BUMI, 2025
"Jadi bagaimana Dokter Virgolin. Apa yang harus saya lakukan?!" tanya sang pasien. "Bukannya saya tidak bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan, tapi tidak salah bukan jika saya ingin mempercantik diri?!"
Senyum manis menghiasi bibir mungil Dokter Virgolin. Wajah cantiknya begitu tenang setiap menghadapi pasien yang sering mengeluh dan minta saran padanya.
Dokter Virgolin langsung pergi setelah membuka jas dokternya.
Tak membutuhkan waktu lama, dia pun sampai ke gedung pencakar langit di mana pameran sedang berlangsung.
Orang-orang dengan jas putih nampak berlalu lalang melihat beberapa alat-alat medis yang sedang dipajang."Wah! Suatu kehormatan besar, saya bisa bertemu dengan seorang dokter muda yang cantik dan hebat. Dokter Virgolin Asteria, ahli bedah kecantikan. Ha-ha-ha. Apa kabarmu dokter?!""Dokter Rio terlalu berlebihan. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Dokter Rio yang seorang ahli bedah jantung yang patut diperhitungkan," Dokter Virgolin balik menyanjung ketika rekan sesama dokter menyapanya. "Kabarku baik."Tawa berderai ke luar dari bibir Dokter Rio. "Ha-ha-ha. Selain cantik, Dokter Virgolin juga ternyata pandai menyanjung.""By the way," Dokter Virgolin mengedarkan pandanganya ke seluruh ruangan pameran. "Bagaimana dengan peralatan medis di sini?! Apa dokter sudah melihatnya?!"Dokter Rio langsung memasang wajah serius. "Pamerannya lumayan. Saya juga sudah melihat beberapa di antara peralatan untuk operasi."Keduanya berjalan sambil melihat-lihat beberapa alat bedah. Dokter Virgolin mengambil salah satu pisau bedah. Dilihatnya dengan seksama.Pisau bedah terdiri dari dua bagian yaitu gagang dan bilah. Meskipun ada banyak bentuk bilah yang berbeda, tiga bilah paling umum adalah bilah 10, 11, dan 15. Pisau 10 adalah alat yang paling ampuh, biasanya digunakan pada sayatan jaringan lunak yang lebih besar. Bilah 11 lebih panjang dan runcing, dan sering digunakan untuk sayatan yang lebih mirip tusukan yang diperlukan untuk membuka pembuluh darah besar, sementara 15 bilahnya lebih kecil dan halus."Itu salah satu yang paling bagus. Harganya juga ramah. Saya sudah pesan tadi," ucap Dokter Rio."Saya juga perlu ini." Dokter memperhatikan dengan seksama berbagai macam alat bedah yang terpajang di atas meja."Dokter Virgolin tentunya akan sangat membutuhkan ini semua. Seorang ahli bedah kecantikan, peralatan bedahnya harus selalu siap. Jika tidak keberatan, Dokter Virgolin boleh pesan disatukan dengan pesanan punya saya," Dokter Rio menawarkan diri.Pisau bedah yang sedang dipegang Dokter Virgolin langsung disimpan kembali di atas meja. "Boleh juga, biar nanti saya yang transfer pada dokter."Senyum lebar tersungging di bibir Dokter Rio. "Dengan senang hati."Keduanya pun kembali berkeliling melihat berbagai macam alat peralatan medis, diantaranya Mikroskop bedah yang berfungsi untuk membantu dokter saat melakukan pembedahan pasien. Alat ini sering digunakan untuk menunjang saat dilakukannya operasi mata, operasi syaraf, operasi mulut atau operasi gigi karena operasi seperti itu memerlukan akurasi yang sangat tinggi."Wow, harganya lumayan juga," seru Dokter Virgolin begitu melihat angka yang tertera."He-he. Iya, tapi ini harga ini tidak sebanding dengan nyawa pasien yang dipertaruhkan di atas meja operasi.""Iya, betul. Harga peralatan di sini tidak sebanding dengan nyawa manusia yang tentu saja tak ternilai harganya," jawab Dokter Virgolin. "Betul. Tuhan memberikan kita nyawa yang harus kita jaga baik-baik. Jangan sampai kita hidup tak berguna, matipun mati dengan konyol!" Tawa keduanya pun berderai, dilanjut dengan berkeliling lagi melihat peralatan medis yang lain bersama rekan-rekan dokter yang lain.***
SREET!
Di luar gedung tempat dilangsungkannya pameran, seberkas sinar dari atas langit mendadak menerpa batu hitam di dalam sebuah taman. Cahayanya begitu menyilaukan mata disertai pijaran sinar putih di setiap sisinya.
Pijaran kecil semakin lama semakin melebar, begitu juga dengan cahayanya sampai pada titik di mana satu sosok ke luar dari dalam cahaya."Hai, lihat itu!" seru seorang wanita muda yang kebetulan sedang duduk di taman bersama satu temannya."Apa?!"Wanita tersebut menunjuk pada satu cahaya dengan pijarannya. "Aku melihat seseorang ke luar dari dalam cahaya itu!""Yaelah, kebanyakan nonton film horor kamu mah. Mana ada orang ke luar dari cahaya seperti itu!" jawab temannya tak percaya. "Aku tidak bohong. Seseorang bertubuh tinggi dengan pakaian aneh serta tangan entah memegang apa, ke luar dari cahaya itu!" jawabnya tetap membenarkan penglihatannya dengan wajah serius.Pangeran Pisceso, sosok yang sedang dibicarakan kedua orang tersebut, seketika bersembunyi kala menyadari percakapan keduanya.Untungnya, dia tepat waktu.
Terbukti temannya itu berseru, "Tidak ada siapa-siapa! Sepertinya, kamu berhalusinasi, terlalu banyak nonton film."
"Apa yang kau katakan itu, hanya ada dalam film fantasi atau dalam novel fantasi. Tidak ada hal seperti itu. Mana ada, orang tiba-tiba ke luar dari cahaya!" omelnya tetap tak percaya.
"Tapi aku benar-benar melihatnya!""Sudahlah! Itu hanya cahaya biasa. Tidak ada apa-apa!" sanggah temannya lagi."Tapi ....""Hello! Ini zaman modern, zaman canggih! Cahaya seperti ini sering kita lihat dimana-mana. Ini hanya hologram!"Meski bingung, sang saksi mata hanya bisa mengangguk.
Rasa lega langsung menyelimuti Pangeran Pisceso.
Cukup lama dia bersembunyi.
Saat keadaan aman, barulah dia keluar.
"Tetap tenang dan waspada di dunia yang aneh ini," bisiknya pelan pada dirinya sendiri untuk memulai menjelajah mencari tabib sakti di dunia asing untuk kesembuhan sang ibunda!
"Tapi, aku mulai dari mana?"Pisceso semakin memeluk erat tubuh Virgolin. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."Kedua tangan Virgolin memeluk erat pinggang Pisceso. "Benarkah semua akan baik-baik saja?!" tanyanya bersuara serak di antara isak tangis. "Semua akan baik-baik saja," bisik Pisceso. Walau sejujurnya, dirinya juga tidak tahu, apa mungkin akan baik-baik saja setelah hatinya mulai jatuh cinta pada Virgolin. "Bagaimana, kalau tidak baik-baik saja?!" tanya Virgolin lirih. Pisceso tak menjawab. Kedua tangannya semakin erat memeluk tubuh Virgolin. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatinya. "Pisceso," Virgolin merenggangkan pelukannya. Menghapus air mata yang telah membasahi pipi. Pisceso menatap dalam iris mata Virgolin yang masih tergenang air mata. "Jika nanti, aku sudah pulang ke duniaku, jangan pernah lupakan aku," bisik Virgolin, diakhiri bulir-bulir air bening yang jatuh dari kelopak mata.Hati Pisceso terenyuh. Aliran darah di seluruh nadinya seakan berhenti. "Aku tidak mungkin bisa melu
Tatapan Pisceso beralih pada plastik kotor yang dipegang Virgolin. "Benda apa yang kau pegang?!" "Bukan apa-apa," jawab Virgolin. "Hanya sampah."Pisceso tak percaya begitu saja. Plastik kotor yang ada di tangan Virgolin diambilnya. "Itu plastik obat," ucap Virgolin pelan, bahkan suaranya nyaris tak terdengar. Pisceso diam, menunggu kelanjutan bicara Virgolin. "Tempat ini ,,," Virgolin menjeda ucapan, menelan saliva. Entah kenapa, tenggorokannya terasa kering. Pisceso mengangkat kedua alisnya, menunggu kelanjutan kalimat Virgolin."Dari tempat ini, aku tahu kemana arah jalan menuju ke pintu langit," sambung Virgolin.Deg!Pisceso tertegun. "Aku bahkan sangat hapal, kemana jalan menuju pintu langit," lanjut Virgolin. Membalikan badan, melihat ke sekeliling, kemudian tatapannya berhenti pada satu arah. "Kesana," tunjuknya.Pisceso mengikuti arah tangan Virgolin. Memang benar, jalan itu adalah jalan arah di mana pintu cahaya langit berada, tapi apa mungkin pintu langit itu akan ter
Pisceso mengajak Virgolin menikmati keindahan air terjun yang ada di Desa Padi. Suara gemuruh dan percikan air yang menimpa batu membuat takjub Virgolin. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. "Lihat! Banyak ikan kecil di sini!" tunjuk Virgolin pada aliran sungai yang berada di bawah kakinya. "Cepat kemari, Pisceso!" Suaranya kencang menyatu bersama suara gemuruh air terjun. Pisceso datang mendekat. "Kita tangkap ikannya!" pinta Virgolin. "Lebih baik biarkan ikannya besar terlebih dahulu, ikan itu masih terlalu kecil," larang Pisceso. "Iya sih, masih sangat kecil." Virgolin setuju. "Ayo, kita ke sana!" ajaknya. "Kita duduk di batu besar itu." Pisceso dengan senang hati mengikuti kemauan Virgolin. Diraihnya tangan Virgolin agar tidak terjatuh disaat berjalan di antara batu-batu kecil yang terhampar di tepian sungai. Batu cukup besar menjadi tempat duduk mereka berdua. Suara gemuruh air terjun begitu kontras, seirama menyatu bersama angin.Virgolin tak berkedip menatap jatuhn
Perih dipunggung semakin menjalar. Darah yang keluar dari luka semakin banyak. Roxy bahkan merasakan penglihatannya mulai tidak jelas. Keseimbangan tubuhnya pun tidak stabil.Melihat Roxy terlihat limbung, Pisceso memberi isyarat pada prajuritnya agar menangkap Roxy. "Gawat. Mataku, kenapa dengan mataku ini?" hati kecil Roxy bertanya-tanya sendiri. Pedang yang dipegangnya pun mulai terlihat buram.Prajurit dengan sigap mengepung Roxy, tapi jiwa pemberontak Roxy tak membiarkan dirinya ditangkap begitu saja. Walau penglihatan sudah tak begitu jelas, Roxy masih tetap melawan bahkan dengan membabi buta mengayunkan pedangnya ke segala arah. Trang! Clang! Clang!Suara pedang yang beradu mengisi udara di ruangan yang temaram. Roxy masih lincah menangkis mata pedang dari para prajurit yang mengepungnya bahkan dua orang prajurit berhasil terkena sabetan pedangnya. Pisceso memberi perintah agar prajuritnya mundur. Senyum kemenangan terukir di bibir Roxy. "Kalian pikir karena tubuhku terluka
Krieeet,,,Pintu kembali didorong dari luar. Roxy secepat kilat bersembunyi di kolong tempat tidur.Airin kembali masuk membawa wadah yang berisi makanan. Diletakkan di atas meja kecil samping teko air. Sejenak melihat Virgolin kemudian pergi lagi keluar dari kamar. Roxy mengelus dada lega. "Untung tidak ketahuan. Sialan si dayang itu, bolak balik masuk ke kamar. Lama-lama, aku bunuh juga si dayang itu!"Setelah melihat keadaan aman, Roxy keluar dari tempat persembunyiannya. Virgolin masih terlelap tidur dibuai mimpi, tidak tahu kalau dirinya dalam keadaan terancam. Dengkuran halusnya terdengar berirama keluar dari bibirnya."Baguslah, tidurnya sangat nyenyak. Ini akan memudahkan aku untuk membawanya pergi," gumam Roxy bersiap akan membuat Virgolin pingsan dengan memukul bagian tengkuknya. Bruuugh!Pintu kamar tiba-tiba dibuka kasar dari luar. Putra Mahkota Pisceso melesat masuk ke dalam kamar. Duugh!Tendangan kaki Pisceso mendarat sempurna dipunggung Roxy sampai tubuhnya tersun
Duarr!Petir menggelegar seakan ingin membelah langit setelah cahaya kilat muncul menyilaukan setiap mata."Untung kita sudah sampai. Hujannya deras sekali!" tutur Virgolin melihat turun hujan dari jendela kamar yang terbuka. "Iya. Pantas saja, cuaca sangat terik, ternyata mau turun hujan," ujar Airin. Virgolin merenggangkan otot. "Tulang pinggangku pegal. Aku ingin berbaring.""Istirahat saja. Aku juga akan istirahat di kamarku," ucap Airin. "Kalau tabib perlu sesuatu, panggil saja aku."Pintu kamar ditutup rapat oleh Airin dari luar. Virgolin segera naik ke atas tempat tidur yang sangat sederhana. Tubuh lelahnya telentang. Sejenak menatap langit-langit, tak lama kemudian dengkuran halus keluar dari bibirnya sebagai tanda Virgolin telah pergi ke alam mimpi. Sementara itu, Pisceso masih bersama Jidan dan sesepuh dari Desa Padi. Semuanya berkumpul di ruang tengah ditemani teh hangat dan beberapa potong singkong serta ubi rebus yang masih mengeluarkan uap panas. "Tabib dari langit m