Share

PROLOG 2: A WOMAN WHO WANTS TO DIE

Jakarta, dua tahun yang lalu.

"Sayang... Bangun yuk. Subuh dulu."

Devan membangunkan Andien yang masih terlelap pagi itu. Istrinya itu membuka kedua netranya, menatap wajah pagi sang suami.

"Morning baby... Kamu terlihat pucat." gumam Andien.

"Aku agak pusing. Shalat dulu sayang, keburu habis subuhnya."

Andien beranjak dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi untuk mensucikan diri.

"A, are you ok?" tanya Andien begitu ia membentangkan sajadahnya.

Devan yang sedari tadi hanya terduduk lemah di sisi ranjang, tersenyum menatap Andien. Pria itu kembali berbaring. Membuat Andien semakin khawatir.

Andien segera melakukan ibadah subuhnya, perasaan tak enak begitu kuat menyapanya. Begitu menyelesaikan kewajibannya, Andien kembali menelisik keadaan Devan.

"Ayo A, kita ke rumah sakit ya..."

"Aku ga apa-apa. Cuma pusing."

"Ngga A, kita udah lima belas tahun sama-sama, aku tau ada yang ga beres. Aa' ga pernah begini. Ayo, aku bantu ke mobil."

Devan tak menolak. Pasrah digandeng erat sang istri sampai ke dalam mobil.

"Ke mana, Kak?" tanya Kiano - adik Andien - saat mendapati suara mesin mobil yang menyala.

"Rumah Sakit. Nitip anak-anak ya Ki."

"Bang Devan sakit?"

"Iya, bangun tidur pusing katanya."

"Gue aja yang anter ke Rumah Sakit?"

"Ga usah, gue aja. Udah ya, gue jalan."

"Hati-hati, Kak. Cepet sehat Bang." ujar Kia melepas kepergian Andien dan Devan yang meninggalkan kegelisahan tanpa alasan pada Kiano.

Kondisi Devan yang diam sepanjang perjalanan membuat Andien kian panik. Tak biasanya suaminya itu diam seribu bahasa saat bersamanya dalam sakit sekalipun. Andien melajukan mobilnya secepat mungkin, hingga sekitar lima belas menit sejak mereka beranjak dari kediaman mereka, Andien mendengar Devan memanggilnya pelan.

"An... dien."

Tangannya terkulai lemas. Terdengar suara mengorok.

Andien tersentak, panik. Segera ia tepikan kendaraannya, melepas sabuk pengaman dan menangkup wajah Devan. Netra Devan masih terbuka, tapi sama sekali tak merespon Andien. Kedua netra indah itu tak lagi memandangnya. Andien tergugu, kedua netranya memanas, air mata mengalir deras begitu saja.

"Baby... What's wrong?" lirihnya.

Ia mencium wajah dan bibir Devan berkali-kali.

"A... talk to me... A... Dave, please baby..." Andien semakin terisak.

Andien merebahkan kursi Devan, menempelkan telinganya di dada Devan. Tak ada. Tak ada yang terdengar.

"Ya Allah..."

Andien memompa dada suaminya tiga puluh kali, mendengarkan nafasnya.

Tak ada, ia memberikan nafas buatan. Tak ada, tak ada yang berubah. Andien mengulanginya lagi. Resusitasi jantung paru ia lakukan lagi. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, hingga keringatnya bercucuran membasahi pakaiannya, hingga kedua tangannya mati rasa.

Andien segera kembali ke balik kemudi, mengemudikan mobilnya kembali dengan tergesa. Klakson mobil terus berbunyi, lampu hazard terus menyala, ia terus berteriak meminta jalan dari kaca jendela yang terbuka.

Panik.

Andien panik

Benar-benar panik.

Beberapa waktu kemudian, mereka sampai di Rumah Sakit. Andien berlari membuka pintu IGD, menangis menjadi-jadi meminta pertolongan. Beberapa tenaga kesehatan berlari membawa brankar, tiga orang perawat pria dan seorang dokter bersiap membawa Devan ke ruang gawat darurat.

Andien terisak di sebelah ranjang tempat Devan berbaring. Dengan kacaunya ia menjelaskan apa yang terjadi dan apa yang sudah ia lakukan sebelum tiba di Rumah Sakit. Dokter terus memeriksa vitalnya. Andien bisa melihat tatapan duka di mata Dokter muda itu.

'Please... Don't...'

"Mohon maaf Bu... Bapak DOA, Death On Arrival."

Andien terdiam. Membeku. Nyawa seakan ikut melayang dari raganya. Suara-suara terasa menjauh. Tangannya bergetar. Lututnya terasa begitu lemah.

"Ibu..." panggil Dokter itu lagi.

"Ibu..."

"Ibu... Apa ada keluarga yang bisa kami bantu hubungi?"

"Ibu..."

Andien tak menjawab. Dengan langkah gemetaran ia mendekat pada Devan. Andien menangkup wajah suaminya. Menatapnya lekat dengan air mata yang terus mengalir.

"Aa'..." lirihnya, nyaris tanpa suara.

Andien menangis. Terisak. Dadanya terasa begitu sesak, seolah kepergian Devan turut membawa udara di sekitarnya.

"Aa'..." panggilnya lagi. Ia menyatukan wajahnya dengan wajah Devan. Mencium setiap sudut wajah suaminya. Persis seperti yang selalu Devan lakukan kala membangunkannya.

"Wake up, please... What should I do, A? Take me... Take me, please... Don't leave me, A..."

Dokter dan perawat di sampingnya hanya tergugu, tak berani mengganggu tangisan Andien.

"Dave... Take me, please... Take me... I don't want to live without you... Dave....."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status