“Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira.
Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.”
“Jangan menghina rumahku!”
Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa.
Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab.
“Perlu kubantu?” tawar Samira antusias.
“Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu.
Samira bersungut-sungut.
Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban.
Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.”
“Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya.
Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam.
Seorang perempuan setengah baya muncul dari dalam rumah dalam keadaan ngantuk dan memandang ke-14 tamunya yang sangat mengganggu tidurnya itu dengan heran, “Oh, Bapak-bapak. Apa ada yang bisa saya bantu?”
“Selamat malam, Nyonya. Maaf mengganggu tidur anda. Apa benar ini rumah Ganendra Aryasathya?” tanya Dirga sopan.
Perempuan itu seperti terbangun dari kantuknya. Ia menatap pria yang bertanya padanya lekat-lekat, “Iya. Benar. Ada perlu apa, ya?”
Para pria itu meski tidak terlalu terlihat, namun dapat dipastikan muka mereka menggambarkan kelegaan yang luar biasa setelah berminggu-minggu menyusuri kota demi kota untuk menemukan pahlawan yang menyusahkan ini.
“Boleh kami bertemu dengannya?” kali ini Patih Tarkas yang bertanya dengan nada yang tak kalah sopan.
Perempuan itu tampak terkejut. Ia melirik satu persatu pria-pria itu. Ketika ia memandang seorang pria eksentrik yang berbau kemenyan, ia langsung bersin beberapa kali. Sampai lirikannya berhenti pada pria paruh baya yang mengenakan kemeja.
Perempuan itu kembali menatap Gama dan Patih Tarkas dengan keheranan, “Kalau boleh tau, ada perlu apa, ya, dengan Tuan Ganendra.”
“Kami ingin berbicara sesuatu dengannya.”
“Sekarang?”
Samira menggaruk hidungnya, “Ya sekarang lah. Kami telah lelah mencarinya selama berminggu-minggu. Dan sudah rindu ingin pulang. Semakin cepat bertemu dia, semakin cepat pula kami pulang.”
Perempuan itu agak terkaget mendapat jawaban spontan dari Samira.
“Lupakan apa yang dikatakan teman kami tadi, Bu. Sekarang apa kami bisa bertemu dengan Gan, eh, Tuan Ganendra Aryasathya?” ucap Patih Tarkas. Setelah itu ia menatap Samira seperti memperingatkan awas jika kau ulangi ucapan konyolmu tadi!.
Samira menunduk, antara kesal dan menyesal. Satu-satunya yang paling ia hormati dalam rombongan ini adalah Patih Tarkas.
“Baiklah,” putus perempuan itu, “Ayo ikut, saya.”
Perempuan itu membawa mereka ke dalam rumah yang sangat tampak berbeda dengan luarnya. Jika luarnya terlihat begitu usang, berbeda dengan keadaan di dalamnya yang begitu bersih dan rapi. Sepertinya Samira harus menyesal dengan komentarnya di depan rumahnya tadi.
Perempuan itu terus membawa mereka sampai ke pekarangan belakang, dan terus saja sampai ke sebuah ruangan berukuran 3x4 meter persegi. Sang perempuan membuka pintu ruangan itu kemudian mempersilakan ke -14 tamunya untuk masuk, namun karena tidak muat menampung semua, dua orang prajurit termasuk Susena, dan dua orang peramal selain peramal beraroma kemenyan memutuskan mengikuti pertemuan dengan Ganendra Aryasathya dari luar.
Lantai ruangan tersebut berupa keramik yang dingin dan kaku. Membuat kaki Tadana merinding. Tak berjendela. Perempuan itu menyalakan lampu penerangan dalam ruangan itu barulah tampak jelas isi ruangan itu. Ruangan itu dindingnya berwarna putih polos. Ada cukup banyak foto terpampang di dinding ruangan itu. Foto-foto keluarga kecil yang tampak sangat bahagia. Seorang pria tampan berambut gelombang dan perempuan yang berkulit putih cantik sedang menggendong seorang bayi lucu berusia sekitar tiga bulan.
Namun ruangan itu tampak sangat suram dan begitu dingin berpuluh kali lipat ketika mereka menatap tiga buah pagar yang membentuk persegi panjang mengurung tiga posisi dalam ruangan itu. Pagar itu bertiang besi dan beratap balutan kain berwarna hijau yang terang. Dua pagar persegi panjang itu berukuran sama mengapit sebuah pagar bersegi panjang yang berukuran lebih kecil. Dan mereka baru menyadari bahwa ketiga pagar itu masing-masing mengurung sebuah makam!
“Bu. Ini apa maksudnya?” tanya Gama bercampur keheranan dan kebingungan.
Perempuan itu secara bergantian merapikan kain hijau zamrud yang membalut atap dan pagar ketiga makam itu, “Kalian ingin bertemu Tuan Ganendra, kan? Saya telah membawa anda bahkan bertemu kedua orang tuanya.”
Mereka hampir tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan perempuan itu, “Jangan becanda, Bu.”
Para pria utusan itu saling pandang dengan nampak sangat kebingungan dan terpukul hebat.
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s