Callista berjalan seorang diri di sekitaran taman yang menjadi lokasi penembakan pada bulan lalu. Meski kenangan pahit itu kembali dia ingat, dirinya tidak ingin menyerah dan terus menelusuri kawasan itu. Siapa tahu ada sesuatu yang tertinggal, yang bisa menjadi petunjuk baginya. Padahal sudah berulang kali dia datang kemari, tetapi dia tidak menemukan apapun.
Karena informasi yang dia dapatkan semalam cukup meyakinkan, makanya dia kembali ke sini untuk memastikannya sendiri. Kini dia berhenti di depan sebuah gang yang dimaksud oleh Fliora. Gang tersebut menjadi saksi kematian seorang pria yang dibunuh oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Ada kemungkinan si pelaku adalah orang yang sama, mengingat kalau pelaku itu pergi ke sini setelah kejadian penembakan di taman sekitaran kawasan ini.
Callista menghampiri seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari rumahnya. Dia menanyakan tentang kejadian waktu itu. Menurut pria tersebut, sebelum para medis dan kepolisian datang, orang-orang di sini serta dirinya sempat mendengar suara tembakan sebanyak dua kali dari dalam gang. Suara tembakan itu terdengar dari rumah seorang pria bernama Paolo Fiermonte.
“Baiklah. Terima kasih atas informasinya,” kata Callista kepada pria paruh baya itu. Dia melangkahkan kaki meninggalkannya lalu masuk ke dalam gang.
Wanita ini tahu siapa pria yang disebutkan namanya tadi, Fliora sudah memberitahunya sebelum dia datang ke sana. Karena ingin mencari tahu lebih lanjut, dia langsung masuk ke dalam gang dan melihat-lihat area jalanan itu yang tampak menurun serta banyak pintu rumah warga. Tak sengaja dia melihat ada garis polisi di salah satu pintu rumah. Dirinya bergumam, “Jadi, di sini penembakan itu terjadi?”
Callista berniat masuk ke dalam sana, tapi dia harus berhati-hati. Dirinya memperhatikan sekitaran gang yang terlihat sepi. Dia juga memastikan kalau tidak ada kamera pengawas di sana. Setelah yakin tidak ada orang lain ataupun kamera pengintai, dia menerobos garis polisi dan memaksa masuk dengan membuka gembok yang mengunci pintu rumah ini.
Setelah berhasil membukanya, Callista pun masuk ke dalam. Suasana di ruangan itu terlihat sepi dan gelap. Dia menyalakan flashlight handphonenya sebagai pencahayaan. Dirinya mengelilingi ruangan itu yang terlihat rapi, tercium aroma debu serta sedikit kotor. Wajar saja karena rumah ini sudah ditinggalkan selama satu bulan lebih.
“Apa itu?” gumam Callista ketika dia melihat beberapa kertas tertempel di atas papan softboard yang digantung di dinding. Callista melihat beberapa catatan.
“ValHolitz? Siapa mereka? Kenapa beberapa nama orang lain ada di sini?” tanya Callista kepada dirinya sendiri. Dia tidak mengerti kenapa Paolo mengumpulkan semua catatan itu. Bahkan ada beberapa nama yang sangat asing bagi Callista.
Callista terkejut ketika melihat sebuah nama yang tidak asing baginya. Dia bergumam, “Ah! Nama kelompok itu ada di sini. Kenapa Paolo terlibat dengan mereka? Apa masala-“
Tiba-tiba saja handphone wanita ini berdering. Callista melihat siapa orang yang sudah mengganggunya. Ternyata tertera nomor yang tidak dia kenal, mau tak mau dia menerima panggilan telepon itu. Namun tidak ada orang yang berbicara walau Callista sudah menanyakan apa yang diinginkan oleh si penelepon. Karena tidak begitu penting, dia pun menutup telepon tersebut.
Baru saja dia hendak memasukkan benda itu ke dalam saku, si penelepon dengan nomor yang sama kembali menelepon lagi. Callista pun menerima panggilan telepon itu, sayangnya, tidak ada orang di seberang sana yang menjawab pertanyaan Callista. Hanya terdengar deru napas saja.
“Berbicaralah, Sialan! Jangan membuatku menunggu! Kalau ada yang mau disampaikan, katakanlah! Jangan membisu seperti itu!” omelnya tidak tahan. Orang di seberang sana sudah mengganggu Callista, bahkan membuatnya membuang waktu dengan sia-sia. Wajar kalau dirinya menjadi emosi sendiri.
“Piazza Giuseppe Garibaldi, ku tunggu kau di sana sekarang juga, di area taman terbuka. Kalau tak datang, aku akan merusak makam suamimu!” ancam si penelepon. Baru saja Callista hendak membalas, telepon langsung dimatikan.
Seraya menatap benda tersebut, Callista terus mengomel. Dia mencoba menghubungi kembali orang itu, sayangnya nomor tersebut sudah tidak aktif lagi. Seakan-akan sengaja dimatikan agar Callista tidak meneleponnya. Siapa orang itu? Kenapa memintanya bertemu di lokasi yang disebutkan? Hal ini membuat dia menjadi bingung sendiri.
Tidak mau ancaman tersebut dilakukan, dengan terpaksa Callista harus datang ke lokasi itu. Sebelum keluar dari ruangan ini, dirinya memotret beberapa catatan yang menurutnya bisa dijadikan informasi lalu keluar dari sana. Tentu saja dia mengendap-endap agar orang lain tidak tahu bahwa dirinya sudah masuk ke rumah itu. Setelah dirasa aman, barulah Callista pergi dari sana menuju ke lokasi yang disebutkan oleh si penelepon tadi.
Sesampainya di sana, Callista mencari seseorang yang mungkin sedang menunggunya. Dirinya kebingungan karena tidak tahu rupa si penelepon itu. Tidak mungkin menelusuri seluruh taman, dia memilih berdiri di dekat pagar pembatas jalan seraya memandang ke sana kemari.
“Callista Austerlitz Zouch!” Wanita ini menolehkan kepala saat nama lengkapnya diucapkan. Dia melihat seorang wanita bertubuh tinggi dan berambut pirang menghampirinya. Callista mengernyitkan dahi, dia merasa tidak mengenal orang itu.
“Ku kira kau tidak akan datang,” kata wanita tersebut.
“Kau siapa? Untuk apa kau menyuruhku ke sini?” tanya Callista tak sabaran.
“Aku Letizia Hunziker, salah satu anggota Forezsther,” jawabnya sembari memperkenalkan diri. Callista tampak terkejut mendengar sebuah nama kelompok yang tidak asing baginya. “Aku memintamu bertemu karena ingin mengajakmu bekerja sama. Kita memiliki bos yang sama dan kau adalah seniorku. Aku ingin kau membantuku, Senior!”
Callista terdiam, dia tidak menyangka kalau dirinya akan bertemu dengan salah satu anggota dari Forezsther. Sejujurnya dia enggan berhubungan dengan siapapun dari kelompok itu, dan selalu menghindar. Karena tidak mau urusan ini semakin panjang, dia pun berbalik kemudian meninggalkan Letizia. Tentu saja Letizia menyerukan namanya seraya menyusul.
“Kenapa saat ku sebutkan nama kelompok itu, kau seperti menghindar? Apakah kau memiliki masa lalu yang kelam dengan mereka?” tanya Letizia penasaran.
“Aku tidak mengenalmu ataupun nama kelompok yang kau sebutkan. Lebih baik kau jauhi aku!” pinta Callista tanpa menoleh dan menghentikan langkahnya.
Tanpa diduga, Letizia berdiri di depan Callista. Dia berkata, “Ayolah! Aku tahu kau ada hubungan dengan mereka. Inilah alasanku menemuimu karena aku yakin kau bisa membantu, apalagi kau termasuk anggota terbaik. Ak-“
“Jangan berbicara omong kosong! Kau tidak tahu apapun tentang aku dan aku enggan membantumu!” tukas Callista. Matanya menatap tajam wanita itu. Alih-alih takut, Letizia malah tersenyum senang. Dia tertawa lalu bertepuk tangan seperti anak kecil yang baru saja diberikan ice cream. Melihat reaksi itu, tentu saja Callista keheranan.
“Hahaha … tatapan matamu itu membuatku merinding, Senior. Ternyata bos benar kalau kau memang memiliki mata yang bagus,” komentarnya. Callista mendengkus kesal. Dia pun mendorong Letizia lalu berjalan meninggalkannya lagi dan tidak memedulikan tingkah aneh wanita itu.
Untuk kesekian kalinya, Callista berhenti berjalan ketika Letizia berkata, “Aku memiliki informasi penting tentang pelaku yang telah menembak suamimu.”
Bersambung …
Hal tersebut mengejutkan Richard dan Callista. Alberto malah menodongkan benda itu kepada anak buahnya sendiri. Tentu saja Callista tidak terima. Dirinya langsung mengomel. “Apa-apaan kau ini? Kenapa kau menodongku?”“Ku bilang pilihlah! Kau berpihak kepada siapa? Aku atau orang itu hah?” tanya Alberto tanpa menjawab pertanyaan Callista.“Apa maksudmu aku harus memilih?” tanya Callista lagi.“Cih! Sadar dirilah, Wanita sialan! Belakangan ini kau terus membela pria itu. Bahkan kau menggagalkan misimu dan terus menentang aku. Aku curiga kalau kau memiliki perasaan khusus kepadanya sehingga kau bersikap begitu. Iya, kan?” geram Alberto membuat Callista menganga tak percaya. Sang bos malah mempertanyakan hal seperti itu kepadanya. Pertanyaan tersebut cukup sulit untuk dijawab Callista untuk saat ini.“Ja-jangan main-main denganku, Pak Tua! Mana mungkin aku memiliki perasaan seperti itu kepadanya. Bukankah
Sepertinya Richard tak begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Callista kepadanya. Alih-alih menghindar, Richard malah berjalan maju sehingga ujung pisau tepat berada di leher dia. Hal ini membuat Callista mendesis lalu menurunkan benda tersebut. Richard yang sudah tahu reaksi Callista hanya tersenyum lalu memeluk wanita itu. Anehnya, meski kesal, Callista tak menghindar bahkan membiarkan Richard memeluk dirinya.“Kenapa kau begitu berani meski senjata tepat di depan matamu? Aku bisa saja membunuhmu dalam jarak sedekat ini,” tanya Callista yang keheranan.“Karena aku yakin kalau kau tak akan berani melakukannya. Buktinya saja sekarang kau menurunkan senjatamu,” jawab Richard. Lagi-lagi Callista tak menyangkal, dia hanya memasang wajah sedih. Karena Richard sedang memeluknya, bos mafia itu tidak melihat bagaimana raut wajah Callista sekarang.“Kau tahu? Aku merasa kalau kau tak memiliki alasan untuk membenciku. Ku akui aku menyembu
Callista terkejut ketika melihat Fernando membelalakkan matanya. Pria itu pun terjatuh begitu saja membuat Callista menjerit. Ternyata tembakan itu berasal dari belakang Fernando. Callista melihat ke arah pelaku yang sudah melepaskan pelurunya ke mantan suaminya itu. Ternyata Richard, Bos ValHolitz yang selama ini tidak terlihat. Callista terkejut karena Richard menembak Fernando.“Kenapa kau menembaknya?” tanya Callista.“Karena dia akan menembakmu,” jawab Richard seraya berjalan mendekati mereka. Callista melihat tubuh Fernando yang sudah dipenuhi darah. Pria tersebut mengerang kesakitan di area punggungnya.“Aku tidak mengenai titik vitalnya, dia akan baik-baik saja,” ucap Richard setelah berhasil mendekati mereka dan berdiri tak jauh dari keduanya.“B-bos?! Ke-kenapa kau ke sini?” tanya Fernando terbata-bata.“Karena aku melihat istriku akan dibunuh oleh anak buahku sendiri,” jawabnya.
Perang dimulai, lokasi yang ditentukan sudah dipenuhi oleh dua kelompok yang sedang bertarung. Sesuai dengan perjanjian bahwa tak ada pengeboman. Kini murni hanya pertarungan keduanya yang menggunakan senjata api dan senjata tajam. Suara tembak menembak terdengar di medan perang, tak sedikit yang sudah tumbang akibat terkena peluru musuh. Bahkan sniper tersembunyi juga melakukan aksinya dari suatu tempat yang tak diketahui oleh siapapun. Begitupula dengan para pemimpin.Demi menguatkan pasukan, Forezsther bergabung dengan anggota dari kelompok Fulgen Famiglia. Meski tak semua anggota dari kelompok tersebut turun tangan, tapi pasukan Forezsther menjadi bertambah. Tentu saja ValHolitz kewalahan karena tak ada kelompok pendukung, mereka berjuang sendiri. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari Forezsther dan Fulgen Famiglia, sayangnya, kebanyakan orang yang terkapar di tanah dari kelompok mafia ternama di Kota Napoli itu. Untuk saat ini, Forezsther jauh lebih unggul ketimbang ValHo
“Secara langsung, aku melihat bagaimana Easter disiksa di depan mataku, bahkan tanpa hati mereka mempermainkannya. Aku yang sudah tidak sanggup mulai berbicara demi bisa menyelamatkan diriku serta temanku. Meski Easter terus memarahi, aku tetap mengatakan kepada mereka tentang Forezsther. Namun sialnya, mereka tidak menepati janji dan justru semakin mempermainkan Easter di depan mataku. Tubuhnya yang sudah dipenuhi darah, tanpa sehelai kain, dan terus menyiksanya tanpa henti meski dia tak lagi berteriak kesakitan. Aku … aku hanya bisa melihatnya, tanpa bisa melakukan apapun dan hanya bisa menangis dalam diam. Ba-bahkan ketika Easter disakiti, aku ….” Justin melihat Callista yang berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis. Padahal sedari tadi Callista terus memegangi dadanya dengan tubuh yang bergemetar dan suara yang mulai bergetar. Namun wanita tersebut tetap melanjutkan. Justin mencoba untuk meminta Callista untuk berhenti, sayangnya, Callista terus berbicara.
Dalam satu jam, Kristian pun datang menghadap ke bosnya. Sang bos langsung mengomeli Kristian yang sudah lengah. Tentu saja pria itu tak mengerti kenapa dirinya sampai dimarahi. Richard menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya. Hal ini mengejutkan Kristian. Dirinya tak menyangka kalau Callista akan mengikutinya, bahkan mendengarkan pembicaraan dia dengan Gabriel.“Kau sangat bodoh, Kristian! Bukankah aku sudah peringati agar tidak usah menceritakannya kepada siapapun? Kau tidak menepati janjimu bahkan secara sembarangan mengungkapkan hal ini ke orang lain. Karena kecerobohanmu, Callista mengetahui semuanya dan dia malah menanyakannya kepadaku. Dengan terpaksa aku memberi tahu dia,” omel Richard seusai memberi tahu Kristian tentang kehadiran Callista satu jam lalu.“Maafkan aku, Bos! Gabriel sangat memaksa sehingga aku harus menceritakan kepadanya. Ka-““Jangan menyalahi orang lain karena kesalahanmu sendiri!” tukas Richard memb