London, lima tahun yang lalu.
Seorang pria berjalan lesu didampingi pengacaranya memasuki sebuah ruangan di KBRI London. Hari ini, ia akan menandatangi surat perceraian dengan perempuan yang sudah menjadi istrinya selama empat tahun ke belakang. Rasa nyeri di hatinya tak dapat ia tampik begitu saja. Harapan akan pernikahan yang lekang hingga akhir hayat tak terwujud untuknya.
Kedua netra Dirga menatap kosong. Segala kenangan tentang perempuan yang terus saja menatapnya berkelebat tanpa jeda. Viona yang menemaninya melewati masa-masa terberat hidupnya. Viona yang selalu melompat ke pelukannya kala menyambut Dirga sepulang mencari nafkah. Viona yang menyukai kesendirian sewaktu kegelisahan menyapanya. Viona yang ketus saat hatinya terluka. Viona dengan wajah sendunya setiap kali melakukan uji kehamilan. Viona dengan semua masakannya yang memiliki rasa mengerikan, walaupun Dirga terpaksa harus menyantap sebelum tangisan perempuan itu menyapa telinganya. Viona yang segala baik dan buruknya sudah Dirga terima sejak empat tahun yang lalu.
Seorang perwakilan yang mengurus berbagai dokumen perijinan menyerahkan berkas perceraian pada Dirga dan Viona. Dirga tertunduk lesu, pandangannya nanar menatap lembaran dokumen di hadapannya, pun hatinya semakin pilu membayangkan beberapa menit ke depan ia akan resmi menyandang status duda. Sementara wanita di hadapannya masih saja meneteskan air mata, berharap talak yang sudah dilontarkan oleh pria yang sangat dicintainya tak ia teruskan dengan menandatangi berkas perceraian ini.
"Ada yang ingin disampaikan sebelum Bapak dan Ibu menandatangi berkas perceraiannya?" tanya Hadi, sang perwakilan KBRI yang bertanggung jawab pada pertemuan itu.
"Honey... Please, look at me! We still love each other, right? Semua rumah tangga pasti punya masalah masing-masing, tapi bukan berarti cerai adalah jalan keluarnya. Kita pasti bisa melewati ini."
Dirga geram. Semakin ia mendengar suara Viona membela diri, semakin ia membenci keadaan yang menjadi alasan perceraian mereka. Segera, ia membuka map di hadapannya, membaca baris demi baris kalimat yang tersaji di atas kertas putih itu.
Dirga memalingkan wajahnya menatap Ian — sahabat sekaligus pengacara pribadinya. Ian menepuk punggung Dirga lembut, tak mengatakan apapun, pun tak mengangguk ataupun menggeleng. Semua, adalah keputusan mutlak Dirga sendiri tanpa paksaan dan interfensi dari orang lain.
Dirga mengambil penanya. Ketika akan menandatangi berkas itu, Viona berlari ke arahnya, meletakkan tangannya di atas dokumen perpisahan mereka.
"Honey, please... Stop it! I can't live without you. Please...." tangis Viona pilu.
"Kamu mau aku menuntutmu?" tanya Dirga, tajam, geram menahan amarahnya. Tak sedikitpun hatinya iba melihat aliran air mata di wajah Viona.
Viona tergugu, takut melihat kebencian di mata Dirga. Ia menarik tangannya dari berkas itu. Sementara Dirga segera menggoreskan tanda tangannya pada lembar persetujuan.
'Selesai! Selesai sudah pernikahan ini. Welcome solitude!'
Dirga dan Ian tak menunggu apapun. Begitu semua urusan perceraian selesai, mereka segera melangkah pergi, meninggalkan Viona dan perwakilan hukumnya yang hanya bisa terdiam tanpa kata.
"Dirga! Dirga! Please..." panggil Viona seraya berlari kecil mengejar Dirga yang semakin jauh meninggalkannya. Viona meraih lengan mantan suaminya itu tepat ketika Dirga dan Ian melewati pintu keluar KBRI.
Viona berdiri di hadapan Dirga, masih mencengkram lengan Dirga. Hanya derai air mata yang terus mengalir. Dirga pun tak mampu mengendalikan diri, bulir bening pun ikut menetes dari kedua ujung netranya.
Dirga menarik Viona ke dalam pelukannya, erat merengkuh untuk sesaat. Ia melabuhkan kecupan hangat di puncak kepala mantan isterinya itu. Viona memandangnya sendu. Perempuan itu menarik tengkuk Dirga, berjinjit, melabuhkan kecupan di bibir Dirga, yang hanya membuat Dirga semakin terisak. Sakit, terlalu sakit bagi Dirga menerima semua ini. Di saat cintanya pada sang istri sedang begitu berkembang, justru pernikahannya harus kandas dengan cara yang terburuk.
"Kamu benar-benar menghancurkanku Vi..." isak Dirga.
"Honey... I love you. Just you. Please..." tangis Viona lagi.
Dirga mendorong Viona menjauh. Ia menghapus air matanya. Menarik nafas, menahan udara sesaat di paru-parunya, dan menghembuskan udara itu kembali secara perlahan, beberapa kali, berusaha mengendalikan emosinya.
"Jaga dirimu dan kandunganmu!" ucap Dirga tegas.
Dan pria itu pun segera melanjutkan langkahnya, meninggalkan Viona yang semakin tergugu pilu.
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”