Share

BAB 08

   Pramono baru keluar dari lobi hotel, tempatnya meeting bersama pejabat Kementerian dari Jakarta. Usai meninjau loksi proyek gedung yang sedang digarapnya sekarang. 

     Sebagai direktur pelaksana tugas Pramono berada di lapangan. Dan selama ini Pramono lebih sering di sini, mengawasi langsung proses pembangunan gedung serba guna dua lantai yang sudah dimulai empat bulan lalu. Kini memasuki tahap pemasangan atap. 

    Usai pertemuan, para pejabat daerah membawa tamunya jalan-jalan ke daerah Batu dan Waduk Karangkates. Pramono mengantar sampai halaman hingga mobil dinas kabupaten itu meninggalkan hotel.

    Bergegas ia kembali ke lobi bagian samping. Menghampiri perempuan berjilbab yang duduk di pinggir balkon memandangi kolam renang.

    “Dik Dewii, eh Nana...  maaf ya, sudah menunggu lama!" serunya beberapa langkah sebelum menggapai kursi yang diduduki si perempuan. Entah berapa kali ia salah menyebut nama.

     Perempuan itu menoleh, tersenyum tipis ke arah pria yang berhenti di sampingnya. Ia sudah menunggu sejak tiga puluh menit yang lalu. 

      “Santai saja Mas. Pertemuan dengan pejabat lebih penting dari apapun.”

      “Yuk, langsung berangkat saja, sudah sore. Oh iya, sori, aku selalu salah sebut namamu. Yang kuingat, waktu di SMU dulu kamu biasa dipanggil Dewi.” Pramono menelusuri wajah anggun di depannya.

     Tidak terlalu cantik. Kalah jauh dari istrinya, Malika. Tubuhnya juga cenderung kurus. Namun keanggunan dan kelembutan yang membias pada wajahnya, memedarkan pesona yang luar biasa.

     Senyum dan tatapannya yang dijaga begitu luruh. 

     “Sama saja, Mas. Boleh Dewi, boleh Nana,” sahut Nana . “Oh iya, nanti pulang dari beli sayur mampir dulu ke pasar ikan.”

     Pramono tergagap. Segera melepaskan tatapan dari wajah Nana.

     “Boleh. Kemanapun kamu mau, aku antar. Itu juga bagian dari kebutuhan proyek. Lagipula aku juga ikut makan di sana,” Pramono menjawab diplomatis, mulai beringsut dari lobi menuju tangga.

     Nana menarik nafas panjang. Ada yang desiran halus mengaliri darahnya melihat tatapan itu.

     Rasa ge-er yang disertai segudang harap membuat langkahnya tertegun-tegun menekuri lantai. Tidak terasa jalannya mencong ke kanan mendekati sofa, bukannya lurus menuju anak tangga menuju tempat parkir.

     DUG. GEDEBRUK.  

     Tanpa ampun, kaki Hana tersandung koper kecil namun cukup keras dan padat. Tubuhnya yang ringan tumbang menelungkup ke depan dan tersampir di pinggiran sofa.

     Beberapa orang yang lalu lalang di sekitar lobi tertawa melihat cara jatuhnya. Wanita itu cepat bangkit dan memutar tubuh melihat sekeliling. Wajahnya merah menahan malu.

     “Seribu orang menertawaiku nggak masalah, asalkan jangan Mas Pram. Syukur, syukur dia tidak ada.”

 ***

    Tidak sengaja bertemu di lokasi proyek dua bulan lalu. Nana adalah adik kelas Pramono saat duduk di bangku SMU di daerah Tuban. Tidak terlalu akrab, hanya sesekali bertemu. 

     Nana mengaku hanya jalan-jalan, mengunjungi saudaranya. Seminggu kemudian mendatangi Pramono di proyek dan butuh pekerjaan. Ada tiga anak yang harus dipenuhi kebutuhannya. Mengaku telah bercerai dengan suaminya. Dan hanya memiliki ijasah SMU.

     Pramono sempat bingung mau memberi kerjaan apa, mandor proyek memberi usul menjadi tukang masak. Memasak untuk para pekerja biar nggak jauh-jauh beli.

    Pramono termangu. Tidak tega. Masak orang cantik, bersih dan seringkih ini hanya bekerja di dapur.

    “Jangankan masak, mengepel lantai atau mencuci baju para kuli saya bersedia, Mas. Asalkan uang yang dapat itu halal dan dapat saya kirim ke desa,” tegas Nana penuh harap dan percaya diri. Tidak ada kesan malu atau minder.

    Melihat kekukuhan Nana, Pramono akhirnya menyetujui.

    Dua hari setelah ia melamar, Nana mulai bekerja sebagai tukang masak di mess. Uang makan pekerja sebanyak 20 orang dioper kepada Nana. Akan tetapi, Nana tidak ikut tidur di mess sementara yang dibangun dekat proyek. Sangat riskan dan tidak aman. Ia tinggal di kos-kosan yang berjarak 200 meter dari mess.

    Ternyata masakan Nana cukup enak, bersih dan bervariatif. Semua karyawan puas.

     “Padahal sayur asem ini sama bumbunya, kok lain ya rasanya sama yang dimasak istriku. Ada gurih-gurihnya gitu," puji Pramono.

    “Sotonya juga lezat. Soto kas Lamongan,” timpal Pak mandor yang penggemar soto. 

    Yang dipuji hanya tersenyum malu.

     “Pake bumbu rahasia apa, Mbak?” tanya mandor pensaran.

     “Mungkin diawali dengan doa. Mohon sama Allah semoga makanan ini membawa manfaat dan berkah,” jawab Nana merendah.

     Pramono dan mandor bersitatap. "Istri wajib dikasih tahu nih." cetus Pramono yang diiyakan sama si mandor

     Pramono memperhatikan Nana. Ia begitu menjaga diri, kehormatannya. Meskipun berada di tengah banyak laki-laki. Bicara seperlunya. Kadang guyon, tapi ya sekedarnya. Tidak berlebihan. Tidak ada materi jorok apalagi sampai bersentuhan.

    Bajunya selalu rapi. Meskipun memakai daster yang dinobatkan sebagai juara baju terfaforit emak-emak se-Indonesia, tetap sopan, rapi dan ditutup jilbab.

     Pramono mulai membandingkan dengan penampilan istrinya... Malika. 

     Astigfirullah. Darah tingginya sering kumat melihat penampilan istrinya di rumah. Ya, meskipun di dalam rumah, tapi banyak laki-laki bersliweran.

    Ada Heru sopirnya, Tukang kebun, belum lagi anak buah Pramono yang terkadang datang untuk membahas proyek.

***

    Sore itu Pramono mau mengantar Nana belanja sayur ke pasar Batu. Selain harganya murah, sayurnya lebih segar. Mereka ke sana seminggu sekali, kadang dua kali.

    Jika Pramono atau mandor lagi pulang ke rumah, Nana belanja di pasar kecil dekat proyek. Tapi jatuh harganya lebih mahal.

     Setelah menempuh perjalanan 20 menit, mobil Pramono sampai di pasar sayur Batu. Saat mobil memasuki area parkir, ada telpon masuk. Telpon biasa, bukan aplikasi warna hijau. Pramono melihatnya sekilas.

     “Pak Nok... ada apa ini? Tumben nelpon."

      "Dik Nana belanja dulu ya. Nanti kalau sudah selesai, telpon aku.” Pramono memeberikan amplop berisi uang kepada Nana. “Gajimu sudah dikasih kan?”

     “Inggih Mas, sudah.”

     Setelah menerima uang, Nana keluar mobil.

Wanita itu menarik nafas panjang. Berjalan memasuki area pasar sambil menggerak-geraknya kedua tangannya. Tubuhnya sakit semua, terutama lengan dan kaki. Setiap hari masak sendiri, dua kali sehari.

    “Baru sekarang ini aku bekerja berat seperti ini. Yah, demi anak-anakku. Ya Allah, terasa sekali susahnya mencari uang.”

    Nana membuka amplop begitu tiba di depan penjual sayur langganannya. Dihitungnya sebentar. 

    “Tiga juta. Alhamdulillah. Pak Pram selalu memberi lebih. Kali ini lebihnya satu juta."

Nana membayangkan enaknya jadi istri Pramono. Orangnya baik, sabar, dermawan. Di usia 40 tahunnya terlihat begitu matang dan berwibawa. 

     “Tapi tubuhnya agak kurusan, beda waktu ketemu di reuni tahun lalu. Beruntung sekali Malika punya suami seperti ini.”

    Selama dua bulan ini duduk di samping Pramono di dalam Pajero-nya, serasa diri sebagai nyonya. Dan ia tahu, sesekali Pramono melihatnya dari kaca depan. Hal itu membuat Nana menjadi malu dan kikuk.

    Sebenarnya ia lebih nyaman duduk di belakang, namun Pramono memaksanya duduk di depan.

    “Nanti kalau ketahuan Mba Lika pasti muka saya ditumblek pake sambel...” seloroh Nana suatu hari. Pramono tergelak mendengar ucapan Nana. 

     “Istriku bukan orang yang cemburuan,” tepis Pramono asal. 

     Dan Pramono terus memaksa peremuan berusia 38 tahun itu duduk di kursi depan. Apalagi kalau hari Minggu tidak ada mandor atau karyawan proyek yang ditakutkan akan membawa kabar ini kepada istrinya Pramono.

     Akhirnya Nana luluh dan menurut. Ia duduk di samping Pramono dan berdoa dalam hati. “Semoga jok empuk mendut-mendut dan bersih ini terus nempel di pantatku. Aamiinn...”

***

     Pramono keluar mobil dan duduk di bawah pohon cemara di pojokan parkir. Setiap hari pasar sayur ini selalu ramai. Hilir mudik mobil para petani mengangkut sayuran. Juga pembeli yang rata-rata memborong sayur untuk dijual lagi.

     “Tumben Pak Bon nelpon. Ada yang penting sepertinya,” Pramono memencet nomor tukang kebun di rumahnya.

     “Emm... anu Pak. Ituuu...” 

     “Maaf, bapak lagi butuh uang?”

     “Tiii-dak Pak. Bukan itu. Saya ituuuu... aduh. Itu, ijin tidak kerja. Mau keluar...”

     Pramono yang tidak sabar segera memotong ucapan Pak No, “Lho, kenapa bapak keluar? Terus bapak mau kerja apa? Di mana?”

     “Maksud saya... saya masih di Madura sejak seminggu yang lalu. Besuk belum bisa masuk kerja lagi. Gitu Pak. Mohon maaf.”

     “Ooohh... saya kira mau keluar dari pekerjaan. Iya Pak, tidak apa-apa. Njenengan nelpon langsung Bu Lika ya. Biar Bu Lika tahu dan tidak sewot nantinya."

     “Ing-giiihhh... Pak. Tapi, Bu Lika saya telpon tidak diangkat. Makanya sekarang saya hubungi Bapak, “ suara Pak Nok mulai lancar. 

     “Ooohh... Baiklah kalau begitu. InsyaAllah nanti saya sampaikan sama Ibu.”

     “Terima kasih, Pak. Asaalamualaikum.”

Pramono menjawab salam dengan geleng-geleng kepala. Batinnya begitu tersentuh.         

    “Hanya gitu saja, Pak Nok sampai ketakutan seperti itu.”

     Orang tua memang lebih tinggi tata kramanya. Lebih besar hormat dan pengabdiannya terhadap majikan dibandingkan dengan kebanyakan anak muda sekarang. Dan siapapun orangnya, pastilah senang dan terharu dirinya dihargai oleh orang lain.

      “Sudah Maaasss...! Apa lagi yang sampeyan mauuuu...? Tolong saya jangan diikut-ikutkan.”

      Suara yang bergaung dari ponselnya membuat Pramono tersentak. Suara Pak Nok masih terdengar sangat jelas. Merintih histeris bagai menyimpan ketakutan dan bingung.

     Reflek. Pramono mengangkat tangan yang menggenggam ponsel. Tatapannya yang sempat dialihkan menikmati pemandangan bukit berkabut di sampingnya kembali melihat layar. Ternyata ia belum mematikannya. 

     “Tugas Bapak belum selesaiiii.” Sahut suara Pria tak dikenalnya. Terkesan angkuh dengan nada menekan. “ Aahh... sialan.” 

KLING. Telpon dimatikan. Rupanya si pria baru sadar jika telpon belum dimatikan.

      “Astogfirullah. Ada apa ini? Siapa orang itu? Kenapa begitu kasar kepada Pak Nok?" gumam 

Pramono diselimuti syak prasangka. Mendadak khawatir dengan keselamatan Pak Nok. 

     Dengan wajah tegang dan tergesa Ia mencari nomor sang istri di ponselnya meskipun ia tahu tidak menyimpannya. Umm... Siapa tahu pernah ada pesan masuk dari istrinya, Mario atau ayah mertuanya. 

     “Kenapa juga kemarin ponsel satunya kutinggal di rumah. Jadi repot kalau ada masalah gini. Ya Allaaahhh... gimana ini?” keluh Pramono meruntuki dirinya sendiri. Jemarinya terus menscroll pesan dari atas ke bawah. Kemudian kembali ke atas.

     Ponsel yang sekarang ini dipegang khusus untuk urusan kerja. Baru dua bulan ia beli. Sebenarnya sudah ada rencana mau memasukkan nomor istri, ayah mertua, Darsih, Mario saudara di desa, tapi belum sempat.     

     Kini Pramono menyesal telah menunda-nunda hal penting. Bagaimanapun ia tetap butuh mereka. Tetap ingin tahu dan memantau keadaan keluarganya, terutama anak dan istrinya yang kerap kali ia tinggal.

     Khusus nomor Pak Nok. Pramono waktu beli ponsel baru ditemani tukang kebunnya itu sekalian membeli alat pemotong rumput.

    Nah, ketika di mobil itulah, Pramono langsung memasukkan nomor lelaki berusia 60 tahun  tersebut.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status