Share

9. PAHLAWAN YANG MATI

“Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira.

Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.”

“Jangan menghina rumahku!”

Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa.

Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab.

“Perlu kubantu?” tawar Samira antusias.

“Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu.

Samira bersungut-sungut.

Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban.

Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.”

“Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya.

Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam.

Seorang perempuan setengah baya muncul dari dalam rumah dalam keadaan ngantuk dan memandang ke-14 tamunya yang sangat mengganggu tidurnya itu dengan heran, “Oh, Bapak-bapak. Apa ada yang bisa saya bantu?”

“Selamat malam, Nyonya. Maaf mengganggu tidur anda. Apa benar ini rumah Ganendra Aryasathya?” tanya Dirga sopan.

Perempuan itu seperti terbangun dari kantuknya. Ia menatap pria yang bertanya padanya lekat-lekat, “Iya. Benar. Ada perlu apa, ya?”

Para pria itu meski tidak terlalu terlihat, namun dapat dipastikan muka mereka menggambarkan kelegaan yang luar biasa setelah berminggu-minggu menyusuri kota demi kota untuk menemukan pahlawan yang menyusahkan ini.

“Boleh kami bertemu dengannya?” kali ini Patih Tarkas yang bertanya dengan nada yang tak kalah sopan.

Perempuan itu tampak terkejut. Ia melirik satu persatu pria-pria itu. Ketika ia memandang seorang pria eksentrik yang berbau kemenyan, ia langsung bersin beberapa kali. Sampai lirikannya berhenti pada pria paruh baya yang mengenakan kemeja.

Perempuan itu kembali menatap Gama dan Patih Tarkas dengan keheranan, “Kalau boleh tau, ada perlu apa, ya, dengan Tuan Ganendra.”

“Kami ingin berbicara sesuatu dengannya.”

“Sekarang?”

Samira menggaruk hidungnya, “Ya sekarang lah. Kami telah lelah mencarinya selama berminggu-minggu. Dan sudah rindu ingin pulang. Semakin cepat bertemu dia, semakin cepat pula kami pulang.”

Perempuan itu agak terkaget mendapat jawaban spontan dari Samira.

“Lupakan apa yang dikatakan teman kami tadi, Bu. Sekarang apa kami bisa bertemu dengan Gan, eh, Tuan Ganendra Aryasathya?” ucap Patih Tarkas. Setelah itu ia menatap Samira seperti memperingatkan awas jika kau ulangi ucapan konyolmu tadi!.

Samira menunduk, antara kesal dan menyesal. Satu-satunya yang paling ia hormati dalam rombongan ini adalah Patih Tarkas.

“Baiklah,” putus perempuan itu, “Ayo ikut, saya.”

Perempuan itu membawa mereka ke dalam rumah yang sangat tampak berbeda dengan luarnya. Jika luarnya terlihat begitu usang, berbeda dengan keadaan di dalamnya yang begitu bersih dan rapi. Sepertinya Samira harus menyesal dengan komentarnya di depan rumahnya tadi.

Perempuan itu terus membawa mereka sampai ke pekarangan belakang, dan terus saja sampai ke sebuah ruangan berukuran 3x4 meter persegi. Sang perempuan membuka pintu ruangan itu kemudian mempersilakan ke -14 tamunya untuk masuk, namun karena tidak muat menampung semua, dua orang prajurit termasuk Susena, dan dua orang peramal selain peramal beraroma kemenyan memutuskan mengikuti pertemuan dengan Ganendra Aryasathya dari luar.

Lantai ruangan tersebut berupa keramik yang dingin dan kaku. Membuat kaki Tadana merinding. Tak berjendela. Perempuan itu menyalakan lampu penerangan dalam ruangan itu barulah tampak jelas isi ruangan itu. Ruangan itu dindingnya berwarna putih polos. Ada cukup banyak foto terpampang di dinding ruangan itu. Foto-foto keluarga kecil yang tampak sangat bahagia. Seorang pria tampan berambut gelombang dan perempuan yang berkulit putih cantik sedang menggendong seorang bayi lucu berusia sekitar tiga bulan.

Namun ruangan itu tampak sangat suram dan begitu dingin berpuluh kali lipat ketika mereka menatap tiga buah pagar yang membentuk persegi panjang mengurung tiga posisi dalam ruangan itu. Pagar itu bertiang besi dan beratap balutan kain berwarna hijau yang terang. Dua pagar persegi panjang itu berukuran sama mengapit sebuah pagar bersegi panjang yang berukuran lebih kecil. Dan mereka baru menyadari bahwa ketiga pagar itu masing-masing mengurung sebuah makam!

“Bu. Ini apa maksudnya?” tanya Gama bercampur keheranan dan kebingungan.

Perempuan itu secara bergantian merapikan kain hijau zamrud yang membalut atap dan pagar ketiga makam itu, “Kalian ingin bertemu Tuan Ganendra, kan? Saya telah membawa anda bahkan bertemu kedua orang tuanya.”

Mereka hampir tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan perempuan itu, “Jangan becanda, Bu.”

Para pria utusan itu saling pandang dengan nampak sangat kebingungan dan terpukul hebat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status