Home / Romansa / TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!! / Bab 7 - Tiba tiba ada Bara

Share

Bab 7 - Tiba tiba ada Bara

Author: Justmty
last update Huling Na-update: 2025-09-24 19:48:05

Pagi itu kantor arsitektur tempat Siska bekerja sudah seperti kapal karam. Printer meraung tanpa henti, kertas-kertas berserakan di meja besar, dan para staf muda tampak mondar-mandir dengan wajah panik. Deadline satu minggu selalu jadi kombinasi mematikan: kopi tak habis-habis, perut sering terlupakan, dan kesabaran meledak-ledak.

Di tengah kekacauan itu, Siska duduk di mejanya dengan ekspresi fokus yang hampir menakutkan. Rambutnya diikat seadanya, kacamata bertengger di hidung, dan tangannya sibuk menggambar detail interior di layar laptop.

“Kalau garis ini ditarik sedikit ke kiri, sirkulasi ruangnya lebih lega… tapi nanti meja makan kepentok jendela,” gumamnya sambil menggerakkan kursor.

Di meja seberang, juniornya, Anya, berbisik pada temannya, Juno. “Kalau Mbak Siska lagi mode serius, jangan sekali-kali ngajak bercanda. Nyawa bisa melayang.”

Juno menahan tawa. Tapi sebelum mereka sempat menunduk kembali ke monitor, pintu kantor tiba-tiba berderit.

Masuklah seorang pria dengan kemeja motif bunga mencolok, celana jeans belel, dan sketchbook lusuh di tangan. Rambutnya berantakan, tapi matanya berbinar penuh semangat.

“Selamat pagi, arsitek-arsitek penuh tekanan!” seru Bara dengan suara lantang.

Seluruh ruangan mendadak hening. Semua kepala menoleh.

Siska menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Tuhan, bukan sekarang…”

Bara melangkah masuk dengan penuh percaya diri. “Aku bawain croissant hangat buat kalian! Siapa cepat dia dapat!” katanya sambil mengangkat kantong kertas.

Anya langsung berbisik ke Juno, “Eh, itu siapa sih? Kok kayak karakter drama indie yang nyasar?”

Juno melirik sebentar. “Itu… suaminya Mbak Siska, kayaknya.”

Anya melotot. “Serius? Mbak Siska kan super rapi dan perfeksionis. Kok suaminya… ya… begitulah?”

Siska langsung menoleh tajam. “Hei! Jangan kepo. Balik kerja!”

Bara malah menimpali dengan gaya santai, “Nggak apa-apa, Sis. Mereka cuma kaget aja kamu bisa jatuh hati sama tipe nyentrik kayak aku.”

Seisi kantor cekikikan, sementara Siska ingin menenggelamkan diri ke dalam monitor.

Siska berdiri dengan gerakan cepat, menyeret Bara ke balkon kecil kantor. “Bara! Kamu ngapain ke sini? Ini kantorku!”

Bara mengangkat bahu. “Aku pikir kamu pasti lupa sarapan. Kalau arsitek lapar, nanti gedungnya roboh.”

Siska menatapnya tajam. “Ini bukan rumah kontrakan. Kamu nggak bisa sembarangan masuk.”

Bara mencondongkan tubuh, senyum jail. “Tapi kamu makan croissant kan?”

Siska mendesah, lalu meraih satu dari tangannya. “Aku makan. Habis itu kamu pulang.”

Bara terkekeh. “Sip. Misi berhasil.”

Siang itu, datanglah klien besar mereka: Maya. Seorang perempuan muda dengan gaya fashion majalah, bicara cepat, dan tatapan kritis yang bikin semua orang keringat dingin.

“Jadi begini, Siska. Konsep kafe kemarin bagus… tapi kurang instagramable,” katanya sambil menaruh tas designer di kursi.

Siska sudah terbiasa dengan klien perfeksionis, tapi Maya levelnya beda. “Baik, Mbak Maya. Jadi… ingin ada tambahan elemen dekoratif?”

“Bukan cuma dekoratif. Aku mau orang datang ke kafe ini, foto di setiap sudut, lalu viral. Ada mural juga, tapi muralnya harus unik. Jangan mural bunga-bunga standar. Harus wow!”

Siska mencatat cepat, jari-jarinya kaku. “Baik. Elemen mural, warna lebih berani…”

Sebelum ia selesai, suara lain tiba-tiba menyelusup.

“Mural? Wah, kebetulan saya muralis juga,” kata Bara santai—ya, Bara yang entah bagaimana sudah duduk manis di sofa ruang tunggu kantor.

Siska hampir menjatuhkan pena. “BARA?!”

Maya menoleh, matanya berbinar. “Kamu seniman?”

Bara mengangguk santai, membuka sketchbook lusuh. Halaman-halaman penuh coretan abstrak penuh warna tersaji. “Ini beberapa karyaku. Masih kasar sih, tapi punya jiwa.”

Maya menatapnya lama, lalu tersenyum puas. “Aku suka. Enerjik, beda, ada karakter. Kayaknya cocok untuk kafe saya.”

Siska merasa darahnya naik ke kepala. Tapi Maya sudah memutuskan.

“Kalau gitu, Siska, tolong masukkan karya dia ke konsep desain. Aku mau mural jadi focal point.”

“Baik, Mbak,” jawab Siska dengan suara tercekat.

Bara menyeringai lebar ke arahnya, seolah berkata: lihat, aku berguna juga kan?

Selesai meeting, Siska menyeret Bara ke pantry kantor.

“Bar! Kamu gila ya?! Ngapain tadi sok-sok jadi muralis di depan klien?”

“Aku emang muralis. Ya meski medianya biasanya tembok kos-kosan temen, tapi tetep mural, kan?” jawab Bara dengan wajah tak berdosa.

Siska menepuk keningnya. “Ini proyek serius! Kalau kamu gagal, aku yang kena semprot.”

Bara menaruh tangan di dada, ekspresi dramatis. “Tenang. Aku nggak akan bikin kamu malu. Aku bakal bikin mural yang bikin kafe itu jadi spot hits se-Jakarta.”

Siska ingin marah, tapi di lubuk hatinya ia tahu Bara punya bakat. Dan entah kenapa, kata-katanya terdengar meyakinkan.

Hari-hari berikutnya adalah kombinasi antara chaos, humor, dan sedikit tragedi kecil.

Hari pertama survei lokasi, Siska membawa dua stafnya: Anya dan Dimas. Mereka serius mengukur ruangan dengan laser meter, sementara Bara sibuk mengutak-atik meteran manualnya.

“Pak Bara, itu meterannya udah jadul. Sekarang ada laser,” kata Dimas sopan.

Bara menatap laser meter itu dengan ekspresi dramatis. “Ah… teknologi. Benda ini mungkin lebih akurat, tapi kehilangan romantisme. Dengan meteran manual, setiap sentimeter itu perjuangan.”

Anya nyaris ngakak. “Romantis apanya, Pak? Itu tadi hampir nyabet hidung sendiri.”

Siska menutup wajah dengan map, pura-pura tidak kenal.

Hari kedua, Bara bawa kaleng cat ke kantor. Sialnya, tutup kaleng longgar, dan beberapa tetes cat biru jatuh di lantai marmer.

“Bar! Ini kantor, bukan studio lukis!” bentak Siska.

Bara melihat jejak cat itu, lalu tersenyum santai. “Anggap aja aksen. Lantai ini sekarang punya karakter.”

Siska hampir melemparkan penggaris baja ke arahnya.

Hari ketiga, Bara mulai uji coba warna di papan kayu. Hasilnya? Tangannya belepotan seperti anak TK habis main finger painting.

Siska menatapnya dengan putus asa. “Aku nggak percaya klienku mempercayakan mural kafenya ke kamu.”

Bara menyeringai, menunjukkan tangannya yang penuh cat. “Tapi kamu percaya aku, kan?”

Siska diam. Tak mau menjawab, tapi senyum kecil tak bisa ia tahan.

Suatu sore lembur, ketika semua staf sudah tepar, Anya mengeluh, “Mbak Siska, aku nggak kuat lagi. Otakku sudah mirip beton basah.”

Sebelum Siska menjawab, Bara langsung berdiri. “Beton basah itu justru penting, Anya. Kalau kering, dia jadi pondasi kuat. Sama kayak kamu. Sekarang memang lelah, tapi sebentar lagi akan kokoh.”

Anya dan Dimas tertegun, lalu… tertawa.

“Gila, suaminya Mbak Siska filosofis juga ya,” kata Dimas.

Siska menggeleng. “Jangan terlalu dipikirin. Nanti kalian ikut-ikutan aneh.”

Tapi dalam hati, ia mengakui Bara berhasil menyuntik semangat.

Malam lembur itu, hanya tinggal Siska dan Bara di ruangan. Siska menatap layar laptop dengan mata lelah, sementara Bara duduk di kursi sebelah, menyeruput kopi.

“Kamu tahu nggak,” katanya pelan, “kalau kamu fokus banget gini, kamu kelihatan keren banget. Aku sampai nggak berani ganggu.”

Siska tersenyum tipis, pipinya memanas. “Kamu tetap ganggu sih, Bar.”

“Tapi gangguan yang bikin semangat, kan?” Bara menyeringai.

Siska pura-pura melotot. Tapi dalam hati, ia senang.

---

Hari presentasi pun tiba. Maya datang dengan ekspresi kritis khasnya. Siska memaparkan desain baru dengan tenang meski jantungnya berdegup cepat.

Kemudian Bara memperlihatkan sketsa mural finalnya: abstrak, penuh warna, dengan detail playful yang membuat dinding kafe tampak hidup.

Maya menatap lama, lalu tersenyum lebar. “Ini! Persis yang aku mau. Keren, beda, dan instagramable. Good job, Siska. Good job, Bara.”

Begitu Maya keluar ruangan, Siska langsung menoleh ke Bara. “Aku nggak tahu harus marah atau berterima kasih. Kamu bikin aku hampir mati stres, tapi hasilnya… bagus.”

Bara mengangkat alis. “See? Chaos + care. Itu paketku.”

Siska menutup wajah dengan tangan, lalu tertawa kecil. “Kamu memang gila, Bar. Tapi untuk kali ini… terima kasih.”

Bara menatapnya hangat. “Sama-sama, Sis. Kamu yang bikin aku kelihatan berguna.”

Mereka saling pandang, tawa kecil mengisi jeda sunyi. Untuk pertama kalinya, Siska merasa kehadiran Bara bukan sekadar kekacauan, tapi juga sesuatu yang mulai ia butuhkan.

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 36 - Kembali berjarak

    Hari-hari di Jakarta kembali berjalan seperti dulu — atau setidaknya, begitulah yang Siska coba yakini.Ia bangun pagi, membuat kopi tanpa gula, menyalakan laptop, lalu menatap layar dengan mata setengah kosong. Rutinitasnya masih sama, tapi entah kenapa, semuanya terasa lebih hampa.Seolah ada sesuatu yang tertinggal di Bandung.Sesuatu bernama Bara.Pagi itu di kantor, suasananya lebih ramai dari biasanya. Proyek baru diluncurkan, dan tim desain tempat Siska bekerja harus menyiapkan materi promosi secepat mungkin. Lula, rekan sekantornya, melambai dari kubikel sebelah.“Eh, Sis! Kamu kayaknya glowing deh belakangan ini. Bandung effect, ya?”Siska tersenyum kecil. “Glowing capek mungkin. Di sana dingin, tapi kerjaan tetap kejar-kejaran deadline.”Lula menatapnya curiga. “Atau glowing karena seseorang?”“Apaan sih?” Siska meneguk kopi, pura-pura fokus pada layar.Lula hanya tertawa kecil, tapi tidak memaksa. Ia tahu Siska bukan tipe yang mudah cerita — terutama kalau soal hati.Namun

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 35 - Kembali dan Pergi

    Pagi di Bandung selalu punya cara membuat orang ingin diam. Embun di jendela, aroma kopi, dan suara langkah kecil di dapur. Bara bangun lebih awal dari biasanya — bukan karena alarm, tapi karena bunyi panci dari arah dapur.Ia keluar dari kamar dan menemukan Siska sedang berdiri di sana. Rambutnya berantakan, kaosnya kebesaran, dan ia sedang menatap panci air mendidih dengan ekspresi bingung.“Airnya udah mendidih, tapi aku lupa mau bikin apa,” katanya tanpa menoleh.Bara tertawa kecil. “Klasik. Mau aku bantu?”Siska mengangguk, lalu menyerahkan sendok padanya. “Terserah deh. Asal jangan bikin kopi gosong lagi.”“Aku tersinggung, tau,” jawab Bara pura-pura serius.Tapi dalam diam, hatinya hangat — seperti pagi itu menertawakan keanehan mereka berdua.Mereka sarapan mi rebus dan roti seadanya. Tidak banyak bicara, tapi nyaman. Kadang Siska tertawa kecil melihat ekspresi Bara yang terlalu serius menyiapkan telur, kadang Bara hanya memperhatikan caranya memutar sendok di cangkir — kebias

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 33 - Kangen pasti

    Pagi Bandung terasa berbeda sejak Bara menetap di sana. Tidak ada lagi suara sendok beradu dengan gelas yang biasa mengiringi pagi-pagi mereka di kontrakan Jakarta. Tidak ada juga keluhan Siska tentang roti gosong atau tumpukan cucian.Yang ada cuma suara kendaraan lewat dari jalan kecil depan rumah, bercampur dengan angin dingin dan aroma kopi instan yang Bara seduh asal-asalan.Ia duduk di meja kayu kecil yang sekarang jadi ruang kerjanya. Laptop terbuka, tapi pikirannya tidak di layar. Lukisan setengah jadi di dinding menatapnya balik — seperti menunggu sesuatu yang tak pernah selesai.Sejak seminggu terakhir, komunikasi dengan Siska mulai terasa... berbeda. Masih ada chat, masih ada telepon singkat, tapi tidak lagi sepanjang dulu. Kadang Siska sibuk rapat, kadang Bara pura-pura sibuk juga. Padahal, diam di antara mereka justru lebih berisik daripada percakapan apa pun.> Siska: “Hari ini hujan lagi di Jakarta.”Bara: “Sama di sini. Bandung juga lagi abu-abu.”Siska: “Cocok sama mo

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 32 - Bandung dan Kamu

    Sudah hampir dua bulan sejak Bara berangkat ke Bandung.Awalnya, Siska pikir ia akan terbiasa. Tapi ternyata tidak.Rumah itu makin lama makin terasa seperti ruang tunggu: dingin, rapi, tapi kosong.Setiap pagi, ia masih membuat dua gelas kopi — kebiasaan bodoh yang sulit ia hentikan.Satu untuknya, satu lagi tetap di meja. Dibiarkan dingin, lalu dibuang menjelang siang.Suatu pagi, Lula mengetuk pintu apartemennya tanpa aba-aba, membawa dua cup kopi dan ekspresi penasaran.“Gila, Sis. Kamu udah kayak zombie. Mata panda-nya parah banget,” katanya sambil masuk seenaknya.Siska mendengus. “Salah sendiri datang pagi-pagi.”“Pagi apanya, ini udah jam sembilan. Kamu belum ke kantor?”“Kerja remote, deadline minggu depan.”Lula duduk di sofa, menatap sekeliling. “Sejak Bara ke Bandung, rumah kamu kayak museum. Sepi banget.”“Emang dia ribut banget ya dulu?”“Enggak juga. Tapi tanpa dia, kayak ada suara yang hilang.”Siska menatap temannya lama. “Lu ngomongnya kayak orang yang ngalamin langs

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 31 - Jarak yang tak Terlihat

    Sudah hampir tiga minggu Bara di Bandung.Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah — meski cuma kontrak — rumah terasa benar-benar sunyi buat Siska.Biasanya, pagi-pagi sudah terdengar suara Bara di dapur, bernyanyi sumbang sambil menumis telur. Sekarang yang terdengar hanya suara air dari keran dan notifikasi email yang terus berdenting.Siska menatap kursi makan di seberang. Masih kosong. Cangkir kopi pun tetap bersih karena tak ada yang meminumnya selain dia.Ia mendesah pelan, lalu membuka ponsel.Ada satu pesan dari Bara semalam.> “Hari ini aku ke luar kota sebentar, bantu set pameran. Jangan lupa makan ya.”Pesan itu dikirim pukul 23.17.Siska baru membacanya sekarang — pukul 07.42.“Telat banget aku balas,” gumamnya kecil sambil mengetik balasan cepat:> “Jangan kecapekan. Hati-hati di jalan.”Jari-jarinya sempat ragu sebelum menekan send.Aneh. Dulu mereka ngobrol tanpa mikir. Sekarang, setiap kata terasa harus dipertimbangkan.Siang harinya di kantor, Siska berusaha fo

  • TANPA BA BI BU HEY NIKAH YU!!!   Bab 30 - Hari Pembukaan

    Bandung, Sabtu pagi.Udara masih sejuk, tapi perut Bara terasa nggak tenang. Ia sudah bangun sejak subuh, muter-muter di apartemen kayak setrika rusak. Kaos putihnya sudah diganti tiga kali—bukan karena kotor, tapi karena tangannya nggak bisa diam.Di galeri, semua sudah siap. Lampu-lampu dipasang, lukisan digantung, lantai dibersihkan sampai kinclong. Semua karya yang ia buat selama dua bulan terakhir berjajar rapi: potret, sketsa, mural mini. Tapi satu dinding kosong di sisi kanan ruangan masih tanpa bingkai.Di situ seharusnya lukisan terakhirnya dipasang — yang berjudul “Ruang Tengah”.Masih terbungkus kain. Bara belum siap membukanya.Satu-satunya orang yang tahu isi lukisan itu cuma dia. Dan Siska… seharusnya.Ia menatap jam di pergelangan tangan. 10.17.Pembukaan dimulai jam sebelas.“Mas Bara, tamu undangan mulai datang, ya,” kata Rafi, panitia sekaligus teman lamanya, sambil menghampiri. “Lo tenang aja, semua beres. Bahkan media lokal juga udah standby.”Bara mengangguk. “Tha

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status