Home / Romansa / TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!! / Bab 6 - Persiapan dan Kekacauan Pameran

Share

Bab 6 - Persiapan dan Kekacauan Pameran

Author: Justmty
last update Last Updated: 2025-08-27 21:08:13

Pagi itu, Siska sedang menyesap kopi di dapur kontrakan kecil mereka. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menerangi meja kecil yang penuh dokumen. Dia mencoba menenangkan diri sambil menyusun agenda hari ini.

Tiba-tiba, Bara masuk dengan ransel besar penuh kanvas, rambut acak-acakan, mata berbinar penuh semangat.

“Sis… aku dapat ide super keren! Kita harus bikin pameran minggu ini!” serunya sambil menatap Siska.

Siska menahan napas. “Bara… serius? Kamu baru bangun, belum sarapan, dan sekarang mau bikin pameran? Rumah kontrakan ini saja sempit, apalagi siapa yang bakal ngerjain semua persiapan?”

“Tenang, Sis. Aku bisa handle semuanya! Hanya perlu beberapa hari, dan aku janji bakal menyenangkan,” jawab Bara sambil tersenyum lebar.

Siska mendesah panjang. “Handle semuanya? Rumah ini saja sudah penuh kekacauan karena idemu minggu lalu.”

Bara mengangkat bahu. “Makanya kita pergi ke galeri yang aku sewa. Lebih luas, aman, dan bisa dipakai tiga hari penuh. Kita bisa mulai sekarang kalau mau.”

Siska menatapnya skeptis. “Bar… kamu serius ini? Galeri? Minggu ini?”

“Serius, Sis! Lagipula ini kesempatan bagus buat pameran pertamaku. Dan… aku mau kamu di sini buat bantuin aku. Tanpamu, aku bakal benar-benar kacau.”

Siska mendesah lagi, tapi hatinya sedikit luluh. Bara selalu bisa membuat ide gilanya terdengar menyenangkan.

Mereka menumpuk kanvas di mobil dan berkendara ke galeri komunitas seni yang cozy dan cukup luas. Bara tak henti-hentinya bicara tentang tata letak, pencahayaan, dan instalasi spontan. Siska mendengarkan sambil mencatat, sesekali menegur ide yang terlalu ekstrem.

“Bar… jangan sampai tamu terpeleset karena ide dramamu,” katanya sambil menatap kanvas besar yang siap dipasang.

“Tapi Sis… sedikit chaos itu justru bikin orang terpukau,” Bara membalas dengan senyum nakal.

Siska mendesah. “Kalau mereka terpukau karena chaos, itu bukan karena seni, tapi karena aku menahan napas.”

Bara terkekeh, menepuk pundak Siska. “Lihat sisi positifnya… kita bekerja sama. Ini momen langka, Sis.”

Begitu sampai di galeri, mereka mulai menata karya, mengatur pencahayaan, dan menyusun instalasi. Bara sering memindahkan sesuatu tanpa izin, membuat Siska kesal tapi akhirnya tersenyum melihat perhatian kecilnya—Bara selalu menawarkan minum atau menepuk pundaknya saat Siska lelah.

“Bar… hati-hati! Jangan sampai kanvas jatuh!” Siska menegur saat Bara terlalu bersemangat menata lukisan besar.

“Tenang, Sis… aku bisa handle,” jawab Bara sambil mengedipkan mata.

Siang itu, kurir terlambat membawa beberapa karya penting. Bara panik.

“Ini bisa jadi bencana!” teriaknya.

Siska menepuk meja. “Tenang, Bar. Kita mulai dulu dengan karya yang ada. Kurir pasti datang.”

Bara mulai menyusun kanvas kecil untuk menutupi ruang kosong. “Lihat, Sis… ini bisa jadi tambahan menarik!”

Siska menatapnya, tersenyum tipis. “Kalau kamu nggak bikin ribut, ini bisa terlihat bagus juga.”

Bara puas, menepuk pundak Siska. “Kekacauan pun bisa jadi seni, Sis.”

Sore hari, mereka latihan menyambut tamu. Bara dramatis, Siska tegas tapi tertawa melihat tingkahnya.

“Bar, jangan lebay!” Siska menegur saat Bara menirukan gerakan abstrak seolah menari.

“Drama itu seni, Sis. Kalau nggak lebay, orang nggak akan ingat,” jawab Bara nakal.

Siska menepuk kepala Bara. “Kalau kamu menari di depan tamu, aku tutup galeri.”

Bara tertawa, duduk di sofa sambil menatap Siska. “Aku senang kamu di sini. Tanpamu, aku bakal benar-benar kacau.”

Siska menatapnya, tersenyum tipis. “Aku juga… meski hampir gila menghadapi semua idemu.”

Malam itu, galeri rapi, hampir siap. Mereka duduk berdua, menatap dinding karya Bara.

“Kamu tahu, Sis… aku nggak pernah kerja sebegini keras sebelumnya. Tapi rasanya menyenangkan kalau kamu ada di sisiku,” kata Bara pelan.

Siska tersenyum. “Aku juga… meski hampir gila menghadapi semua idemu.”

Bara tertawa. “Besok aku janji lebih hati-hati. Sebisa mungkin.”

Siska menertawakan. “Dan aku janji menahan amarah, sebisa mungkin.”

Mereka tertawa, menutup hari persiapan dengan lega. Kekacauan dan pertengkaran terasa seperti bumbu dalam hubungan mereka.

Hari pertama pameran, galeri ramai dengan pengunjung lokal. Bara gugup, rambut acak, kemeja penuh noda cat.

Seorang anak kecil menyentuh kanvas Bara. Bara panik tapi cepat menambahkan detail baru, seolah disengaja.

“Bar… ini serius?” Siska menahan tawa.

“Drama itu seni, Sis,” jawab Bara terkekeh.

Para tamu menikmati kekacauan kecil itu. Siska mulai luluh, melihat Bara berusaha menyelamatkan situasi.

Hari kedua lebih stabil tapi tetap lucu: seorang pengunjung menabrak instalasi Bara, panik, Siska menenangkan sambil menahan tawa.

Bara menepuk pundak Siska. “Besok aku lebih hati-hati.”

Siska tersenyum tipis. “Kalau nggak hati-hati, aku yang panik.”

Konflik tetap ada, tapi perhatian Bara membuat Siska merasa aman dan dihargai.

Hari terakhir pameran, galeri hampir penuh. Kekacauan minim, tapi masih ada momen lucu: Bara hampir tersandung kuas, Siska menahan napas, mereka tertawa bersama.

Ketika galeri sepi sore itu, Bara menatap Siska. “Terima kasih sudah bersamaku. Tanpamu, aku pasti lebih kacau.”

Siska menepuk pundaknya. “Dan terima kasih sudah membuatku tertawa meski hampir kehilangan kesabaran.”

Mereka berjalan keluar galeri, lelah tapi bahagia. Pameran yang kacau tapi penuh warna menjadi momen hangat, mempererat hubungan mereka.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 36 - Kembali berjarak

    Hari-hari di Jakarta kembali berjalan seperti dulu — atau setidaknya, begitulah yang Siska coba yakini.Ia bangun pagi, membuat kopi tanpa gula, menyalakan laptop, lalu menatap layar dengan mata setengah kosong. Rutinitasnya masih sama, tapi entah kenapa, semuanya terasa lebih hampa.Seolah ada sesuatu yang tertinggal di Bandung.Sesuatu bernama Bara.Pagi itu di kantor, suasananya lebih ramai dari biasanya. Proyek baru diluncurkan, dan tim desain tempat Siska bekerja harus menyiapkan materi promosi secepat mungkin. Lula, rekan sekantornya, melambai dari kubikel sebelah.“Eh, Sis! Kamu kayaknya glowing deh belakangan ini. Bandung effect, ya?”Siska tersenyum kecil. “Glowing capek mungkin. Di sana dingin, tapi kerjaan tetap kejar-kejaran deadline.”Lula menatapnya curiga. “Atau glowing karena seseorang?”“Apaan sih?” Siska meneguk kopi, pura-pura fokus pada layar.Lula hanya tertawa kecil, tapi tidak memaksa. Ia tahu Siska bukan tipe yang mudah cerita — terutama kalau soal hati.Namun

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 35 - Kembali dan Pergi

    Pagi di Bandung selalu punya cara membuat orang ingin diam. Embun di jendela, aroma kopi, dan suara langkah kecil di dapur. Bara bangun lebih awal dari biasanya — bukan karena alarm, tapi karena bunyi panci dari arah dapur.Ia keluar dari kamar dan menemukan Siska sedang berdiri di sana. Rambutnya berantakan, kaosnya kebesaran, dan ia sedang menatap panci air mendidih dengan ekspresi bingung.“Airnya udah mendidih, tapi aku lupa mau bikin apa,” katanya tanpa menoleh.Bara tertawa kecil. “Klasik. Mau aku bantu?”Siska mengangguk, lalu menyerahkan sendok padanya. “Terserah deh. Asal jangan bikin kopi gosong lagi.”“Aku tersinggung, tau,” jawab Bara pura-pura serius.Tapi dalam diam, hatinya hangat — seperti pagi itu menertawakan keanehan mereka berdua.Mereka sarapan mi rebus dan roti seadanya. Tidak banyak bicara, tapi nyaman. Kadang Siska tertawa kecil melihat ekspresi Bara yang terlalu serius menyiapkan telur, kadang Bara hanya memperhatikan caranya memutar sendok di cangkir — kebias

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 33 - Kangen pasti

    Pagi Bandung terasa berbeda sejak Bara menetap di sana. Tidak ada lagi suara sendok beradu dengan gelas yang biasa mengiringi pagi-pagi mereka di kontrakan Jakarta. Tidak ada juga keluhan Siska tentang roti gosong atau tumpukan cucian.Yang ada cuma suara kendaraan lewat dari jalan kecil depan rumah, bercampur dengan angin dingin dan aroma kopi instan yang Bara seduh asal-asalan.Ia duduk di meja kayu kecil yang sekarang jadi ruang kerjanya. Laptop terbuka, tapi pikirannya tidak di layar. Lukisan setengah jadi di dinding menatapnya balik — seperti menunggu sesuatu yang tak pernah selesai.Sejak seminggu terakhir, komunikasi dengan Siska mulai terasa... berbeda. Masih ada chat, masih ada telepon singkat, tapi tidak lagi sepanjang dulu. Kadang Siska sibuk rapat, kadang Bara pura-pura sibuk juga. Padahal, diam di antara mereka justru lebih berisik daripada percakapan apa pun.> Siska: “Hari ini hujan lagi di Jakarta.”Bara: “Sama di sini. Bandung juga lagi abu-abu.”Siska: “Cocok sama mo

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 32 - Bandung dan Kamu

    Sudah hampir dua bulan sejak Bara berangkat ke Bandung.Awalnya, Siska pikir ia akan terbiasa. Tapi ternyata tidak.Rumah itu makin lama makin terasa seperti ruang tunggu: dingin, rapi, tapi kosong.Setiap pagi, ia masih membuat dua gelas kopi — kebiasaan bodoh yang sulit ia hentikan.Satu untuknya, satu lagi tetap di meja. Dibiarkan dingin, lalu dibuang menjelang siang.Suatu pagi, Lula mengetuk pintu apartemennya tanpa aba-aba, membawa dua cup kopi dan ekspresi penasaran.“Gila, Sis. Kamu udah kayak zombie. Mata panda-nya parah banget,” katanya sambil masuk seenaknya.Siska mendengus. “Salah sendiri datang pagi-pagi.”“Pagi apanya, ini udah jam sembilan. Kamu belum ke kantor?”“Kerja remote, deadline minggu depan.”Lula duduk di sofa, menatap sekeliling. “Sejak Bara ke Bandung, rumah kamu kayak museum. Sepi banget.”“Emang dia ribut banget ya dulu?”“Enggak juga. Tapi tanpa dia, kayak ada suara yang hilang.”Siska menatap temannya lama. “Lu ngomongnya kayak orang yang ngalamin langs

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 31 - Jarak yang tak Terlihat

    Sudah hampir tiga minggu Bara di Bandung.Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah — meski cuma kontrak — rumah terasa benar-benar sunyi buat Siska.Biasanya, pagi-pagi sudah terdengar suara Bara di dapur, bernyanyi sumbang sambil menumis telur. Sekarang yang terdengar hanya suara air dari keran dan notifikasi email yang terus berdenting.Siska menatap kursi makan di seberang. Masih kosong. Cangkir kopi pun tetap bersih karena tak ada yang meminumnya selain dia.Ia mendesah pelan, lalu membuka ponsel.Ada satu pesan dari Bara semalam.> “Hari ini aku ke luar kota sebentar, bantu set pameran. Jangan lupa makan ya.”Pesan itu dikirim pukul 23.17.Siska baru membacanya sekarang — pukul 07.42.“Telat banget aku balas,” gumamnya kecil sambil mengetik balasan cepat:> “Jangan kecapekan. Hati-hati di jalan.”Jari-jarinya sempat ragu sebelum menekan send.Aneh. Dulu mereka ngobrol tanpa mikir. Sekarang, setiap kata terasa harus dipertimbangkan.Siang harinya di kantor, Siska berusaha fo

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 30 - Hari Pembukaan

    Bandung, Sabtu pagi.Udara masih sejuk, tapi perut Bara terasa nggak tenang. Ia sudah bangun sejak subuh, muter-muter di apartemen kayak setrika rusak. Kaos putihnya sudah diganti tiga kali—bukan karena kotor, tapi karena tangannya nggak bisa diam.Di galeri, semua sudah siap. Lampu-lampu dipasang, lukisan digantung, lantai dibersihkan sampai kinclong. Semua karya yang ia buat selama dua bulan terakhir berjajar rapi: potret, sketsa, mural mini. Tapi satu dinding kosong di sisi kanan ruangan masih tanpa bingkai.Di situ seharusnya lukisan terakhirnya dipasang — yang berjudul “Ruang Tengah”.Masih terbungkus kain. Bara belum siap membukanya.Satu-satunya orang yang tahu isi lukisan itu cuma dia. Dan Siska… seharusnya.Ia menatap jam di pergelangan tangan. 10.17.Pembukaan dimulai jam sebelas.“Mas Bara, tamu undangan mulai datang, ya,” kata Rafi, panitia sekaligus teman lamanya, sambil menghampiri. “Lo tenang aja, semua beres. Bahkan media lokal juga udah standby.”Bara mengangguk. “Tha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status