Home / Romansa / TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!! / Bab 3 - Gosongnya Cinta, Warna Warni Rahasia

Share

Bab 3 - Gosongnya Cinta, Warna Warni Rahasia

Author: Justmty
last update Last Updated: 2025-08-25 21:50:57

Jam tujuh lewat lima belas. Itu artinya Siska sudah terlambat lima belas menit dari jadwal idealnya sendiri. Untuk ukuran arsitek perfeksionis, ini bencana level merah.

Ia terlonjak bangun, buru-buru cuci muka, dan langsung panik ketika mencium bau… gosong.

“Bar—A—!” teriak Siska sambil lari ke dapur.

Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah:

Bara, dengan celemek bergambar kartun ayam, sedang panik mengipas-ngipas asap hitam dari wajan.

“Tenang! Ini masih bisa diselamatkan! Tingkat kematangan ekstra crispy!” katanya sambil berusaha membalik sesuatu yang bentuknya lebih mirip arang daripada telur.

“Ya ampun, Bara! Itu telur, bukan batu bara!” Siska nyaris teriak sambil menutup hidung.

Bara nyengir tanpa dosa. “Namanya juga sarapan cinta. Aku masak biar kamu nggak telat.”

“Kalau sarapannya bikin aku keracunan, gimana?”

“Ya kan aku bisa antar kamu ke IGD. Romantis, kan?”

Siska menepuk kening. Mau marah tapi percuma. Mau ketawa juga gengsi.

Akhirnya ia cuma duduk sambil menghela napas panjang. Bara dengan percaya diri meletakkan sepiring “kreasi sarapan” di meja: roti gosong, telur gosong, plus kopi yang rasanya entah lebih mirip arang cair.

“Selamat menikmati, istri kontrak tercinta,” ucapnya dengan gaya ala chef bintang lima.

Dan anehnya, meski rasanya bener-bener bencana, Siska mendapati dirinya… ketawa kecil.

Siangnya di kantor, malapetaka baru dimulai.

Maya mendekat begitu melihat Siska duduk di meja kerjanya. “Sis, kenapa bajumu bau asap? Jangan bilang suami barumu nyulut kembang api di dapur.”

Siska buru-buru menutup jasnya. “Bukan! Cuma… lupa matiin kompor.”

Rara yang duduk di dekat mereka langsung nyeletuk, “Aduh, jangan-jangan lo dimasakin suami ya? Ih, manis banget. Walau agak gagal.”

“Bukan gagal, itu tragedi,” sahut Siska lirih.

Rapat siang itu bikin kepala Siska makin panas. Klien super perfeksionis nuntut revisi gambar bangunan sampai detail kursi. Semua orang tegang, tapi Siska entah kenapa masih bisa senyum kecil.

Maya melirik curiga. “Lo kenapa? Biasanya kalau klien kayak gini lo ngamuk-ngamuk. Sekarang malah senyum-senyum?”

“Ah… nggak apa-apa.” Siska buru-buru mengalihkan pandangan.

Padahal yang kebayang di kepalanya cuma ekspresi Bara tadi pagi, dengan celemek ayamnya dan telur gosongnya. Aneh. Baru dua minggu nikah kontrak, kok bisa kebawa pikiran gitu?

---

Sore itu, Bara punya dunia sendiri. Ia diundang temannya untuk mural di dinding sebuah kafe baru.

Bara berdiri di tangga kecil, cat di tangan, rambut acak-acakan, tapi matanya fokus. Untuk sekali ini, ia benar-benar kelihatan… serius.

Siska yang mampir sepulang kerja jadi tertegun.

“Dia… bisa juga kelihatan kayak seniman beneran,” gumamnya tanpa sadar.

Namun lima menit kemudian, keseriusan itu runtuh.

Bara tanpa sengaja menyapu cat ke bajunya sendiri. Warnanya ungu terang, dan orang-orang di kafe malah mengira itu gaya seni baru.

“Wow, Mas! Keren banget bajunya, kayak art performance,” puji seorang pengunjung.

Bara dengan santai menjawab, “Ya, namanya juga seni. Kadang cat lebih memilih bajuku daripada tembok.”

Siska sampai menutup wajah. “Astaga… ini orang.”

Tapi di balik rasa malu, ada sesuatu di hatinya yang hangat. Bara memang berantakan, tapi dia punya cara bikin suasana hidup.

---

Malamnya, mereka duduk di teras rumah. Bara dengan bangga menunjukkan foto muralnya yang sudah selesai.

“Gimana, Sis? Keren, kan? Dindingnya jadi hidup.”

Siska pura-pura dingin. “Iya, lumayan lah. Cuma bajumu itu, mirip kain lap.”

Bara ngakak. “Tapi kamu senyum, kan?”

Siska langsung kaget. “Hah?”

“Tadi pagi juga. Sarapannya gosong, tapi kamu ketawa. Di kantor juga pasti kamu kepikiran aku, iya kan?” Bara menatapnya penuh percaya diri.

Siska buru-buru berdiri, menahan pipi yang terasa panas. “Jangan GR deh. Aku cuma… lagi capek.”

Bara masih santai sambil menyeruput teh. “Capek tapi bisa senyum gara-gara aku. Itu targetku tiap hari.”

Siska terdiam. Entah kenapa hatinya terasa bergetar.

Dan yang lebih parah—ia ketahuan lagi senyum tipis, tepat saat Bara menatapnya.

“Ketahuan…” Bara berbisik, pura-pura nakal.

Siska langsung masuk rumah, menutup pintu dengan wajah merah.

Tapi di balik pintu, ia sadar satu hal:

Mungkin, sedikit demi sedikit, kebohongan kecil tentang “pernikahan kontrak” ini sedang berubah jadi kenyataan yang lebih berbahaya.

---

Habis makan malam—yang kali ini jelas lebih bisa dimakan karena Siska sendiri yang turun tangan—mereka berdua duduk di ruang tamu. TV menyala, menampilkan acara masak dengan chef terkenal yang lihai mengocok telur.

“Lihat tuh,” kata Bara sambil menunjuk layar. “Gaya ngocok telurnya mirip aku tadi pagi.”

Siska langsung menoleh, tatapannya menusuk. “Mirip apanya? Yang gosong?”

Bara pura-pura nggak salah, tetap tenang sambil menggoyang kerupuk di tangannya. “Ya bukan lah. Yang penuh cinta. Kamu aja yang nggak bisa apresiasi seni kuliner abstrak.”

Siska berusaha tetap datar, tapi bibirnya melengkung tipis. Ia buru-buru menoleh lagi ke TV. “Abstrak kepalamu.”

Belum sempat lanjut saling ejek, tiba-tiba listrik rumah kedap-kedip, lalu padam. Gelap total. TV mati. Kipas angin berhenti.

Siska refleks berdiri. “Aduh, ini kenapa? Jangan-jangan kabelnya korslet…”

Bara berdiri dengan heroik, menyalakan senter dari HP. “Tenang, istri kontrak tercinta. Aku, Bara Aditya Pratama, akan melindungi rumah ini.”

Belum lima detik langkahnya, dug!

Dia nabrak ujung meja.

“Aww!” Bara meringis sambil pegang lutut.

Siska spontan ngakak, keras sekali sampai menutupi mulutnya sendiri. “Hahaha! Pahlawan kesiangan banget. Baru mau jadi jagoan, udah KO.”

Bara masih meringis, tapi malah ikutan ketawa. “Ya udah lah. Yang penting kamu aman. Kalau lututku benjol, tinggal ditutupin celana panjang. Kalau kamu yang benjol, repot.”

Siska terdiam sebentar, hatinya kayak dipukul lembut. Ucapan itu sederhana, tapi tulus. Ia buru-buru duduk lagi, menutupi wajah dengan bantal sofa supaya senyumnya nggak terlalu kelihatan.

Bara menyalakan lilin kecil yang ada di meja. Cahaya oranye redup memenuhi ruangan, bikin suasana lebih hangat. Mereka akhirnya duduk berdua, hening sebentar, lalu tiba-tiba ketawa bareng lagi karena Bara tanpa sengaja meniup lilinnya pas mau nyeruput teh.

Itu bukan momen besar. Nggak ada drama.

Cuma listrik padam, lutut benjol, dan teh hampir tumpah.

Tapi entah kenapa, di tengah gelap itu, mereka merasa… lebih dekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 36 - Kembali berjarak

    Hari-hari di Jakarta kembali berjalan seperti dulu — atau setidaknya, begitulah yang Siska coba yakini.Ia bangun pagi, membuat kopi tanpa gula, menyalakan laptop, lalu menatap layar dengan mata setengah kosong. Rutinitasnya masih sama, tapi entah kenapa, semuanya terasa lebih hampa.Seolah ada sesuatu yang tertinggal di Bandung.Sesuatu bernama Bara.Pagi itu di kantor, suasananya lebih ramai dari biasanya. Proyek baru diluncurkan, dan tim desain tempat Siska bekerja harus menyiapkan materi promosi secepat mungkin. Lula, rekan sekantornya, melambai dari kubikel sebelah.“Eh, Sis! Kamu kayaknya glowing deh belakangan ini. Bandung effect, ya?”Siska tersenyum kecil. “Glowing capek mungkin. Di sana dingin, tapi kerjaan tetap kejar-kejaran deadline.”Lula menatapnya curiga. “Atau glowing karena seseorang?”“Apaan sih?” Siska meneguk kopi, pura-pura fokus pada layar.Lula hanya tertawa kecil, tapi tidak memaksa. Ia tahu Siska bukan tipe yang mudah cerita — terutama kalau soal hati.Namun

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 35 - Kembali dan Pergi

    Pagi di Bandung selalu punya cara membuat orang ingin diam. Embun di jendela, aroma kopi, dan suara langkah kecil di dapur. Bara bangun lebih awal dari biasanya — bukan karena alarm, tapi karena bunyi panci dari arah dapur.Ia keluar dari kamar dan menemukan Siska sedang berdiri di sana. Rambutnya berantakan, kaosnya kebesaran, dan ia sedang menatap panci air mendidih dengan ekspresi bingung.“Airnya udah mendidih, tapi aku lupa mau bikin apa,” katanya tanpa menoleh.Bara tertawa kecil. “Klasik. Mau aku bantu?”Siska mengangguk, lalu menyerahkan sendok padanya. “Terserah deh. Asal jangan bikin kopi gosong lagi.”“Aku tersinggung, tau,” jawab Bara pura-pura serius.Tapi dalam diam, hatinya hangat — seperti pagi itu menertawakan keanehan mereka berdua.Mereka sarapan mi rebus dan roti seadanya. Tidak banyak bicara, tapi nyaman. Kadang Siska tertawa kecil melihat ekspresi Bara yang terlalu serius menyiapkan telur, kadang Bara hanya memperhatikan caranya memutar sendok di cangkir — kebias

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 33 - Kangen pasti

    Pagi Bandung terasa berbeda sejak Bara menetap di sana. Tidak ada lagi suara sendok beradu dengan gelas yang biasa mengiringi pagi-pagi mereka di kontrakan Jakarta. Tidak ada juga keluhan Siska tentang roti gosong atau tumpukan cucian.Yang ada cuma suara kendaraan lewat dari jalan kecil depan rumah, bercampur dengan angin dingin dan aroma kopi instan yang Bara seduh asal-asalan.Ia duduk di meja kayu kecil yang sekarang jadi ruang kerjanya. Laptop terbuka, tapi pikirannya tidak di layar. Lukisan setengah jadi di dinding menatapnya balik — seperti menunggu sesuatu yang tak pernah selesai.Sejak seminggu terakhir, komunikasi dengan Siska mulai terasa... berbeda. Masih ada chat, masih ada telepon singkat, tapi tidak lagi sepanjang dulu. Kadang Siska sibuk rapat, kadang Bara pura-pura sibuk juga. Padahal, diam di antara mereka justru lebih berisik daripada percakapan apa pun.> Siska: “Hari ini hujan lagi di Jakarta.”Bara: “Sama di sini. Bandung juga lagi abu-abu.”Siska: “Cocok sama mo

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 32 - Bandung dan Kamu

    Sudah hampir dua bulan sejak Bara berangkat ke Bandung.Awalnya, Siska pikir ia akan terbiasa. Tapi ternyata tidak.Rumah itu makin lama makin terasa seperti ruang tunggu: dingin, rapi, tapi kosong.Setiap pagi, ia masih membuat dua gelas kopi — kebiasaan bodoh yang sulit ia hentikan.Satu untuknya, satu lagi tetap di meja. Dibiarkan dingin, lalu dibuang menjelang siang.Suatu pagi, Lula mengetuk pintu apartemennya tanpa aba-aba, membawa dua cup kopi dan ekspresi penasaran.“Gila, Sis. Kamu udah kayak zombie. Mata panda-nya parah banget,” katanya sambil masuk seenaknya.Siska mendengus. “Salah sendiri datang pagi-pagi.”“Pagi apanya, ini udah jam sembilan. Kamu belum ke kantor?”“Kerja remote, deadline minggu depan.”Lula duduk di sofa, menatap sekeliling. “Sejak Bara ke Bandung, rumah kamu kayak museum. Sepi banget.”“Emang dia ribut banget ya dulu?”“Enggak juga. Tapi tanpa dia, kayak ada suara yang hilang.”Siska menatap temannya lama. “Lu ngomongnya kayak orang yang ngalamin langs

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 31 - Jarak yang tak Terlihat

    Sudah hampir tiga minggu Bara di Bandung.Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah — meski cuma kontrak — rumah terasa benar-benar sunyi buat Siska.Biasanya, pagi-pagi sudah terdengar suara Bara di dapur, bernyanyi sumbang sambil menumis telur. Sekarang yang terdengar hanya suara air dari keran dan notifikasi email yang terus berdenting.Siska menatap kursi makan di seberang. Masih kosong. Cangkir kopi pun tetap bersih karena tak ada yang meminumnya selain dia.Ia mendesah pelan, lalu membuka ponsel.Ada satu pesan dari Bara semalam.> “Hari ini aku ke luar kota sebentar, bantu set pameran. Jangan lupa makan ya.”Pesan itu dikirim pukul 23.17.Siska baru membacanya sekarang — pukul 07.42.“Telat banget aku balas,” gumamnya kecil sambil mengetik balasan cepat:> “Jangan kecapekan. Hati-hati di jalan.”Jari-jarinya sempat ragu sebelum menekan send.Aneh. Dulu mereka ngobrol tanpa mikir. Sekarang, setiap kata terasa harus dipertimbangkan.Siang harinya di kantor, Siska berusaha fo

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 30 - Hari Pembukaan

    Bandung, Sabtu pagi.Udara masih sejuk, tapi perut Bara terasa nggak tenang. Ia sudah bangun sejak subuh, muter-muter di apartemen kayak setrika rusak. Kaos putihnya sudah diganti tiga kali—bukan karena kotor, tapi karena tangannya nggak bisa diam.Di galeri, semua sudah siap. Lampu-lampu dipasang, lukisan digantung, lantai dibersihkan sampai kinclong. Semua karya yang ia buat selama dua bulan terakhir berjajar rapi: potret, sketsa, mural mini. Tapi satu dinding kosong di sisi kanan ruangan masih tanpa bingkai.Di situ seharusnya lukisan terakhirnya dipasang — yang berjudul “Ruang Tengah”.Masih terbungkus kain. Bara belum siap membukanya.Satu-satunya orang yang tahu isi lukisan itu cuma dia. Dan Siska… seharusnya.Ia menatap jam di pergelangan tangan. 10.17.Pembukaan dimulai jam sebelas.“Mas Bara, tamu undangan mulai datang, ya,” kata Rafi, panitia sekaligus teman lamanya, sambil menghampiri. “Lo tenang aja, semua beres. Bahkan media lokal juga udah standby.”Bara mengangguk. “Tha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status