Aku Juga Bisa Berbohong
Aku pun langsung memberi isyarat pada Fika untuk tetap di ranjang itu bersama Lio, sedang aku menerima video call dari Mas Hasan itu di sofa , yang masih berada di kamar juga. Kuhapus sisa air mata yang berada di pipi. Sesuai rencana, tentu aku akan bersikap biasa saja, dan melihat bagaimana mimik wajah suamiku itu."Assalamualaikum...ada apa, Pa?" ucapku membuka obrolan melalui sambungan telepon itu.Nampak saat ini, Mas Hasan tengah duduk di sebuah kursi, tepatnya dalam sebuah ruangan. Dibelakangnya, nampak sebuah jendela yang tertutup korden warna putih, dengan atasanya ada LCD dan AC."Waalaikum salam. Lagi dimana, Ma?" tanyanya sembari menghisap r***knya.Saat ini, Mas Hasan memakai kaos putih polos kesukaannya. Dan itu adalah salah satu hadiah dariku, saat anniversary ke dua puluh pernikahanku tahun kemarin.Rambutnya nampak basah, namun kurasa itu bukan karena selesai mandi, karena wajahnya kelihatan berminyak. Menurutku seperti orang habis berolahraga, kalau karena panas, tak mungkin rasanya, karena di belakangnya 'kan ada ac."Lagi di kamar, capek habis masak untuk kepulangan Fika nanti. Bik Nur 'kan masih libur, paling juga besok baru balik. Kamu sedang di mana itu, Pa? Kok kayak kecapekan dan habis lari-lari gitu sih?"tanyaku tetap dengan wajah datar, meski ada sedikit rasa curiga."Lagi di kamar dong, masak iya lagi di jalan. Hahaha...iya, ini tadi habis lari-lari di lapangan. Fika bilang mau pulang kapan, Ma?"Sebuah alasan yang sangat tidak logis, dan pasti dia berpikir aku akan langsung mempercayainya seperti biasa."Oh...kirain habis ngapain aja, Pa. Fika tadi tadi sih telepon, katanya pulang ntar sore. Kamu jadi pulang kapan, Pa?""Emmm...belum tahu, Ma. Mungkin tiga atau dua hari ke depan. Tapi bisa juga molor sih. Oh iya, tadi aku sudah menelepon Fika karena tak bisa pulang. Dan juga sudah memberikannya uang, untuk membeli apa yang dia mau.Tumben sekali loh, Fika ini minta barang mewah. Padahal biasanya kan lebih suka yang biasa saja, alias sederhana. Persis seperti kamu, Ma."Mas Hasan nampak tertawa, meski usianya sudah akan menginjak lima puluh tahun, tetapi masih saja menperlihatkan gurat ketampanan disana. Apalagi suamiku ini memang sangat perhatian kalau soal penampilan. Pantas saja banyak gadis muda yang terjerat dengan pesonanya, dan mungkin lebih tepatnya, terjerat dengan uangnya."Ya namanya juga sekarang 'kan dia sudah besar, pasti pemikirannya juga berubah. Mungkin saja, dia nanti akan sepertimu, suak kemewahan, Pa. Terima kasih sudah perhatian sama, Fika.Oh, iya, Pa. Sebenarnya, ini tadi aku mau menelepon kamu, loh. Eh ternyata akhirnya kamu telepon duluan. Aku mau minta sesuatu nih sama kamu.""Mau minta apa, Ma? Tumben, biasanya kamu nggak pernah mau minta apa-apa. Selalu menerima pemberianku saja. Mau minta apa memangnya?"Sesaat tadi kulihat pucuk mata Mas Hasan menoleh ke arah kiri, kemudian tersenyum , sepertinya sedang memperhatikan sesuatu yang menyenangkkan hatinya."Ini bukan buat aku pribadi kok, Pa. Tapi untuk investasi masa depan. Kamu kenal Bu Laras 'kan? Itu, istrinya kepala rumah sakit sakit Bhakti Husada, teman SMAku dulu."Mas Hasan terlihat berpikir sambil menghisap lagi r***knya, "oh iya, aku tahu, yang orangnya mungil itu 'kan? Investasi apa memangnya?"Ini adalah rencana pertamaku, setelah tadi Fika sukses dengan lima puluh juta pertamanya...entahlah, mau berhasil atau tidak, yang penting aku mencobanya."Dia ini, lagi kepepet uang, Pa. Putranya yang kuliah di Amerika sana, minta dibelikan rumah, dan rumah itu katanya dijual dengan harga yang miring. Nah, hal ini bebarengan dengan usahanya yang mulai mengalami masalah, dan itu artinya dia butuh banyak uang.Tadi, dia baru saja ke rumah pagi-pagi gini. Nawarin dua set perhiasan berliannya. Dia minta aku membelinya dengan harga aatu miliar saja, padahal pasarannya itu masih tujuh ratusan loh satu set-nya.Dia melepas itu, jika aku bisa memberinya uang saat ini juga, dia benar-benar butuh uangnya sekarang. Gimana menurut Papa, kita beli saja, kan lumayan tuh pas Papa pulang nanti bisa dijual lagi, dan dapat untung banyak," ucapku dengan mimik serius."Oke, beli saja keduanya, Ma. Sepertinya dia tak mungkin menipu, toh kita 'kan sudah kenal baik dan tahu rumahnya. Kebetulan, kemarin aku dapat uang satu miliar dari investor. Nah uang itu bisa kita gunakan dulu. Besok pas aku pulang, kita jual lagi 'kan. Sekarang, telepon dulu dia, katakan bahwa kita siap uangnya," ucap Mas Hasan terlihat antusias.Sejak dulu suamiku ini, memang seorang pekerja kerasa dan pebisnis yang handal. Hingga dia tak pernah mau menyia-nyiakan peluang yang ada. Dan karena memang, kami amat dekat dengan Laras. Masalah belakang gampang, yang penting hari ini, aku dapat uang itu. Terserah mau uang dari investor atau uang pribadinya."Kirim dulu uangnya, Pa. Sembari aku mengirim chat pada Bu Laras," jawabku.Nampak dia langsung mengambil handphonenya, dan aku juga pun pura-pura mengambil handphone-ku, sekaan aku sedang chat seseorang.Sekitar dua menit, Mas Hasan kembali meletakkan handphonenya."Sudah, Ma. Sudah masuk 'kan uangnya? Segera eksekusi itu, Ma. Namanya itu rejeki nomplok!" ucapnya dengan wajah sumringah."Siapa, Bos. Setelah ini, aku akan langsung menuju rumah Bu Laras. Lumayan 'kan, dalam hitungan hari, kita kan sudah dapat ratusa juta," ucapku yang juga amat bahagia, karena dapat notifikasi M-bangking.Nampak saat itu, suamiku kembali melirik dan tersenyum ke arah kiri. Sambil kakinya seperti meraih sesuatu, atau apalah itu, yang pasti kakinya itu digerak-gerakkan, persis seperti sedang mengusap sesuatu."Omm...sshhh..." suara desahan dari seorang wanita terdengar amat lirih.Sontak Mas Hasan langsung menoleeh kearahku, dan tentu saja dia terlihat amat panik. Hemmm...ternyata suamiku ini sedang berada di kamar bersama dengan seorang wanita.Amankan Semuanya Sekarang"Omm...sshhh..." suara desahan dari seorang wanita terdengar amat lirih.Sontak Mas Hasan langsung menoleeh kearahku, dan tentu saja dia terlihat amat panik. Hemmm...ternyata suamiku ini sedang berada di kamar bersama dengan seorang wanita.Mungkin jika hal ini terjadi kemarin, pasti aku langsung saja aku akan emosi, dan menangis. Tapi setelah kejadian Adelia ini, aku pun jadi bisa lebih kuat, dan mencoba bersikap biasa saja. Aku juga bisa berakting sepertimu kok, Mas."Pa, kenapa wajahnya kok kelihatan panik gitu, sih?" ucapku berlagak bodoh.Mas Hasan kini membawa handhonenya keluar kamar, pastinya dia masih takut aku menanyakan suar wanita itu. Tapi tenang, Mas. Aku tak akan menanyakan hal itu, karena aku sudah tahu kebusukanmu."Ah, nggak apa-apa kok, Ma. Panas aja tadi rasanya di dalam, jadi sekarang aku pindah keluar. Habis ini, langsung di eksekusi itu berliannya, Ma. Jangan sampai diambil orang lain.Jika nanti sudah kita jual kembali, aku ingin jug
Kembalilah Ke Asalmu"Hemmm....boleh juga tuh, Ma. Aku sangat setuju sekali. Tahun ini, akan menjadi tahun paling bersejarah dalam hidupku. Karena tepat saat ulang tahunku, kedok Papa malah terbongkar, padahal hal itu mungkin telah ditutupinya selama bertahun-tahun," ucap Fika sembari tersenyum kecut."Maafin ya, Sayang. Kamu harus mendenagar ini semua tepat di hari kelahiranmu. Semoga saja, ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk kita ke depannya. Dan membuat hidup kita jauh ñlebih baik lagi ke depannya.Mama yakin, dengan ini nanti kamu akan menjadi seorang wanita yang kuat, yang tak mudah menyerah."Aku pun kemudian memeluk kembali memeluk Fika, karena kutahu, meski terlihat tegar, pasti saat ini hatinya hancur."Aku pasti kuat, Ma. Dan kita akan bareng-bareng melewati ini semua. Dan memulai hidup baru bersama Lio," ucap Fika tersenyum sembari mengurai pelukanku.Di dunia ini, aku memang sudah tak punya siapa-siapa lagi. Karena ibu dan saudara kembarku sudah meninggal saat menga
Memang Buaya DaratTok tok tokk"Assalamualaikum, Nyonya..."Suara panggilan dari Bik Nur terdengar di depan. Dengan sigap, Fika pun langsung membukakan pintu."Yeay! Ma...lihat, aku dibawain oleh-oleh getuk pisang loh sama Bik Nur," ucap Fika girang sambil menunjukkan makanan kesukaanya itu, "makasih banyak ya, Bik!"Bik Nur, memang sudah sejak tiga hari yang lalu, pamit berkunjung ke rumah adiknya yang ada di Kediri. Karena adik satu-satunya itu, sedang menikahkan anaknya.Fika, memang sangat dekat dengan Bik Nur, karena Bik Nur ini sudah bekerja padaku sejak tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya bersamaan dengan aku membeli rumah ini. Namun, dulu rumah yang kutempati ini, amat sederhana. Tapi, sepuluh tahun yang lalu, Mas Hasan telah membangunnya menjadi rumah yang mewah.Usia Bik Nur, tak jauh beda denganku, mungkin terpaut lima tahun saja. Karena dia juga amat baik dan penyabar, maka kami sudah mengaggapnya sebagi saudara sendiri."Wah...terima kasih, Bik. Sudah bawain banyak ole
Satu Langkah Terlewati"Ma...kok aku jadi makin benci deh sama Papa! Nggak nyangka aku, Papa punya kelakuan serendah itu! Benar-benar kecewa aku!" Fika terlihat amat marah."Sabar, Fik. Bertahun-tahun kita dibohingi, dan kini kita tahu semuanya, segala kebusukan Papa-mu. Bersyukurlah, jika sekarang kita tahu semua ini, sebelum terlambat," ucapku sambil mengelus pundaknya.Memang pantas sekali, jika Fika amat kecewa dan benci dengan Papanya. Karena dia memang bukan anak kecil lagi, yang bisa dibohongi. Entahlah, aku juga tak pernah menyangka, jika Mas Hasan punya kelakuan seburuk itu."Maafkan saya ya, Nyonya. Karena selama ini tak berani mengungkapkan semua. Sekarang Nyonya dan Non Fika harus sabar, insyaallah nanti dibelakang ada kebahagiaan yang lebih besar." Bik Nur pun memberi semangat pada kami."Pasti, Bik, aku percaya itu. Terima kasih ya, karena sudah selalu menjaga kepercayaanku. Sekarang, kami pergi dulu, titip Lio ya. Pintu depan kunci saja, jika ada yang datang, lihat dulu
Keterlaluan"Ma...bukannya itu si Papa?!"Ya benar sekali, di hadapan kami itu, adalah suamiku yang katanya sedang pamit ke luar kota sejak seminggu yang lalu. Dan pakaian yang digunakannya pun, sama persis saat dia meneleponku lewat Vc tadi pagi."Ya benar, tak salah lagi. Mungkin, selama ini, Papamu itu tak keluar kota, Fik. Tapi masih di sini-sini saja. Hanya saja kemarin-kemarin itu, kita tak pernah mengetahuinya," ucapku sembari mengabadikan apa yang kulihat di depan."Bisa jadi seperti itu sih, Ma. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Setelah membohongi mama lebih dari sepuluh tahun, kini waktunya semua kebusukan Papa terungkap!" ucap Fika emosi.Nampak pasangan beda usia itu kemudian memasuki mobil Mas Hasan, yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat kami."Fik, makannya nanti saja. Kita ikuti dulu kemana Papamu pergi, mama sangat penasaran ini!" perintahku pada Fika.Tanggung rasanya, bila hanya tahu kemesraan mereka sekilas. Aku harus bisa tahu lebih
Bab 13Dapat Uang Kaget LagiSaat kami sedang berada di counter pakaian bayi, Mas Hasan menelepon Fika."Ma, ini Papa telepon loh, diangkat nggak?" bisik Fika di telingaku."Angkat saja, anggap seperti tak ada apa-apa," jawabku sembari mengedipkan sebelah mata.Fika pun tersenyum, kemudian diterimanya panggilan dari Papanya itu.Seperti biasa, Fika me-loud speaker handphonenya."Assalamualaikum, Pa. Ada apa?" ucap Fika mengawali panggilan melalui sambungan telepon itu."Waalaikum salam. Kamu sudah pulang, Fik? Sudah ajak Mama jalan-jalan?"Suara Mas Hasan tetap seperti biasa, tenang, seakan tak menyembunyikan kebusukan apapun."Lagi di mall, sama Mama ini," jawab Fika singkat."Wah pinternya kamu ajak Mamamu jalan-jalan, nanti kalau duitnya kurang, tinggal pakai kartu kredit saja. Kamu dan Mama kan sudah papa beri masing- masing. Lagi belanja apa nih sekarang?"Fika tersenyum kecut, mendengar ucapan papanya yang sok perhatian itu."Lagi di counter perlengkapan bayi nih, Pa!""Loh...ng
Rencana"Bentar, Fik. Kita berhenti dulu di sini," ucapku."Mama mau ngapain? Beli pulsa? " ucap Fika sambil menepikan mobilnya.Untung saja, saat itu jalanan sedang sepi, jadi dengan mudah Fika menepikan mobilnya."Ya mau beli nomor handphone yang baru dong, Sayang. Untuk mempermulus rencana baru kita itu. Kamu mau ikut, atau tunggu di mobil saja?""Mama aja deh, aku tunggu di sini," jawab Fika seperti biasa sambil tersenyum.Segera, aku pun masuk ke toko handphone itu, membeli sebuah nomor baru untuk mengerjai Mas Hasan. Biarlah, sekalian saja kuhabiskan semua uangnya.Aku sebenarnya, tak begitu percaya, saat dia bilang tak lagi punya uang, dan kini hanya memakai uang dari Investor. Tapi ya sudahlah, terserah dia saja. Toh intinya, saat uang habis berarti dia sudah ada di ambang kehancuran. Dan akan lebih baik lagi, jika memang benar itu adalah uang investor, maka kemungkinan besar, suamiku itu akan berakhir di penjara.Saat melihat-lihat, ternyata counter ini juga menjual beberapa
Dia Mulai Cemas"Gimana, Ma? Apa sudah ada tanda-tanda hilal?" tanya Fika saat kami telah memasuki pekarangan rumah."Hilal? Hahaha apa kamu fikir ini mau masuk bulan puasa? Ada-ada aja kamu itu, Fik," ucapku sembari mencubit kecil pipinya."Habisnya, aku tuh sudah nggak sabar nerima uang yang banyak lagi dari Papa, Ma, hahaha.""Sabar, Sayang. Ini masih step satu, mama ingin membuat papamu itu, bingung dan khawatir dulu saat ini. Dan satu juga yang pasti, saat ini kita sudah mengacaukan malam indahnya dengan wanita muda itu!" ucapku sembari keluar dari mobil."Kok, Mama bisa seyakin itu sih?" tanya Fika dengan wajah tak percayanya.Kami pun kemudian mengambil semua belanjaan dari bagasi, dan berjalan beriringan sambil membawa banyak barang."Kok Mama diaam aja sih? Malah senyam-senyum sendiri," ucap Fik lagi sambil menyikut lenganku."Hahaha...mama tadi sudah mengiri dua foto yang berhasil mama ambil sebelum kita makan tadi!"Kami pun kemudian tertawa bersama, sembari membayangkan b