Dengan cepat Callista membalikkan arah jalannya lalu menarik kerah pakaian Letizia. Dia mengancam, “Jika kau tahu tentang si pelaku itu, katakan kepadaku! Kalau tidak, aku akan membunuhmu!”
Secara perlahan, Letizia menarik tangan Callista. Wanita ini tertawa pelan. “Jangan terburu-buru, Senior! Aku tak akan memberikan informasi secara percuma. Sebagai anggota dari Foreszther, seharusnya kau tahu akan hal itu,” balasnya.
“Aku bukan anggota mereka lagi dan tidak sudi bekerja sama denganmu! Ka-“
“Tidak masalah kalau kau bukan lagi anggota di sana, aku tak begitu memedulikannya, tapi kita harus bekerja sama. Kau ingin informasi itu, kan?” tukas Letizia membuat Callista berdecak. Dengan kasar, wanita itu menarik tangannya yang sedari tadi digenggam oleh Letizia lalu menjauh.
Callista sangat kesal karena di saat dia ingin mendapatkan informasi tentang si pelaku penembakan, malah ada orang lain yang ingin memanfaatkannya, terutama orang asing seperti Letizia. Ditambah wanita itu adalah anggota dari suatu kelompok yang ingin dia hindari. Namun ucapan Letizia mampu membuat Callista memikirkan ulang tentang perkataan yang dilontarkannya. Wanita tersebut memiliki informasi penting, tak mungkin dia membuang kesempatan ini.
“Seseorang telah membunuh kakakku, dia bernama Maxton. Kakak tewas tiga hari lalu, dia ditembak, tepat di bagian punggung dan kepalanya. Aku tidak terima dengan apa yang terjadi kepada dia dan ingin balas dendam. Aku tahu kau pun sama denganku, maka dari itu, kita harus bekerja sama dan saling memberitahukan informasi,” lanjut Letizia.
“Bagaimana kau tahu kalau pelaku penembakan adalah orang yang sama?” tanya Callista.
“Hanya perasaanku saja, tapi aku cukup yakin kalau pelaku tersebut sama dengan orang yang sedang kau incar.” Callista mendesis setelah mendengar jawaban Letizia. Dia merasa tidak percaya karena wanita di depannya ini tampak tidak bisa membuktikan ucapannya.
“Daripada kau mengatakan kata-kata naif, lebih baik beri tahu aku tentang si pelaku itu! Kau bilang kau memiliki informasinya, kan?” balas Callista. Wanita tersebut mendengkus ketika melihat Callista keras kepala dan enggan bekerja sama.
Alih-alih menjawab pertanyaan yang diajukan Callista, Letizia malah berkata, “Kalau kau dan aku bekerja sama, kita bisa memeriksa orang-orang dari kelompok mafia, siapa tahu salah satunya adalah orang itu. Aku yakin akan ada hasilnya meski harus memakan waktu lama. Aku mohon kepadamu, Zouch! Bekerjasamalah denganku!”
Mendengar hal itu, Callista naik pitam. Sayangnya, dia tak bisa meluapkan emosinya di tempat umum, apalagi kalau sampai menimbulkan kekacauan dan menarik perhatian orang lain. Wanita ini memilih melepaskan kesempatan daripada harus berurusan dengan Letizia, dia pun memundurkan tubuhnya lalu pergi dari sana seraya menahan emosi.
Melihat bagaimana reaksi Callista, Letizia mengejar. Dia terus mengoceh untuk meyakinkan wanita ini agar mau bekerja sama, tapi terus ditolak mentah-mentah. Bahkan ocehannya dianggap omong kosong serta tak dipercaya. Tampaknya Letizia tidak akan menyerah, dia terus mengejar Callista.
“Mantan suamimu itu bermasalah dengan kelompok ValHolitz,” ungkap Letizia membuat Callista menghentikan langkah kakinya untuk kesekian kali. Dia langsung berbalik menghadap ke arah Letizia. Tentu saja dia menatapnya dengan tajam.
“Kau tahu dari mana?” tanyanya.
“Sebelum ku jawab, lebih baik kau setuju kalau kita bekerja sama. Dengan begitu, kita bisa saling memberikan informasi penting,” tutur Letizia tanpa menjawab pertanyaan dari wanita di depannya itu. Callista berdecak kesal. Bagaimana tidak? Dengan berkata begitu, Letizia merasa menang dan dia dikalahkan. Mau tak mau dirinya harus bekerja sama agar informasi yang diinginkannya dapat dia dengar dari wanita ini.
Dengan terpaksa, Callista menyerah. “Baiklah. Kita akan bekerja sama. Cepat beri tahu aku apapun tentang Fernando!”
“Kau tak sabaran sekali, tapi akan ku beritahukan kepadamu dengan senang hati. Ku dengar, pria itu memiliki banyak musuh, entah itu dari kelompok mafia bernama ValHolitz, dengan Forezsther ataupun dengan beberapa para kriminal di kota ini. Mungkin permasalahan antara pria itu dengan mereka menjadi alasan kenapa suamimu sampai dibunuh," ungkap Letizia.
Callista mengernyitkan dahi. Wanita itu baru mengetahui hal ini, sebelumnya dia hanya tahu kalau Fernando tak memiliki masalah dengan mafia manapun. Bahkan mantan suaminya itu tampak seperti orang yang tidak pernah terjerumus dengan kriminalitas. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Pikirnya.
“Kau tahu hal itu dari mana?”
“Siapa lagi kalau bukan bos? Aku mengetahuinya dari dia.”
“Cih! Sial! Ternyata iming-iming si tua itu,” gumam Callista seraya memalingkan wajah. Letizia hanya menganggukkan kepalanya. Dia melanjutkan, “Aku tak mau bergabung lagi. Si tua itu tak ada hubungannya denganku. Lebih baik kau beritahukan apa yang kau ketahui tentang Fernando!”
“Hanya itu yang aku ketahui, sisanya boslah yang tahu.”
“Sial!” geramnya. Dia begitu penasaran, tapi orang ini menyebutkan seseorang yang membuatnya kesal. Bos yang disebutnya adalah orang yang tidak mau ditemui Callista, tapi kalau memang orang tersebut mengetahui tentang Fernando, maka tak ada pilihan untuknya bertemu. Mungkin hanya ini cara satu-satunya agar dia bisa menemukan si pelaku yang sudah menembak mantan suaminya.
“Kau ingin mencari tahu tentang si pelaku itu, bukan? Maka dari itu, kita harus bekerja sama. Untuk sekarang, kita temui bos terlebih dahulu. Mungkin dia tahu sesuatu tentang mantan suamimu,” usulnya. Callista menggelengkan kepala. Dia meminta Letizia untuk memberikannya waktu memikirkan kerja sama ini. Tentu saja Letizia tidak akan melarangnya dan mencoba untuk mengerti Callista.
Karena tidak ada obrolan lagi, keduanya pun berpisah. Callista kembali ke rumah dan memikirkan ucapan Letizia tadi. Dirinya menjadi kesal sendiri karena baru tahu tentang Fernando yang memiliki masalah dengan para kriminal. Hal ini membuat Callista harus berpikir ulang tentang ajakan Letizia, ditambah dia sudah setuju akan bekerja sama.
***
Wanita ini menatap tangga menuju ke bunker yang ada di dalam bangunan besar yang sudah lama sekali tidak terpakai. Seketika saja sebuah kilas balik terlintas di benaknya. Dengan cepat, Callista berusaha untuk menghilangkan ingatan tak menyenangkan itu.
Wanita ini melangkahkan kaki masuk ke dalam sana. Baru beberapa langkah, dia melihat dua orang yang sedang berdiri di depan sebuah pintu berbesi. Mereka tampak terkejut. Terlihat jelas kalau mereka mengenal wanita ini.
“Bukalah!” suruh Callista. Mereka menurut dan membuka pintu itu.
Terlihatlah ruangan luas dengan banyaknya pria di dalam sana. Ruangan tersebut terlihat luas sekali, memiliki banyak pintu dan pencahayaan yang begitu terang. Callista masuk ke dalam dengan langkah pelan seraya memperhatikan orang-orang yang baru dilihatnya. Mereka tampak melihat ke arah Callista, ada pula yang bersiap dengan pistol yang mereka pegang untuk diarahkan ke wanita itu.
Callista terus berjalan tanpa henti meski tatapan tajam mengarah kepadanya hingga dia melihat seorang lelaki yang tampak familier sedang berbicara dengan orang lain. Callista menghampiri. “Jasper!” serunya.
Lelaki itu menoleh dan terkejut melihat Callista berada di sini. Jasper bertanya, “Callista? Kau sedang apa di sini?”
“Aku ingin bertemu dengan bos, di mana dia?” jawabnya. Jasper memberitahukan ruangan di mana bos mereka berada.
Callista pun menemui pria itu yang kini sedang memasang raut wajah terkejut setelah melihat wanita yang dikenalnya berada di hadapan dia. Pria tersebut berkata, “Callista Austerlitz Zouch, akhirnya kau datang kepadaku. Aku sangat senang melihatmu hadir di sini lagi. Silakan duduk!”
“Aku tidak memiliki banyak waktu. Cepat beri tahu aku tentang Fernando!” balas Callista tanpa memedulikan perkataan pria di depannya.
“Hahaha … seperti biasa, kau enggan berbasa-basi. Santai saja, Zouch! Aku tak akan pergi ke manapun, kau tak perlu terburu-buru. Ka-“
Pria itu langsung terdiam ketika Callista mengeluarkan pistol dari balik pakaiannya. Ujung pistol tepat berada di leher pria tersebut yang langsung berhenti berbicara. Dia terlihat terkejut, apalagi Callista bergerak sangat cepat sehingga tak ada waktu baginya untuk menyadari langkah wanita di depannya ini.
“Cepat katakan kepadaku tentang Fernando sebelum aku melubangi lehermu!”
Bersambung …
Pria di depan wanita ini terlihat tertawa pelan, membuat Callista menjadi kesal sendiri. Dengan perlahan, dia memegang senjata itu seraya menatap tajam mata Callista. Dirinya berkata, “Jangan seperti itu kepada bosmu sendiri, Zouch! Aku ingin kau kembali bergabung. Sebagai gantinya, aku akan menjawab semua keingintahuanmu tentang Fernando Foligno.”Alih-alih membalas, Callista hanya bergeming seraya menatapnya dengan tajam. Karena tak ada balasan, pria itu melanjutkan, “Silakan lubangi leherku! Alih-alih aku yang mati, malah kau yang tergeletak bersimbah darah akibat peluru anak buahku.”“Bagus, Bos Alberto! Dengan begitu kau kehilangan orang seperti aku.” Alberto langsung terdiam. Pria itu terlihat menahan emosinya setelah Callista berkata begitu. Melihat bagaimana reaksinya, Callista hanya mendesis.“Lebih baik kau beri tahu aku informasi tentang Fernando! Aku masih bisa sabar. Kalau tidak, aku akan benar-benar menghancurkan tempat ini meski harus kehilangan nyawaku sendiri!” ancam
Callista sudah membulatkan tekadnya untuk bergabung dengan kelompok ini dan bekerja di bawah perintah Alberto. Dirinya terpaksa memutuskan hal tersebut demi menuntaskan balas dendam. Dia merasa hanya ini jalan satu-satunya. Kalau ada kesempatan besar, kenapa dia harus membuang kesempatan itu? Meski nyawa taruhannya dan memiliki risiko tinggi, Callista tak peduli.Mendengar keputusan yang disampaikan Callista membuat Alberto tertawa. Dia begitu senang karena wanita yang telah dia tunggu selama ini, kini bersedia bekerja sama. Tentu saja banyak rencana yang Alberto siapkan agar Callista tetap bergabung dan enggan untuk meninggalkan kelompok ini. Termasuk memasukkannya ke dalam tim yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari sebelum wanita di depannya itu datang ke hadapan dia.“Keputusan yang bagus, Zouch. Dengan begini kita sudah sepakat, bukan?” tanya pria itu. Callista menganggukkan kepalanya.“Ya, asalkan kau menepati janjimu. Kalau tidak, aku tak akan segan untuk melakukan sesuatu kep
Teman-teman Vittoria terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Callista. Mereka sempat meminta wanita itu untuk melepaskan Vittoria. Namun dia enggan menjauh dan masih menatap tajam mata Vittoria yang kini terlihat membalas dengan tatapan tajam juga. Hal ini membuat Callista menjadi kesal kepadanya. “Vittoria, lebih baik kita tidak perlu tahu sampai sejauh itu. Kita bukanlah siapa-siapa baginya, apalagi baru kenal beberapa menit lalu.” Kini Justin menegur Vittoria. Wanita itu pun mendesis setelah Callista menjauhkan diri darinya. Terlihat jelas dia juga kesal dengan Justin. “Atas nama Vittoria, aku minta maaf, Zouch! Dia tidak bermaksud begitu,” katanya kepada Callista. “Katakan kepada anak buahmu itu untuk menutup mulutnya,” balas Callista tanpa menoleh. Justin menganggukkan kepala. Dia pun menyuruh mereka untuk duduk, termasuk Callista. Wanita ini menurut dan duduk kembali di sofa yang sebelumnya. Daripada membahas hal yang tak perlu dibicarakan, Justin memilih untuk memberitahukan
Callista berhenti menyerang dan terkejut ketika melihat siapa orang yang kini ada di hadapan dia. Dirinya bertanya, “Richard? Huft! Ku kira siapa.”“Sepertinya kau hebat dalam bertarung dan memiliki kepekaan akan bahaya yang akan menyerangmu,” ujar Richard membuat Callista terkekeh pelan.“Hanya kebetulan saja. Aku sangat khawatir kalau seseorang membuatku celaka, ditambah sebelum ke sini aku sempat dijahili oleh orang lain, makanya aku mencoba menyerang meski tak pandai berkelahi,” dalihnya. Tak mungkin dia mengatakan kalau dirinya bisa berkelahi dan memiliki kepekaan akan situasi di sekitarnya. Callista tak mau pria di depannya itu tahu kalau dia tidak selemah yang dikira Richard.Richard manggut-manggut setelah mendengar penjelasan dari Callista. Dia pun bertanya, “Lalu kenapa kau ke ruangan ini?”“Aku mencoba memancing orang yang menjahiliku. Tidak ku sangka ternyata kau yang datang,” jawab Callista. Richard kembali manggut-manggut. Kini giliran Callista yang bertanya kenapa pria
“Kau siapa? Apa alasanmu ingin membunuhku?” tanya Callista tanpa menoleh.“Jangan banyak bertanya! Aku akan membawamu ke suatu tempat dan kau akan dibunuh di sana. Sekarang berjalanlah dan jangan bicara!” Orang yang menodongkan senjata itu pun mendorong Callista agar melangkahkan kakinya. Dengan arahan dia, wanita ini terpaksa menurut. Tentu saja dirinya dilarang agar tidak menoleh, mengajukan pertanyaan dan hanya bisa menurut. Ditambah Callista penasaran, apa yang diinginkan orang itu darinya?Tak lama, mereka sampai di sebuah bangunan. Callista diminta untuk masuk ke dalam bersama si penodong itu. Ruangan di bangunan ini terlihat remang-remang. Callista tidak bisa melihat apa saja yang ada di sini, bahkan sangat sepi sekali. Orang yang ada di belakang wanita ini pun terus menuntunnya sampai naik tangga berulang kali hingga berhenti di rooftop.Tiba-tiba saja Callista didorong dengan keras hingga hampir terjatuh. Dengan sigap dia berbalik dan melihat seseorang memakai topeng tengah m
Tim ini sudah sampai di depan sebuah rumah besar yang ada di salah satu perumahan elit dan sekarang mereka tengah memantau dari dalam mobil. Seraya menunggu Federico meretas kamera pengawas di rumah itu, Justin memberitahukan bagaimana rencana mereka masuk ke dalam sana. Ada kemungkinan rumah tersebut dijaga oleh para penjaga, orang-orang ini harus berhati-hati dalam melakukan misi. Seusai berdiskusi dan disetujui, serta Federico sudah memberikan kode aman, mereka langsung turun dari mobil lalu berjalan mengendap-endap menuju ke rumah besar itu. Di telinga mereka terdapat alat komunikasi, dengan begitu, mereka bisa saling berbicara tanpa harus bertemu langsung. Justin sengaja memecah timnya menjadi dua, dia bersama dengan Callista, sedangkan Vittoria bersama Lionello. Mereka masuk melalui jendela yang tidak dijaga oleh si penjaga, tim yang satunya lagi melakukan pengalihan kepada para penjaga di depan pintu agar tidak mendengar jendela yang hendak dibuka. Dengan lihai, Justin membukan
Mereka menolehkan kepala ke arah di mana Callista berada. Dengan cepat dia bersembunyi di balik sofa yang kebetulan tak jauh darinya. “Siapa di sana?” teriak salah satu dari mereka yang mungkin menyadari keberadaan Callista.“Sepertinya ada seseorang,” ujarnya. Terdengar derap langkah mendekat, Callista memejamkan matanya dan berharap dia tidak ketahuan.Saat orang tersebut hendak mendekati sofa, tiba-tiba saja seorang pria lainnya turun dari lantai atas dan mengatakan kalau tidak ada siapapun di sana. Mereka kembali berkumpul di ruang tengah. Kini Callista bisa bernapas lega setelah dia tahu orang tadi tidak jadi mendekat. Karena mereka sedang berbicara, inilah kesempatan Callista untuk pergi ke lantai atas seraya memasangkan kembali alat komunikasi yang sebelumnya dia lepas.Callista langsung meminta Federico agar menyampaikan rencana miliknya kepada Justin. Dia akan mendekati target, menyergap pria itu lalu membunuhnya. Terdengar mudah, tapi wanita ini tahu tindakannya cukup berisi
Vittoria terkejut sehingga dirinya berdiri dan menjauh dari Callista. Saat Vittoria hendak membalas, dia menyela, “Asal kau tahu, aku tak pernah melakukan hal menjijikan seperti itu! Meski aku seorang pembunuh, aku masih memiliki harga diri. Lagi pula aku melakukannya hanya untuk mempercepat waktu, tanpa memedulikan betapa bahayanya risiko yang sedang ku hadapi. Kalau kau tidak berani mengambil tindakan cepat, jangan jadi seorang pembunuh!”Seusai berkata begitu, Callista langsung pergi meninggalkan mereka yang mematung, termasuk Vittoria. Ucapannya menusuk hati, membuat wanita itu bungkam. Justin pun memperingatinya agar tidak berurusan dengan Callista kalau dirinya tidak mau terkena masalah. Mereka tidak akan tahu apa yang akan dilakukan senior mereka itu.Sementara itu, Callista berdecak kesal. Dia tidak terima dihina oleh orang lain, apalagi sampai menuduhnya telah tidur dengan seorang pria. Jangankan ingin melakukan hal tersebut, bertatap wajah saja Callista sangat tidak sudi. Uc