Vittoria terkejut sehingga dirinya berdiri dan menjauh dari Callista. Saat Vittoria hendak membalas, dia menyela, “Asal kau tahu, aku tak pernah melakukan hal menjijikan seperti itu! Meski aku seorang pembunuh, aku masih memiliki harga diri. Lagi pula aku melakukannya hanya untuk mempercepat waktu, tanpa memedulikan betapa bahayanya risiko yang sedang ku hadapi. Kalau kau tidak berani mengambil tindakan cepat, jangan jadi seorang pembunuh!”Seusai berkata begitu, Callista langsung pergi meninggalkan mereka yang mematung, termasuk Vittoria. Ucapannya menusuk hati, membuat wanita itu bungkam. Justin pun memperingatinya agar tidak berurusan dengan Callista kalau dirinya tidak mau terkena masalah. Mereka tidak akan tahu apa yang akan dilakukan senior mereka itu.Sementara itu, Callista berdecak kesal. Dia tidak terima dihina oleh orang lain, apalagi sampai menuduhnya telah tidur dengan seorang pria. Jangankan ingin melakukan hal tersebut, bertatap wajah saja Callista sangat tidak sudi. Uc
“Tidak! Pria itu sudah menolongku, tidak mungkin aku akan berpikiran negatif tentangnya. Bahkan dia menawarkan diri akan membantu aku untuk mencari informasi tentang si pelaku sialan itu. Pasti Fritz salah paham. Aku yakin sekali,” lanjutnya mencoba meyakinkan diri. Dia berusaha untuk tidak termakan dengan perkataan Fritz.Ketika Callista sibuk dengan pikirannya sendiri, seorang wanita masuk ke dalam ruangan ini. Dirinya tersenyum senang seraya menghampiri dan berkata, “Ternyata kau di sini, Callista Austerlitz Zouch.”Callista menolehkan kepalanya. Dia sempat mengernyitkan dahi karena merasa tidak asing dengan wanita yang baru datang itu. Namun raut wajahnya berubah ketika dia mulai mengingat dan langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara wanita itu tertawa pelan seraya duduk di sofa.“Akhirnya kau bergabung juga. Ku kira kau tidak akan datang ke sini setelah apa yang aku katakan tempo hari,” ucapnya kepada Callista. Dia terlihat tidak peduli bahkan merespon pun tidak.“O
“Ya, mereka sampai memohon agar tidak dibunuh. Setelah penyiksaan itu, barulah mereka mau berbicara,” balas Gabriel. Richard mendesis pelan. “Informasi apa yang kau dapatkan dari mereka?” tanya Richard lagi. “Alasan mereka membunuh anggota kita karena mereka disuruh oleh kelompok mafia lain, sengaja dilakukan untuk balas dendam. Salah satu dari mereka melihat tiga orang dari kelompok kita melakukan pembunuhan di sekitaran kawasan mereka. Tak terima dengan hal itu, mereka melakukan balas dendam,” jawab Gabriel seraya melihat ke arah dua orang yang sedang diikat. “Kenapa tiga orang ini melakukan pembunuhan di kawasan mereka?” tanya Oscar. Gabriel menolehkan kepalanya lalu menjawab, “Aku kurang tahu. Kemungkinan target melarikan diri ke kawasan kelompok itu, entah untuk menyelamatkan diri atau sengaja menimbulkan konflik. Sayang sekali, kita tak mendapatkan informasi lebih karena ketiga orang itu telah dibunuh.” Richard tampak kesal. Jika memang ucapan Gabriel benar, maka kelompoknya
“Aku ingin mereka fokus dengan pekerjaan, bukan teman mereka. Hanya kita yang akan mengurus kematian Maxton. Ditambah aku ingin tahu siapa pelaku yang sudah membunuhnya,” lanjut Richard. Oscar menganggukkan kepala.“Menurut informasi yang aku dapatkan, kemungkinan pelaku tinggal di sekitaran lokasi penembakan Maxton. Aku dan beberapa orang sedang mencarinya di sekitaran sana. Sedikit sulit karena kemungkinan si pelaku sedang bersembunyi, mungkin juga dia sudah pergi dan tinggal di tempat yang lain. Namun masih kami lacak keberadaannya,” ungkap Oscar.“Bagus! Lanjutkan! Kalau kau menemukan dia, langsung interogasi dan tanyakan tujuannya membunuh salah satu anak buahku,” balas sang bos. Oscar menganggukkan kepalanya.Meski kini mereka sudah tahu beberapa informasi tentang si pelaku penembakan anak buah ValHolitz, tapi mereka kesulitan untuk mencari keberadaannya. Sialnya lagi, tak ada kamera pengawas di sekitaran lokasi pembunuhan. Hal ini membuat mereka kesulitan untuk mencari, meski b
Dengan sigap Callista menghindari peluru yang hampir saja mengenai tubuhnya. Dia bisa melihat bagaimana kecepatan benda itu. Kalau saja dia tidak bergerak, mungkin peluru tersebut akan melubangi tubuhnya hingga mati. Beruntung dia menghindar dengan gerakan cepat.“Cih! Kau menghindarinya. Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya. Callista mengatur napasnya yang sempat sesak dan terkejut akibat tembakan yang mengarah ke dia.“Tidak ada. Kebetulan aku selalu lewat jalanan ini dan tidak mengikutimu,” jawab Callista mencoba untuk berbohong.“Tidak ada rumah warga setelah jalanan ini. Kau jangan berbohong! Katakan siapa dirimu dan apa tujuanmu?” tanyanya lagi. Diam-diam, Callista mengeluarkan senjatanya dari balik pakaian yang dia kenakan. Dirinya harus bersiap-siap dengan kemungkinan yang akan terjadi, apalagi dirinya tahu bahwa pria di depan sana seorang mafia yang akan membunuhnya kapan saja.Karena Callista sudah ketahuan dan orang itu sulit untuk dibohongi, dia memilih untuk jujur. Dir
“Kenapa kau terkejut seperti itu? Membuat telingaku sakit!” omel Gabriel. Callista menggelengkan kepalanya pelan. Pasti ini hanya kebetulan saja, pikir dia. Dirinya terkejut karena nama Richard disebutkan.Callista mengenal seseorang yang bernama Richard. Fritz bilang orang tersebut adalah seorang bos mafia, tapi Callista tidak tahu nama lengkapnya. Setahu dia, Richard seorang CEO dari perusahaan yang tidak begitu ternama dan gaya bicara serta penampilannya tidak menunjukkan bahwa pria itu terlibat dengan kriminalitas, apalagi memimpin suatu kelompok besar. Callista yakin kalau nama yang disebutkan oleh Gabriel bukanlah Richard yang sama.“Hei, kenapa kau diam saja? Apakah kau berencana bertemu dengan bosku?” tanya Gabriel penasaran.“Bukan urusanmu!” balasnya dengan nada kesal. Pria ini tidak memberikan informasi lebih yang memuaskan Callista. Bahkan ketika Callista berusaha untuk mencari tahu lebih dalam, Gabriel tidak tahu pria bernama Fernando Foligno. Di dalam kelompok ValHolitz,
“Argh!” Gabriel meringis kesakitan di area belakang kepalanya setelah mendapatkan pukulan dari Richard.“Jangan seenaknya memberi tahu! Masa iya kau takut dengan seorang perempuan,” omel Richard seraya membalikkan badan membelakangi Gabriel.“Bukannya aku takut, aku hanya tidak mau kedua tanganku dipatahkan olehnya. Aku rasa dia akan berani melakukan hal tersebut kepadaku. Kalau tanganku patah, aku tak bisa bekerja dan kau tidak akan mengandalkan aku lagi, ditambah ka-““Ya ya ya aku tahu! Namun kau seorang pria yang seharusnya melakukan perlawanan meski nyawamu terancam. Jika kau seperti ini, kau tidak ada bedanya dengan para pecundang itu! Hatimu lembek, seperti seorang pria cengeng. ValHolitz tidak menerima orang sepertimu!” tukas sang bos membuat Gabriel terdiam. Dia tak bisa melawan perkataan Richard.Pria itu melangkahkan kakinya menjauhi Gabriel. Sebenarnya Richard tidak marah, hanya saja kecewa karena anak buah terbaiknya ini melakukan sesuatu yang tidak perlu dilakukan. Apala
Richard mengernyitkan dahinya ketika melihat ada seorang pria tua menghampiri wanita yang sedari tadi dia ikuti. Kini mereka berjalan beriringan dan tampak mengobrol satu sama lain. Richard merasa mengenal siapa pria itu dan ingin sekali menyerangnya, tapi tak mungkin dia lakukan saat ini karena situasinya yang tidak memungkinkan. Dengan terpaksa, Richard harus melepaskan dan membiarkan pria itu pergi. Tak lama kemudian, wanita tersebut dan pria itu berpisah di persimpangan jalan. Tentu saja Richard mengikuti si wanita daripada orang yang berbicara dengannya tadi. Dengan cepat dia berlari kecil dan menyusul. “Hei, Fleischer!” sapa dia. Wanita tersebut menolehkan kepala. “Tidak biasanya kita bertemu di jalanan seperti ini,” kata Florencia Fleischer atau bernama asli Callista Austerlitz Zouch. Ya, wanita inilah yang dilihat oleh Richard. Pria itu hanya tersenyum saja. “Tidak sengaja aku melihatmu bersama seorang pria. Tadinya aku mau menghampirimu, tapi ternyata pria itu yang terlebi