Share

8. PENCURI DAN PENGEJAR CAHAYA

Palangka Raya, Maret 2010

Dua orang pemuda harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu di warung mie ayam sambil ngobrol serius dengan pemilik warung. Dan alhasil mereka akhirnya mesti pulang berjalan kaki di malam yang cukup larut ini, karena memang tak ada angkutan kota yang berminat mencari penumpang di jam malam seperti ini.

Sutha berjalan bagaikan orang ngantuk, “Sudah kubilang, jangan di warung itu. Kau bersama amang pemilik warung itu punya minat terhadap tema obrolan yang sama dan tak pernah menyadari betapa inginnya temanmu ini untuk pulang.”

Bayu tak menjawab gerutuan dari temannya itu. Ia menendang-nendang batu jalanan dengan kedua tangannya diselipkan di saku celananya.

“Aku boleh nginap di tempatmu, kan?” Sutha memegang pundak Bayu.

Bayu menggumam.

Sutha tersenyum, “Baguslah kalau begitu.”

Mereka berjalan tanpa berkata-kata, hanya Sutha yang asyik menyiulkan lagu yang hanya ia dan Tuhan yang tahu lagu itu. Sedangkan Bayu larut dalam pikirannya tentang peringatan Rukmana tadi sore. Walaupun ia telah memutuskan untuk tidak mempercayainya, ia tampaknya belum bisa berhenti memikirkannya. Hati kecilnya seperti terus berusaha untuk mempercayainya, namun ia menyangkal. Ia berharap perasaannya sekarang ini hanyalah sebuah bentuk rasa penasaran. Hal yang masih bisa ia tolerir dibanding mesti percaya dengan ramalan itu.

Lagipula siapa pria tua yang dimaksud Rukmana itu. Seingatnya ia tak pernah mengenal satu orang pria tua manapun di kota ini yang memiliki jenggot lebat. Kecuali Kakek Usman tetangga di kosnya dulu yang sering membawakannya pakis untuk dimasak dan dimakan bersama. Namun dalam setengah tahun terakhir, ia tak pernah bertemu orang tua yang baik hati itu. Tentu saja karena Si Kakek telah meninggal dunia empat bulan lalu, tepat beberapa hari setelah ia mengontrak kos yang sekarang ia tempati.

Apa mungkin mendiang Kakek Usman adalah pria tua itu? Tapi tidak mungkin, itu hanya terjadi di film-film ketika orang yang telah meninggal dunia dengan sangat ajaib membongkar kuburnya sendiri kemudian keluar untuk memberitahukan sebuah hal penting kepada orang yang dicintainya dan selanjutnya kembali ke kuburnya. Lagipula Kakek Usman tidak punya jenggot. Ia telah berusaha beberapa kali menumbuhkan jenggotnya semasa hidup lewat obat yang dibelikan Bayu, namun tak pernah berhasil.

Lalu siapa pria tua itu? Apakah ia pernah melihatnya?

Angin malam menyapu jalanan temaram yang semakin sepi, tak ada satu pun kendaraan umum yang lewat. Kecuali beberapa kendaraan pribadi, itu pun hanya sesekali. Bayu menghitung dalam sepuluh menit hanya ada tiga buah kendaraan yang lewat di jalan itu. Mungkin kira-kira ada sekitar tiga kilometer lebih lagi mereka berjalan baru sampai ke kontrakan Bayu. Padahal malam telah menunjuk ke pukul 23.17 WIB.

Sutha telah berkali-kali menguap. Sedangkan Bayu sama sekali belum mengantuk. Pikirannya melayang dari satu hal ke hal yang lain. Yang ia rasakan mungkin hanya dingin yang terus-terusan menggoda lewat sapuan angin malam yang mesra. Ia mengira bahwa besok pagi ia telah terserang flu paling tidak.

Bayu perlahan membayangkan wajah kedua orang tuanya dengan pikiran yang lebih positif. Hal yang jarang dilakukannya, sangat jarang malah. Ia lebih sering memikirkan orang tuanya dengan pikiran terkoyak-koyak dan ingin mengoyak-ngoyak. Namun kali ini, ia lebih memilih melihat orang tuanya dari sudut pandang kecintaan seorang anak kepada orang tuanya.

Ayahnya agak botak, matanya hitam dan hidung yang agak pesek. Kalau sedang tertawa wajahnya sangat lucu, momen yang sangat disukai Bayu. Ayahnya agak pendek, mungkin sekitar 163 cm dengan perawakan yang agak gempal. Sedangkan ibunya adalah seorang perempuan yang sangat cantik di mata keluarganya. Ibunya memiliki tubuh yang agak tinggi dari ayahnya, badan langsing, hidung mancung, mata yang besar, dan kulit yang putih. Cukup aneh jika melihat ayah dan ibunya sedang berjalan berdua, sang pria berubuh pendek gempal, sedangkan perempuannya adalah perempuan cantik yang bertubuh 170 cm yang sangat cocok menjadi model. Namun itulah cinta, menyatukan perbedaan menjadi kesatuan yang indah.

Ayahnya adalah seorang arsitek cerdas yang telah banyak mengepalai pembangunan-pembangunan besar. Sedangkan Ibunya adalah konsultan sebuah perusahaan yang cukup besar yang berinduk di Jakarta. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan ekonomi keluarga Bayu.

Namun itu sebelum dua tahun lalu. Ya, dua tahun lalu ayahnya menghilang dengan misterius setelah sebelumnya terlibat pertengkaran hebat dengan ibunya. Selang beberapa hari kemudian, ibunya juga menghilang entah kemana. Mereka tak meninggalkan apa-apa selain sedikit tabungan untuk Bayu dan tentunya setumpuk hutang ayahnya yang membuat rumahnya yang nyaman harus disita oleh Bank. Dan jangan tanya sekolah Bayu. Ia tak pernah merasakan hangatnya seragam sekolah lagi sejak rumahnya disita, ketika ia kelas tiga SMP.

Secara fisik Bayu mewarisi mata tajam berwarna hitam kelam, hidung mancung, dan rambut gelombang seperti ibunya. Sedangkan postur tubuhnya agak kurus dan bertinggi 166 cm untuk saat ini. Warna kulitnya seperti ayahnya yang berwarna sawo matang menjurus gelap.

Dan untuk saat ini ia sangat merindukan kedua orang tuanya. Sangat rindu. Memikirkan itu membuatnya ingin meneteskan air mata.

Ia terus berjalan di dalam malam yang kian meninggi. Suara siulan Sutha masih terdengar sendu. Bayu melewati sebuah rumah yang hampir tidak terawat. Pagar rendah yang usang dan terlihat cukup mengerikan.

Kata Yuda, temannya, rumah itu rumah angker, penghuninya dulunya dukun beranak yang tewas bunuh diri, dan sekarang rumah itu kosong. Tapi Bayu tak pernah percaya, Yuda tukang bual nomor satu sejagad raya, ia juga cerita kalau dia pernah diculik alien saat mencopet. Alasan mengapa Bayu tak pernah mempercayai remaja itu.

Lagipula Bayu beberapa kali melihat seorang perempuan paruh baya keluar masuk rumah itu sambil membawa belanjaan tiap kali ia melewati rumah itu, dan perempuan itu selalu tersenyum ramah padanya. Satu alasan kuat lagi mengapa Bayu tak percaya kabar asal yang dibawa oleh Yuda.

Bayu lantas terdiam dan berhenti di depan rumah itu sekedar untuk memberhentikan kakinya barang beberapa menit.

“Bayu. Aku merasa sangat ngantuk. Kebetulan di dekat sini ada kos temanku. Aku menginap di sana saja, ya? Kau mau ikut?” ucap Sutha begitu memprihatinkan.

“Terima kasih. Kau sajalah. Aku masih sanggup berjalan sampai ke tempatku.”

“Oh, Oke. Tapi kau benar-benar serius ingin langsung pulang?”

Bayu menepuk pundak Sutha, “Kau tampak menyedihkan dengan tampang mengantukmu itu, Sutha. Pergilah ke kos temanmu itu. Mataku masih cukup besar untuk menahan kantuk, kawan.”

“Kalau begitu berhati-hatilah. Aku duluan, ya?”

Bayu mengangguk. Kalau boleh memilih dari awal, ia memang lebih suka berjalan seorang diri. Setidaknya siulan Sutha sudah cukup menyiksanya.

Sutha telah lenyap dari pandangannya ketika ia melihat sekelebat cahaya menuju ke arahnya dan di belakang cahaya itu ada empat belas orang pria yang mengejar cahaya tersebut.

Bayu untuk saat ini tak ingin dipergoki sedang keluyuran di jalanan tengah malam begini, ia lebih memilih untuk bersembunyi di belakang gardu listrik sebelum terlihat oleh para pria tersebut.

Bayu bersumpah bahwa cahaya tadi tepat menghilang di tempat ia berdiri tadi dan empat belas pria yang mengejarnya tadi juga berhenti beberapa meter dari tempat cahaya tersebut menghilang. Bayu yang mengawasi dari balik gardu listrik dapat melihat pria itu ada yang bertubuh pendek dengan sabuk berwarna cerah yang agak jangkal melingkar di tubuhnya. Ia juga melihat seorang pria jangkung yang kaku. Selain ia juga mencium aroma kemenyan yang hampir saja membuatnya pingsan.

..............................................................................................

Pria pendek yang turut mengejar cahaya tadi berkali-kali tersengal-sengal, “Jangan beritahu aku seberapa jauh atau seberapa lama kita berlari mengejar Gahyaka menyebalkan itu.”

Seorang pria bertubuh tegap yang memakai Kantong memandang pria tua berkemeja ungu. “Sekarang apalagi?”

“Tentu saja melihat kejutan yang ditunjukkan Sang Gahyaka tadi.”

“Menurutmu yang kita cari berada di rumah ini?”

“Di mana saja, asal jangan suruh aku berlari lagi,” pria pendek yang tak lain adalah Samira menyahut.

Mereka bergerak menghampiri rumah usang itu.

Sementara di balik gardu listrik, Bayu hampir saja meninggalkan tempat itu  sebelum ia melihat sesuatu yang hebat seperti memancarkan cahaya dari Kantong yang dikenakan oleh pria tegap.

Cahaya perak yang hampir tak terlihat namun sebagai seorang pencopet profesional, Bayu mengira ada suatu benda berharga di dalam Kantong itu. Mungkin itu emas atau perak, atau berlian.

Masalahnya adalah, seumur hidupnya ia belum pernah mencuri barang yang nilainya lebih dari tiga ratus ribu rupiah dan barang yang ada di dalam tas itu, Bayu yakin harganya berkali lipat dari hasil terbesar copetannya selama ini.

Modalnya adalah keyakinan dan keberanian, dan tentunya strategi yang matang. Bayu memandang para pria itu dan keadaan sekitarnya. Sebelum kemudian mengendap-endap ke arah pria yang membawa tas itu.

Ia cukup yakin dengan dua tahun pengalamannya sebagai pencopet tanpa pernah tertangkap sekali pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status