Kembalilah Ke Asalmu"Hemmm....boleh juga tuh, Ma. Aku sangat setuju sekali. Tahun ini, akan menjadi tahun paling bersejarah dalam hidupku. Karena tepat saat ulang tahunku, kedok Papa malah terbongkar, padahal hal itu mungkin telah ditutupinya selama bertahun-tahun," ucap Fika sembari tersenyum kecut."Maafin ya, Sayang. Kamu harus mendenagar ini semua tepat di hari kelahiranmu. Semoga saja, ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk kita ke depannya. Dan membuat hidup kita jauh ñlebih baik lagi ke depannya.Mama yakin, dengan ini nanti kamu akan menjadi seorang wanita yang kuat, yang tak mudah menyerah."Aku pun kemudian memeluk kembali memeluk Fika, karena kutahu, meski terlihat tegar, pasti saat ini hatinya hancur."Aku pasti kuat, Ma. Dan kita akan bareng-bareng melewati ini semua. Dan memulai hidup baru bersama Lio," ucap Fika tersenyum sembari mengurai pelukanku.Di dunia ini, aku memang sudah tak punya siapa-siapa lagi. Karena ibu dan saudara kembarku sudah meninggal saat menga
Memang Buaya DaratTok tok tokk"Assalamualaikum, Nyonya..."Suara panggilan dari Bik Nur terdengar di depan. Dengan sigap, Fika pun langsung membukakan pintu."Yeay! Ma...lihat, aku dibawain oleh-oleh getuk pisang loh sama Bik Nur," ucap Fika girang sambil menunjukkan makanan kesukaanya itu, "makasih banyak ya, Bik!"Bik Nur, memang sudah sejak tiga hari yang lalu, pamit berkunjung ke rumah adiknya yang ada di Kediri. Karena adik satu-satunya itu, sedang menikahkan anaknya.Fika, memang sangat dekat dengan Bik Nur, karena Bik Nur ini sudah bekerja padaku sejak tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya bersamaan dengan aku membeli rumah ini. Namun, dulu rumah yang kutempati ini, amat sederhana. Tapi, sepuluh tahun yang lalu, Mas Hasan telah membangunnya menjadi rumah yang mewah.Usia Bik Nur, tak jauh beda denganku, mungkin terpaut lima tahun saja. Karena dia juga amat baik dan penyabar, maka kami sudah mengaggapnya sebagi saudara sendiri."Wah...terima kasih, Bik. Sudah bawain banyak ole
Satu Langkah Terlewati"Ma...kok aku jadi makin benci deh sama Papa! Nggak nyangka aku, Papa punya kelakuan serendah itu! Benar-benar kecewa aku!" Fika terlihat amat marah."Sabar, Fik. Bertahun-tahun kita dibohingi, dan kini kita tahu semuanya, segala kebusukan Papa-mu. Bersyukurlah, jika sekarang kita tahu semua ini, sebelum terlambat," ucapku sambil mengelus pundaknya.Memang pantas sekali, jika Fika amat kecewa dan benci dengan Papanya. Karena dia memang bukan anak kecil lagi, yang bisa dibohongi. Entahlah, aku juga tak pernah menyangka, jika Mas Hasan punya kelakuan seburuk itu."Maafkan saya ya, Nyonya. Karena selama ini tak berani mengungkapkan semua. Sekarang Nyonya dan Non Fika harus sabar, insyaallah nanti dibelakang ada kebahagiaan yang lebih besar." Bik Nur pun memberi semangat pada kami."Pasti, Bik, aku percaya itu. Terima kasih ya, karena sudah selalu menjaga kepercayaanku. Sekarang, kami pergi dulu, titip Lio ya. Pintu depan kunci saja, jika ada yang datang, lihat dulu
Keterlaluan"Ma...bukannya itu si Papa?!"Ya benar sekali, di hadapan kami itu, adalah suamiku yang katanya sedang pamit ke luar kota sejak seminggu yang lalu. Dan pakaian yang digunakannya pun, sama persis saat dia meneleponku lewat Vc tadi pagi."Ya benar, tak salah lagi. Mungkin, selama ini, Papamu itu tak keluar kota, Fik. Tapi masih di sini-sini saja. Hanya saja kemarin-kemarin itu, kita tak pernah mengetahuinya," ucapku sembari mengabadikan apa yang kulihat di depan."Bisa jadi seperti itu sih, Ma. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Setelah membohongi mama lebih dari sepuluh tahun, kini waktunya semua kebusukan Papa terungkap!" ucap Fika emosi.Nampak pasangan beda usia itu kemudian memasuki mobil Mas Hasan, yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat kami."Fik, makannya nanti saja. Kita ikuti dulu kemana Papamu pergi, mama sangat penasaran ini!" perintahku pada Fika.Tanggung rasanya, bila hanya tahu kemesraan mereka sekilas. Aku harus bisa tahu lebih
Bab 13Dapat Uang Kaget LagiSaat kami sedang berada di counter pakaian bayi, Mas Hasan menelepon Fika."Ma, ini Papa telepon loh, diangkat nggak?" bisik Fika di telingaku."Angkat saja, anggap seperti tak ada apa-apa," jawabku sembari mengedipkan sebelah mata.Fika pun tersenyum, kemudian diterimanya panggilan dari Papanya itu.Seperti biasa, Fika me-loud speaker handphonenya."Assalamualaikum, Pa. Ada apa?" ucap Fika mengawali panggilan melalui sambungan telepon itu."Waalaikum salam. Kamu sudah pulang, Fik? Sudah ajak Mama jalan-jalan?"Suara Mas Hasan tetap seperti biasa, tenang, seakan tak menyembunyikan kebusukan apapun."Lagi di mall, sama Mama ini," jawab Fika singkat."Wah pinternya kamu ajak Mamamu jalan-jalan, nanti kalau duitnya kurang, tinggal pakai kartu kredit saja. Kamu dan Mama kan sudah papa beri masing- masing. Lagi belanja apa nih sekarang?"Fika tersenyum kecut, mendengar ucapan papanya yang sok perhatian itu."Lagi di counter perlengkapan bayi nih, Pa!""Loh...ng
Rencana"Bentar, Fik. Kita berhenti dulu di sini," ucapku."Mama mau ngapain? Beli pulsa? " ucap Fika sambil menepikan mobilnya.Untung saja, saat itu jalanan sedang sepi, jadi dengan mudah Fika menepikan mobilnya."Ya mau beli nomor handphone yang baru dong, Sayang. Untuk mempermulus rencana baru kita itu. Kamu mau ikut, atau tunggu di mobil saja?""Mama aja deh, aku tunggu di sini," jawab Fika seperti biasa sambil tersenyum.Segera, aku pun masuk ke toko handphone itu, membeli sebuah nomor baru untuk mengerjai Mas Hasan. Biarlah, sekalian saja kuhabiskan semua uangnya.Aku sebenarnya, tak begitu percaya, saat dia bilang tak lagi punya uang, dan kini hanya memakai uang dari Investor. Tapi ya sudahlah, terserah dia saja. Toh intinya, saat uang habis berarti dia sudah ada di ambang kehancuran. Dan akan lebih baik lagi, jika memang benar itu adalah uang investor, maka kemungkinan besar, suamiku itu akan berakhir di penjara.Saat melihat-lihat, ternyata counter ini juga menjual beberapa
Dia Mulai Cemas"Gimana, Ma? Apa sudah ada tanda-tanda hilal?" tanya Fika saat kami telah memasuki pekarangan rumah."Hilal? Hahaha apa kamu fikir ini mau masuk bulan puasa? Ada-ada aja kamu itu, Fik," ucapku sembari mencubit kecil pipinya."Habisnya, aku tuh sudah nggak sabar nerima uang yang banyak lagi dari Papa, Ma, hahaha.""Sabar, Sayang. Ini masih step satu, mama ingin membuat papamu itu, bingung dan khawatir dulu saat ini. Dan satu juga yang pasti, saat ini kita sudah mengacaukan malam indahnya dengan wanita muda itu!" ucapku sembari keluar dari mobil."Kok, Mama bisa seyakin itu sih?" tanya Fika dengan wajah tak percayanya.Kami pun kemudian mengambil semua belanjaan dari bagasi, dan berjalan beriringan sambil membawa banyak barang."Kok Mama diaam aja sih? Malah senyam-senyum sendiri," ucap Fik lagi sambil menyikut lenganku."Hahaha...mama tadi sudah mengiri dua foto yang berhasil mama ambil sebelum kita makan tadi!"Kami pun kemudian tertawa bersama, sembari membayangkan b
Kecemasanmu, Kebahagianku"Kena nih, Ma! Jangan lupa nanti kalau bisa peras Papa yang banyak ya, hahaha," ucap Fika setelah Mas Hasan menutup panggilannya."Siap! Doakan saja ya, semoga Papamu itu masih memiliki banyak simpanan uang, sehingga kita masih bisa dapat banyak jarahan, hihihi," jawabku.Jika orang melihat kami berdua, mungkin orang yang tidak tahu, akan mengira kami ini pasangan ibu dan anak yang kurang ajar, karena menipu suaminya."Semoga besok kita juga mendapat kabar tentang Adelia ya, Ma. Biar semua semakin jelas, dan kita bisa hidup tenang. Aku mau bobok dulu, capek banget deh, hari ini benar-benar menguras segalanya.""Iya, cepat istirahat, besok kita mulai petualangan yang lebih menegangkan dari pada hari ini. Mama juga capek, ingin nyelonjorin kaki nih."Malam itu, kami pun akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Kubaringkan Lio disampingku, di atas kasur bayi kecil yang tadi kubeli. Kasur bayi yang dilengkapi dengan kelambu ini, bisa menjaganya dari nyamuk dan debu