Pagi hari di rumah kontrak baru, Siska sudah berdandan rapi. Blazer abu-abu, rambut disanggul sederhana, wajah serius. Perfeksionis, seperti biasa.
Ia baru saja menyambar tas kerja ketika Bara muncul dari dapur—masih pakai celana training, kaus oblong belel, dan rambut yang jelas belum disentuh sisir. “Eh, pagi, Bu Arsitek Perfeksionis!” sapa Bara riang. “Pagi, seniman gagal,” balas Siska ketus. Bara nggak tersinggung sama sekali. Malah nyodorin bekal kotak makan warna pink bergambar unicorn. “Nih, aku buatin bekal. Nasi goreng seadanya, tapi penuh cinta.” Siska melirik curiga. “Ini aman dimakan? Atau ada minyak kayu putih lagi?” Bara ngakak. “Tenang, kali ini aku belajar dari video masak lima menit. Dijamin edible.” Siska akhirnya menerima bekal itu. Dalam hati, ia sedikit terharu—walau mulutnya tetap ketus. “Kalau aku keracunan di kantor, aku bakal hantui kamu.” “Yaudah, biar aku jadi penjaga makan siangmu di alam baka,” jawab Bara sambil cengar-cengir. Di kantor, Siska langsung terjun ke rapat besar bersama klien. Ia mempresentasikan desain gedung perkantoran baru dengan detail super rapi: struktur, material, konsep hijau ramah lingkungan. Tapi saat membuka kotak bekalnya, rekan kerja di sebelah—Maya—mendadak menahan tawa. “Sis… ini nasi goreng atau eksperimen?” Siska menunduk. Nasi goreng itu… berwarna ungu. Bara ternyata entah bagaimana menambahkan pewarna makanan. Wajah Siska langsung merah. “Ya ampun, ini suami kontrak gue beneran niat bikin aku malu…” gumamnya. Tapi anehnya, waktu ia mencicipi sedikit, rasanya… enak. Maya malah ikut coba dan komentar, “Lho, kok enak banget? Aneh tapi nagih.” Siska terpaksa tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya di kantor, ia merasa… diperhatikan. Meski lewat cara yang absurd. Sementara itu, Bara sibuk dengan pekerjaanya sebuah ruangan penuh cat, kuas, dan kanvas setengah jadi. Ia sedang mengerjakan pesanan mural untuk sebuah kafe. Tapi entah kenapa, lebih banyak cat yang menempel di bajunya daripada di dinding. Temannya, Reno, datang sambil ngakak. “Bro, lo tuh seniman apa anak TK main finger painting?” Bara cuek. “Seni itu bukan soal rapih, tapi soal jiwa.” “Jiwa lo belepotan, kali.” Meskipun kacau, hasil mural itu—campuran warna cerah dengan nuansa playful—anehnya justru disukai pemilik kafe. “Ini unik banget! Pas sama konsep kafe kami.” Bara nyengir bangga. “See? Chaos is art.” Sepulang kerja, Siska pulang dengan wajah lelah. Ia mendapati ruang tamu sudah dipenuhi cat tumpah dan kanvas berantakan. “Bara! Ini rumah apa kapal karam?!” Bara muncul sambil bawa pizza take-away. “Aku bersihinnya nanti. Tapi sekarang, ayo makan bareng. Aku traktir. Anggep aja dinner romantis ala kontrak.” Siska menghela napas. Tapi begitu mereka duduk makan bersama, suasana hangat entah bagaimana tercipta. Bara cerita soal muralnya, Siska cerita soal kliennya yang ribet. Lalu Bara nyeletuk: “Ternyata kita mirip, ya. Sama-sama kerja bikin orang pusing. Bedanya, kamu bikin gedung tegak lurus, aku bikin tembok belepotan.” Siska tertawa. “Bedanya lagi, aku dibayar mahal, kamu kadang dibayar nasi kotak.” Tawa mereka pecah malam itu di meja makan sederhana dengan pizza kotak. Siska tak menyangka, suaminya yang kelihatan bebal dan absurd itu ternyata bisa jadi teman ngobrol yang menyenangkan. “Jadi… tadi mural kamu beneran dibayar pake duit, kan?” tanya Siska sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Yaelah, masa dibayar pake kacang? Eh, walaupun… pernah sih dulu aku dibayar kopi gratis sebulan. Itu juga lumayan.” Siska menatapnya tak percaya. “Kamu tuh hidup gimana sih, Bar? Masa seniman dibayar kopi?” Bara mengangkat bahu santai. “Ya namanya juga seniman. Kadang dibayar mahal, kadang cuma dapet exposure. Tapi yang penting hati senang.” Siska geleng-geleng. “Aku nggak ngerti cara otak kamu bekerja.” “Bagus. Kalau kamu ngerti, nanti kamu ikut-ikutan jadi berantakan.” Mereka tertawa lagi. Sesaat, Siska merasa pernikahan kontrak ini… nggak seburuk itu. Keesokan paginya, Siska datang ke kantor dengan wajah lebih segar dari biasanya. Maya, rekan sekantor yang super kepo, langsung menodong. “Siskaaa… lo kok bahagia banget sih? Jangan bilang suami barumu ada andil?” Siska pura-pura sibuk buka laptop. “Biasa aja. Jangan lebay.” “Tapi kemarin nasi goreng ungu itu bikin satu kantor heboh, tahu nggak? Ada yang sampe nanya, lo masak pakai cat tembok?” Siska menutup wajahnya. “Astaga, Maya…” “Tapi jujur, enak kan? Gue aja kepikiran minta resepnya. Lo harus makasih sama suami absurd lo itu.” Mau tak mau, bibir Siska sedikit melengkung. Ia buru-buru menyembunyikannya di balik tangan. “Dia tuh… menyebalkan. Tapi… ya, kadang niat.” Maya mengedip nakal. “Hati-hati, Sis. Yang menyebalkan itu justru bisa bikin jatuh cinta diam-diam.” Siska cepat-cepat mengalihkan topik. Tapi dalam hati, kalimat Maya menggantung lebih lama dari yang ia mau. Di sisi lain, Bara sedang berjongkok di depan kanvas raksasa. Tangannya belepotan cat biru, merah, kuning—seperti pelangi meledak. Ia sedang membuat lukisan “eksperimen” untuk lomba seni lokal. Reno, temannya, masuk sambil bawa gorengan. “Bar, serius lo mau ikut lomba ini? Hadiahnya cuman sertifikat.” Bara cuek. “Sertifikat bisa dipajang. Nanti orang kira aku seniman serius. Padahal aslinya… seniman receh.” Reno ngakak. “Lo tuh emang absurd, Bro.” Meski kelihatan main-main, lukisan itu punya vibe yang kuat. Campuran warna kacau tapi entah kenapa bikin nyaman dilihat. Dan untuk sesaat, bahkan Reno yang biasanya nyinyir jadi terdiam. “Lo tuh… nggak nyadar ya, karya lo bagus?” katanya akhirnya. Bara menoleh. “Bagus? Ah, nggak lah. Bagus itu kalo bisa bikin orang senyum. Udah, makan gorengan sana.” Reno diam-diam tersenyum. Bara memang nggak pernah sadar kalau di balik kekacauannya, ada keindahan yang tulus. Siska pulang dari kantor, langsung kaget lihat ruang tamu penuh cat lagi. “Bara Aditya Pratama! Ini rumah atau pabrik cat bocor?!” Bara buru-buru keluar dari studio dengan tangan penuh cat. “Tenang, ini semua demi seni. Nanti aku bersihin kok.” “‘Nanti’ itu kapan? Tahun depan?” Bara nyengir. “Ya ampun, jangan jutek gitu dong. Nih, aku udah siapin makan malam.” Siska curiga. “Apa lagi kali ini? Nasi goreng pelangi?” “Enggak, aku beli sate. Dari warung sebelah.” Siska menatapnya datar. “Akhirnya sesuatu yang aman dimakan.” “Eh, tapi jangan salah. Aku yang motongin lontongnya. Itu juga bentuk cinta, lho.” Meski ngomel, Siska makan juga. Dan anehnya, duduk makan sate berdua di ruang tamu berantakan itu terasa lebih hangat daripada makan mewah sendirian. Malam semakin larut. Siska berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit. Ia teringat ocehan Maya, tawa Bara, bekal nasi goreng ungu, dan cara Bara berusaha bikin hari-harinya lebih ringan. Kontrak ini… awalnya terasa konyol. Tapi perlahan, ada sesuatu yang lain. Sementara itu, di ruang tamu, Bara sedang tertidur di sofa dengan tangan masih belepotan cat. Wajahnya terlihat damai, meski ada noda biru di pipinya. Siska keluar sebentar, melihatnya, lalu tanpa sadar tersenyum kecil. “Dasar berantakan… tapi kenapa jadi hangat, ya…” bisiknya pelan sebelum kembali ke kamar. Dan begitu, hari kedua pernikahan kontrak mereka ditutup dengan kekacauan… yang entah kenapa terasa menenangkan.Pagi itu, Siska sedang menyesap kopi di dapur kontrakan kecil mereka. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menerangi meja kecil yang penuh dokumen. Dia mencoba menenangkan diri sambil menyusun agenda hari ini.Tiba-tiba, Bara masuk dengan ransel besar penuh kanvas, rambut acak-acakan, mata berbinar penuh semangat.“Sis… aku dapat ide super keren! Kita harus bikin pameran minggu ini!” serunya sambil menatap Siska.Siska menahan napas. “Bara… serius? Kamu baru bangun, belum sarapan, dan sekarang mau bikin pameran? Rumah kontrakan ini saja sempit, apalagi siapa yang bakal ngerjain semua persiapan?”“Tenang, Sis. Aku bisa handle semuanya! Hanya perlu beberapa hari, dan aku janji bakal menyenangkan,” jawab Bara sambil tersenyum lebar.Siska mendesah panjang. “Handle semuanya? Rumah ini saja sudah penuh kekacauan karena idemu minggu lalu.”Bara mengangkat bahu. “Makanya kita pergi ke galeri yang aku sewa. Lebih luas, aman, dan bisa dipakai tiga hari penuh. Kita bisa mulai sekarang kalau ma
Sabtu pagi biasanya jadi hari emas bagi Siska: bangun jam tujuh, bikin kopi hitam, beberes rumah, lalu lanjut belanja bahan makanan mingguan. Semua harus tertata rapi, seperti checklist proyek yang disusun dengan timeline ketat.Tapi pagi itu, begitu membuka pintu kamar, Siska tertegun. Ruang tamu sudah berubah jadi studio seni dadakan. Ada kanvas besar di tengah, cat berwarna biru, merah, kuning tercecer di lantai, kuas-kuas berbaring sembarangan seperti habis perang. Dan di tengah kekacauan itu, berdirilah Bara Aditya Pratama—kaus putihnya penuh bercak warna, rambut awut-awutan, wajahnya ada noda biru di pipi kanan.“Bara…” suara Siska langsung naik satu oktaf. “Ini kenapa ruang tamu jadi TK seni rupa?”Bara menoleh santai, tersenyum lebar. “Selamat pagi, Ibu Arsitek! Aku lagi dapat inspirasi, harus langsung dituangkan. Kalau ditunda, bisa hilang.”Siska memijit pelipis. “Inspirasi atau penyakit chaos? Ini lantai keramik, Bar, bukan kanvas tambahan.”“Tenang, gampang dibersihin. Lan
Pagi itu Siska bangun dengan perasaan agak lebih ringan. Mungkin karena semalam sempat ketawa bareng Bara gara-gara listrik mati. Entahlah. Tapi yang jelas, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mendadak ini, dia bangun tanpa merasa ingin lempar bantal ke wajah suaminya. Sayangnya, ketenangan itu nggak bertahan lama. Karena Bara masih tidur ngorok dengan pose mirip bintang laut di ranjang. “Bara…” Siska menepuk lengannya. Nggak ada respons. “Bara!” Kali ini lebih keras. “Hmm… apaan, Sayang…” jawab Bara setengah sadar, sambil meraih guling dan memeluknya erat-erat. Siska mendengus. “Bangun. Aku harus ke kantor.” Dengan mata setengah merem, Bara nyengir. “Ya udah. Hati-hati, jangan jatuh cinta sama bos gantengmu.” Siska terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru mengambil tas. “Mimpi aja lo.” Tapi wajahnya sedikit panas entah kenapa. Di kantor, suasana jauh berbeda. Rapat besar sedang berlangsung. Siska berdiri di depan proyektor, mempresentasikan desain gedung baru. Semua mat
Jam tujuh lewat lima belas. Itu artinya Siska sudah terlambat lima belas menit dari jadwal idealnya sendiri. Untuk ukuran arsitek perfeksionis, ini bencana level merah.Ia terlonjak bangun, buru-buru cuci muka, dan langsung panik ketika mencium bau… gosong.“Bar—A—!” teriak Siska sambil lari ke dapur.Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah:Bara, dengan celemek bergambar kartun ayam, sedang panik mengipas-ngipas asap hitam dari wajan.“Tenang! Ini masih bisa diselamatkan! Tingkat kematangan ekstra crispy!” katanya sambil berusaha membalik sesuatu yang bentuknya lebih mirip arang daripada telur.“Ya ampun, Bara! Itu telur, bukan batu bara!” Siska nyaris teriak sambil menutup hidung.Bara nyengir tanpa dosa. “Namanya juga sarapan cinta. Aku masak biar kamu nggak telat.”“Kalau sarapannya bikin aku keracunan, gimana?”“Ya kan aku bisa antar kamu ke IGD. Romantis, kan?”Siska menepuk kening. Mau marah tapi percuma. Mau ketawa juga gengsi.Akhirnya ia cuma duduk sambil menghela napas
Pagi hari di rumah kontrak baru, Siska sudah berdandan rapi. Blazer abu-abu, rambut disanggul sederhana, wajah serius. Perfeksionis, seperti biasa. Ia baru saja menyambar tas kerja ketika Bara muncul dari dapur—masih pakai celana training, kaus oblong belel, dan rambut yang jelas belum disentuh sisir. “Eh, pagi, Bu Arsitek Perfeksionis!” sapa Bara riang. “Pagi, seniman gagal,” balas Siska ketus. Bara nggak tersinggung sama sekali. Malah nyodorin bekal kotak makan warna pink bergambar unicorn. “Nih, aku buatin bekal. Nasi goreng seadanya, tapi penuh cinta.” Siska melirik curiga. “Ini aman dimakan? Atau ada minyak kayu putih lagi?” Bara ngakak. “Tenang, kali ini aku belajar dari video masak lima menit. Dijamin edible.” Siska akhirnya menerima bekal itu. Dalam hati, ia sedikit terharu—walau mulutnya tetap ketus. “Kalau aku keracunan di kantor, aku bakal hantui kamu.” “Yaudah, biar aku jadi penjaga makan siangmu di alam baka,” jawab Bara sambil cengar-cengir. Di ka
Buat Siska, hidup itu seperti rancangan arsitektur. Semuanya harus presisi, rapi, dan sesuai aturan. Bangun pagi → kopi hitam tanpa gula → kerja → pulang → tidur. Tidak ada ruang untuk kejutan. Sayangnya, hidup hari itu menamparnya dengan penggaris baja. Siska baru pulang kantor, wajahnya lelah, rambut dicepol ketat, kemeja putihnya penuh lipatan lembur. Pikirannya cuma satu: mandi air panas, teh hangat, lalu tidur. Tapi begitu membuka pintu rumah, ia malah mendapati ruang tamu penuh manusia. Bukan sembarang manusia, tapi keluarga besarnya sendiri. Ada tante Rina yang hobi gosip, om Asep yang sok tahu, sepupu-sepupu yang heboh selfie, dan tentu saja ibunya—duduk di kursi utama dengan wajah penuh strategi licik. “Surprise!” teriak mereka. Siska langsung refleks mundur setengah langkah. “Surprise… apa? Aku ulang tahun bukan, kan?” Ibunya tersenyum. Senyum yang terlalu manis untuk ukuran manusia normal. “Nak, hari ini kamu resmi menikah.” Siska hampir keselek ludah sendiri. “…A