Jam tujuh lewat lima belas. Itu artinya Siska sudah terlambat lima belas menit dari jadwal idealnya sendiri. Untuk ukuran arsitek perfeksionis, ini bencana level merah.
Ia terlonjak bangun, buru-buru cuci muka, dan langsung panik ketika mencium bau… gosong. “Bar—A—!” teriak Siska sambil lari ke dapur. Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah: Bara, dengan celemek bergambar kartun ayam, sedang panik mengipas-ngipas asap hitam dari wajan. “Tenang! Ini masih bisa diselamatkan! Tingkat kematangan ekstra crispy!” katanya sambil berusaha membalik sesuatu yang bentuknya lebih mirip arang daripada telur. “Ya ampun, Bara! Itu telur, bukan batu bara!” Siska nyaris teriak sambil menutup hidung. Bara nyengir tanpa dosa. “Namanya juga sarapan cinta. Aku masak biar kamu nggak telat.” “Kalau sarapannya bikin aku keracunan, gimana?” “Ya kan aku bisa antar kamu ke IGD. Romantis, kan?” Siska menepuk kening. Mau marah tapi percuma. Mau ketawa juga gengsi. Akhirnya ia cuma duduk sambil menghela napas panjang. Bara dengan percaya diri meletakkan sepiring “kreasi sarapan” di meja: roti gosong, telur gosong, plus kopi yang rasanya entah lebih mirip arang cair. “Selamat menikmati, istri kontrak tercinta,” ucapnya dengan gaya ala chef bintang lima. Dan anehnya, meski rasanya bener-bener bencana, Siska mendapati dirinya… ketawa kecil. Siangnya di kantor, malapetaka baru dimulai. Maya mendekat begitu melihat Siska duduk di meja kerjanya. “Sis, kenapa bajumu bau asap? Jangan bilang suami barumu nyulut kembang api di dapur.” Siska buru-buru menutup jasnya. “Bukan! Cuma… lupa matiin kompor.” Rara yang duduk di dekat mereka langsung nyeletuk, “Aduh, jangan-jangan lo dimasakin suami ya? Ih, manis banget. Walau agak gagal.” “Bukan gagal, itu tragedi,” sahut Siska lirih. Rapat siang itu bikin kepala Siska makin panas. Klien super perfeksionis nuntut revisi gambar bangunan sampai detail kursi. Semua orang tegang, tapi Siska entah kenapa masih bisa senyum kecil. Maya melirik curiga. “Lo kenapa? Biasanya kalau klien kayak gini lo ngamuk-ngamuk. Sekarang malah senyum-senyum?” “Ah… nggak apa-apa.” Siska buru-buru mengalihkan pandangan. Padahal yang kebayang di kepalanya cuma ekspresi Bara tadi pagi, dengan celemek ayamnya dan telur gosongnya. Aneh. Baru dua minggu nikah kontrak, kok bisa kebawa pikiran gitu? --- Sore itu, Bara punya dunia sendiri. Ia diundang temannya untuk mural di dinding sebuah kafe baru. Bara berdiri di tangga kecil, cat di tangan, rambut acak-acakan, tapi matanya fokus. Untuk sekali ini, ia benar-benar kelihatan… serius. Siska yang mampir sepulang kerja jadi tertegun. “Dia… bisa juga kelihatan kayak seniman beneran,” gumamnya tanpa sadar. Namun lima menit kemudian, keseriusan itu runtuh. Bara tanpa sengaja menyapu cat ke bajunya sendiri. Warnanya ungu terang, dan orang-orang di kafe malah mengira itu gaya seni baru. “Wow, Mas! Keren banget bajunya, kayak art performance,” puji seorang pengunjung. Bara dengan santai menjawab, “Ya, namanya juga seni. Kadang cat lebih memilih bajuku daripada tembok.” Siska sampai menutup wajah. “Astaga… ini orang.” Tapi di balik rasa malu, ada sesuatu di hatinya yang hangat. Bara memang berantakan, tapi dia punya cara bikin suasana hidup. --- Malamnya, mereka duduk di teras rumah. Bara dengan bangga menunjukkan foto muralnya yang sudah selesai. “Gimana, Sis? Keren, kan? Dindingnya jadi hidup.” Siska pura-pura dingin. “Iya, lumayan lah. Cuma bajumu itu, mirip kain lap.” Bara ngakak. “Tapi kamu senyum, kan?” Siska langsung kaget. “Hah?” “Tadi pagi juga. Sarapannya gosong, tapi kamu ketawa. Di kantor juga pasti kamu kepikiran aku, iya kan?” Bara menatapnya penuh percaya diri. Siska buru-buru berdiri, menahan pipi yang terasa panas. “Jangan GR deh. Aku cuma… lagi capek.” Bara masih santai sambil menyeruput teh. “Capek tapi bisa senyum gara-gara aku. Itu targetku tiap hari.” Siska terdiam. Entah kenapa hatinya terasa bergetar. Dan yang lebih parah—ia ketahuan lagi senyum tipis, tepat saat Bara menatapnya. “Ketahuan…” Bara berbisik, pura-pura nakal. Siska langsung masuk rumah, menutup pintu dengan wajah merah. Tapi di balik pintu, ia sadar satu hal: Mungkin, sedikit demi sedikit, kebohongan kecil tentang “pernikahan kontrak” ini sedang berubah jadi kenyataan yang lebih berbahaya. --- Habis makan malam—yang kali ini jelas lebih bisa dimakan karena Siska sendiri yang turun tangan—mereka berdua duduk di ruang tamu. TV menyala, menampilkan acara masak dengan chef terkenal yang lihai mengocok telur. “Lihat tuh,” kata Bara sambil menunjuk layar. “Gaya ngocok telurnya mirip aku tadi pagi.” Siska langsung menoleh, tatapannya menusuk. “Mirip apanya? Yang gosong?” Bara pura-pura nggak salah, tetap tenang sambil menggoyang kerupuk di tangannya. “Ya bukan lah. Yang penuh cinta. Kamu aja yang nggak bisa apresiasi seni kuliner abstrak.” Siska berusaha tetap datar, tapi bibirnya melengkung tipis. Ia buru-buru menoleh lagi ke TV. “Abstrak kepalamu.” Belum sempat lanjut saling ejek, tiba-tiba listrik rumah kedap-kedip, lalu padam. Gelap total. TV mati. Kipas angin berhenti. Siska refleks berdiri. “Aduh, ini kenapa? Jangan-jangan kabelnya korslet…” Bara berdiri dengan heroik, menyalakan senter dari HP. “Tenang, istri kontrak tercinta. Aku, Bara Aditya Pratama, akan melindungi rumah ini.” Belum lima detik langkahnya, dug! Dia nabrak ujung meja. “Aww!” Bara meringis sambil pegang lutut. Siska spontan ngakak, keras sekali sampai menutupi mulutnya sendiri. “Hahaha! Pahlawan kesiangan banget. Baru mau jadi jagoan, udah KO.” Bara masih meringis, tapi malah ikutan ketawa. “Ya udah lah. Yang penting kamu aman. Kalau lututku benjol, tinggal ditutupin celana panjang. Kalau kamu yang benjol, repot.” Siska terdiam sebentar, hatinya kayak dipukul lembut. Ucapan itu sederhana, tapi tulus. Ia buru-buru duduk lagi, menutupi wajah dengan bantal sofa supaya senyumnya nggak terlalu kelihatan. Bara menyalakan lilin kecil yang ada di meja. Cahaya oranye redup memenuhi ruangan, bikin suasana lebih hangat. Mereka akhirnya duduk berdua, hening sebentar, lalu tiba-tiba ketawa bareng lagi karena Bara tanpa sengaja meniup lilinnya pas mau nyeruput teh. Itu bukan momen besar. Nggak ada drama. Cuma listrik padam, lutut benjol, dan teh hampir tumpah. Tapi entah kenapa, di tengah gelap itu, mereka merasa… lebih dekat.Pagi itu, Siska sedang menyesap kopi di dapur kontrakan kecil mereka. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menerangi meja kecil yang penuh dokumen. Dia mencoba menenangkan diri sambil menyusun agenda hari ini.Tiba-tiba, Bara masuk dengan ransel besar penuh kanvas, rambut acak-acakan, mata berbinar penuh semangat.“Sis… aku dapat ide super keren! Kita harus bikin pameran minggu ini!” serunya sambil menatap Siska.Siska menahan napas. “Bara… serius? Kamu baru bangun, belum sarapan, dan sekarang mau bikin pameran? Rumah kontrakan ini saja sempit, apalagi siapa yang bakal ngerjain semua persiapan?”“Tenang, Sis. Aku bisa handle semuanya! Hanya perlu beberapa hari, dan aku janji bakal menyenangkan,” jawab Bara sambil tersenyum lebar.Siska mendesah panjang. “Handle semuanya? Rumah ini saja sudah penuh kekacauan karena idemu minggu lalu.”Bara mengangkat bahu. “Makanya kita pergi ke galeri yang aku sewa. Lebih luas, aman, dan bisa dipakai tiga hari penuh. Kita bisa mulai sekarang kalau ma
Sabtu pagi biasanya jadi hari emas bagi Siska: bangun jam tujuh, bikin kopi hitam, beberes rumah, lalu lanjut belanja bahan makanan mingguan. Semua harus tertata rapi, seperti checklist proyek yang disusun dengan timeline ketat.Tapi pagi itu, begitu membuka pintu kamar, Siska tertegun. Ruang tamu sudah berubah jadi studio seni dadakan. Ada kanvas besar di tengah, cat berwarna biru, merah, kuning tercecer di lantai, kuas-kuas berbaring sembarangan seperti habis perang. Dan di tengah kekacauan itu, berdirilah Bara Aditya Pratama—kaus putihnya penuh bercak warna, rambut awut-awutan, wajahnya ada noda biru di pipi kanan.“Bara…” suara Siska langsung naik satu oktaf. “Ini kenapa ruang tamu jadi TK seni rupa?”Bara menoleh santai, tersenyum lebar. “Selamat pagi, Ibu Arsitek! Aku lagi dapat inspirasi, harus langsung dituangkan. Kalau ditunda, bisa hilang.”Siska memijit pelipis. “Inspirasi atau penyakit chaos? Ini lantai keramik, Bar, bukan kanvas tambahan.”“Tenang, gampang dibersihin. Lan
Pagi itu Siska bangun dengan perasaan agak lebih ringan. Mungkin karena semalam sempat ketawa bareng Bara gara-gara listrik mati. Entahlah. Tapi yang jelas, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mendadak ini, dia bangun tanpa merasa ingin lempar bantal ke wajah suaminya. Sayangnya, ketenangan itu nggak bertahan lama. Karena Bara masih tidur ngorok dengan pose mirip bintang laut di ranjang. “Bara…” Siska menepuk lengannya. Nggak ada respons. “Bara!” Kali ini lebih keras. “Hmm… apaan, Sayang…” jawab Bara setengah sadar, sambil meraih guling dan memeluknya erat-erat. Siska mendengus. “Bangun. Aku harus ke kantor.” Dengan mata setengah merem, Bara nyengir. “Ya udah. Hati-hati, jangan jatuh cinta sama bos gantengmu.” Siska terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru mengambil tas. “Mimpi aja lo.” Tapi wajahnya sedikit panas entah kenapa. Di kantor, suasana jauh berbeda. Rapat besar sedang berlangsung. Siska berdiri di depan proyektor, mempresentasikan desain gedung baru. Semua mat
Jam tujuh lewat lima belas. Itu artinya Siska sudah terlambat lima belas menit dari jadwal idealnya sendiri. Untuk ukuran arsitek perfeksionis, ini bencana level merah.Ia terlonjak bangun, buru-buru cuci muka, dan langsung panik ketika mencium bau… gosong.“Bar—A—!” teriak Siska sambil lari ke dapur.Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah:Bara, dengan celemek bergambar kartun ayam, sedang panik mengipas-ngipas asap hitam dari wajan.“Tenang! Ini masih bisa diselamatkan! Tingkat kematangan ekstra crispy!” katanya sambil berusaha membalik sesuatu yang bentuknya lebih mirip arang daripada telur.“Ya ampun, Bara! Itu telur, bukan batu bara!” Siska nyaris teriak sambil menutup hidung.Bara nyengir tanpa dosa. “Namanya juga sarapan cinta. Aku masak biar kamu nggak telat.”“Kalau sarapannya bikin aku keracunan, gimana?”“Ya kan aku bisa antar kamu ke IGD. Romantis, kan?”Siska menepuk kening. Mau marah tapi percuma. Mau ketawa juga gengsi.Akhirnya ia cuma duduk sambil menghela napas
Pagi hari di rumah kontrak baru, Siska sudah berdandan rapi. Blazer abu-abu, rambut disanggul sederhana, wajah serius. Perfeksionis, seperti biasa. Ia baru saja menyambar tas kerja ketika Bara muncul dari dapur—masih pakai celana training, kaus oblong belel, dan rambut yang jelas belum disentuh sisir. “Eh, pagi, Bu Arsitek Perfeksionis!” sapa Bara riang. “Pagi, seniman gagal,” balas Siska ketus. Bara nggak tersinggung sama sekali. Malah nyodorin bekal kotak makan warna pink bergambar unicorn. “Nih, aku buatin bekal. Nasi goreng seadanya, tapi penuh cinta.” Siska melirik curiga. “Ini aman dimakan? Atau ada minyak kayu putih lagi?” Bara ngakak. “Tenang, kali ini aku belajar dari video masak lima menit. Dijamin edible.” Siska akhirnya menerima bekal itu. Dalam hati, ia sedikit terharu—walau mulutnya tetap ketus. “Kalau aku keracunan di kantor, aku bakal hantui kamu.” “Yaudah, biar aku jadi penjaga makan siangmu di alam baka,” jawab Bara sambil cengar-cengir. Di ka
Buat Siska, hidup itu seperti rancangan arsitektur. Semuanya harus presisi, rapi, dan sesuai aturan. Bangun pagi → kopi hitam tanpa gula → kerja → pulang → tidur. Tidak ada ruang untuk kejutan. Sayangnya, hidup hari itu menamparnya dengan penggaris baja. Siska baru pulang kantor, wajahnya lelah, rambut dicepol ketat, kemeja putihnya penuh lipatan lembur. Pikirannya cuma satu: mandi air panas, teh hangat, lalu tidur. Tapi begitu membuka pintu rumah, ia malah mendapati ruang tamu penuh manusia. Bukan sembarang manusia, tapi keluarga besarnya sendiri. Ada tante Rina yang hobi gosip, om Asep yang sok tahu, sepupu-sepupu yang heboh selfie, dan tentu saja ibunya—duduk di kursi utama dengan wajah penuh strategi licik. “Surprise!” teriak mereka. Siska langsung refleks mundur setengah langkah. “Surprise… apa? Aku ulang tahun bukan, kan?” Ibunya tersenyum. Senyum yang terlalu manis untuk ukuran manusia normal. “Nak, hari ini kamu resmi menikah.” Siska hampir keselek ludah sendiri. “…A