Palangka Raya, Maret 2010
Dua orang pemuda harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu di warung mie ayam sambil ngobrol serius dengan pemilik warung. Dan alhasil mereka akhirnya mesti pulang berjalan kaki di malam yang cukup larut ini, karena memang tak ada angkutan kota yang berminat mencari penumpang di jam malam seperti ini.
Sutha berjalan bagaikan orang ngantuk, “Sudah kubilang, jangan di warung itu. Kau bersama amang pemilik warung itu punya minat terhadap tema obrolan yang sama dan tak pernah menyadari betapa inginnya temanmu ini untuk pulang.”
Bayu tak menjawab gerutuan dari temannya itu. Ia menendang-nendang batu jalanan dengan kedua tangannya diselipkan di saku celananya.
“Aku boleh nginap di tempatmu, kan?” Sutha memegang pundak Bayu.
Bayu menggumam.
Sutha tersenyum, “Baguslah kalau begitu.”
Mereka berjalan tanpa berkata-kata, hanya Sutha yang asyik menyiulkan lagu yang hanya ia dan Tuhan yang tahu lagu itu. Sedangkan Bayu larut dalam pikirannya tentang peringatan Rukmana tadi sore. Walaupun ia telah memutuskan untuk tidak mempercayainya, ia tampaknya belum bisa berhenti memikirkannya. Hati kecilnya seperti terus berusaha untuk mempercayainya, namun ia menyangkal. Ia berharap perasaannya sekarang ini hanyalah sebuah bentuk rasa penasaran. Hal yang masih bisa ia tolerir dibanding mesti percaya dengan ramalan itu.
Lagipula siapa pria tua yang dimaksud Rukmana itu. Seingatnya ia tak pernah mengenal satu orang pria tua manapun di kota ini yang memiliki jenggot lebat. Kecuali Kakek Usman tetangga di kosnya dulu yang sering membawakannya pakis untuk dimasak dan dimakan bersama. Namun dalam setengah tahun terakhir, ia tak pernah bertemu orang tua yang baik hati itu. Tentu saja karena Si Kakek telah meninggal dunia empat bulan lalu, tepat beberapa hari setelah ia mengontrak kos yang sekarang ia tempati.
Apa mungkin mendiang Kakek Usman adalah pria tua itu? Tapi tidak mungkin, itu hanya terjadi di film-film ketika orang yang telah meninggal dunia dengan sangat ajaib membongkar kuburnya sendiri kemudian keluar untuk memberitahukan sebuah hal penting kepada orang yang dicintainya dan selanjutnya kembali ke kuburnya. Lagipula Kakek Usman tidak punya jenggot. Ia telah berusaha beberapa kali menumbuhkan jenggotnya semasa hidup lewat obat yang dibelikan Bayu, namun tak pernah berhasil.
Lalu siapa pria tua itu? Apakah ia pernah melihatnya?
Angin malam menyapu jalanan temaram yang semakin sepi, tak ada satu pun kendaraan umum yang lewat. Kecuali beberapa kendaraan pribadi, itu pun hanya sesekali. Bayu menghitung dalam sepuluh menit hanya ada tiga buah kendaraan yang lewat di jalan itu. Mungkin kira-kira ada sekitar tiga kilometer lebih lagi mereka berjalan baru sampai ke kontrakan Bayu. Padahal malam telah menunjuk ke pukul 23.17 WIB.
Sutha telah berkali-kali menguap. Sedangkan Bayu sama sekali belum mengantuk. Pikirannya melayang dari satu hal ke hal yang lain. Yang ia rasakan mungkin hanya dingin yang terus-terusan menggoda lewat sapuan angin malam yang mesra. Ia mengira bahwa besok pagi ia telah terserang flu paling tidak.
Bayu perlahan membayangkan wajah kedua orang tuanya dengan pikiran yang lebih positif. Hal yang jarang dilakukannya, sangat jarang malah. Ia lebih sering memikirkan orang tuanya dengan pikiran terkoyak-koyak dan ingin mengoyak-ngoyak. Namun kali ini, ia lebih memilih melihat orang tuanya dari sudut pandang kecintaan seorang anak kepada orang tuanya.
Ayahnya agak botak, matanya hitam dan hidung yang agak pesek. Kalau sedang tertawa wajahnya sangat lucu, momen yang sangat disukai Bayu. Ayahnya agak pendek, mungkin sekitar 163 cm dengan perawakan yang agak gempal. Sedangkan ibunya adalah seorang perempuan yang sangat cantik di mata keluarganya. Ibunya memiliki tubuh yang agak tinggi dari ayahnya, badan langsing, hidung mancung, mata yang besar, dan kulit yang putih. Cukup aneh jika melihat ayah dan ibunya sedang berjalan berdua, sang pria berubuh pendek gempal, sedangkan perempuannya adalah perempuan cantik yang bertubuh 170 cm yang sangat cocok menjadi model. Namun itulah cinta, menyatukan perbedaan menjadi kesatuan yang indah.
Ayahnya adalah seorang arsitek cerdas yang telah banyak mengepalai pembangunan-pembangunan besar. Sedangkan Ibunya adalah konsultan sebuah perusahaan yang cukup besar yang berinduk di Jakarta. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan ekonomi keluarga Bayu.
Namun itu sebelum dua tahun lalu. Ya, dua tahun lalu ayahnya menghilang dengan misterius setelah sebelumnya terlibat pertengkaran hebat dengan ibunya. Selang beberapa hari kemudian, ibunya juga menghilang entah kemana. Mereka tak meninggalkan apa-apa selain sedikit tabungan untuk Bayu dan tentunya setumpuk hutang ayahnya yang membuat rumahnya yang nyaman harus disita oleh Bank. Dan jangan tanya sekolah Bayu. Ia tak pernah merasakan hangatnya seragam sekolah lagi sejak rumahnya disita, ketika ia kelas tiga SMP.
Secara fisik Bayu mewarisi mata tajam berwarna hitam kelam, hidung mancung, dan rambut gelombang seperti ibunya. Sedangkan postur tubuhnya agak kurus dan bertinggi 166 cm untuk saat ini. Warna kulitnya seperti ayahnya yang berwarna sawo matang menjurus gelap.
Dan untuk saat ini ia sangat merindukan kedua orang tuanya. Sangat rindu. Memikirkan itu membuatnya ingin meneteskan air mata.
Ia terus berjalan di dalam malam yang kian meninggi. Suara siulan Sutha masih terdengar sendu. Bayu melewati sebuah rumah yang hampir tidak terawat. Pagar rendah yang usang dan terlihat cukup mengerikan.
Kata Yuda, temannya, rumah itu rumah angker, penghuninya dulunya dukun beranak yang tewas bunuh diri, dan sekarang rumah itu kosong. Tapi Bayu tak pernah percaya, Yuda tukang bual nomor satu sejagad raya, ia juga cerita kalau dia pernah diculik alien saat mencopet. Alasan mengapa Bayu tak pernah mempercayai remaja itu.
Lagipula Bayu beberapa kali melihat seorang perempuan paruh baya keluar masuk rumah itu sambil membawa belanjaan tiap kali ia melewati rumah itu, dan perempuan itu selalu tersenyum ramah padanya. Satu alasan kuat lagi mengapa Bayu tak percaya kabar asal yang dibawa oleh Yuda.
Bayu lantas terdiam dan berhenti di depan rumah itu sekedar untuk memberhentikan kakinya barang beberapa menit.
“Bayu. Aku merasa sangat ngantuk. Kebetulan di dekat sini ada kos temanku. Aku menginap di sana saja, ya? Kau mau ikut?” ucap Sutha begitu memprihatinkan.
“Terima kasih. Kau sajalah. Aku masih sanggup berjalan sampai ke tempatku.”
“Oh, Oke. Tapi kau benar-benar serius ingin langsung pulang?”
Bayu menepuk pundak Sutha, “Kau tampak menyedihkan dengan tampang mengantukmu itu, Sutha. Pergilah ke kos temanmu itu. Mataku masih cukup besar untuk menahan kantuk, kawan.”
“Kalau begitu berhati-hatilah. Aku duluan, ya?”
Bayu mengangguk. Kalau boleh memilih dari awal, ia memang lebih suka berjalan seorang diri. Setidaknya siulan Sutha sudah cukup menyiksanya.
Sutha telah lenyap dari pandangannya ketika ia melihat sekelebat cahaya menuju ke arahnya dan di belakang cahaya itu ada empat belas orang pria yang mengejar cahaya tersebut.
Bayu untuk saat ini tak ingin dipergoki sedang keluyuran di jalanan tengah malam begini, ia lebih memilih untuk bersembunyi di belakang gardu listrik sebelum terlihat oleh para pria tersebut.
Bayu bersumpah bahwa cahaya tadi tepat menghilang di tempat ia berdiri tadi dan empat belas pria yang mengejarnya tadi juga berhenti beberapa meter dari tempat cahaya tersebut menghilang. Bayu yang mengawasi dari balik gardu listrik dapat melihat pria itu ada yang bertubuh pendek dengan sabuk berwarna cerah yang agak jangkal melingkar di tubuhnya. Ia juga melihat seorang pria jangkung yang kaku. Selain ia juga mencium aroma kemenyan yang hampir saja membuatnya pingsan.
..............................................................................................
Pria pendek yang turut mengejar cahaya tadi berkali-kali tersengal-sengal, “Jangan beritahu aku seberapa jauh atau seberapa lama kita berlari mengejar Gahyaka menyebalkan itu.”
Seorang pria bertubuh tegap yang memakai Kantong memandang pria tua berkemeja ungu. “Sekarang apalagi?”
“Tentu saja melihat kejutan yang ditunjukkan Sang Gahyaka tadi.”
“Menurutmu yang kita cari berada di rumah ini?”
“Di mana saja, asal jangan suruh aku berlari lagi,” pria pendek yang tak lain adalah Samira menyahut.
Mereka bergerak menghampiri rumah usang itu.
Sementara di balik gardu listrik, Bayu hampir saja meninggalkan tempat itu sebelum ia melihat sesuatu yang hebat seperti memancarkan cahaya dari Kantong yang dikenakan oleh pria tegap.
Cahaya perak yang hampir tak terlihat namun sebagai seorang pencopet profesional, Bayu mengira ada suatu benda berharga di dalam Kantong itu. Mungkin itu emas atau perak, atau berlian.
Masalahnya adalah, seumur hidupnya ia belum pernah mencuri barang yang nilainya lebih dari tiga ratus ribu rupiah dan barang yang ada di dalam tas itu, Bayu yakin harganya berkali lipat dari hasil terbesar copetannya selama ini.
Modalnya adalah keyakinan dan keberanian, dan tentunya strategi yang matang. Bayu memandang para pria itu dan keadaan sekitarnya. Sebelum kemudian mengendap-endap ke arah pria yang membawa tas itu.
Ia cukup yakin dengan dua tahun pengalamannya sebagai pencopet tanpa pernah tertangkap sekali pun.
“Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira. Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.” “Jangan menghina rumahku!” Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa. Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab. “Perlu kubantu?” tawar Samira antusias. “Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu. Samira bersungut-sungut. Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban. Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.” “Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya. Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam. Seorang perempu
Perempuan itu tidak menjawab. Ia menyingkap kain hijau yang menutup nisan ketiga makam itu. Hingga tulisan di nisan itu kini dapat terlihat dengan jelas. Makam pertama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aswathama Arya Lahir 03-01-1963 Wafat 29-03-1995 Makam kedua yang berukuran sama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aruna Prahesti Lahir 16-07-1966 Wafat 29-03-1995 Dan di makam terakhir yang ukurannya paling kecil tertulis : Terbaring dengan mesra dan damai Ganendra Aryasathya Lahir 25-09-1986 Wafat 29-03-1995 Mereka membaca tulisan di ketiga makam itu berulang-ulang kali berharap ada kesalahan saat mereka membaca n
Bayu tersenyum puas, “Bayangkan. Kita bisa memperbaiki ekonomi kita dengan benda ini.” Ia memandang kedua temannya.Mereka bertiga tampaknya sangat bahagia dengan angan-angan yang sangat terang itu. Membayangkan kehidupan yang lebih terjamin tentunya sangat luar biasa bagi mereka yang telah lama terpuruk dalam kemiskinan.“Sekarang aku akan menawarkan barang ini kepada Amang Ucai. Siapa tahu ia punya minat untuk membelinya.”“Sebaiknya jangan!” cegah Rukmana, “Amang Ucai itu pelit dan licik. Aku melihat beberapa hari yang lalu ia membeli gelang dari seseorang dengan sangat murah. Padahal gelang itu cukup bagus untuk dihargai lebih dari yang ditawarkan Amang Ucai.”“Aku setuju dengan Rukmana,” Sutha menyetujui sambil mengusap-usap kalung itu.“Lalu ke mana kita menjualnya?”“Kepada Kolektor benda berharga!” jawab Rukmana yakin.
“Kami? Algojomu! Dahup, kenapa kau diam saja! Ayo ikat tangan pencuri ini!” kata pria pendek yang tak lain adalah Samira.Dahup langsung bertindak dan mengikat tangan Bayu dengan seutas rantai yang tampaknya sudah diisi dengan sihir aneh oleh Samira.Bayu hanya berdiam saja, ia tampaknya pasrah dan mengira dua orang pria nyentrik yang menyergapnya ini adalah polisi yang telah lama mengincarnya. Tiba-tiba impiannya yang baru saja membumbung tinggi dengan sangat deras menghantam kembali dalam titik terendah harapannya.“Sekarang beritahu kami, dimana kau sembunyikan benda yang kau curi itu?”“Ben..benda yang mana, Pak?”“Kau masih mau membantah? Apa perlu kucabut gigimu baru kau mau mengaku?”Bayu seketika ketakutan, “Saya tidak tahu benda yang bapak maksud sebelum Bapak menjelaskan seperti apa benda itu.”Samira memandang sok serius pada Dahup. Sialnya Dahup malah sedang mempe
“Di mana itu?”“Yang jelas di tempat yang tidak akan kalian temukan jika kita terus duduk berbincang di sini”“Berapa lama kah kami di sana?”“Sampai urusan kalian selesai.. ”“Tapi.....” Rukmana berusaha menahan kepanikannya, “Saya harus sekolah, membantu Ibu saya jualan.”“Bagaimana Gusti?” Gama meminta kebijakan dari Patih Tarkas.“Baiklah. Khusus untuk anak ini,” Patih Tarkas menunjuk Rukmana, “Kuperintahkan kau, Arni, untuk sedikit membuat ibunya sejenak melupakan anaknya, ya semacam menghapus ingatan seperti itu. Bisa?”“Dengan senang hati, Gusti.”Arni lalu mendekati Rukmana menyentuh ubun-ubun gadis remaja itu dengan telapak tangannya. Rukmana bingung sekaligus takut dengan apa yang dilakukan Arni namun ia hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, begitu pula dengan kedua sahabatnya. Arni memejamka
Rumah Tawanan Ramina, Kota Mandira, Negeri Danta, 2010 “Demi Tuhan, aku tak mengerti apa yang terjadi pada kita bertiga saat ini..” ucap Rukmana pagi itu. Tiga sahabat itu ditempatkan di sebuah rumah yang cukup besar di lingkungan istana, cukup nyaman. Mereka hampir bukan lagi sebagai tawanan. Yang membuat mereka dikenali sebagai tawanan adalah karena mereka diawasi ketat oleh beberapa pengawal yang berbaris di depan rumah itu. Apapun yang ingin atau mereka lakukan harus dilaporkan kepada pengawal itu. Sungguh suatu hal yang sangat menyebalkan, pikir mereka. Mereka yang terbiasa hidup bebas berkeliaran ke sana kemari, kini harus diawasi super ketat. Tak hanya ada mereka di tempat itu, ada pula seorang perempuan separuh baya yang bertugas memasak di tempat itu, dan seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang menjadi petugas kebersihan di rumah itu. Untungnya, dua orang itu begitu ramah kepada Bayu dan dua sahabatnya, setidaknya selam
“Paman, saya selalu mencoba menebak negeri apa ini?” tanya Bayu kepada Sandanu sesaat ketika mereka menikmati istirahat setelah membersihkan kolam ikan hias di samping tempat pemandian air panas yang sering digunakan para istri pejabat istana. Sandanu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bayu itu. Ia menuang air dari kendi sebesar topi besi perang ke dalam gelasnya dan gelas Bayu lalu mereguknya perlahan. “Saya mencoba mencarinya di buku yang ada di rumah yang kami tempati, namun saya tak menemukannya.” Sandanu menyodorkan segelas air kepada Bayu, ia sendiri langsung meminum air di gelasnya sendiri, “Aku tak pernah tahu pasti apa yang terjadi, namun kakekku pernah bercerita bahwa Dunia di balik kabut merupakan dunia tersembunyi yang diisi oleh masyarakat layaknya duniamu, Nak.” “Maksudmu alam gaib?” tanya Bayu antusias. “Sejenis dunia yang berisi hantu? Apakah wajahku semenyeramkan itu?” Sandanu tertawa,”Dunia ini tak ada bedanya
“Apa Paduka Ratu tidak ingin bertemu dengan para remaja tawanan kita itu?” tanya seorang dayangnya ketika sedang menyisir rambut indah Ayunda sore itu. Ayunda tidak menjawab, matanya melempar pandangan ke luar jendela kamarnya. Mencoba menerawang keagkuhan sore kala itu, mencoba membius udara sore yang kering. Angin kering. Beberapa ekor burung kecil berjejer terbang melintasi udara di luar kamar Ayunda yang memang berada di lantai atas istananya yang megah. Ayunda melempar senyum cantiknya pada barisan burung yang sedang menyapa angkasa itu, burung-burung tersebut berkicau mesra menyambut senyum sang Ratu. “Seluruh pelosok negeri tahu jika anda memiliki senyuman yang mampu membuat pohon yang kering kembali menuai bunganya, Paduka...” kata dayang tersebut seraya mengurai rambut Ayunda. Ayunda menoleh ke arah dayangnya sambil tersenyum, “Dan kau adalah sahabat terbaik yang aku miliki, Riani...” Riani, Dayang tersebut, melangkah pelan mengambil sebuah s