"Penyakit para sopir. Kencing sembarangan!” keluh Adam. Dari sudut matanya, Adam tahu Malika yang baru muncul dari dalam rumahnya turut memperhatikan si Jabrik. Seperti halnya ia, Malika buru-buru memalingkan muka melihat si Jabrik mulai ancang-ancang membuka celana. Kaum lelaki aja jengah melihat pemandangan itu, apalagi kaum Hawa. “Mbok sesekali digigit semut atau dipatuk burung gitu, biar kapok,” runtuk Adam sebal. Menatap Malika yang berjalan ke arahnya. Membawa kripik pisang dan tempe masing-masing dua bungkus. "Boleh dihabiskan kok" kata Malika sembari menaruh kripik di samping nampan. Adam dan kawan-kawan sudah berkumpul dan menikmati kopinya masing-masing. "Ibu tahu aja kesukaan kita," clemong Arul. Tanpa disuruh kedua kali, anak-anak muda itu berebut mengambil kripik. Malika hanya tersenyum. Mengambil ketela dan duduk di samping Adam. Kepalanya menunduk, sibuk mengupas kulit ketela. Sesekali menatap ketiga teman Adam yang tak ada habisnya bercerit
Begitu tiba di rumah, Malika langsung mengecek lagi ponselnya. Siapa tahu ada pesan masuk dari Darsih. Tetap saja masih centang satu. Didorong rasa penasaran, Malika masuk kamar dan meraih tas slempang warna coklat di atas meja. Selama ini, tas kulit sebesar buku tulis itu biasa dibawa sama Malika dan Darsih belanja ke pasar atau warung. Setiap harinya nyantol di belakang pintu dapur. Siapa saja bisa membukanya. Tidak ada barang berharga, selain nota belanja dan uang receh sisa belanja sehari-hari. “Aku punya hutang sama Darsih. Ah, anak itu makin keblinger saja. Yang ada selama ini dia yang sering kas bon. Apalagi kalau malam hari, Darsih ini sering menjelma jadi tuyul yang mengambil uang receh di dalam tas slempang. Buat jajan bakso atau siomay kesukaannya.” Tidak sabar Malika mengeluarkan semua isi tas. Siapa tahu menemukan harta karun yang lebih berharga. Uang yang tersimpan di dalamnya tidak banyak. Itu pun kebanyakan receh. Tapi lumayan juga, jumlahnya
Ni Putu Astari. Tubuhnya yang dahulu kecil mungil kini mengembang seperti kue donat kebanyakan permifan. Kedua belah pipinya dipenuhi flek hitam. Efek dari pemakaian KB suntik. Ini teman keempat yang dikunjungi oleh Malika. Putu Astari memiliki 2 anak. Lelaki semua. Sejak dahulu Putu Astari berjualan kue kering, usaha turun temurun yang dikelola keluarganya. “Malika... kamu ingat Wulan. Yang waktu nikahnya pinjam tempat di rumah Budhe Sun itu?” ungkap Putu usai keduanya bercerita tentang keluarganya masing-masing. “Iya, ingat. Yang jadi perawat itu kan?” “Kasihan dia sekarang. Sudah sakit kanker, eh ditinggal suaminya selingkuh.” Mendengar kata selingkuh, seketika jeri kembali menusuk dada Malika. Bayangan suaminya bermesraan dengan wanita lain berkelebat. Wanita yang belum diketahui sosoknya, namun mampu mengobrak-abrik perasaan Malika. Madina... “Ya Allah, kasihan sekali. Lagipula dia telah yatim piatu sejak SMP. Lantas, sekarang tinggal di ma
Sore itu, pulang dari sooting, Adam ke rumah Malika membawakan cas lap top baru yang dipesannya tempo hari. Usai memberikan cas dan menitipkan tas ransel hitam di ruang tamu. Adam keluar lagi dan duduk di teras memperhatikan warung kopi. Siapa lagi yang dilihat kalau bukan si gadis penjual kopi. Malika berdiri menyandar pada daun pintu, memperhatikan Adam dari samping. Wajahnya sumringah segar. Sepertinya habis mandi keramas melihat sebagian rambutnya masih basah. Hanya mengenakan kaos lengan panjang warna kuning dan celana training. Namun, apapun baju yang dikenakan selalu pas dan cocok dengan kulitnya yang kuning. “Namanya Widia Anggita...” cetus Malika. “Sana dah, pesan kopi. Mumpung nggak terlalu ramai.” “Sama Ibu ya?” rajuk Adam malu-malu. Seperti biasa sambil mengusap-usap rambutnya yang sudah rapi. “Lhah. Aku jadi obat nyamuk. Nggak sopan sekali kamu,” Malika pura-pura melotot marah. “Oke deh, nggak apa-apa. Karena kamu yang ngajak, jadi kamu yang
Malika masih mengiringi kepergian Anton yang melesatkan motor ke arah perkebunan jeruk. Dahinya mengeryit berpikir keras, mengingat-ingat di mana pernah melihat pemuda bersahaja itu. Jujur, sejak kali pertama bertemu di dalam gudang, Malika terus memikirkan Anton. “Pemuda itu sangat tertutup. Setiap kali kutanya tentang keluarganya, dia hanya menjawab... tidak ada yang istimewa, Bu. Kamu pernah nggak tanya tentang keluarganya?” “Eeemmm... tidak pernah. Karena setiap orang punya privasi dan masalah masing-masing yang orang lain nggak boleh tahu,” Adam menjawab dengan bijak. Sambil berkata begitu, sorot matanya memancar sayu. Malika tertegun. Sama seperti Anton, Adam juga terkesan misterius. Ekspresi wajahnya bisa dengan cepat berubah-ubah. Terkadang sumringah, penuh semangat, murung dan tertekan seperti saat ini. Sebuah mobil pik up yang berhenti tepat di depan rumahnya menarik perhatian Malika. Seorang pria bertubuh tegap keluar dari tempat sopir. “Heruuu.
Baru saja Malika usai salat Magrib, terdengar ramai-ramai di samping rumah. Suara langkah bercampur suara mengandung keprihatinan. Lewat jendela terdengar jelas. Suara beberapa orang laki-laki. Malika keluar rumah melongok ke samping rumah. Baru saja Malika menapak teras, muncul tiga pria yang diduga petani jeruk dari arah lorong. Yang membuat Malika kaget, mereka memapah tubuh seorang pemuda yang terkulai layu dengan mata terpejam. Kedua lengannya tersampir layu di atas bahu dua pria yang memapahnya. “Adaaammm...!” pekik Malika kaget. Mukanya lebam. Pelipis sobek mengeluarkan darah. “Bapak tadi nemu di mana?” “Tergeletak di depan Vila Liong,” jawab dua pria hampir bersamaan. “Tolong masukkan ke dalam rumah, Pak!” Malika berlari-lari masuk rumah. Tiga petani jeruk mengikuti langkah Malika hingga ke ruang tengah. Dengan sigap Malika menggeser meja di depan televisi. Menyediakan ruangan kosong agar mereka mudah menaruh Adam. “Sini, sini Pak. Ta
"Mas Pram, mbok nelpon tho Mas. Atau angkatlah telponku. Sekaliiii... saja. Seberapa marahnya kamu sama aku, seberapa jijiknya kamu sama aku, aku adalah ibu dari anak-anakmu...” PUK. Malika terperangah ketika kakinya ada yang menepuk. Siapa lagi kalau bukan Adam. Jemari pemuda itu masih menyengkeram ujung roknya. Wajah Malika yang bersimbah air mata tersenyum geli melihat sikap konyol Adam. Persis anak kecil takut ditinggal sendirian. Sekilas Adam membuka mata, menatap Malika redup. Bibirnya menggumamkan tiga kata. Lirih dan tersendat, “Buk, ada apa...?” Malika geleng-geleng kepala dan sibuk menghapus air mata dengan ujung jilbabnya. “Nggak ada apa-apa. Rindu sama anak,” jawab Malika tenang. Tidak ingin Adam melihat kesedihannya, tangan Malika mengusap kelopak mata Adam agar menutup kembali. Pemuda itu terjengit dan sekilas mengangkat wajah. Ajaib. Tak butuh waktu lama, Adam langsung tertidur. Suara dengkurannya terdengar tipis dan beraturan. Mungkin baru
Adzan isya mengumandang dari arah masjid desa Kintamani. Di antara kabut tipis dan dinginnya malam yang menusuk kulit, sepasang kaki melangkah menyusuri jalan setapak di tengah kebun jeruk. Tersendat-sendat. Sempoyongan, setelah hampir dua jam menempuh perjalanan kaki. Sebuah tas kain lusuh terayun-ayun di tangannya. Sandal jepit yang dikenakan sesekali lepas tali dari bolongannya. Gemas dan kesal, akhirnya ia lempar sandal itu ke tengah kebun jeruk. Toh, jalan raya sudah di depan mata. Jalan yang akan dilalui bakalan mulus. Tidak seperti jalan yang ditapaki sekarang, penuh dengan duri dan kerikil. “Kira-kira lima ratus meter lagi. Mudah-mudahan Bu'e ada di rumah. Kalau nggak ada, matilah aku.” Raganya yang lelah dan menahan lapar rasanya ingin roboh saja. Perutnya hanya kemasukan dua potong singkong rebus pagi tadi. Beberapa permen yang tersimpan di dalam saku celananya menolongnya dari kelaparan dan sedikit memberi energi pada tubuhnya. Begitu pula dengan