Share

9: KEBOHONGAN

Andien masih shock dengan kelakuan kekasihnya itu. Matanya mengikuti langkah Dirga, tetapi mulutnya belum juga menutup sempurna, ternganga karena kecupan kecil yang bahkan sering Dirga berikan padanya saat kebersamaan mereka.

'Astagaaa, sengaja banget sih kayak gitu!'

"Ehem!" suara Arga mengganggu lamunan Andien.

Andien mengalihkan tatapannya ke manik pekat milik Arga, masih terlihat jelas amarah di sana, ditambah rahang yang kaku seperti sedang menahan berbagai umpatan. Sementara Andien sendiri bersusah payah menunjukkan ekspresin datar.

Saat yang sama Arga akan bersuara lagi, pelayan datang membawa pesanan mereka. Setelah hidangan tersaji di hadapan mereka, Andien langsung berpura-pura fokus pada Honey Glazed Grilled Chicken dan Caramel Latte pesanannya.

Lain dengan Andien, lain pula dengan Arga. Mood makannya benar-benar ambyar melihat perlakuan pria yang tidak dikenalnya tadi kepada Andien. Apalagi dengan sikap Andien yang tampak tidak ingin membahas kejadian tadi, amblas sudah nafsu makannya. Chili Beef  with Rice dan Iced Cold Brew di hadapannya yang biasanya selalu jadi favoritnya terlihat sangat tidak menggiurkan.

"Kok ga dimakan Ga?" tanya Andien.

Arga mendengus sinis.

"Menurut kamu, aku bisa makan setelah siaran langsung barusan?"

Andien berusaha menenangkan dirinya. Tidak ingin terkonfrontasi dengan kekesalan Arga. Ia paham Arga pasti shock, Andien sendiri saja shock! Tapi ia juga tidak bisa menyalahkan Dirga. Laki-laki mana yang rela kekasihnya menemui laki-laki lain? Masih bagus Dirga tidak berteriak mengumumkan status hubungan mereka.

"Makan dulu. Semarah-marahnya kita, jangan dilampiaskan ke makanan. Lagi pula kita ga akan bisa ngobrol dengan kepala dingin kalau perut panas menahan lapar." tandas Andien.

Arga meneguk Iced Cold Brew-nya, berusaha menenangkan dirinya. Di dalam pikirannya, ia sadar antara ia dan Andien tidak ada hubungan khusus, bukan, belum ada lebih tepatnya. Sayangnya, hati dan pikirannya tidak tersingkronisasi dengan baik, hatinya masih saja membara cemburu. Merasa tidak berselera, Arga menyuap sedikit demi sedikit makanan yang ada di hadapannya.

Sesekali Andien melirik ke arah meja yang ditempati Dirga dan Ian. Tampak Ian fokus memandangi lembaran-lembaran kertas di hadapannya, sementara Dirga seperti sedang menjelaskan isi lembaran-lembaran tersebut.

"Dia siapa?" tanya Arga ketus. Menyerah, ia menjauhkan hidangan di hadapannya.

"As you see. My lover."

"Shit! Keinara Andieni! Are you kidding me?" geram Arga.

Dirga yang juga mendengar suara meninggi dari pria itu spontan berdiri. Ian menahan pergelangan tangan Dirga, menatap Andien sesaat lantas berkata "Easy man! Andien masih tenang ngadepin itu orang. Kalau itu orang sampe macem-macem sama Andien, gue yang akan mastiin dia molor di hotel prodeo!"

Andien selesai berjibaku dengan makanannya. Jangan salahkan ia yang justru makan dengan lahap saat emosinya terpancing. Ia mengalihkan padangannya ke arah pria yang dicintainya, melihat pria itu berdiri menahan geram - Andien lantas menggerakkan bibirnya tanpa suara 'I'm ok!' seraya memberi isyarat dengan menyatukan ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf O, lalu mengangguk pelan dan tersenyum simpul. Dirga tampak lebih tenang dan kembali duduk di kursinya.

"Hubungan aku dengan dia, bukan itu yang akan kita bahas, Ga." ujar Andien datar, kembali kepada Arga.

"Tapi sikap dan jawaban kamu sudah cukup menjelaskan apa yang akan kamu sampaikan ke aku!" ketus Arga, membalas.

Andien menarik napas, menghembuskannya perlahan seraya menutup kedua mata dan memijit pelipisnya. Jangan tanyakan bagaimana reaksi Dirga saat ini, kalau saja Ian tak masih menahan pergelangan tangan pria itu, mungkin sedari tadi Dirga sudah melakukan baku hantam mengingat wajah kekasihnya yang pucat pasi di hadapan Arga.

"Arga... Bisa ga sih kamu ga cecar aku begitu? Kasih kesempatan aku bicara, jelasin masalahnya. Lagipula, sedari awal, aku sudah bilang kan, tidak ada lagi kita." Andien memulai percakapan lagi selembut mungkin.

"Oke. Kasih aku alasannya. Aku tau kamu ga mungkin sengaja menjadikan dia tameng untuk menolak aku."

"Karena aku perempuan yang cuma akan bikin kamu jengah dengan sikapku yang senang memojokkan kamu."

Arga tidak mengerti dengan ucapan Andien, keningnya berkerut hingga kedua alisnya ikut bertaut, menunjukkan kerasnya ia berpikir.

"Oh, itu alasan kamu mutusin aku kalau kamu lupa." jelas Andien seraya tersenyum.

Tapi senyuman itu seperti menembakkan anak panah ke jantung Arga. Bahkan Arga saja lupa dengan alasan yang ia gunakan untuk memutuskan hubungan asmaranya dengan Andien saat itu. Ya, alasan yang mengada-ngada.

"Hidup memang selucu itu ya. Aku yang tersakiti mengingat semua detailnya, sementara kamu yang menyakiti aku bahkan ga ingat sama sekali dengan perkataan kamu! Kamu tau, bahkan saat itu kamu ga ngasih aku kesempatan untuk bicara. Oh iya, satu lagi, kamu mutusin aku by phone! Harusnya aku nurutin kata-kata Dirga, ga perlu nemuin kamu, cukup bicara by phone and everything is done between us!" ucap Andien sinis.

Arga masih terdiam, berusaha membuka kembali ingatan-ingatan masa lalunya. Gagal. Satu-satunya yang ia ingat adalah benar ia memutuskan perempuan cantik di hadapannya itu by phone. Sepengecut itulah dia saat itu.

Arga menarik napas dalam, menahan udara di paru-parunya, lalu menghembuskannya perlahan. Ia sungguh tak menyangka jika Andien akan mengungkit kembali masa lalu mereka yang bahkan sudah Arga lupakan. Ia tak pernah berpikir jika pepatah 'wanita adalah ahli sejarah' bukanlah isapan jempol belaka.

"Maaf..." lirihnya. "Aku... Saat itu ga sanggup dengan hubungan jarak jauh."

"Hah! Bahkan sampai detik ini kamu masih ga mengakui alasan kamu mutusin aku begitu aja."

"Maksud kamu?"

"Oh, kamu lupa juga kalau kamu akhirnya menikahi selingkuhan kamu?"

'DUAAARRRR!!!!'

Pukulan telak bagi seorang Arga. Tuduhan Andien membuatnya sadar, selingkuh itu memang indah, tapi ketahuan selingkuh sungguh dosa yang memalukan - seolah mukanya dilempari kotoran bertubi-tubi.

Arga tertunduk lesu, tak lagi berani berkata-kata. 'Andien tau dari mana?' batinnya.

"Kamu mau tanya aku tau dari mana?" ucap Andien seolah menyuarakan isi kepala Arga.

"Kamu pernah ga sengaja bilang ke Arini - temen SMA kita juga kalau kamu lupa lagi - kamu bilang ke dia kalau kita sudah putus, padahal kita sama sekali belum putus. Kecuali fakta kamu terus menghindari aku sejak kelulusan kita tanpa aku tau apa masalahnya."

Andien berusaha mengendalikan deru napasnya, kemudian melanjutkan kembali kalimatnya.

"Setelah mendengar itu dari Arini, aku berusaha ngubungin kamu, tapi lagi-lagi kamu benar-benar ga perduli sama aku. Sampai akhirnya aku nelpon Bara sahabat kamu. Aku bilang aku mau ke Bandung nemuin kamu. Aku minta alamat kamu sama Bara. Mungkin Bara kasihan sama aku, atau mungkin Bara mau melindungi kamu dari rengekan aku nantinya, jadi Bara nyeritain semua yang dia tau ke aku agar aku ga perlu nemuin kamu di Bandung. Bara bilang, kamu udah punya cewek lain. So, kesimpulannya adalah kamu se-ling-kuh!

"Dan sialnya, besok malamnya kamu langsung nelpon aku. Ngga ngasih aku kesempatan bicara, lantas mutusin aku dengan alasan yang amat sangat mengada-ngada."

Keduanya terdiam. Hanya menatap minuman yang masih tersaji di hadapan masing-masing. Andien sibuk dengan kekesalannya. Arga sibuk merutuki kelakuannya di masa lalu.

"Kalau apa yang kamu bilang benar, kamu ga sanggup jalanin hubungan jarak jauh, harusnya kamu mutusin aku dulu Ga. Baru kamu jadian lagi dengan cewek lain. Lagipula, kamu menjauhi aku sejak kita lulus lho, bukan sejak kamu di Bandung, artinya kamu udah ga nganggap aku sejak kita lulus SMA itu, aku bukan siapa-siapa buat kamu. Kamu ga sadar kan apa efek yang sudah kamu tinggalkan ke aku?

"Setelah tuduhan-tuduhan tidak menyenangkan yang kamu tudingkan ke aku, rasanya aku ga pernah bisa mencintai dengan benar. Kalau disayang aku ketakutan dan menghindar, giliran aku punya pasangan yang menyebalkan aku dengan beraninya bersikap frontal ke dia. Bahkan aku ga takut ngabsen anggota kebon binatang untuk menghardik cowok yang di mata aku menyebalkan!

"Aku bener-bener ngerasa kerdil, ga pantas untuk dicintai, dan itu gara-gara omongan kamu! Kamu tau kenapa aku memilih ayahnya anak-anak untuk jadi suamiku? Sederhana, karena dia ga pernah ambil pusing dengan kerendahan diriku. Cara dia menyayangi aku membuat kepercayaan diriku kembali, kalau aku bukan perempuan menyebalkan seperti yang kamu tuduhkan!"

Tanpa disadari dua bulir tetesan bening mengalir dengan kurang ajarnya dari kedua netra Andien.

'Bad move Arga! Bad move!' batin Arga merutuki dirinya sendiri.

"Jadi.. Karena itu kamu akan menolak niat baikku untuk menikahi kamu?" akhirnya Arga memaksakan dirinya bersuara, walaupun saat ia bicara seolah ada kaca yang tersangkut di tenggorokannya.

"Kei... Maafin aku..." lirih Arga.

Arga tau terlalu sulit untuk melembutkan hati perempuan pujaan hatinya ini untuk bisa memaafkannya.

"Aku sudah maafin kamu. Buktinya aku tetap menerima kamu sebagai teman selama ini kan? Tapi kalau untuk hidup bersama kamu, aku ga bisa Arga. Seumur hidup itu akan terasa terlalu lama. Aku pasti akan sering berprasangka buruk ke kamu, dan itu ga akan sehat untuk kita berdua."

"Kei..."

"Aku ga bisa ngebayangin, jika satu saat nanti ada masalah di tengah-tengah kita dan kamu ngejauhin aku begitu aja."

"Kei, kita udah 35 tahun, dan kejadian itu waktu kita baru lulus SMA." lirih Arga.

"Aku ga menuduh kamu masih seperti itu. Masalahnya ada padaku. Aku trauma dengan sikap kamu dulu. Dan melihat kamu yang memintaku menikah denganmu hanya membuat aku mengingat kejadian lama itu kembali. Apa seumur hidupku aku harus ketakutan seperti ini jika aku menikah dengan kamu?"

"Kei..."

Arga pun tak bisa menahan tetesan bening yang keluar dari kedua netranya. Dadanya sesak. Sesak karena penolakan dan rasa bersalah pada Andien.

"Satu hal lagi. Aku amat sangat berusaha untuk ga kembali ke mantanku. Ga terkecuali kamu. Kamu tau kenapa? Karena status mantan, artinya kita pernah gagal dalam menyelesaikan masalah di hubungan kita. Seperti yang aku utarakan tadi, jika hubungan itu ada kembali, sedikit banyak kegagalan itu akan menghantui dan aku ga akan berkenan itu mengganggu kebahagiaanku." lanjut Andien lagi.

Arga menyerah. Ia sadar penuh dirinyalah yang salah. Selingkuh, berbohong, bahkan merusak kepercayaan diri orang yang pernah mencintainya dengan tulus.

Arga mengangguk lemah, "Aku ngerti..." Ia bahkan tidak sanggup meneruskan kata-katanya, kerongkongannya tercekat.

"Maaf Kei!" hanya itu yang sanggup meluncur dari bibirnya.

Andien menarik napas panjang, "Kalau begitu, aku bisa ninggalin kamu sekarang kan?" tanya Andien, tak ingin berlama-lama dengan mantan kekasih tak terindahnya itu.

Arga mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk lesu.

"Tapi kamu maafin aku kan Kei? Kita masih bisa temenan kan?"

"Iya." jawab Andien singkat.

Andien mengeluarkan dompet dari tasnya, bermaksud memberi uang untuk membayar makanan yang ia pesan.

"Ga usah Kei. Aku aja yang bayar. Jangan gitu bangetlah Kei, kamu nyentil egoku banget dengan ngeluarin dompet begitu." protes Arga.

Andien terkekeh pelan, "maaf deh."

"Kaya lebaran aja maaf-maafan." canda Arga. Keduanya tertawa renyah.

"Aku duluan ya Kei, sekali lagi aku harap kamu bisa maafin aku. Dan salam buat cowokmu yang dari tadi ngeliatin aku kayak orang kelaparan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status