“Alhamdulillah, sekarang aku ada kerjaan. Nggak mengganggur lagi. Yah, meskipun belum tahu akan hasilnya nanti, yang terpenting sekarang berusaha terlebih dulu," Malika melonjak senang ketika Data D yang dienter menampilkan deretan judul novel dan tulisannya. Ia mencoba klik beberapa judul dan menampilkan layar word yang lengkap dengan deretan kata. Ia makin girang. “Ini banyak sekali novelnya Ibu. Nggak dikirim ke penerbit aja, Bu. Atau flatform online. Saya juga berlangganan novel online.” “Iya, rencananya begitu. Ini cerita lama semua. Sudah dua tahun aku nggak nulis. Sibuk ngurusin bisnis kosmetik, tapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Malik memalingkan muka menghadap Adam. Kedua matanya berkedip-kedip sayu. "Eemm... sedihnya, uangku dua milyar yang kupasok ke sana baru kembali tiga ratus juta. Itupun sudah habis buat modal menanam pohon sengon. Umurnya baru lima belas bulan. Perlu waktu sepuluh tahun lagi baru panen." Tanpa diminta Malika mengunkapka
Uai salat magrib Malika keluar rumah untuk membeli makan. Begitu membuka pintu, tatapan Malika segera menyapu ke halaman rumah. Kali pertama yang dituju adalah gerobak motor yang menjual kopi dan gorengan. Mangkal sebelum pintu masuk ke lorong, tepat di depan kantor perhutani. Jika pagi hari sampai sore mangkal di seberang jalan. Malamnya baru pindah ke sini. Tinggal mendorong gerobaknya. Bapak penjual kopi sibuk melayani pembeli yang berjubel, dibantu putri cantiknya yang menjadi daya pikat tersendiri bagi pembeli. Namun jika malam begini sang anak jarang ikut. Istrinya yang sering membantu. Tepat di sebelahnya ada penjual jagung bakar dan kacang rebus. Beberapa lelaki berselimut sarung duduk menikmati kopi dan jajanan. Mereka duduk lesehan di atas karpet yang digelar tidak jauh dari teras kantor perhutani. Penjual kopi yang menyediakan karpet itu. Seperti biasa dibarengi obrolan seru. Canda tawa sesekali terdengar membahana. Logat Surabaya dan Madura te
Sementara itu di dalam rumah, Malika yang ketakutan langsung mengecek semua pintu dan jendela. Memastikan semua sudah terkunci rapat. Selesai di lantai bawah, Malika pun ke lantai atas. Mengintip keluar lewat celah kelambu. "Takutnya lelaki itu bersembunyi di balkon atas. Oohh, syukurlah..." Malika bernafas lega melihat kondisi balkon kosong dan sunyi. Dirasa telah aman, Malika berbalik untuk kembali ke bawah. Namun, langkahnya mendadak terhenti di depan kamar satu-satunya di lantai atas ini. Pijar lampu neon 20 watt terlihat di bawah pintu. Lampu kamar itu sengaja dibiarkan terus menyala untuk mengurangi kesuraman dan aroma seram rumah ini. Tahu sendiri jika rumah lama dibiarkan kosong. Makluk halus dengan senang hati akan menempatinya. Hanya sekali Malika masuk ke dalam kamar untuk membersihkannya. Ruangan yang cukup luas berukuran 4x5 meter dilengkapi kamar mandi dalam dan shower air panas. Ada kompor listrik dan alat-alat makan lainnya. Tidak
“Ya Allah, gimana jika orang itu hendak mencelakaiku? Bisa-bisanya menyelibap masuk ke rumah orang jika tidak ada maksud jahat ? “ Malika mondar-mandir di dalam kamarnya. Sesekali tangannya memegang gagang pintu, lantas dilepaskan kembali. Batinnya berkecamuk. "Jika panggilan telpon itu berasal dari putraku Rona, alangkah menyesal aku nanti." Malika tidak ingin kehilangan moment mengobrol dengan Rona yang hanya seminggu sekali mendapat jatah nelpon dari pondok. Dan biasanya ada aja pengumuman penting yang akan disampaikan oleh putra bungsunya itu. Berpikir ke arah sana, Malika menarik nafas panjang dan menegakkan bahunya yang terkulai. Harus berani. Ia pun membuka pintu dan terbirit-birit berlari ke ruang tamu. Mengambil ponsel yang terus berisik dan berdiri dekat jendela di samping pintu depan. Tangan kanannya reflek memegang gagang pintu. Tahu kan maksudnya. Jika nanti muncul orang jahat dari dalam rumah, dirinya bisa langsung kabur keluar. Jujur
" Sesungguhnya, sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Sesudah gelap malam pasti terbit cahaya mentari" Sepenggal kata mutiara dari ponsel mengalun merdu, menemani kesendirian Malika. Pagi itu ia berdiri di balik jendela lantai atas, menghadap ke timur. Sinar matahari mulai memancar redup. Menyentuh wajah Malika yang mulai terlihat tirus. Ekor matanya tidak lepas dari kamar yang pintunya tertutup rapat. Tidak terdengar suara orang atau aktivitas yang mencurigakan. Sepi dan tenang seperti biasa. Meskipun begitu, untuk berjaga-jaga dan melindungi diri, tangan kanan Malika telah menggenggam sebilah belati. “Benar. Sesudah gelap malam pasti akan terbit matahari. Namun tidak semudah itu menjalaninya. Seperti yang kurasakan saat ini,” keluh Malika dalam. Kali ini fokus perhatian Malika tertuju ke arah depan dan kiri. Pandanganya tidak leluasa, terhalang pilar balkon dan pagar kayu sebatas perut orang dewasa. Namun, udara dingin membuatnya malas keluar. Yah, m
"Penyakit para sopir. Kencing sembarangan!” keluh Adam. Dari sudut matanya, Adam tahu Malika yang baru muncul dari dalam rumahnya turut memperhatikan si Jabrik. Seperti halnya ia, Malika buru-buru memalingkan muka melihat si Jabrik mulai ancang-ancang membuka celana. Kaum lelaki aja jengah melihat pemandangan itu, apalagi kaum Hawa. “Mbok sesekali digigit semut atau dipatuk burung gitu, biar kapok,” runtuk Adam sebal. Menatap Malika yang berjalan ke arahnya. Membawa kripik pisang dan tempe masing-masing dua bungkus. "Boleh dihabiskan kok" kata Malika sembari menaruh kripik di samping nampan. Adam dan kawan-kawan sudah berkumpul dan menikmati kopinya masing-masing. "Ibu tahu aja kesukaan kita," clemong Arul. Tanpa disuruh kedua kali, anak-anak muda itu berebut mengambil kripik. Malika hanya tersenyum. Mengambil ketela dan duduk di samping Adam. Kepalanya menunduk, sibuk mengupas kulit ketela. Sesekali menatap ketiga teman Adam yang tak ada habisnya bercerit
Begitu tiba di rumah, Malika langsung mengecek lagi ponselnya. Siapa tahu ada pesan masuk dari Darsih. Tetap saja masih centang satu. Didorong rasa penasaran, Malika masuk kamar dan meraih tas slempang warna coklat di atas meja. Selama ini, tas kulit sebesar buku tulis itu biasa dibawa sama Malika dan Darsih belanja ke pasar atau warung. Setiap harinya nyantol di belakang pintu dapur. Siapa saja bisa membukanya. Tidak ada barang berharga, selain nota belanja dan uang receh sisa belanja sehari-hari. “Aku punya hutang sama Darsih. Ah, anak itu makin keblinger saja. Yang ada selama ini dia yang sering kas bon. Apalagi kalau malam hari, Darsih ini sering menjelma jadi tuyul yang mengambil uang receh di dalam tas slempang. Buat jajan bakso atau siomay kesukaannya.” Tidak sabar Malika mengeluarkan semua isi tas. Siapa tahu menemukan harta karun yang lebih berharga. Uang yang tersimpan di dalamnya tidak banyak. Itu pun kebanyakan receh. Tapi lumayan juga, jumlahnya
Ni Putu Astari. Tubuhnya yang dahulu kecil mungil kini mengembang seperti kue donat kebanyakan permifan. Kedua belah pipinya dipenuhi flek hitam. Efek dari pemakaian KB suntik. Ini teman keempat yang dikunjungi oleh Malika. Putu Astari memiliki 2 anak. Lelaki semua. Sejak dahulu Putu Astari berjualan kue kering, usaha turun temurun yang dikelola keluarganya. “Malika... kamu ingat Wulan. Yang waktu nikahnya pinjam tempat di rumah Budhe Sun itu?” ungkap Putu usai keduanya bercerita tentang keluarganya masing-masing. “Iya, ingat. Yang jadi perawat itu kan?” “Kasihan dia sekarang. Sudah sakit kanker, eh ditinggal suaminya selingkuh.” Mendengar kata selingkuh, seketika jeri kembali menusuk dada Malika. Bayangan suaminya bermesraan dengan wanita lain berkelebat. Wanita yang belum diketahui sosoknya, namun mampu mengobrak-abrik perasaan Malika. Madina... “Ya Allah, kasihan sekali. Lagipula dia telah yatim piatu sejak SMP. Lantas, sekarang tinggal di ma