Beranda / Romansa / TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!! / Bab 2 - Antara Rapat Serius dan Cat Tumpah

Share

Bab 2 - Antara Rapat Serius dan Cat Tumpah

Penulis: Justmty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-25 21:43:58

Pagi hari di rumah kontrak baru, Siska sudah berdandan rapi. Blazer abu-abu, rambut disanggul sederhana, wajah serius. Perfeksionis, seperti biasa.

Ia baru saja menyambar tas kerja ketika Bara muncul dari dapur—masih pakai celana training, kaus oblong belel, dan rambut yang jelas belum disentuh sisir.

“Eh, pagi, Bu Arsitek Perfeksionis!” sapa Bara riang.

“Pagi, seniman gagal,” balas Siska ketus.

Bara nggak tersinggung sama sekali. Malah nyodorin bekal kotak makan warna pink bergambar unicorn.

“Nih, aku buatin bekal. Nasi goreng seadanya, tapi penuh cinta.”

Siska melirik curiga.

“Ini aman dimakan? Atau ada minyak kayu putih lagi?”

Bara ngakak. “Tenang, kali ini aku belajar dari video masak lima menit. Dijamin edible.”

Siska akhirnya menerima bekal itu. Dalam hati, ia sedikit terharu—walau mulutnya tetap ketus.

“Kalau aku keracunan di kantor, aku bakal hantui kamu.”

“Yaudah, biar aku jadi penjaga makan siangmu di alam baka,” jawab Bara sambil cengar-cengir.

Di kantor, Siska langsung terjun ke rapat besar bersama klien.

Ia mempresentasikan desain gedung perkantoran baru dengan detail super rapi: struktur, material, konsep hijau ramah lingkungan.

Tapi saat membuka kotak bekalnya, rekan kerja di sebelah—Maya—mendadak menahan tawa.

“Sis… ini nasi goreng atau eksperimen?”

Siska menunduk. Nasi goreng itu… berwarna ungu.

Bara ternyata entah bagaimana menambahkan pewarna makanan.

Wajah Siska langsung merah.

“Ya ampun, ini suami kontrak gue beneran niat bikin aku malu…” gumamnya.

Tapi anehnya, waktu ia mencicipi sedikit, rasanya… enak.

Maya malah ikut coba dan komentar, “Lho, kok enak banget? Aneh tapi nagih.”

Siska terpaksa tersenyum kecil.

Untuk pertama kalinya di kantor, ia merasa… diperhatikan. Meski lewat cara yang absurd.

Sementara itu, Bara sibuk dengan pekerjaanya sebuah ruangan penuh cat, kuas, dan kanvas setengah jadi.

Ia sedang mengerjakan pesanan mural untuk sebuah kafe.

Tapi entah kenapa, lebih banyak cat yang menempel di bajunya daripada di dinding.

Temannya, Reno, datang sambil ngakak.

“Bro, lo tuh seniman apa anak TK main finger painting?”

Bara cuek. “Seni itu bukan soal rapih, tapi soal jiwa.”

“Jiwa lo belepotan, kali.”

Meskipun kacau, hasil mural itu—campuran warna cerah dengan nuansa playful—anehnya justru disukai pemilik kafe.

“Ini unik banget! Pas sama konsep kafe kami.”

Bara nyengir bangga.

“See? Chaos is art.”

Sepulang kerja, Siska pulang dengan wajah lelah.

Ia mendapati ruang tamu sudah dipenuhi cat tumpah dan kanvas berantakan.

“Bara! Ini rumah apa kapal karam?!”

Bara muncul sambil bawa pizza take-away.

“Aku bersihinnya nanti. Tapi sekarang, ayo makan bareng. Aku traktir. Anggep aja dinner romantis ala kontrak.”

Siska menghela napas.

Tapi begitu mereka duduk makan bersama, suasana hangat entah bagaimana tercipta. Bara cerita soal muralnya, Siska cerita soal kliennya yang ribet.

Lalu Bara nyeletuk:

“Ternyata kita mirip, ya. Sama-sama kerja bikin orang pusing. Bedanya, kamu bikin gedung tegak lurus, aku bikin tembok belepotan.”

Siska tertawa. “Bedanya lagi, aku dibayar mahal, kamu kadang dibayar nasi kotak.”

Tawa mereka pecah malam itu di meja makan sederhana dengan pizza kotak.

Siska tak menyangka, suaminya yang kelihatan bebal dan absurd itu ternyata bisa jadi teman ngobrol yang menyenangkan.

“Jadi… tadi mural kamu beneran dibayar pake duit, kan?” tanya Siska sambil menyandarkan tubuh ke kursi.

“Yaelah, masa dibayar pake kacang? Eh, walaupun… pernah sih dulu aku dibayar kopi gratis sebulan. Itu juga lumayan.”

Siska menatapnya tak percaya. “Kamu tuh hidup gimana sih, Bar? Masa seniman dibayar kopi?”

Bara mengangkat bahu santai. “Ya namanya juga seniman. Kadang dibayar mahal, kadang cuma dapet exposure. Tapi yang penting hati senang.”

Siska geleng-geleng. “Aku nggak ngerti cara otak kamu bekerja.”

“Bagus. Kalau kamu ngerti, nanti kamu ikut-ikutan jadi berantakan.”

Mereka tertawa lagi. Sesaat, Siska merasa pernikahan kontrak ini… nggak seburuk itu.

Keesokan paginya, Siska datang ke kantor dengan wajah lebih segar dari biasanya. Maya, rekan sekantor yang super kepo, langsung menodong.

“Siskaaa… lo kok bahagia banget sih? Jangan bilang suami barumu ada andil?”

Siska pura-pura sibuk buka laptop. “Biasa aja. Jangan lebay.”

“Tapi kemarin nasi goreng ungu itu bikin satu kantor heboh, tahu nggak? Ada yang sampe nanya, lo masak pakai cat tembok?”

Siska menutup wajahnya. “Astaga, Maya…”

“Tapi jujur, enak kan? Gue aja kepikiran minta resepnya. Lo harus makasih sama suami absurd lo itu.”

Mau tak mau, bibir Siska sedikit melengkung. Ia buru-buru menyembunyikannya di balik tangan.

“Dia tuh… menyebalkan. Tapi… ya, kadang niat.”

Maya mengedip nakal. “Hati-hati, Sis. Yang menyebalkan itu justru bisa bikin jatuh cinta diam-diam.”

Siska cepat-cepat mengalihkan topik. Tapi dalam hati, kalimat Maya menggantung lebih lama dari yang ia mau.

Di sisi lain, Bara sedang berjongkok di depan kanvas raksasa.

Tangannya belepotan cat biru, merah, kuning—seperti pelangi meledak.

Ia sedang membuat lukisan “eksperimen” untuk lomba seni lokal.

Reno, temannya, masuk sambil bawa gorengan. “Bar, serius lo mau ikut lomba ini? Hadiahnya cuman sertifikat.”

Bara cuek. “Sertifikat bisa dipajang. Nanti orang kira aku seniman serius. Padahal aslinya… seniman receh.”

Reno ngakak. “Lo tuh emang absurd, Bro.”

Meski kelihatan main-main, lukisan itu punya vibe yang kuat. Campuran warna kacau tapi entah kenapa bikin nyaman dilihat.

Dan untuk sesaat, bahkan Reno yang biasanya nyinyir jadi terdiam.

“Lo tuh… nggak nyadar ya, karya lo bagus?” katanya akhirnya.

Bara menoleh. “Bagus? Ah, nggak lah. Bagus itu kalo bisa bikin orang senyum. Udah, makan gorengan sana.”

Reno diam-diam tersenyum. Bara memang nggak pernah sadar kalau di balik kekacauannya, ada keindahan yang tulus.

Siska pulang dari kantor, langsung kaget lihat ruang tamu penuh cat lagi.

“Bara Aditya Pratama! Ini rumah atau pabrik cat bocor?!”

Bara buru-buru keluar dari studio dengan tangan penuh cat.

“Tenang, ini semua demi seni. Nanti aku bersihin kok.”

“‘Nanti’ itu kapan? Tahun depan?”

Bara nyengir. “Ya ampun, jangan jutek gitu dong. Nih, aku udah siapin makan malam.”

Siska curiga. “Apa lagi kali ini? Nasi goreng pelangi?”

“Enggak, aku beli sate. Dari warung sebelah.”

Siska menatapnya datar. “Akhirnya sesuatu yang aman dimakan.”

“Eh, tapi jangan salah. Aku yang motongin lontongnya. Itu juga bentuk cinta, lho.”

Meski ngomel, Siska makan juga. Dan anehnya, duduk makan sate berdua di ruang tamu berantakan itu terasa lebih hangat daripada makan mewah sendirian.

Malam semakin larut. Siska berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit. Ia teringat ocehan Maya, tawa Bara, bekal nasi goreng ungu, dan cara Bara berusaha bikin hari-harinya lebih ringan.

Kontrak ini… awalnya terasa konyol. Tapi perlahan, ada sesuatu yang lain.

Sementara itu, di ruang tamu, Bara sedang tertidur di sofa dengan tangan masih belepotan cat. Wajahnya terlihat damai, meski ada noda biru di pipinya.

Siska keluar sebentar, melihatnya, lalu tanpa sadar tersenyum kecil.

“Dasar berantakan… tapi kenapa jadi hangat, ya…” bisiknya pelan sebelum kembali ke kamar.

Dan begitu, hari kedua pernikahan kontrak mereka ditutup dengan kekacauan… yang entah kenapa terasa menenangkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 36 - Kembali berjarak

    Hari-hari di Jakarta kembali berjalan seperti dulu — atau setidaknya, begitulah yang Siska coba yakini.Ia bangun pagi, membuat kopi tanpa gula, menyalakan laptop, lalu menatap layar dengan mata setengah kosong. Rutinitasnya masih sama, tapi entah kenapa, semuanya terasa lebih hampa.Seolah ada sesuatu yang tertinggal di Bandung.Sesuatu bernama Bara.Pagi itu di kantor, suasananya lebih ramai dari biasanya. Proyek baru diluncurkan, dan tim desain tempat Siska bekerja harus menyiapkan materi promosi secepat mungkin. Lula, rekan sekantornya, melambai dari kubikel sebelah.“Eh, Sis! Kamu kayaknya glowing deh belakangan ini. Bandung effect, ya?”Siska tersenyum kecil. “Glowing capek mungkin. Di sana dingin, tapi kerjaan tetap kejar-kejaran deadline.”Lula menatapnya curiga. “Atau glowing karena seseorang?”“Apaan sih?” Siska meneguk kopi, pura-pura fokus pada layar.Lula hanya tertawa kecil, tapi tidak memaksa. Ia tahu Siska bukan tipe yang mudah cerita — terutama kalau soal hati.Namun

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 35 - Kembali dan Pergi

    Pagi di Bandung selalu punya cara membuat orang ingin diam. Embun di jendela, aroma kopi, dan suara langkah kecil di dapur. Bara bangun lebih awal dari biasanya — bukan karena alarm, tapi karena bunyi panci dari arah dapur.Ia keluar dari kamar dan menemukan Siska sedang berdiri di sana. Rambutnya berantakan, kaosnya kebesaran, dan ia sedang menatap panci air mendidih dengan ekspresi bingung.“Airnya udah mendidih, tapi aku lupa mau bikin apa,” katanya tanpa menoleh.Bara tertawa kecil. “Klasik. Mau aku bantu?”Siska mengangguk, lalu menyerahkan sendok padanya. “Terserah deh. Asal jangan bikin kopi gosong lagi.”“Aku tersinggung, tau,” jawab Bara pura-pura serius.Tapi dalam diam, hatinya hangat — seperti pagi itu menertawakan keanehan mereka berdua.Mereka sarapan mi rebus dan roti seadanya. Tidak banyak bicara, tapi nyaman. Kadang Siska tertawa kecil melihat ekspresi Bara yang terlalu serius menyiapkan telur, kadang Bara hanya memperhatikan caranya memutar sendok di cangkir — kebias

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 33 - Kangen pasti

    Pagi Bandung terasa berbeda sejak Bara menetap di sana. Tidak ada lagi suara sendok beradu dengan gelas yang biasa mengiringi pagi-pagi mereka di kontrakan Jakarta. Tidak ada juga keluhan Siska tentang roti gosong atau tumpukan cucian.Yang ada cuma suara kendaraan lewat dari jalan kecil depan rumah, bercampur dengan angin dingin dan aroma kopi instan yang Bara seduh asal-asalan.Ia duduk di meja kayu kecil yang sekarang jadi ruang kerjanya. Laptop terbuka, tapi pikirannya tidak di layar. Lukisan setengah jadi di dinding menatapnya balik — seperti menunggu sesuatu yang tak pernah selesai.Sejak seminggu terakhir, komunikasi dengan Siska mulai terasa... berbeda. Masih ada chat, masih ada telepon singkat, tapi tidak lagi sepanjang dulu. Kadang Siska sibuk rapat, kadang Bara pura-pura sibuk juga. Padahal, diam di antara mereka justru lebih berisik daripada percakapan apa pun.> Siska: “Hari ini hujan lagi di Jakarta.”Bara: “Sama di sini. Bandung juga lagi abu-abu.”Siska: “Cocok sama mo

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 32 - Bandung dan Kamu

    Sudah hampir dua bulan sejak Bara berangkat ke Bandung.Awalnya, Siska pikir ia akan terbiasa. Tapi ternyata tidak.Rumah itu makin lama makin terasa seperti ruang tunggu: dingin, rapi, tapi kosong.Setiap pagi, ia masih membuat dua gelas kopi — kebiasaan bodoh yang sulit ia hentikan.Satu untuknya, satu lagi tetap di meja. Dibiarkan dingin, lalu dibuang menjelang siang.Suatu pagi, Lula mengetuk pintu apartemennya tanpa aba-aba, membawa dua cup kopi dan ekspresi penasaran.“Gila, Sis. Kamu udah kayak zombie. Mata panda-nya parah banget,” katanya sambil masuk seenaknya.Siska mendengus. “Salah sendiri datang pagi-pagi.”“Pagi apanya, ini udah jam sembilan. Kamu belum ke kantor?”“Kerja remote, deadline minggu depan.”Lula duduk di sofa, menatap sekeliling. “Sejak Bara ke Bandung, rumah kamu kayak museum. Sepi banget.”“Emang dia ribut banget ya dulu?”“Enggak juga. Tapi tanpa dia, kayak ada suara yang hilang.”Siska menatap temannya lama. “Lu ngomongnya kayak orang yang ngalamin langs

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 31 - Jarak yang tak Terlihat

    Sudah hampir tiga minggu Bara di Bandung.Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah — meski cuma kontrak — rumah terasa benar-benar sunyi buat Siska.Biasanya, pagi-pagi sudah terdengar suara Bara di dapur, bernyanyi sumbang sambil menumis telur. Sekarang yang terdengar hanya suara air dari keran dan notifikasi email yang terus berdenting.Siska menatap kursi makan di seberang. Masih kosong. Cangkir kopi pun tetap bersih karena tak ada yang meminumnya selain dia.Ia mendesah pelan, lalu membuka ponsel.Ada satu pesan dari Bara semalam.> “Hari ini aku ke luar kota sebentar, bantu set pameran. Jangan lupa makan ya.”Pesan itu dikirim pukul 23.17.Siska baru membacanya sekarang — pukul 07.42.“Telat banget aku balas,” gumamnya kecil sambil mengetik balasan cepat:> “Jangan kecapekan. Hati-hati di jalan.”Jari-jarinya sempat ragu sebelum menekan send.Aneh. Dulu mereka ngobrol tanpa mikir. Sekarang, setiap kata terasa harus dipertimbangkan.Siang harinya di kantor, Siska berusaha fo

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 30 - Hari Pembukaan

    Bandung, Sabtu pagi.Udara masih sejuk, tapi perut Bara terasa nggak tenang. Ia sudah bangun sejak subuh, muter-muter di apartemen kayak setrika rusak. Kaos putihnya sudah diganti tiga kali—bukan karena kotor, tapi karena tangannya nggak bisa diam.Di galeri, semua sudah siap. Lampu-lampu dipasang, lukisan digantung, lantai dibersihkan sampai kinclong. Semua karya yang ia buat selama dua bulan terakhir berjajar rapi: potret, sketsa, mural mini. Tapi satu dinding kosong di sisi kanan ruangan masih tanpa bingkai.Di situ seharusnya lukisan terakhirnya dipasang — yang berjudul “Ruang Tengah”.Masih terbungkus kain. Bara belum siap membukanya.Satu-satunya orang yang tahu isi lukisan itu cuma dia. Dan Siska… seharusnya.Ia menatap jam di pergelangan tangan. 10.17.Pembukaan dimulai jam sebelas.“Mas Bara, tamu undangan mulai datang, ya,” kata Rafi, panitia sekaligus teman lamanya, sambil menghampiri. “Lo tenang aja, semua beres. Bahkan media lokal juga udah standby.”Bara mengangguk. “Tha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status