Sore itu, pulang dari sooting, Adam ke rumah Malika membawakan cas lap top baru yang dipesannya tempo hari. Usai memberikan cas dan menitipkan tas ransel hitam di ruang tamu. Adam keluar lagi dan duduk di teras memperhatikan warung kopi. Siapa lagi yang dilihat kalau bukan si gadis penjual kopi. Malika berdiri menyandar pada daun pintu, memperhatikan Adam dari samping. Wajahnya sumringah segar. Sepertinya habis mandi keramas melihat sebagian rambutnya masih basah. Hanya mengenakan kaos lengan panjang warna kuning dan celana training. Namun, apapun baju yang dikenakan selalu pas dan cocok dengan kulitnya yang kuning. “Namanya Widia Anggita...” cetus Malika. “Sana dah, pesan kopi. Mumpung nggak terlalu ramai.” “Sama Ibu ya?” rajuk Adam malu-malu. Seperti biasa sambil mengusap-usap rambutnya yang sudah rapi. “Lhah. Aku jadi obat nyamuk. Nggak sopan sekali kamu,” Malika pura-pura melotot marah. “Oke deh, nggak apa-apa. Karena kamu yang ngajak, jadi kamu yang
Malika masih mengiringi kepergian Anton yang melesatkan motor ke arah perkebunan jeruk. Dahinya mengeryit berpikir keras, mengingat-ingat di mana pernah melihat pemuda bersahaja itu. Jujur, sejak kali pertama bertemu di dalam gudang, Malika terus memikirkan Anton. “Pemuda itu sangat tertutup. Setiap kali kutanya tentang keluarganya, dia hanya menjawab... tidak ada yang istimewa, Bu. Kamu pernah nggak tanya tentang keluarganya?” “Eeemmm... tidak pernah. Karena setiap orang punya privasi dan masalah masing-masing yang orang lain nggak boleh tahu,” Adam menjawab dengan bijak. Sambil berkata begitu, sorot matanya memancar sayu. Malika tertegun. Sama seperti Anton, Adam juga terkesan misterius. Ekspresi wajahnya bisa dengan cepat berubah-ubah. Terkadang sumringah, penuh semangat, murung dan tertekan seperti saat ini. Sebuah mobil pik up yang berhenti tepat di depan rumahnya menarik perhatian Malika. Seorang pria bertubuh tegap keluar dari tempat sopir. “Heruuu.
Baru saja Malika usai salat Magrib, terdengar ramai-ramai di samping rumah. Suara langkah bercampur suara mengandung keprihatinan. Lewat jendela terdengar jelas. Suara beberapa orang laki-laki. Malika keluar rumah melongok ke samping rumah. Baru saja Malika menapak teras, muncul tiga pria yang diduga petani jeruk dari arah lorong. Yang membuat Malika kaget, mereka memapah tubuh seorang pemuda yang terkulai layu dengan mata terpejam. Kedua lengannya tersampir layu di atas bahu dua pria yang memapahnya. “Adaaammm...!” pekik Malika kaget. Mukanya lebam. Pelipis sobek mengeluarkan darah. “Bapak tadi nemu di mana?” “Tergeletak di depan Vila Liong,” jawab dua pria hampir bersamaan. “Tolong masukkan ke dalam rumah, Pak!” Malika berlari-lari masuk rumah. Tiga petani jeruk mengikuti langkah Malika hingga ke ruang tengah. Dengan sigap Malika menggeser meja di depan televisi. Menyediakan ruangan kosong agar mereka mudah menaruh Adam. “Sini, sini Pak. Ta
"Mas Pram, mbok nelpon tho Mas. Atau angkatlah telponku. Sekaliiii... saja. Seberapa marahnya kamu sama aku, seberapa jijiknya kamu sama aku, aku adalah ibu dari anak-anakmu...” PUK. Malika terperangah ketika kakinya ada yang menepuk. Siapa lagi kalau bukan Adam. Jemari pemuda itu masih menyengkeram ujung roknya. Wajah Malika yang bersimbah air mata tersenyum geli melihat sikap konyol Adam. Persis anak kecil takut ditinggal sendirian. Sekilas Adam membuka mata, menatap Malika redup. Bibirnya menggumamkan tiga kata. Lirih dan tersendat, “Buk, ada apa...?” Malika geleng-geleng kepala dan sibuk menghapus air mata dengan ujung jilbabnya. “Nggak ada apa-apa. Rindu sama anak,” jawab Malika tenang. Tidak ingin Adam melihat kesedihannya, tangan Malika mengusap kelopak mata Adam agar menutup kembali. Pemuda itu terjengit dan sekilas mengangkat wajah. Ajaib. Tak butuh waktu lama, Adam langsung tertidur. Suara dengkurannya terdengar tipis dan beraturan. Mungkin baru
Adzan isya mengumandang dari arah masjid desa Kintamani. Di antara kabut tipis dan dinginnya malam yang menusuk kulit, sepasang kaki melangkah menyusuri jalan setapak di tengah kebun jeruk. Tersendat-sendat. Sempoyongan, setelah hampir dua jam menempuh perjalanan kaki. Sebuah tas kain lusuh terayun-ayun di tangannya. Sandal jepit yang dikenakan sesekali lepas tali dari bolongannya. Gemas dan kesal, akhirnya ia lempar sandal itu ke tengah kebun jeruk. Toh, jalan raya sudah di depan mata. Jalan yang akan dilalui bakalan mulus. Tidak seperti jalan yang ditapaki sekarang, penuh dengan duri dan kerikil. “Kira-kira lima ratus meter lagi. Mudah-mudahan Bu'e ada di rumah. Kalau nggak ada, matilah aku.” Raganya yang lelah dan menahan lapar rasanya ingin roboh saja. Perutnya hanya kemasukan dua potong singkong rebus pagi tadi. Beberapa permen yang tersimpan di dalam saku celananya menolongnya dari kelaparan dan sedikit memberi energi pada tubuhnya. Begitu pula dengan
Esok paginya begitu bangun tidur, Darsih berpesan sama Malika. “Bu'e, saya tidak akan keluar rumah jika tidak penting sekali. Saya mohon, jangan bilang sama orang-orang kalau saya ada di sini yaaa..?” “Iya. Eh, tapi di sini siapa yang kenal sama kamu, Mbak?” “Yaaaa... jaga-jaga saja sih Bu. Beberapa tetangga saya dari desa ada yang tinggal di sini. Rata-rata mereka berjualan bakso sama sosis keliling.” “Oooh... gitu. Okee Mbak.” Setelah membuat kopi panas dan ketela goreng, keduanya mengobrol di ruang tengah sambil melihat televisi. Darsih permisi menyelonjorkan kaki di sofa panjang. Jemari tangannya yang berwarna coklat kehitaman tidak berhenti mengusapkan minyak oles ke kakinya, lantas dipijit-pijitnya sendiri. Malika prihatin melihat telapak kaki Darsih yang kusam, nampak melepuh dan bengkak. “Sini saya mijitin, Mbak...” “Eh, nggak...nggak. Jangan Buk!” timpal Darsih menolak sembari menjauhkan kakinya dari jangkauan tangan Malika. “Nggak apa-apa.
“Heeegghh... Ya Allah.” Helaan nafas panjang di sampingnya membuat Malika tergagap dan menoleh. Ia merasa bersalah telah mengacuhkan Darsih yang sekarang menjadi tamunya. Penampilan Darsih agak lucu. Tubuh pendeknya terbenam dalam daster berukuran besar. Malika bingung juga, Budhe Sun bertubuh mungil, tapi dastenya banyak yang berukuran besar. Mungkin diberi oleh seseorang. “Eh, mbak Sih, maaf. Mbak kok sedih gitu?” Malika mulai memancing pertanyaan. “Saya bingung kalau nganggur gini, Buk. Tidak ada pemasukan. Mana saya harus mengirim uang sama emak." “Iya Mbak. Sama. Di sini aku juga lagi bingung. Eh, emak sampeyan kan punya kebun coklat sama kelapa?” “Pohon coklat hanya enam puluh pohon, Buk. Kalau kelapa paling tiga puluh. Hasilnya sedikit. Kalau buat makan sih cukup. Tahu sendiri kan tinggal di desa. Banyak orang punya hajat. Belum lagi nengok orang lahiran, orang sakit dan iuran macam-macam.” “Iya benar, Mbak. “Saya ke sini kan rencanaya mau c
Siang itu usai masak MALIKA sudah berdandan rapi dan cantik. Bersiap-siap ke rumah Wulan. Makanan dan buah yang hendak dibawa sudah dipersiapkan sejak tadi. Tinggal menunggu kedatangan Putu Astari dan Mba Fatma. Barusan mereka nelpon sudah pulang dari pasar dan sekarang masih bersiap-siap. Adam muncul dengan wajah kuyu. Sempat menginap di rumah Malika semalam, lantas esoknya tidur di tempat Anton usai periksa ke dokter. Malika segera mengambil nasi goreng dan bikin teh panas untuk pemuda itu. “Sedikit saja, Bu. Tadi sudah dibelikan sate sama Mas Anton.” Kedatangan Adam hendak mengambil tas dan cas ponsel yang ketinggalan di rumah Malika. “KOndismu masih seperti ini. Masak mau pulang sekarang?” Adam tidak segera menjawab. Wajahnya nampak gundah. “Saya bilang sama ibu ada kerjaan di sini. InsyaAllah dua hari lagi aja pulang. Menunggu luka mengering. Ibu pasti sedih dan khawatir melihat kondisi saya begini.” “Iya. Bagus itu Dik, apalagi ibumu tidak k