Bab 178Pov Bu Dewi Sampai tiba di rumah pun aku sebenarnya masih saja terus memikirkan almarhumah Bu Rini. Nasibnya yang tragis seakan tak bisa membuat aku move on. Pertemuan yang tak terduga, tapi akhirnya menjadi hubungan bis itu, kini hanya tinggal jejak duka saja.Yang aku tahu sebenarnya dia adalah seorang wanita yang tangguh, sehingga bisa memendam rasa sakit oleh pengkhianat seorang Mas Hasan selama puluhan tahun, nyatanya dia masih bisa berdiri dengan tegar. Meski memang dia meninggalkan Nesya selama dua puluh tahun, tetapi menurutku itu adalah sebuah tindakan yang benar. Orang lain bisa menyalahkan karena tak mengalaminya sendiri bukan?Namun, nyatanya Bu Rini tak berkutik dengan anak kandungnya sendiri. Bahkan dengan dalih demi kembali membuat anak durhaka itu bahagia. Ah entahlah, keputusan macam apa itu.Semua perbuatan memang akan selalu ada pertanggung jawaban nanti. Penyesalan memang selalu datang di akhir, tapi entah mengapa aku seperti tak melihat adanya hal itu di
Bab 179Pov Bu Dewi Aku sungguh tak menyangka jika Nesya mengatakan hal seperti itu. Padahal dia sudah benar-benar nyata terlihat bersalah, tetapi masih menyangkal juga. Jika saja saat ini dia berada di depanku, pasti Aku pun langsung akan menampar dia."Astaghfirullah aladzim!" kata itu terus saja aku ucapkan dengan lirih.Nesya pun kemudian melanjutkan ucapannya, "begini ya Tan. Seharusnya orang-orang itu nggak hanya memikirkan perasaan dia saja, seharusnya mereka memikirkan aku juga dong! Bayangkan deh selama dua puluh tahun dia pergi dan lepas tanggung jawab, menyerahkan aku di Panti asuhan begitu saja. Apa itu yang dinamakan seorang ibu? Coba bayangkan jika kalian jadi aku!" ucap Nesya seakan masih merasa paling benar.Aku akan segera menimpali ucapan gadis tak tahu diri ini setelah mengucapkan istighfar, tetapi nyatanya dia kembali nyerocos."Apa yang kulakukan saat ini anggap saja hanya sebagai sebuah ungkapan kekesalan belaka! Toh sebenarnya apa yang aku lakukan pada ia itu t
Bab 180Pov Author Setelah kejadian meninggalnya Bu Rini secara bunuh diri di rumah itu, Bu Dewi pun memutuskan untuk menjual salah satu rumah miliknya itu. Karena menurutnya rumah itu sudah menyimpan banyak kenangan pahit."Ma ... lihat berita terbaru nggak?" Fika datang tanpa mengetuk pintu kamar By Dewi pagi ini, dia sepertinya sangat bersemangat sambil membawa ponselnya."Berita apa sih, Sayang?" Fika segera menunjukan latar ponselnya pada Bu Dewi. Ada rasa senang dan sedikit iba ketika dia membaca berita itu."Apa ini benar, Sayang?" tanya Bu Dewi sekedar memastikan."Tentu, Ma," jawab Fika singkat.Berita itu menunjukan jika semalam Nesya telah ditangkap di sebuah losmen di kecamatan sebelah. Dengan kondisi yang mengenaskan, seperti seorang yang mengalami depresi.Seminggu sudah pelarian Nesya setelah kematian Bu Rini itu, gadis hitam manis itu pun hanya satu kali saja menghubungi Bu Dewi, setelahnya dia seperti hilang ditelan bumi.Dalam pelariannya itu, Nesya terus berpinda
Tokk tokk tokkSuara ketukan pintu depan, terdengar nyaring. Aku yang baru saja selesai melaksanakan salat subuh, langsung menuju ke depan, tanpa menyahut.Tokk tokk tokk"Mbak..."Suara ketukan dan panggilan dari seorang wanita. Tanpa menyahut lagi, aku pun mengintip dari balik korden jendela, memastikan siapa yang mengetuk pintu rumahku di pagi buta seperti ini."Mbak, tolong bukakan pintunya!" ucap suara di depan lagi.Seorang wanita muda dengan rambut dicepol, memakai hem kotak-kotak biru, dipadu dengan celana jeans hitam, tengah berdiri tepat di depan pintu rumahku.Wanita cantik itu, menggendong seorang bayi, sambil membawa sebuah tas besar.Tok tok tokk"Mbak!"Kali ini, segera kubuka pintu rumah, setelah yakin, jika yang mengetuk pintuku ini, adalah manusia tulen."Cari siapa ya, Mbak?" ucapku lembut, membuka obrolan, saat pintu telah kubuka.Gerbang rumah, memang sengaja tak kukunci sejak semalam, karena suamiku bilang akan pulang. Tapi, sampai sekarang dia belum sampai juga.
Adelia"Ma...Mama nggak kenapa? Kok kayaknya kaget banget gitu?" tanya Fika tiba-tiba.Memang, saat melihat foto tersebut, aku langsung shock, hingga terduduk di kursi yang berada di dapur."Nggak kok, Fik. Mama cuma kasihan saja melihatnya," ucapku sembari menetralkan perasaan, "mayat ini tadi ditemukan di mana?""Di halaman sebuah rumah kosong, Ma. Yang menemukan pertama kali, adalah seorang tukang becak," jawab Fika lugas.Aku masih amat syok, sekitar tiga jam yang lalu, wanita ini masih menangis di hadapanku, dan dia juga menyerahkan anaknya. Apa mungkin ini motivasinya menyerahkan bayinya, untuk kujaga?Padahal, dia punya banyak hutang penjelasan padaku. Bahkan, aku tadi masih berharap bisa bertemu lagi dengannya."Apa dia meninggal karena bunuh diri atau dibunuh, Fik?""Belum tahu, Ma. Pas tadi aku di sana, polisi belum datang," jawab Fika singkat.Oekk Oekk OekkTiba-tiba, Lio memangis dengan kerasnya, dan tentu saja hal itu membuat kager Fika."Ma...suara bayi siapa itu?! Kok
Topeng Suamiku"Astaghfirullahaladzim!" ucapku sembari menghirup nafas dalam-dalam."Ma...Mama nggak apa-apa 'kan? Alu ambilin minum dulu ya!"Fika segera berlari ke luar kamar, dan sepertinya dia tahu apa yang kini tengah kurasakan.Apalagi ini, ya Allah? Pagi ini, Engkau sungguh memberiku banyak sekali kejutan."Ini, Ma. Diminum dulu airnya," ucap Fika, sambil mengangsurkan segelas air putih padaku, "yang sabar ya, Ma. Jangan berfikiran buruk pada Papa, bisa saja 'kan, wanita itu hanya berbohing.""Iya, Fik. Mama nggak apa-apa kok. Coba cari lagi, siapa tahu di dalam tas itu, kita bisa menemukan petunjuk lagi," perintahku.Fika kemudian kembali mencari dalam tas itu, di saku samping, ada sebuah dompet koin kecil, dan tentu saja langsung dibukannya."Isinya, ternyata perhiasan Ma. Ada kalung, empat cincin dan dua gelang," ucap Fika sambil menunjukkan perhiasan berwarna emas itu."Sepertinya, ini perhiasan emas murni. Ada surat penjualannya nggak, Fik?""Nggak ada, Ma. Cuman perhiasan
Jangan Terpuruk"Ma...ini ada satu lagi, Fika temukan di saku samping. Sebuah tanda pengenal sepertinya," ucap Fika sembari menunjukkan sebuah benda, yang mirip KTP.Saat kami teliti, ternyata itu adalah karti tanda mahasiswa, disebuah universitas swasta di kota sebelah. Adelia Putri Cahyani, nama yang cantik secantik orangnya, dan usianya pun masih amat belia, masih 20 tahun, hanya beda bulan saja dengan putriku."Dia ternyata masih muda sekali, Ma. Dia seumuranku," ucap Fika lirih, sambil menghela nafas.Terlihat sekali kemarahan dan juga gurat kekecewaan di mata putriku itu. Papanya menjalin hubungan gelap dengan seorang gadis sepantarannya, dan kini meninggalkan seorang anak, sungguh aku dapat merasakan hancurnya hati putriku itu.Air mata tak terasa membasahi pipiku ini, bagaimana tidak, suami yang sudah kutemani dari titik nol sejak dua puluh satu tahun yang lalu, kini malah ketahuan sering bermain api dengan gadis muda. Hati istri mana yang tak sakit, hati istri mana yang tak
Part 5Anakku PendukungkuTiba-tiba handphone Fika berbunyi, dan dia pun langsung mengambilnya dari saku celana."Ma...ini Papa," bisik Fika di telingaku, sambil memberi isyarat agar aku tak bersuara.Aku pun paham, dan mengangguk, sembari tetap memangku Lio. Fika pun me-loudspeaker panggilan itu, agar aku juga bisa mendengarnya.Fika : "Assalamuaikum. Ada apa, Pa?" ucap Fika, memulai obrolan dengan Mas Hasan melalui sambungan telepon itu.Mas Hasan: "Waalaikum salam. Lagi dimana, Fik?" tanya Mas Hasan.Fika : "Ini lagi di kost."Mas Hasan : "Loh, katanya pulang? Kan hari ini kamu ulang tahun. Kasihan, Mamamu pasti sudah menunggu di rumah."Fika: "Iya...memang hari ini aku lagi ulang tahun, tapi malas aja pulang. Toh papa juga nggak pulang 'kan? Biarin aja Mama senndiri." Fika berucap, seolah dia sedang ngambek.Mas Hasan : "Kok kamu ngomong begitu? Papa nggak pulang, soalnya 'kan kerja. Sekarang cepat kamu pulang, kasihan Mama."Seperti biasa, Mas Hasan tetap perhatian dengan kami.F