Home / Romansa / TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!! / Bab 5 - Pertengkaran Sepele, Senyum Diam Diam

Share

Bab 5 - Pertengkaran Sepele, Senyum Diam Diam

Author: Justmty
last update Last Updated: 2025-08-25 22:22:59

Sabtu pagi biasanya jadi hari emas bagi Siska: bangun jam tujuh, bikin kopi hitam, beberes rumah, lalu lanjut belanja bahan makanan mingguan. Semua harus tertata rapi, seperti checklist proyek yang disusun dengan timeline ketat.

Tapi pagi itu, begitu membuka pintu kamar, Siska tertegun. Ruang tamu sudah berubah jadi studio seni dadakan. Ada kanvas besar di tengah, cat berwarna biru, merah, kuning tercecer di lantai, kuas-kuas berbaring sembarangan seperti habis perang. Dan di tengah kekacauan itu, berdirilah Bara Aditya Pratama—kaus putihnya penuh bercak warna, rambut awut-awutan, wajahnya ada noda biru di pipi kanan.

“Bara…” suara Siska langsung naik satu oktaf. “Ini kenapa ruang tamu jadi TK seni rupa?”

Bara menoleh santai, tersenyum lebar. “Selamat pagi, Ibu Arsitek! Aku lagi dapat inspirasi, harus langsung dituangkan. Kalau ditunda, bisa hilang.”

Siska memijit pelipis. “Inspirasi atau penyakit chaos? Ini lantai keramik, Bar, bukan kanvas tambahan.”

“Tenang, gampang dibersihin. Lantai kan nggak akan protes,” jawab Bara enteng.

“Yang protes itu aku!” Siska melotot.

Bara mendekat sambil bawa kuas, tanpa sadar meninggalkan jejak titik-titik cat di lantai. “Kamu tuh terlalu serius, Sis. Hidup nggak harus lurus-lurus banget. Kadang berantakan juga seni.”

Siska menatapnya dengan wajah datar. “Bara, kalau seni itu menghasilkan keindahan. Kalau ini…” ia menunjuk lantai yang penuh cipratan warna, “…hasilnya cuma bikin aku ingin kabur.”

Mungkin bukan hanya cat yang bikin Siska naik darah. Pekerjaan di kantor juga menambah beban. Proyek gedung baru yang ia pegang makin menuntut kesempurnaan. Kliennya tipe orang detail, minta garis jendela harus presisi, bahkan ukuran pegangan tangga saja dipersoalkan.

Seminggu penuh Siska sudah lembur, mengerjakan revisi gambar berkali-kali. Itu sebabnya, begitu melihat rumah ikut-ikutan berantakan, rasanya otaknya hampir meledak.

“Bar, kamu tuh nggak ngerti ya… aku pulang kerja bukan buat hadapi kekacauan lagi. Aku butuh rumah tenang, rapi. Kalau gini terus, aku bisa stres.”

Bara sempat terdiam, lalu menaruh kuas. Nada suaranya kali ini lebih serius. “Aku hidup dengan caraku, Sis. Berantakan, iya. Tapi dari situ aku nemu warna. Kamu sibuk bikin garis lurus, sampai lupa lihat pelangi.”

Kalimat itu menghantam lebih keras daripada cat yang tercecer.

Siska terdiam, tapi dalam hati mendidih. “Jadi menurutmu aku salah karena perfeksionis?”

“Aku nggak bilang salah. Aku cuma bilang… beda.”

Jawaban singkat itu justru bikin hening makin tebal.

Hari itu rumah terasa seperti ruang tunggu rumah sakit—sunyi, penuh ketegangan tak terucap.

Siska sibuk melipat baju dengan ekspresi dingin. Setiap kali menutup lemari, suaranya terdengar lebih keras dari biasanya. Bara mencoba bersiul sambil mengepel lantai, tapi jelas-jelas ia sedang menahan rasa bersalah.

Menjelang sore, Siska berdiri di depan pintu dengan tas belanja. “Aku mau ke minimarket. Kamu nggak usah ikut.”

Bara mengangkat alis. “Mau aku anterin sekalian?”

“Enggak usah.” Suaranya singkat, ketus.

Namun sebelum keluar, Siska sempat menoleh sebentar. “Tolong bersihin catnya beneran. Jangan cuma janji.”

Bara menunduk, lalu mengangguk. “Siap, Bos Arsitek.”

Di minimarket, Siska merasa sedikit lebih lega. Ia mendorong troli, mengisi kebutuhan dasar: telur, beras, sayur, susu. Namun begitu sampai di kasir, suara familiar menyapanya.

“Oh, Siska! Lagi belanja sama suami ya?” Suara itu datang dari Bu Rani, tetangga yang terkenal hobi gosip.

Siska terpaksa tersenyum. “Iya Bu, lagi belanja.”

“Lho, mana suaminya? Kok sendirian?” Bu Rani menyipitkan mata.

“Dia… di rumah. Lagi bersih-bersih.”

“Wah, hebat sekali! Suami zaman sekarang jarang mau beberes. Untung kamu dapat yang begitu.”

Siska hanya mengangguk, menahan tawa getir dalam hati. Kalau Bu Rani lihat kondisi rumah tadi pagi, mungkin malah langsung pingsan.

Sementara itu, di rumah, Bara benar-benar berusaha membersihkan lantai. Ia menggosok keras-keras, tapi salah ambil kain: pakai lap putih kesayangan Siska. Hasilnya? Lap berubah jadi abstrak penuh warna.

“Ups.” Bara menggigit bibir, lalu cepat-cepat menyembunyikan lap itu di keranjang cucian.

Ia juga mencoba memperbaiki rak buku yang kemarin rebah. Kali ini ia lebih hati-hati, pakai obeng dan sekrup baru. Hasilnya lumayan… meski tetap sedikit miring. “Nggak apa-apa, seni juga nggak selalu simetris,” gumamnya.

Ketika Siska pulang dengan kantong belanja, rumah sudah jauh lebih bersih dari yang ia bayangkan. Cat di lantai menghilang (walau kalau diperhatikan masih ada samar-samar noda biru). Rak buku berdiri kembali, meski condong tiga derajat ke kanan.

Di meja makan, ada dua piring nasi goreng sederhana. Bara berdiri dengan tangan belepotan minyak, wajah penuh harap.

“Chef kontrak melapor. Menu malam ini: nasi goreng setengah gosong, tapi penuh cinta.”

Siska meletakkan belanjaan, menatap piring itu lama. “Aku udah bilang jangan masak aneh-aneh, kan?”

“Ini nggak aneh. Nasi goreng itu universal. Dari mahasiswa kos sampai presiden juga suka.”

Siska menghela napas, lalu duduk. Ia mengambil sendok, mencicipi satu suapan. Rasanya asin berlebihan, tapi hangat. Bara menunggu ekspresinya dengan tegang.

“Hmm… bisa dimakan.”

Bara langsung mengangkat tangan ke udara. “Yes! Itu artinya enak banget versi kamu.”

Siska tak tahan, akhirnya tertawa kecil. Ketegangan sejak pagi mulai mencair.

Mereka makan sambil ngobrol ringan. Bara bercerita tentang ide lukisannya, bagaimana cat biru itu terinspirasi dari langit setelah hujan. Siska menggeleng sambil tersenyum.

“Kamu tuh bisa ya, dari langit mendung aja nemu inspirasi.”

“Ya, itu bedanya kita. Kamu lihat hujan, langsung mikir banjir. Aku lihat hujan, mikir warna.”

Siska tertawa kecil, mengakui kebenaran kata-katanya. “Tapi banjir tetap masalah serius, Bar.”

“Betul. Tapi kalau terus mikirin masalah, hidupmu cuma jadi catatan rapat. Sesekali nikmatin warnanya juga, Sis.”

Siska menatapnya diam-diam. Kadang ucapan Bara terdengar konyol, tapi sering kali justru menyimpan makna dalam.

Sebelum tidur, Siska sempat melirik kanvas di ruang tamu. Lukisan itu sederhana—sapuan warna biru, kuning, merah yang tampak acak. Tapi saat diperhatikan lebih lama, ada bentuk samar dua cangkir teh berdampingan.

Siska mendekat, bibirnya terangkat pelan. “Bara, ini… teh kita kemarin malam?”

Bara yang sudah tiduran membuka mata setengah, tersenyum. “Ya. Tuh kan, kamu juga bisa lihat pelanginya kalau berhenti ngotot bikin garis lurus.”

Siska mendengarnya, lalu mematikan lampu. Ia berbaring di samping Bara, dengan hati yang sedikit lebih ringan.

Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia merasa beruntung rumahnya tidak selurus garis yang selalu ia gambar. Karena mungkin, dalam sedikit berantakan itu, ada warna yang diam-diam ia butuhkan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 6 - Persiapan dan Kekacauan Pameran

    Pagi itu, Siska sedang menyesap kopi di dapur kontrakan kecil mereka. Cahaya matahari menembus tirai tipis, menerangi meja kecil yang penuh dokumen. Dia mencoba menenangkan diri sambil menyusun agenda hari ini.Tiba-tiba, Bara masuk dengan ransel besar penuh kanvas, rambut acak-acakan, mata berbinar penuh semangat.“Sis… aku dapat ide super keren! Kita harus bikin pameran minggu ini!” serunya sambil menatap Siska.Siska menahan napas. “Bara… serius? Kamu baru bangun, belum sarapan, dan sekarang mau bikin pameran? Rumah kontrakan ini saja sempit, apalagi siapa yang bakal ngerjain semua persiapan?”“Tenang, Sis. Aku bisa handle semuanya! Hanya perlu beberapa hari, dan aku janji bakal menyenangkan,” jawab Bara sambil tersenyum lebar.Siska mendesah panjang. “Handle semuanya? Rumah ini saja sudah penuh kekacauan karena idemu minggu lalu.”Bara mengangkat bahu. “Makanya kita pergi ke galeri yang aku sewa. Lebih luas, aman, dan bisa dipakai tiga hari penuh. Kita bisa mulai sekarang kalau ma

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 5 - Pertengkaran Sepele, Senyum Diam Diam

    Sabtu pagi biasanya jadi hari emas bagi Siska: bangun jam tujuh, bikin kopi hitam, beberes rumah, lalu lanjut belanja bahan makanan mingguan. Semua harus tertata rapi, seperti checklist proyek yang disusun dengan timeline ketat.Tapi pagi itu, begitu membuka pintu kamar, Siska tertegun. Ruang tamu sudah berubah jadi studio seni dadakan. Ada kanvas besar di tengah, cat berwarna biru, merah, kuning tercecer di lantai, kuas-kuas berbaring sembarangan seperti habis perang. Dan di tengah kekacauan itu, berdirilah Bara Aditya Pratama—kaus putihnya penuh bercak warna, rambut awut-awutan, wajahnya ada noda biru di pipi kanan.“Bara…” suara Siska langsung naik satu oktaf. “Ini kenapa ruang tamu jadi TK seni rupa?”Bara menoleh santai, tersenyum lebar. “Selamat pagi, Ibu Arsitek! Aku lagi dapat inspirasi, harus langsung dituangkan. Kalau ditunda, bisa hilang.”Siska memijit pelipis. “Inspirasi atau penyakit chaos? Ini lantai keramik, Bar, bukan kanvas tambahan.”“Tenang, gampang dibersihin. Lan

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 4 - Memulai Dengan Warna

    Pagi itu Siska bangun dengan perasaan agak lebih ringan. Mungkin karena semalam sempat ketawa bareng Bara gara-gara listrik mati. Entahlah. Tapi yang jelas, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mendadak ini, dia bangun tanpa merasa ingin lempar bantal ke wajah suaminya. Sayangnya, ketenangan itu nggak bertahan lama. Karena Bara masih tidur ngorok dengan pose mirip bintang laut di ranjang. “Bara…” Siska menepuk lengannya. Nggak ada respons. “Bara!” Kali ini lebih keras. “Hmm… apaan, Sayang…” jawab Bara setengah sadar, sambil meraih guling dan memeluknya erat-erat. Siska mendengus. “Bangun. Aku harus ke kantor.” Dengan mata setengah merem, Bara nyengir. “Ya udah. Hati-hati, jangan jatuh cinta sama bos gantengmu.” Siska terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru mengambil tas. “Mimpi aja lo.” Tapi wajahnya sedikit panas entah kenapa. Di kantor, suasana jauh berbeda. Rapat besar sedang berlangsung. Siska berdiri di depan proyektor, mempresentasikan desain gedung baru. Semua mat

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 3 - Gosongnya Cinta, Warna Warni Rahasia

    Jam tujuh lewat lima belas. Itu artinya Siska sudah terlambat lima belas menit dari jadwal idealnya sendiri. Untuk ukuran arsitek perfeksionis, ini bencana level merah.Ia terlonjak bangun, buru-buru cuci muka, dan langsung panik ketika mencium bau… gosong.“Bar—A—!” teriak Siska sambil lari ke dapur.Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah:Bara, dengan celemek bergambar kartun ayam, sedang panik mengipas-ngipas asap hitam dari wajan.“Tenang! Ini masih bisa diselamatkan! Tingkat kematangan ekstra crispy!” katanya sambil berusaha membalik sesuatu yang bentuknya lebih mirip arang daripada telur.“Ya ampun, Bara! Itu telur, bukan batu bara!” Siska nyaris teriak sambil menutup hidung.Bara nyengir tanpa dosa. “Namanya juga sarapan cinta. Aku masak biar kamu nggak telat.”“Kalau sarapannya bikin aku keracunan, gimana?”“Ya kan aku bisa antar kamu ke IGD. Romantis, kan?”Siska menepuk kening. Mau marah tapi percuma. Mau ketawa juga gengsi.Akhirnya ia cuma duduk sambil menghela napas

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 2 - Antara Rapat Serius dan Cat Tumpah

    Pagi hari di rumah kontrak baru, Siska sudah berdandan rapi. Blazer abu-abu, rambut disanggul sederhana, wajah serius. Perfeksionis, seperti biasa. Ia baru saja menyambar tas kerja ketika Bara muncul dari dapur—masih pakai celana training, kaus oblong belel, dan rambut yang jelas belum disentuh sisir. “Eh, pagi, Bu Arsitek Perfeksionis!” sapa Bara riang. “Pagi, seniman gagal,” balas Siska ketus. Bara nggak tersinggung sama sekali. Malah nyodorin bekal kotak makan warna pink bergambar unicorn. “Nih, aku buatin bekal. Nasi goreng seadanya, tapi penuh cinta.” Siska melirik curiga. “Ini aman dimakan? Atau ada minyak kayu putih lagi?” Bara ngakak. “Tenang, kali ini aku belajar dari video masak lima menit. Dijamin edible.” Siska akhirnya menerima bekal itu. Dalam hati, ia sedikit terharu—walau mulutnya tetap ketus. “Kalau aku keracunan di kantor, aku bakal hantui kamu.” “Yaudah, biar aku jadi penjaga makan siangmu di alam baka,” jawab Bara sambil cengar-cengir. Di ka

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 1 - TANPA BA BI BU NIKAH YU !!!

    Buat Siska, hidup itu seperti rancangan arsitektur. Semuanya harus presisi, rapi, dan sesuai aturan. Bangun pagi → kopi hitam tanpa gula → kerja → pulang → tidur. Tidak ada ruang untuk kejutan. Sayangnya, hidup hari itu menamparnya dengan penggaris baja. Siska baru pulang kantor, wajahnya lelah, rambut dicepol ketat, kemeja putihnya penuh lipatan lembur. Pikirannya cuma satu: mandi air panas, teh hangat, lalu tidur. Tapi begitu membuka pintu rumah, ia malah mendapati ruang tamu penuh manusia. Bukan sembarang manusia, tapi keluarga besarnya sendiri. Ada tante Rina yang hobi gosip, om Asep yang sok tahu, sepupu-sepupu yang heboh selfie, dan tentu saja ibunya—duduk di kursi utama dengan wajah penuh strategi licik. “Surprise!” teriak mereka. Siska langsung refleks mundur setengah langkah. “Surprise… apa? Aku ulang tahun bukan, kan?” Ibunya tersenyum. Senyum yang terlalu manis untuk ukuran manusia normal. “Nak, hari ini kamu resmi menikah.” Siska hampir keselek ludah sendiri. “…A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status