesai, “Waw! Peliharaan dewa rupanya. Aku sendiri tak pernah melihat makhluk ini sebelumnya.”
“Kita punya banyak waktu untuk mengagumi makhluk ini di lain waktu. Apa arti dari kunjungan mendadak ini?” Gama mewakili keingintahuan anggota lainnya.
“Gahyaka adalah hewan peliharaan dewa. Kedatangannya ke sini tentunya membawa sesuatu yang penting,” jawab Samira.
Tadana tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari Gahyaka, “Tepatnya?”
“Sepertinya ia membawa suatu tanda tentang keberadaan orang yang kita cari,” kali ini Arni yang menjawab.
“Bagaimana caranya?”
Arni mengambill sebuah batu seukuran genggaman tangan anak kecil, “Pastikan kalian memperhatikannya, kalau ia lenyap, kita harus segera mengakhiri pencarian ini karena tak ada gunanya. Tapi apabila ia berlari, persiapkan nafas kalian. Rusa ajaib ini punya kecepatan lari yang menyusahkan kita untuk mengikutinya.”
Arni lalu melemparkan batu tersebut ke dekat kaki Sang Gahyaka. Makhluk itu kaget. Dan memandang sekelompok orang yang mematung menatapnya dengan ketegangan yang cukup bisa dipertanggung jawabkan. Gahyaka tersebut mengeluarkan suara layaknya rusa pada umumya, cahaya di sekelilingnya berpendar makin terang. Gahyaka tersebut berjalan pelan mengitari tempatnya berdiri selama beberapa kali. Kemudian lari mengeluarkan suara rusanya lagi.
“Sekarang apa?” desak Dahup gugup, begitu pula yang lainnya.
“Pasang kuping baik-baik dan belajarlah mengendalikan penglihatan dalam gelap ketika berlari kencang! Kejar!” komando Arni. Dan serentak mereka berlari mengejar Gahyaka tersebut.
Ada satu kabar baik dan kabat buruk yang mereka dapatkan dari Gahyaka tersebut. Kabar baiknya adalah mereka dliputi harapan besar untuk segera menemukan Ganendra Aryasathya yang telah mereka cari selama berminggu-minggu. Sedangkan kabar buruknya adalah, Gahyaka tersebut menyeret mereka berlari di padang pakis yang rimbun dan lumayan tinggi di pinggir jalan kota Palangka Raya yang sepi dan gelap.
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat