Siska, seorang arsitek perfeksionis, terbiasa hidup teratur dan penuh kontrol. Bara, seniman nyentrik yang hidupnya berantakan, lebih percaya pada “seni dari kekacauan.” Gara-gara bisnis keluarga, mereka dipaksa menikah kontrak selama satu tahun. Awalnya rumah tangga mereka penuh perang dingin, kejadian absurd, dan adu mulut kocak. Tapi semakin lama, setiap pertengkaran justru membuat mereka semakin dekat. Hingga akhirnya, ketika masa kontrak habis, pertanyaannya: apakah ini hanya drama atau cinta yang benar-benar tumbuh?
Lihat lebih banyakBuat Siska, hidup itu seperti rancangan arsitektur. Semuanya harus presisi, rapi, dan sesuai aturan. Bangun pagi → kopi hitam tanpa gula → kerja → pulang → tidur. Tidak ada ruang untuk kejutan. Sayangnya, hidup hari itu menamparnya dengan penggaris baja.
Siska baru pulang kantor, wajahnya lelah, rambut dicepol ketat, kemeja putihnya penuh lipatan lembur. Pikirannya cuma satu: mandi air panas, teh hangat, lalu tidur. Tapi begitu membuka pintu rumah, ia malah mendapati ruang tamu penuh manusia. Bukan sembarang manusia, tapi keluarga besarnya sendiri. Ada tante Rina yang hobi gosip, om Asep yang sok tahu, sepupu-sepupu yang heboh selfie, dan tentu saja ibunya—duduk di kursi utama dengan wajah penuh strategi licik. “Surprise!” teriak mereka. Siska langsung refleks mundur setengah langkah. “Surprise… apa? Aku ulang tahun bukan, kan?” Ibunya tersenyum. Senyum yang terlalu manis untuk ukuran manusia normal. “Nak, hari ini kamu resmi menikah.” Siska hampir keselek ludah sendiri. “…APA?!” Dan saat itulah pintu belakang terbuka. Masuklah seorang pria dengan rambut acak-acakan, kaus penuh noda cat warna-warni, celana jeans sobek, dan sandal jepit. Seolah baru bangun tidur, ia mengucek mata lalu menatap kerumunan. “Eh, rame amat. Katanya kumpul keluarga kecil? Semua mata menoleh padanya. “Itu dia…” bisik salah satu tante, “Bara Aditya Pratama.” Siska melotot seperti melihat hantu. “Bara Aditya Pratama?! Yang dulu corat-coret tembok sekolah sampai aku ikut dihukum?! Yang pernah gambar mural wajah dinosaurus di pagar tetangga?!” Bara menoleh santai, tersenyum lebar, dan melambaikan tangan. “Hai, calon istri instan.” Siska hampir menjatuhkan tasnya. “CALON APA?!” Ibunya langsung menepuk tangan. “Bukan calon. Resmi. Pernikahan kalian sudah tercatat di KUA. Besok kita adakan resepsi sederhana.” Siska menatap ibunya seperti ingin pingsan. “MAKSUDNYA APA?!” Ayahnya akhirnya bicara dengan nada serius. “Perusahaan kita sedang krisis, Nak. Kontrak besar hampir jatuh ke pesaing. Keluarga Bara menawarkan modal, dengan satu syarat: penyatuan keluarga. Pernikahan ini jalan keluarnya.” Siska mematung. “Jadi kalian… menjual aku demi bisnis?!” Sebelum ada yang sempat menjawab, Bara mengangkat tangan seperti mahasiswa mau bertanya. “Eh, koreksi dikit. Bukan menjual. Lebih ke… barter. Kamu dapat aku, aku dapat sponsor buat studionya. Win-win, kan?” “WIN YOUR FACE!” bentak Siska. Tante Rina menepuk tangan, “Aduh, cocok banget, ya! Lihat tuh, dari dulu mereka kayak Tom & Jerry.” Om Asep menimpali, “Iya, Tom & Jerry itu kan legendaris. Awet.” Siska benar-benar ingin kabur ke luar negeri saat itu juga. --- Beberapa menit kemudian, ayah Siska menyerahkan sebuah map tebal. “Ini kontraknya. Syarat-syaratnya sudah jelas.” Siska membuka halaman pertama. Matanya langsung ingin copot. Pasal 1: Suami-istri tidak boleh tidur terpisah lebih dari tiga malam berturut-turut. Pasal 2: Harus tampil mesra di depan keluarga dan media. Pasal 3: Tidak boleh mengumbar perselisihan rumah tangga. Pasal 4: Durasi kontrak: satu tahun. Siska mendengus. “INI PERNIKAHAN ATAU ACARA REALITY SHOW MURAHAN?!” Bara sudah rebahan di sofa, kaki selonjor, masih mengunyah keripik. "Kalau aku sih yes.” “Kalau aku sih NO! Besar-besaran!” Tapi semua orang pura-pura tuli. Bahkan sepupunya sibuk rekam video diam-diam. “Udah lah, Sis,” Bara menyeringai. “Anggap aja eksperimen hidup. Tanpa ba bi bu… nikah yu.” “BARA!” --- Malam itu, kamar pengantin mereka sudah siap. Tante Rina yang sok romantis sempat menabur bunga plastik di ranjang. Sepupu-sepupu heboh selfie di depan pintu kamar dengan caption: “Couple Goals #NikahMendadak”. Siska hanya bisa menghela napas panjang. “Aku nggak percaya… aku menikah tanpa aba-aba, tanpa persetujuan, tanpa… logika!” Di sisi lain, Bara tampak bahagia sekali. Ia melompat ke ranjang sambil membentangkan tangan. “Woy, Sis! Ini empuk banget! Kayak hotel bintang lima.” “Keluar!” bentak Siska. “Lah, bukannya pasal satu bilang nggak boleh tidur terpisah lebih dari tiga malam?” Bara menunjuk kontrak dengan gaya sok serius. “Jadi, mari kita patuhi hukum.” “Hukum kepalamu! Kalau aku mimpi buruk gara-gara kamu ngorok, aku tuntut balik.” Bara ngakak. “Tenang aja. Ngorokku berirama. Banyak yang bilang kayak jazz.” “Jazz apaan?! Jazz bikin migrain, iya!” Beberapa jam kemudian, kamar sudah tenang. Siska duduk di pojok ranjang, bersedekap dengan wajah cemberut. Bara sudah rebahan, tapi bukan tidur—ia sibuk memainkan gitar kecil yang entah muncul dari mana. “🎵 Tanpa ba bi bu, kita udah sah… 🎵” “🎵 Walau kamu nyesel, aku tetap suami kontrak 🎵” “BERHENTI!” Siska spontan melempar bantal. Bara menangkis dengan gitar, cekikikan sendiri. “Gila, kamu ini…” Siska mendengus. "Gila itu relatif. Tapi yang jelas, mulai malam ini aku resmi jadi… Bara Aditya Pratama, suami kontrak terbaik sedunia!” “Suami kontrak? Itu aja udah bukti kamu bukan suami beneran.” “Eh, jangan salah. Banyak orang di luar sana pengen dapet paket all-in kayak aku. Suami + hiburan + sponsor studio. Mantap, kan?” Siska memutar bola mata, lalu memeluk guling erat-erat. “Ya Tuhan, apa salahku sampai harus serumah sama badut ini?” Keesokan harinya, acara resepsi sederhana di aula kecil pun dimulai. Siska sudah tampil elegan dengan gaun putih simpel, make-up natural, dan senyum yang—jujur saja—lebih mirip wajah orang masuk angin. Bara? Awalnya semua orang lega melihatnya pakai jas rapi. Tapi lega itu hanya bertahan tiga detik. Karena di bawah jas formalnya… ia tetap memakai sneakers belepotan cat. “BARA ADITYA PRATAMA!” Siska berbisik geram sambil mencengkeram lengan suaminya. “Apa? Ini seni. Sepatuku limited edition. Catnya abstrak. Mahal!” “Itu kelihatan kayak diinjek ayam habis mandi lumpur!” MC sudah memanggil, jadi Siska terpaksa menarik napas dalam-dalam dan memasang senyum palsu. Ia menggandeng Bara ke depan aula. “Lambaikan tangan dong, Sis,” bisik Bara. Siska melotot, tapi melakukannya. Dan saat itulah, Bara mendadak mengangkat tangan Siska lalu menciumnya penuh gaya bak pangeran dongeng. Siska terhenyak, wajahnya merah padam.T amu undangan langsung bersorak, “Wuuuu romantiiissss!” Siska ingin meninju. Tapi ia menahan diri. Pasal tiga: jangan ribut di depan umum. "Bara…” gumamnya dengan senyum palsu, “Nanti aku patahin jarimu.” Bara malah senyum penuh kemenangan. “Worth it.” Sesi foto dimulai. Fotografer: “Oke, lebih dekat lagi, ya, Pak Bara, Bu Siska.” Siska (senyum kaku): “Segini cukup.” Bara: “Nggak, kamera butuh chemistry.” Tanpa aba-aba, Bara merangkul bahu Siska erat-erat. Klik! Foto pertama: Bara senyum lebar, Siska wajah meledak. Fotografer bingung. Tante-tante malah bersorak, “Aduuuuh cocok banget!” Om Asep angkat jempol. “Cakep! Couple goals!” Siska hampir kejang. “BARA! Lepasin aku!” "Pasal dua, Sis. Harus terlihat mesra.” Klik! Foto kedua: Siska seolah mau mencekik Bara, tapi mereka masih tampak berdiri berdekatan. Dan anehnya… justru itu yang bikin semua tamu makin heboh. "Wah, natural banget ekspresinya!” “Beneran kayak pasangan beneran!” "Duh, semoga awet sampe cucu cicit!” Siska hampir meledak. Bara hanya terkekeh sambil berbisik, “Kamu marah? Aku sih yes.” --- Setelah resepsi mini yang penuh drama, Siska akhirnya berhasil menyeret Bara pulang ke rumah kontrakan baru mereka—hasil “bonus paket” dari kesepakatan dua keluarga. Rumah itu lumayan luas, tapi jelas-jelas butuh renovasi. Cat dinding mengelupas, pintu berdecit tiap dibuka, dan WC… yah, sepertinya sudah protes keras minta diganti sejak 2010. Siska berdiri di ruang tamu dengan wajah frustasi. “Rumah apa ini?!” Bara malah berputar-putar sambil menatap langit-langit. “Indie banget, Sis. Aesthetic gitu. Kayak rumah-rumah di film festival Eropa.” “Aesthetic kepala kamu. Ini namanya rumah setengah rubuh.” Bara jongkok memegang lantai. “Wah, lihat, bahkan ada mozaik alami dari bekas bocor. Seni banget.” Siska menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Tuhan, sabar…” Keesokan paginya, Siska bangun dengan rencana: ia akan pergi ke kantor lebih pagi, biar bisa kabur sebentar dari realita pernikahan kontrak ini. Tapi begitu membuka pintu kamar, hidungnya langsung diserang aroma… entah apa. Seperti bau gosong, tapi ada campuran wangi minyak kayu putih. Dengan langkah penuh curiga, ia menuju dapur. Dan benar saja. Bara berdiri di depan kompor, apron pink dengan gambar kelinci menempel di tubuhnya. Wajahnya penuh noda tepung, rambutnya makin acak-acakan, dan tangannya sibuk mengaduk sesuatu di wajan. “Selamat pagi, istri kontrak tercinta!” serunya bangga. “Aku bikin sarapan spesial: omelet ala seniman.” Siska menatap wajan itu. Isinya lebih mirip gumpalan hitam tak berbentuk. “Bara… itu omelet atau arang?” “Jangan menilai dari penampilan, Sis. Ini seni abstrak. Rasanya nanti bikin kamu tercerahkan.” Siska menelan ludah, lalu duduk di kursi dengan wajah datar. “Kalau aku mati keracunan, keluarga kita bisa dituntut.” Bara menyendok gumpalan itu ke piring, lalu menyodorkannya penuh semangat. “Ayo coba dulu. Cinta itu butuh pengorbanan. Termasuk lambungmu.” Dengan enggan, Siska menyuap sedikit. Seketika wajahnya berubah. “Ini… asin, gosong, tapi ada rasa manis kayak permen karet. Kamu taruh apa di sini?!” Bara menggaruk kepala. “Eh, tadi ada gula jatuh, aku pikir sekalian aja. Oh, terus aku campur minyak kayu putih dikit biar wangi.” “APA?!” Siska langsung memuntahkan suapan itu ke tisu. “Kamu mau bunuh aku?! Minyak kayu putih buat perut DIOLES, bukan DIMAKAN!” Bara malah ketawa terbahak-bahak. “Ya ampun, kamu lucu banget kalau marah.” Belum sempat Siska melanjutkan ceramahnya, suara ketukan pintu terdengar. Tok! Tok! Tok! Bara dengan santainya berjalan ke depan, membuka pintu. Dan ternyata ada dua ibu-ibu komplek berdiri di sana, lengkap dengan daster bunga-bunga dan tatapan penuh gosip. “Oh, jadi bener ya kalian pasangan baru di sini,” kata salah satunya sambil senyum menyelidik. “Kami dengar resepsinya kemarin rame banget. Eh, kok mendadak, sih?” Siska buru-buru menghampiri, berusaha pasang senyum sopan. “Halo, Bu. Iya, hehe… begitulah.” Bara malah nyelonong, santai banget: “Iya, Bu. Kami cinta pada pandangan pertama. Kayak iklan kopi. Langsung cocok, langsung nikah.” Ibu-ibu itu terperangah. “Waaah romantis banget! Zaman sekarang jarang ada kisah cinta kayak gini.” Siska hampir keselek. Tapi Bara makin semangat. “Betul, Bu. Bahkan pertama kali ketemu, aku langsung bilang ke dia: ‘Tanpa ba bi bu, nikah yu!’” Ibu-ibu bersorak kecil, “Haduuuh, so sweet banget!” Siska cuma bisa nyengir kaku sambil berdoa dalam hati semoga bumi menelannya. Sore itu, Siska pulang kantor dengan kepala penuh gambar rancangan bangunan. Ia berharap rumah akan tenang. Tapi begitu masuk, ia langsung mendapati ruang tamu penuh kertas berserakan, kaleng cat terbuka, dan Bara berdiri dengan wajah penuh noda warna biru. “Apa lagi ini?!” Siska menjerit. Bara senyum polos. “Aku bikin mural surprise buat kamu. Tadaaa!” Siska menoleh ke dinding. Ada lukisan besar: gambar dua orang stickman pegangan tangan, dengan tulisan “Love Contract” di atasnya. Siska menepuk jidat. “Ya Tuhan… kalau ada tamu masuk, mereka bakal pikir kita ikutan reality show murahan.” Bara mengangkat bahu. “Eh, tapi keren kan? Minimalis. Maknanya dalam. Itu aku—dan itu kamu. Simpel tapi kuat.” Siska ingin marah, tapi entah kenapa ia malah tertawa kecil. “Ya ampun, ini beneran gila.” Bara ikut tertawa. “Nah, akhirnya kamu ketawa juga. Selama ini cemberut terus. Aku kira wajahmu udah beku permanen.” Siska terdiam sebentar. Ada sedikit hangat di dadanya, meski buru-buru ia usir. “Jangan ge-er. Aku ketawa karena ini konyol.” Bara hanya menyeringai. “Terserah. Yang penting kamu senyum.” Malam itu, Siska benar-benar merasa hidupnya jungkir balik. Dalam satu hari: Bangun sebagai arsitek perfeksionis dengan hidup teratur. Nikah mendadak dengan seniman berantakan. Resepsi mini absurd penuh drama. Sarapan hampir keracunan minyak kayu putih. Rumah sudah seperti pameran seni gagal. Sekarang ia hanya ingin tidur. Ia masuk kamar dengan wajah kusut, menjatuhkan diri ke ranjang, lalu menutupi kepala dengan bantal. “Ya Tuhan… cobaan apa ini…” gumamnya lelah. Tak lama, pintu kamar diketuk pelan. Tok. Tok. Tok. “Boleh masuk?” suara Bara terdengar. Siska malas menjawab. Tapi pintu sudah keburu terbuka, dan Bara masuk sambil membawa sesuatu di tangannya. Siska membuka mata sedikit. “Apalagi kali ini? Mau nyanyi jazz pakai sendok?” Bara nyengir, lalu duduk di kursi dekat ranjang. “Tenang. Aku nggak bawa gitar. Aku bawa ini.” Ia mengangkat nampan berisi segelas susu hangat dan sepiring roti tawar gosong setengah. “Eh, jangan marah dulu. Aku belajar dari YouTube. Katanya susu bisa bikin tidur lebih nyenyak.” Siska menatap nampan itu. Roti gosongnya jelas nggak layak makan. Tapi gelas susu hangat itu… benar-benar terlihat tulus. Ia mendesah. “Bara, kamu tuh bikin aku gila.” “Bagus dong. Katanya cinta itu bikin orang gila.” Siska ingin memaki, tapi entah kenapa ia justru mengambil gelas susu itu. Hangatnya terasa pas di telapak tangan. Ia menyeruput perlahan, dan untuk pertama kalinya hari itu, wajahnya agak tenang. Bara tersenyum puas. “See? Aku bisa jadi suami kontrak yang perhatian.” Siska melirik malas. “Ya, kalau nggak bikin dapur kebakaran.” “Eh, progres itu penting, Sis. Dari hampir meracunimu ke bikin susu hangat. Itu kan peningkatan?” Siska nggak bisa menahan tawa kecil. “Ya ampun, kamu ini beneran kocak.” Bara mengangkat bahu. “Asal kamu senyum, aku rela dibilang badut.” Hening sesaat. Siska menatap Bara. Di balik segala kekacauan, ada sesuatu pada lelaki itu—sisi konyol yang anehnya bikin hangat. Tapi buru-buru ia alihkan pandangan. “Jangan ge-er. Aku ketawa karena kamu tolol, bukan karena aku suka.” Bara hanya tersenyum lebar. “Terserah. Yang penting kamu nggak stres sendirian.” Malam itu, Siska akhirnya tertidur lebih cepat dari dugaan. Bara, yang duduk di kursi samping ranjang, sempat memperhatikan wajah istrinya yang kini terlihat jauh lebih tenang. Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar: “Tenang aja, Sis. Walau kontrak ini konyol, aku janji bikin kamu nggak nyesel.” Dan dengan itu, Bara menyandarkan kepala ke dinding, ikut terlelap sambil senyum puas. Hari pertama mereka sebagai suami-istri kontrak… resmi ditutup dengan susu hangat, tawa kecil, dan janji-janji absurd yang mungkin saja akan berubah jadi sesuatu yang jauh lebih nyata.Pagi itu, Siska sedang menyesap kopi di dapur kontrakan kecil mereka. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menerangi meja kecil yang penuh dokumen. Dia mencoba menenangkan diri sambil menyusun agenda hari ini.Tiba-tiba, Bara masuk dengan ransel besar penuh kanvas, rambut acak-acakan, mata berbinar penuh semangat.“Sis… aku dapat ide super keren! Kita harus bikin pameran minggu ini!” serunya sambil menatap Siska.Siska menahan napas. “Bara… serius? Kamu baru bangun, belum sarapan, dan sekarang mau bikin pameran? Rumah kontrakan ini saja sempit, apalagi siapa yang bakal ngerjain semua persiapan?”“Tenang, Sis. Aku bisa handle semuanya! Hanya perlu beberapa hari, dan aku janji bakal menyenangkan,” jawab Bara sambil tersenyum lebar.Siska mendesah panjang. “Handle semuanya? Rumah ini saja sudah penuh kekacauan karena idemu minggu lalu.”Bara mengangkat bahu. “Makanya kita pergi ke galeri yang aku sewa. Lebih luas, aman, dan bisa dipakai tiga hari penuh. Kita bisa mulai sekarang kalau ma
Sabtu pagi biasanya jadi hari emas bagi Siska: bangun jam tujuh, bikin kopi hitam, beberes rumah, lalu lanjut belanja bahan makanan mingguan. Semua harus tertata rapi, seperti checklist proyek yang disusun dengan timeline ketat.Tapi pagi itu, begitu membuka pintu kamar, Siska tertegun. Ruang tamu sudah berubah jadi studio seni dadakan. Ada kanvas besar di tengah, cat berwarna biru, merah, kuning tercecer di lantai, kuas-kuas berbaring sembarangan seperti habis perang. Dan di tengah kekacauan itu, berdirilah Bara Aditya Pratama—kaus putihnya penuh bercak warna, rambut awut-awutan, wajahnya ada noda biru di pipi kanan.“Bara…” suara Siska langsung naik satu oktaf. “Ini kenapa ruang tamu jadi TK seni rupa?”Bara menoleh santai, tersenyum lebar. “Selamat pagi, Ibu Arsitek! Aku lagi dapat inspirasi, harus langsung dituangkan. Kalau ditunda, bisa hilang.”Siska memijit pelipis. “Inspirasi atau penyakit chaos? Ini lantai keramik, Bar, bukan kanvas tambahan.”“Tenang, gampang dibersihin. Lan
Pagi itu Siska bangun dengan perasaan agak lebih ringan. Mungkin karena semalam sempat ketawa bareng Bara gara-gara listrik mati. Entahlah. Tapi yang jelas, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mendadak ini, dia bangun tanpa merasa ingin lempar bantal ke wajah suaminya. Sayangnya, ketenangan itu nggak bertahan lama. Karena Bara masih tidur ngorok dengan pose mirip bintang laut di ranjang. “Bara…” Siska menepuk lengannya. Nggak ada respons. “Bara!” Kali ini lebih keras. “Hmm… apaan, Sayang…” jawab Bara setengah sadar, sambil meraih guling dan memeluknya erat-erat. Siska mendengus. “Bangun. Aku harus ke kantor.” Dengan mata setengah merem, Bara nyengir. “Ya udah. Hati-hati, jangan jatuh cinta sama bos gantengmu.” Siska terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru mengambil tas. “Mimpi aja lo.” Tapi wajahnya sedikit panas entah kenapa. Di kantor, suasana jauh berbeda. Rapat besar sedang berlangsung. Siska berdiri di depan proyektor, mempresentasikan desain gedung baru. Semua mat
Jam tujuh lewat lima belas. Itu artinya Siska sudah terlambat lima belas menit dari jadwal idealnya sendiri. Untuk ukuran arsitek perfeksionis, ini bencana level merah.Ia terlonjak bangun, buru-buru cuci muka, dan langsung panik ketika mencium bau… gosong.“Bar—A—!” teriak Siska sambil lari ke dapur.Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah:Bara, dengan celemek bergambar kartun ayam, sedang panik mengipas-ngipas asap hitam dari wajan.“Tenang! Ini masih bisa diselamatkan! Tingkat kematangan ekstra crispy!” katanya sambil berusaha membalik sesuatu yang bentuknya lebih mirip arang daripada telur.“Ya ampun, Bara! Itu telur, bukan batu bara!” Siska nyaris teriak sambil menutup hidung.Bara nyengir tanpa dosa. “Namanya juga sarapan cinta. Aku masak biar kamu nggak telat.”“Kalau sarapannya bikin aku keracunan, gimana?”“Ya kan aku bisa antar kamu ke IGD. Romantis, kan?”Siska menepuk kening. Mau marah tapi percuma. Mau ketawa juga gengsi.Akhirnya ia cuma duduk sambil menghela napas
Pagi hari di rumah kontrak baru, Siska sudah berdandan rapi. Blazer abu-abu, rambut disanggul sederhana, wajah serius. Perfeksionis, seperti biasa. Ia baru saja menyambar tas kerja ketika Bara muncul dari dapur—masih pakai celana training, kaus oblong belel, dan rambut yang jelas belum disentuh sisir. “Eh, pagi, Bu Arsitek Perfeksionis!” sapa Bara riang. “Pagi, seniman gagal,” balas Siska ketus. Bara nggak tersinggung sama sekali. Malah nyodorin bekal kotak makan warna pink bergambar unicorn. “Nih, aku buatin bekal. Nasi goreng seadanya, tapi penuh cinta.” Siska melirik curiga. “Ini aman dimakan? Atau ada minyak kayu putih lagi?” Bara ngakak. “Tenang, kali ini aku belajar dari video masak lima menit. Dijamin edible.” Siska akhirnya menerima bekal itu. Dalam hati, ia sedikit terharu—walau mulutnya tetap ketus. “Kalau aku keracunan di kantor, aku bakal hantui kamu.” “Yaudah, biar aku jadi penjaga makan siangmu di alam baka,” jawab Bara sambil cengar-cengir. Di ka
Buat Siska, hidup itu seperti rancangan arsitektur. Semuanya harus presisi, rapi, dan sesuai aturan. Bangun pagi → kopi hitam tanpa gula → kerja → pulang → tidur. Tidak ada ruang untuk kejutan. Sayangnya, hidup hari itu menamparnya dengan penggaris baja. Siska baru pulang kantor, wajahnya lelah, rambut dicepol ketat, kemeja putihnya penuh lipatan lembur. Pikirannya cuma satu: mandi air panas, teh hangat, lalu tidur. Tapi begitu membuka pintu rumah, ia malah mendapati ruang tamu penuh manusia. Bukan sembarang manusia, tapi keluarga besarnya sendiri. Ada tante Rina yang hobi gosip, om Asep yang sok tahu, sepupu-sepupu yang heboh selfie, dan tentu saja ibunya—duduk di kursi utama dengan wajah penuh strategi licik. “Surprise!” teriak mereka. Siska langsung refleks mundur setengah langkah. “Surprise… apa? Aku ulang tahun bukan, kan?” Ibunya tersenyum. Senyum yang terlalu manis untuk ukuran manusia normal. “Nak, hari ini kamu resmi menikah.” Siska hampir keselek ludah sendiri. “…A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen