Share

BAB 4. Rahasia di Balik Pertemuan

Callista berhenti melangkahkan kakinya dan berbalik menghadap ke arah Fritz. Dia sangat terkejut ketika mendengar ucapan pria itu. Dia kembali bertanya, “Apa kau bilang? Dia seorang bos mafia?”

“Ya, dia berbahaya. Kau harus menjauhinya, Callista. Jika kau berurusan dengan dia, kemungkinan kau tidak akan dilepaskan olehnya. Ka-“

“Apakah kau memiliki bukti? Jika tidak ada bukti, jangan berbicara sembarangan! Dia hanyalah seorang CEO dari sebuah perusahaan, tidak mungkin seorang bos mafia. Terlihat dari wajahnya, tidak mungkin dia berbohong kepadaku,” tukas Callista tidak terima. Wanita ini tidak mengerti kenapa dirinya berkata begitu kepada Fritz. Padahal di dalam benaknya, dia ingin mempercayai ucapan temannya itu.

“Kau tidak percaya kepadaku?” tanya Fritz dengan raut wajah menahan kesal.

“Bukannya aku tidak percaya, aku hanya tidak mau kau berbicara sembarangan tentang orang lain,” jawab Callista.

“Apakah kau membelanya setelah melihat wajah tampannya itu dalam jarak dekat?” sindir Fritz membuat Callista terkejut. Seketika saja wajahnya memerah menahan malu. Dia tak menyangka kalau Fritz melihat kejadian singkat itu.

“Te-tentu saja tidak! Jangan bicara begitu!” sanggah Callista seraya memandang ke arah lain.

“Kalau kau memang tidak percaya, aku akan membuktikannya. Kau akan tahu betapa kejamnya seorang bos mafia terhadap orang lain, sekalipun kepada seorang wanita,” balas pria itu lalu meninggalkan Callista. Jelas sekali dia marah karena wanita di depannya tadi berbicara seakan-akan membela Richard yang diyakininya seorang bos mafia. Callista hanya bisa mendengkus pelan lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumahnya.

Di tempat lain, Richard tampak menghampiri sekumpulan pria di dalam gang. Melihat ada Richard, para pria itu berdiri dari duduknya. Salah satu dari mereka berkata, “Bagaimana, Bos? Apakah kau bisa membuatnya percaya denganmu?”

“Ya, sepertinya kami akan berteman terlebih dahulu. Aku tidak mau terburu-buru,” jawabnya.

“Ehm … Bos, maafkan kami karena sudah menghajarmu. Kau sendiri yang ingin kami melakukan hal itu, jangan salahkan kami,” ucap pria lainnya.

Richard tertawa pelan lalu membalas, “Aku tidak menyalahkan kalian, justru aku berterima kasih karena kalian bisa membuat wanita itu percaya bahwa pengeroyokan tadi tampak nyata dan bukan sekedar akting belaka. Rasa sakit di tubuh ini bukanlah apa-apa. Kalian tak perlu merasa bersalah.”

Wajah para pria itu terlihat kesenangan karena orang yang mereka panggil bos ini tidak menyalahi mereka atas apa yang mereka lakukan sebelumnya. Karena tak ada lagi hal yang ingin dibicarakan, sang bos pun meninggalkan orang-orang itu dan keluar dari gang. Dia menghampiri salah satu mobil yang terparkir lalu masuk ke dalam. Mobil pun melaju ke suatu tempat.

Sesampainya di sebuah bangunan, Richard langsung turun dan disambut oleh seorang pria bersetelan jas. Pria tersebut bernama Oscar Sutcliff, asisten Richard yang sudah bekerja selama beberapa tahun. Sang bos sangat mempercayai serta mengandalkan Oscar dalam menangani semua hal, termasuk pekerjaan dan melindungi bosnya dari para musuh. Dia juga yang mengatur para pekerja yang bekerja dengan mereka.

Kedua pria ini naik ke lantai dua lalu masuk ke dalam ruang kerja Richard. Baru saja sang bos duduk di kursi kerjanya, Oscar langsung memberitahukan beberapa hal tentang pekerjaan. Richard hanya bisa mendengarkan dan meminta Oscar untuk mengaturnya lagi.

“Oh iya, Bos. Apakah kau sudah berhasil mengajak wanita itu berbicara?” tanya Oscar.

“Ya, rencana berpura-pura sebagai pria lemah dan dikroyok oleh banyak orang sangat berhasil, kami juga sempat mengobrol di bar. Namun ada satu teman dia yang sempat terkejut melihatku. Aku yakin orang itu tahu siapa aku. Ada kemungkinan orang tersebut akan memberitahunya,” jawab Richard tanpa menatap Oscar. Pria ini sedang membaca berkas yang diberikan oleh sang asisten.

“Apakah aku harus menyingkirkannya?”

“Jangan dulu! Aku ingin melihat reaksi wanita itu, dan ingin tahu plihan mana yang akan dia pilih. Tetap mempercayai aku sebagai CEO atau justru menjauh?” Richard melirik Oscar setelah menjawab seperti itu.

Pria di depannya ini tersenyum tipis lalu membalas, “Baiklah. Jika itu yang kau inginkan, tapi aku tak akan ragu kalau seandainya orang tersebut membuat kacau rencanamu. Setidaknya kita beri dia peringatan agar tidak mencampuri urusan kita.”

“Ya, cari tahu juga dia dan teman-teman dekat wanita itu sekarang juga! Kami belum sempat berkenalan karena dia langsung melarikan diri setelah melihat aku,” kata Richard seraya menutup berkas yang tadi dirinya baca. Dia memberikannya kepada sang asisten.

“Baik, kalau begitu akan ku cari tahu siapa saja teman dekat Nyonya Callista Austerlitz Zouch.” Oscar langsung pergi meninggalkan Richard. Jelas sekali kalau asisten pria ini bersemangat untuk bekerja. Richard hanya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala.

Setelah asistennya keluar dari ruangan, Richard pun mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya. Sebuah kotak kecil dia simpan di atas meja lalu membukanya dan mengambil isi dari benda tersebut. Kalung berwarna perak dengan liontin berhuruf C dia pegang lalu memperhatikannya. Mata Richard tidak berpaling dari benda ini, bahkan mengingatkan dia kepada suatu kejadian.

Richard pun tersenyum tipis lalu bergumam, “Akan ku pastikan kau menjadi milikku. Lihat saja perjuanganku untuk mendapatkanmu. Pertemuan kita barulah awal, Zouch.”

***

“Hahaha …,” tawa beberapa pria yang tengah berkumpul di dalam gang sepi. Mereka terlihat sedang pesta alkohol seraya menertawakan suatu hal. Salah satu di antara mereka memilih untuk duduk sendirian dan tidak ikut bergabung, dia terlihat melamun, seperti sedang memikirkan sesuatu. Maxton, anggota yang lainnya menghampiri dia.

“Hei, The Meister! Ada apa denganmu? Kenapa kau melamun dan tak ikut bergabung dengan kami?” tanya Maxton kepada pria yang dia panggil The Meister itu.

Pria tersebut menoleh, tapi dia kembali menundukkan kepala. “Aku hanya memikirkan tentang dia dan merasa bersalah. Sungguh, aku sangat mencintainya,” jawabnya dengan nada lesu.

Maxton mendesis lalu duduk di samping The Meister, dia merangkul bahu pria itu kemudian berkata, “Jangan memikirkannya, The Meister! Apakah kau tak ingat tentang ayah dia? Dia sudah membunuh keluargamu, jangan harap anaknya harus bahagia, sementara kau tidak. Dendammu lebih besar daripada cintamu yang naif itu.”

The Meister hanya terdiam seraya menggelengkan kepala. Maxton pun mendengkus pelan melihat temannya seperti itu. “Tak perlu memikirkan wanita seperti dia. Dia hanyalah musuh, dan anak seorang pembunuh yang sudah merusak kebahagiaanmu. Ingatlah itu!” imbuhnya.

“Tapi, Max. Ak-“

“Membunuh atau terbunuh? Pilih yang mana? Kalau kau mau terbunuh, silakan temui wanitamu itu! Aku tidak akan melarang lagi,” tukas Maxton membuat The Meister terdiam. Dia tahu betul kalau sang teman tak mau kalau dirinya terus seperti ini, tapi dia tak bisa melupakan seorang wanita yang sedang dibicarakan mereka itu.

The Meister memikirkan perkataan Maxton, selama beberapa menit dia terus terpikirkan hingga membenarkan ucapan temannya itu. Kini dirinya bergabung dan enggan lagi memikirkan tentang wanita tersebut. Mereka pun saling mengadukan botol alkohol lalu meneguknya. Di dalam hati, The Meister berkata kalau dia akan berusaha untuk melupakan orang lain dan mengutamakan balas dendam daripada perasaannya.

Karena malam semakin larut, dan khawatir ada polisi yang berpatroli, mereka memilih untuk membubarkan diri. The Meister dan Maxton pun keluar dari gang, dan mereka berpisah di persimpangan jalan. Maxton melangkahkan kaki sendirian di jalan yang berlawanan dengan temannya itu. Jalan ini biasa dia lalui untuk pulang ke rumah.

Tiba-tiba saja, Maxton langsung terjatuh ke tanah dengan punggung yang mengeluarkan darah. Ya, seseorang melepaskan peluru ke arahnya. Maxton masih hidup, dia meringis kesakitan di area itu. Saat dia berbalik, orang tersebut mengarahkan pistol ke arah tubuh dia.

“Tidak! Jangan bunuh aku! Ja- AAARRRGGHHH!”

DOR!

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status