MasukSabtu pagi biasanya jadi hari emas bagi Siska: bangun jam tujuh, bikin kopi hitam, beberes rumah, lalu lanjut belanja bahan makanan mingguan. Semua harus tertata rapi, seperti checklist proyek yang disusun dengan timeline ketat.
Tapi pagi itu, begitu membuka pintu kamar, Siska tertegun. Ruang tamu sudah berubah jadi studio seni dadakan. Ada kanvas besar di tengah, cat berwarna biru, merah, kuning tercecer di lantai, kuas-kuas berbaring sembarangan seperti habis perang. Dan di tengah kekacauan itu, berdirilah Bara Aditya Pratama—kaus putihnya penuh bercak warna, rambut awut-awutan, wajahnya ada noda biru di pipi kanan. “Bara…” suara Siska langsung naik satu oktaf. “Ini kenapa ruang tamu jadi TK seni rupa?” Bara menoleh santai, tersenyum lebar. “Selamat pagi, Ibu Arsitek! Aku lagi dapat inspirasi, harus langsung dituangkan. Kalau ditunda, bisa hilang.” Siska memijit pelipis. “Inspirasi atau penyakit chaos? Ini lantai keramik, Bar, bukan kanvas tambahan.” “Tenang, gampang dibersihin. Lantai kan nggak akan protes,” jawab Bara enteng. “Yang protes itu aku!” Siska melotot. Bara mendekat sambil bawa kuas, tanpa sadar meninggalkan jejak titik-titik cat di lantai. “Kamu tuh terlalu serius, Sis. Hidup nggak harus lurus-lurus banget. Kadang berantakan juga seni.” Siska menatapnya dengan wajah datar. “Bara, kalau seni itu menghasilkan keindahan. Kalau ini…” ia menunjuk lantai yang penuh cipratan warna, “…hasilnya cuma bikin aku ingin kabur.” Mungkin bukan hanya cat yang bikin Siska naik darah. Pekerjaan di kantor juga menambah beban. Proyek gedung baru yang ia pegang makin menuntut kesempurnaan. Kliennya tipe orang detail, minta garis jendela harus presisi, bahkan ukuran pegangan tangga saja dipersoalkan. Seminggu penuh Siska sudah lembur, mengerjakan revisi gambar berkali-kali. Itu sebabnya, begitu melihat rumah ikut-ikutan berantakan, rasanya otaknya hampir meledak. “Bar, kamu tuh nggak ngerti ya… aku pulang kerja bukan buat hadapi kekacauan lagi. Aku butuh rumah tenang, rapi. Kalau gini terus, aku bisa stres.” Bara sempat terdiam, lalu menaruh kuas. Nada suaranya kali ini lebih serius. “Aku hidup dengan caraku, Sis. Berantakan, iya. Tapi dari situ aku nemu warna. Kamu sibuk bikin garis lurus, sampai lupa lihat pelangi.” Kalimat itu menghantam lebih keras daripada cat yang tercecer. Siska terdiam, tapi dalam hati mendidih. “Jadi menurutmu aku salah karena perfeksionis?” “Aku nggak bilang salah. Aku cuma bilang… beda.” Jawaban singkat itu justru bikin hening makin tebal. Hari itu rumah terasa seperti ruang tunggu rumah sakit—sunyi, penuh ketegangan tak terucap. Siska sibuk melipat baju dengan ekspresi dingin. Setiap kali menutup lemari, suaranya terdengar lebih keras dari biasanya. Bara mencoba bersiul sambil mengepel lantai, tapi jelas-jelas ia sedang menahan rasa bersalah. Menjelang sore, Siska berdiri di depan pintu dengan tas belanja. “Aku mau ke minimarket. Kamu nggak usah ikut.” Bara mengangkat alis. “Mau aku anterin sekalian?” “Enggak usah.” Suaranya singkat, ketus. Namun sebelum keluar, Siska sempat menoleh sebentar. “Tolong bersihin catnya beneran. Jangan cuma janji.” Bara menunduk, lalu mengangguk. “Siap, Bos Arsitek.” Di minimarket, Siska merasa sedikit lebih lega. Ia mendorong troli, mengisi kebutuhan dasar: telur, beras, sayur, susu. Namun begitu sampai di kasir, suara familiar menyapanya. “Oh, Siska! Lagi belanja sama suami ya?” Suara itu datang dari Bu Rani, tetangga yang terkenal hobi gosip. Siska terpaksa tersenyum. “Iya Bu, lagi belanja.” “Lho, mana suaminya? Kok sendirian?” Bu Rani menyipitkan mata. “Dia… di rumah. Lagi bersih-bersih.” “Wah, hebat sekali! Suami zaman sekarang jarang mau beberes. Untung kamu dapat yang begitu.” Siska hanya mengangguk, menahan tawa getir dalam hati. Kalau Bu Rani lihat kondisi rumah tadi pagi, mungkin malah langsung pingsan. Sementara itu, di rumah, Bara benar-benar berusaha membersihkan lantai. Ia menggosok keras-keras, tapi salah ambil kain: pakai lap putih kesayangan Siska. Hasilnya? Lap berubah jadi abstrak penuh warna. “Ups.” Bara menggigit bibir, lalu cepat-cepat menyembunyikan lap itu di keranjang cucian. Ia juga mencoba memperbaiki rak buku yang kemarin rebah. Kali ini ia lebih hati-hati, pakai obeng dan sekrup baru. Hasilnya lumayan… meski tetap sedikit miring. “Nggak apa-apa, seni juga nggak selalu simetris,” gumamnya. Ketika Siska pulang dengan kantong belanja, rumah sudah jauh lebih bersih dari yang ia bayangkan. Cat di lantai menghilang (walau kalau diperhatikan masih ada samar-samar noda biru). Rak buku berdiri kembali, meski condong tiga derajat ke kanan. Di meja makan, ada dua piring nasi goreng sederhana. Bara berdiri dengan tangan belepotan minyak, wajah penuh harap. “Chef kontrak melapor. Menu malam ini: nasi goreng setengah gosong, tapi penuh cinta.” Siska meletakkan belanjaan, menatap piring itu lama. “Aku udah bilang jangan masak aneh-aneh, kan?” “Ini nggak aneh. Nasi goreng itu universal. Dari mahasiswa kos sampai presiden juga suka.” Siska menghela napas, lalu duduk. Ia mengambil sendok, mencicipi satu suapan. Rasanya asin berlebihan, tapi hangat. Bara menunggu ekspresinya dengan tegang. “Hmm… bisa dimakan.” Bara langsung mengangkat tangan ke udara. “Yes! Itu artinya enak banget versi kamu.” Siska tak tahan, akhirnya tertawa kecil. Ketegangan sejak pagi mulai mencair. Mereka makan sambil ngobrol ringan. Bara bercerita tentang ide lukisannya, bagaimana cat biru itu terinspirasi dari langit setelah hujan. Siska menggeleng sambil tersenyum. “Kamu tuh bisa ya, dari langit mendung aja nemu inspirasi.” “Ya, itu bedanya kita. Kamu lihat hujan, langsung mikir banjir. Aku lihat hujan, mikir warna.” Siska tertawa kecil, mengakui kebenaran kata-katanya. “Tapi banjir tetap masalah serius, Bar.” “Betul. Tapi kalau terus mikirin masalah, hidupmu cuma jadi catatan rapat. Sesekali nikmatin warnanya juga, Sis.” Siska menatapnya diam-diam. Kadang ucapan Bara terdengar konyol, tapi sering kali justru menyimpan makna dalam. Sebelum tidur, Siska sempat melirik kanvas di ruang tamu. Lukisan itu sederhana—sapuan warna biru, kuning, merah yang tampak acak. Tapi saat diperhatikan lebih lama, ada bentuk samar dua cangkir teh berdampingan. Siska mendekat, bibirnya terangkat pelan. “Bara, ini… teh kita kemarin malam?” Bara yang sudah tiduran membuka mata setengah, tersenyum. “Ya. Tuh kan, kamu juga bisa lihat pelanginya kalau berhenti ngotot bikin garis lurus.” Siska mendengarnya, lalu mematikan lampu. Ia berbaring di samping Bara, dengan hati yang sedikit lebih ringan. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia merasa beruntung rumahnya tidak selurus garis yang selalu ia gambar. Karena mungkin, dalam sedikit berantakan itu, ada warna yang diam-diam ia butuhkan. ---Hari-hari di Jakarta kembali berjalan seperti dulu — atau setidaknya, begitulah yang Siska coba yakini.Ia bangun pagi, membuat kopi tanpa gula, menyalakan laptop, lalu menatap layar dengan mata setengah kosong. Rutinitasnya masih sama, tapi entah kenapa, semuanya terasa lebih hampa.Seolah ada sesuatu yang tertinggal di Bandung.Sesuatu bernama Bara.Pagi itu di kantor, suasananya lebih ramai dari biasanya. Proyek baru diluncurkan, dan tim desain tempat Siska bekerja harus menyiapkan materi promosi secepat mungkin. Lula, rekan sekantornya, melambai dari kubikel sebelah.“Eh, Sis! Kamu kayaknya glowing deh belakangan ini. Bandung effect, ya?”Siska tersenyum kecil. “Glowing capek mungkin. Di sana dingin, tapi kerjaan tetap kejar-kejaran deadline.”Lula menatapnya curiga. “Atau glowing karena seseorang?”“Apaan sih?” Siska meneguk kopi, pura-pura fokus pada layar.Lula hanya tertawa kecil, tapi tidak memaksa. Ia tahu Siska bukan tipe yang mudah cerita — terutama kalau soal hati.Namun
Pagi di Bandung selalu punya cara membuat orang ingin diam. Embun di jendela, aroma kopi, dan suara langkah kecil di dapur. Bara bangun lebih awal dari biasanya — bukan karena alarm, tapi karena bunyi panci dari arah dapur.Ia keluar dari kamar dan menemukan Siska sedang berdiri di sana. Rambutnya berantakan, kaosnya kebesaran, dan ia sedang menatap panci air mendidih dengan ekspresi bingung.“Airnya udah mendidih, tapi aku lupa mau bikin apa,” katanya tanpa menoleh.Bara tertawa kecil. “Klasik. Mau aku bantu?”Siska mengangguk, lalu menyerahkan sendok padanya. “Terserah deh. Asal jangan bikin kopi gosong lagi.”“Aku tersinggung, tau,” jawab Bara pura-pura serius.Tapi dalam diam, hatinya hangat — seperti pagi itu menertawakan keanehan mereka berdua.Mereka sarapan mi rebus dan roti seadanya. Tidak banyak bicara, tapi nyaman. Kadang Siska tertawa kecil melihat ekspresi Bara yang terlalu serius menyiapkan telur, kadang Bara hanya memperhatikan caranya memutar sendok di cangkir — kebias
Pagi Bandung terasa berbeda sejak Bara menetap di sana. Tidak ada lagi suara sendok beradu dengan gelas yang biasa mengiringi pagi-pagi mereka di kontrakan Jakarta. Tidak ada juga keluhan Siska tentang roti gosong atau tumpukan cucian.Yang ada cuma suara kendaraan lewat dari jalan kecil depan rumah, bercampur dengan angin dingin dan aroma kopi instan yang Bara seduh asal-asalan.Ia duduk di meja kayu kecil yang sekarang jadi ruang kerjanya. Laptop terbuka, tapi pikirannya tidak di layar. Lukisan setengah jadi di dinding menatapnya balik — seperti menunggu sesuatu yang tak pernah selesai.Sejak seminggu terakhir, komunikasi dengan Siska mulai terasa... berbeda. Masih ada chat, masih ada telepon singkat, tapi tidak lagi sepanjang dulu. Kadang Siska sibuk rapat, kadang Bara pura-pura sibuk juga. Padahal, diam di antara mereka justru lebih berisik daripada percakapan apa pun.> Siska: “Hari ini hujan lagi di Jakarta.”Bara: “Sama di sini. Bandung juga lagi abu-abu.”Siska: “Cocok sama mo
Sudah hampir dua bulan sejak Bara berangkat ke Bandung.Awalnya, Siska pikir ia akan terbiasa. Tapi ternyata tidak.Rumah itu makin lama makin terasa seperti ruang tunggu: dingin, rapi, tapi kosong.Setiap pagi, ia masih membuat dua gelas kopi — kebiasaan bodoh yang sulit ia hentikan.Satu untuknya, satu lagi tetap di meja. Dibiarkan dingin, lalu dibuang menjelang siang.Suatu pagi, Lula mengetuk pintu apartemennya tanpa aba-aba, membawa dua cup kopi dan ekspresi penasaran.“Gila, Sis. Kamu udah kayak zombie. Mata panda-nya parah banget,” katanya sambil masuk seenaknya.Siska mendengus. “Salah sendiri datang pagi-pagi.”“Pagi apanya, ini udah jam sembilan. Kamu belum ke kantor?”“Kerja remote, deadline minggu depan.”Lula duduk di sofa, menatap sekeliling. “Sejak Bara ke Bandung, rumah kamu kayak museum. Sepi banget.”“Emang dia ribut banget ya dulu?”“Enggak juga. Tapi tanpa dia, kayak ada suara yang hilang.”Siska menatap temannya lama. “Lu ngomongnya kayak orang yang ngalamin langs
Sudah hampir tiga minggu Bara di Bandung.Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah — meski cuma kontrak — rumah terasa benar-benar sunyi buat Siska.Biasanya, pagi-pagi sudah terdengar suara Bara di dapur, bernyanyi sumbang sambil menumis telur. Sekarang yang terdengar hanya suara air dari keran dan notifikasi email yang terus berdenting.Siska menatap kursi makan di seberang. Masih kosong. Cangkir kopi pun tetap bersih karena tak ada yang meminumnya selain dia.Ia mendesah pelan, lalu membuka ponsel.Ada satu pesan dari Bara semalam.> “Hari ini aku ke luar kota sebentar, bantu set pameran. Jangan lupa makan ya.”Pesan itu dikirim pukul 23.17.Siska baru membacanya sekarang — pukul 07.42.“Telat banget aku balas,” gumamnya kecil sambil mengetik balasan cepat:> “Jangan kecapekan. Hati-hati di jalan.”Jari-jarinya sempat ragu sebelum menekan send.Aneh. Dulu mereka ngobrol tanpa mikir. Sekarang, setiap kata terasa harus dipertimbangkan.Siang harinya di kantor, Siska berusaha fo
Bandung, Sabtu pagi.Udara masih sejuk, tapi perut Bara terasa nggak tenang. Ia sudah bangun sejak subuh, muter-muter di apartemen kayak setrika rusak. Kaos putihnya sudah diganti tiga kali—bukan karena kotor, tapi karena tangannya nggak bisa diam.Di galeri, semua sudah siap. Lampu-lampu dipasang, lukisan digantung, lantai dibersihkan sampai kinclong. Semua karya yang ia buat selama dua bulan terakhir berjajar rapi: potret, sketsa, mural mini. Tapi satu dinding kosong di sisi kanan ruangan masih tanpa bingkai.Di situ seharusnya lukisan terakhirnya dipasang — yang berjudul “Ruang Tengah”.Masih terbungkus kain. Bara belum siap membukanya.Satu-satunya orang yang tahu isi lukisan itu cuma dia. Dan Siska… seharusnya.Ia menatap jam di pergelangan tangan. 10.17.Pembukaan dimulai jam sebelas.“Mas Bara, tamu undangan mulai datang, ya,” kata Rafi, panitia sekaligus teman lamanya, sambil menghampiri. “Lo tenang aja, semua beres. Bahkan media lokal juga udah standby.”Bara mengangguk. “Tha







