Karina menopang kepalanya yang mendadak berdenyut dengan kedua tangannya. Matanya hampir mabuk akibat dokumen yang terus menerus Marcel berikan padanya. Dimulai dari dokumen tentang persetujuan, bisnis, hingga janji temu yang harus ia kerjakan.
Tak berhenti sampai di situ, Karina bergumam, "Kenapa tugas sekretaris lebih banyak daripada bos, sih?! Terus si Marcel kerja nya apa dong!? Ish!""Kerja gue itu ngeliatin lo kerja, becus atau enggak nya gue yang nentuin". Marcel tersenyum miring di seberang meja Karina. Gadis itu melirik kemudian membuang muka kesal."Kalo aja dia bukan bos gue udah gue cekik dia sampe mati!" gumam Karina lagi.Bohong jika Marcel bilang ia tak mendengar semua yang Karina katakan. Jelas sekali Marcel mendengar setiap perkataan Karina, termasuk ocehan Karina yang kesal terhadapnya.Waktu mulai berjalan cepat, Karina tak berhenti menatap dokumen juga komputer, tangannya sedari tadi tak lepas dari pulpen juga notebook."Ayo," ajak Marcel.Karina mengangkat kepalanya bingung, "Kemana? Kerjaan gue masih banyak!" ketusnya.Ia membuang muka dan kembali melanjutkan pekerjaanya. Marcel tetap terdiam, namun beda dengan raut wajahnya. Ia terlihat sedang menahan marah.Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, Marcel melangkah terlebih dahulu keluar. "Kalau kamu tidak keluar dalam tiga detik, gaji bulan sekarang tidak akan saya berikan!" ancam Marcel.Mendengar itu, tentu membuat Karina segera merapikan mejanya dari kertas-kertas dokumen. Langkahnya ia pacu lebih cepat guna mengejar langkah Marcel."Kita mau kemana, sih!?" tanya Karina dengan nada sebal. Marcel menekan sebuah tombol untuk menutup pintu lift."Bukan kah dua jam yang lalu saya sudah bilang jika kita akan menghadiri rapat di kafe Helly? Daya ingat mu harus di asah lagi jika ingin bekerja di perusahaan saya." Marcel melangkah keluar saat pintu lift terbuka.Karina mengerutkan dahi bingung, "Sejak kapan sih Marcel jadi sok formal?" tanyanya dalam hati.Pasalnya, terakhir ia bertemu dengan Marcel adalah saat dimana ia mengumumkan dirinya akan pindah. Ia memasuki mobil yang sama dengan Marcel, tepatnya, di sebelahnya.Karina memandang Marcel dari samping. Terlalu banyak hal yang datang seolah mengingatkan Karina lagi pada masa lalunya di kota ini. Saat ini, Marcel terlihat sangat berbeda dengan anak SMA urakan yang dulu ia kenal.Marcel yang duduk di sampingnya saat ini, adalah sosok laki-laki dewasa yang begitu banyak berubah. Bahkan, tatapannya juga berubah. Karina bisa rasakan sorot tajam menusuknya setiap kali mata itu melirik ke arahnya.Pandangan Karina kini menunduk, mengingat lagi saat dimana Marcel mendadak keluar kelas akibat amarah yang menggebu.Mobil Marcel berhenti tepat di sebelah cafe bernama 'Helly's Cafe' setelah tiga puluh menit perjalanan. Marcel turun diikuti Karina. "Pak, nanti akan saya hubungi jika pekerjaan sudah selesai," ucap Marcel pada supirnya."Baik, Pak."Karina merasa asing di tempatnya sekarang. "Kenapa gak masuk?" tanya Marcel."E-enggak, kan dimana mana juga Bos dulu baru sekretaris nya nyusul. Jadi, lo- eh Pak Marcel dulu yang masuk." Lidah Karina mendadak kelu juga mual saat bibirnya mengucap kata 'Pak Marcel'.Marcel tersenyum tipis kemudian berjalan masuk. Mereka mencari meja yang rekan bisnis Marcel. Setelah berjalan beberapa saat, Marcel menemukan mejanya. Mereka lantas mendekat dan duduk."Eh, Renaldi? Atau Rifaldi?" tanya Karina.Rekan bisnis Marcel itu seketika bangkit dan menjabat tangan Karina. "Karina, ya? Udah lama banget gak ketemu, apa kabar?" tanyanya."Baik, tapi gak baik pas kerja sama..." Karina mengarahkan bola matanya ke arah Marcel yang sudah duduk."Ngomong-ngomong, gue Renaldi.""Sudah temu kangennya? Mirip ibu-ibu sosialita aja," ketus Marcel yang wajahnya terlihat masam."Ahahah, iya juga. Kalian kan rival pas SMA, bisa bisanya malah jodoh di kantor.""Jodoh apaan, ini malah apes namanya.""Sekali lagi bilang apes akan saya potong gaji kamu!" ancam Marcel.Karina bergidik ngeri setiap kali Marcel berkata sesuatu tentang gajinya. "Eh jangan dong, Mar- Pak maksudnya!""Ahhahahhhahahh!"Renaldi tertawa puas saat melihat peristiwa yang sudah lama tak ia lihat. Tujuh tahun yang telah berlalu, terasa sangat hampa baginya tanpa amukan Karina.Setelah obrolan ringan itu, Renaldi dan Marcel mulai membicarakan rencana dan strategi perusahaan yang baru. Takutnya jika ada beberapa perubahan pemasaran produk dan lainnya.Hingga tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Sangat berbeda dengan waktu dimana Karina mengerjakan lembaran kertas. Sangat jenuh juga membosankan. Namun sekarang, suasana hatinya perlahan mulai membaik akibat Renaldi yang bercerita banyak hal."Sampai ketemu lagi nanti, ya!" ucap Renaldi sambil memajukan mobilnya. Renaldi terburu-buru akibat jadwal lainnya yang harus ia selesaikan.Karina mengangguk juga melambaikan telapak tangannya, "Dah!"Kini tinggal keduanya yang masih terduduk santai sambil menikmati pesanan di cafe tersebut. Cafe bernuansa aesthetic dengan gaya luar namun tetap di beri serbuk nusantara. Sangat cocok untuk tempat pemotretan atau hanya sekedar membagikan stories."Karina," panggil Marcel.Karina menyeruput minumannya kemudian menghadap Marcel. "Mau ketemu sama yang punya cafe nya gak?"Karina mengerutkan dahinya, ia bingung saat Marcel mendadak ingin mempertemukannya dengan seseorang yang belum tentu ia kenal."Emangnya siapa?" tanya Karina.Marcel memanggil salah satu pelayan di cafe itu. "Mbak, bisa tolong panggilkan pemilik cafe ini? Bilang aja kalau Marcel datang bawa kejutan."Pelayan tadi mengangguk paham dan langsung menghubungi majikannya. "Nyonya sedang dalam perjalanan kemari, Mas. Silahkan di tunggu," kata Pelayan Cafe."Oke, terimakasih, ya."Sepuluh menit penuh keduanya menunggu. Hingga, suara bel pintu kini berdenting sangat keras akibat dorongan pintu yang kuat.Itu si pemilik Cafe. Melihatnya, mata Karina membulat kaget juga rindu. "Qiaaa!!"Keduanya saling berpelukan guna menyalurkan rasa rindu pada satu sama lain. "Kenapa gak bilang kalau bangun cafe sih?""Lo susah banget di hubungin soalnya, jadi kita pikir lo gak bakal balik lagi," balas Qia.Karina mengangguk paham, namun langsung menatap intens pada laki-laki yang merupakan bosnya itu. "Lo juga, kenapa telat ngasih tahu, nya? Hah!?""Kan kita baru ketemu tadi.""Huh!"Marcel menghela nafas pasrah. Tak berselang lama, telepon nya berdering. "Saya jawab telepon dulu, kalian lanjutkan mengobrol," ucap Marcel.Karina juga Qiandra mengangguk paham. "Qia, lo tahu gak dari sejak kapan Marcel jadi formal kayak gitu? Gue agak gimana kalo ngobrol sama dia, mana gue kejebak jadi sekretarisnya lagi," keluh Karina."Oh, lo kerja di perusahaan dia sekarang? Marcel jadi formal kayak gitu kalo gak salah sejak lulus SMA dan lanjutin kuliah jurusan bisnis atau apa gitu gue kurang tahu.""Lo juga, padahal nanggung mau lulus bareng malah pindah," lanjut Qiandra.Karina menghela nafas panjang. "Itu ngedadak, Qia. Gue juga gak tahu bakal langsung pindah waktu itu.""Dan juga-""Karina, ayo kembali ke perusahaan." Marcel tiba dengan ekspresi wajah yang berbeda dari biasanya.Karina sempat menolak. "Nanti aja, gue eh aku eh saya kan lagi reuni sama Qia."Marcel menatap lekat manik tajam Karina. "Ayo, Karina!""Ngedadak banget kayak gini, ada apa sih?" tanya Karina bingung. Ia bahkan baru pertama kali melihat raut wajah Marcel setegang tadi. Sebenarnya ada apa? Karina hanya mampu pasrah dan duduk diam di dalam mobil yang terus melesat menuju tempat tujuan. Hingga akhirnya, mereka tiba setelah 10 menit kemudian. Marcel turun dan berjalan terlebih dahulu seolah tak ingat jika dirinya sedang bersama Karina. Jelas gadis di belakang nya semakin bingung.Mereka tiba di lantai ruang kerja, Marcel menghentikan langkahnya. Itu membuat Karina juga ikut menghentikan langkahnya. "Sel—Marcel, kenapa?" tanya Karina. Marcel mengeluarkan ponsel di sakunya. "Halo, Kayla, tolong datang ke ruangan saya sekarang." Marcel membalikkan badannya menghadap Karina. "Saya lagi butuh waktu sendiri, kamu bisa belajar bareng asisten sekretaris yang barusan saya telepon," ucap Marcel. Dirinya berjalan menuju pintu di jalur kanan yang tak lain adalah ruangan pribadinya. Beberapa detik sebelum ia masuk, gadis bernama
"Makasih, ya, Qia!" ucap Karina sambil keluar dari toko. Ia berjalan sebentar menuju pinggir jalan dan memberhentikan taksi. Hampir lima menit dirinya menunggu taksi yang tak kunjung ia temui. "Karina?" tanya seorang wanita yang datang dari arah kanan jalan. Karina merasa terpanggil dan menolehkan kepalanya. Ia mampu lihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja memanggilnya, Nita. "Nita! Kemana aja? Kita baru ketemu!" ujar Karina antusias. Ia benar-benar di pertemukan kembali dengan semua sahabatnya saat kembali. "Baik, Rin. Kamu gimana?" tanya Nita. "Baik. Lo mau kemana?" Nita nampak kesusahan menjawab pertanyaan Karina yang terkesan mudah. Ia menatap pijakan kakinya kemudian kembali menatap sendu wajah Karina. "Mau jemput ke sekolah Siska, Rin." "Siska? Keponakan lo?" tanya Karina bingung. Pasalnya ia tahu betul Nita itu adalah bungsu dan tidak mempunyai adik. Nita tersenyum tipis. "Dia anak perempuan aku, Rin. Aku tahu kamu pasti kaget, ya?" ucapnya. Karina termenung di t
"Terima kasih atas kedatangannya." Marcel menjabat tangan setiap orang yang hendak keluar setelah meeting selesai."Terimalah ini sebagai tanda terimakasih dari saya. Hanya kopi, tapi semoga bermanfaat, ya." Marcel dan Karina membagikan kopi kepada seluruh partner meeting. "Pak Marcel baik banget, padahal yang hadir lumayan banyak loh, Pak." "Eh tidak apa-apa, ini saya bawakan lagi takutnya ada yang tidak kebagian," ucap Kayla sembari membawa beberapa kopi lagi. "Tapi bukankah terlalu berlebihan jika uang perusahaan dipakai untuk barang yang tidak terlalu penting?""Tenang saja, ini pakai kartu kredit pribadi Pak Marcel!" ujar Kayla kegirangan. Setelah beberapa yang hadir meninggalkan ruangan, kini tinggal Marcel dan Karina juga tamu lainnya yang masih bersiap-siap atau hanya sekedar mengobrol dengan sesama. "Pak Marcel baik-baik saja kan?" tanya salah seorang di sana. Marcel tersentak. "Saya baik, tenang saja. Sepertinya akhir-akhir ini saya hanya kurang tidur saja," ucap Marce
Karina terus terduduk di depan pintu kamarnya. Ia tak mau siapapun masuk ke kamarnya saat ini. Termasuk ibunya. Sudah hampir 2 jam ia terdiam dengan pipi yang terus membasah. Karina sudah tak bisa menyeka air mata dengan tangannya sendiri. Selama ini, dirinya hanya mencoba tegar dan menerima semuanya. Ia mencoba untuk terus diam terhadap semua perlakuan ayahnya pada dirinya juga pada ibunya.Karina terlalu lemah. "Padahal semua udah mulai baik-baik aja, kenapa sih masalah datang lagi!? Padahal gue udah mulai nyaman kerja di tempat musuh gue! Padahal..." Karina kembali menangis dalam diam. Dadanya kembali terasa sesak. Ia tak punya siapapun, dirinya tak punya pegangan untuk kembali melangkah. Karina terlalu hancur untuk kembali membuka mata dan melihat dunia. Malam itu, Karina malah mengingat lagi kejadian yang sama sekali tidak ingin ia kenang. Kenangan yang terus membuat luka di benaknya. Perceraian kedua orang tuanya. Flashback On"Ma, kenapa kita pindah?" tanya Karina pada ibun
Karina mengusap wajahnya kasar, pagi ini ia sangat dibuat frustasi oleh keadaan. Gadis itu tak bisa berhenti memandangi dirinya di cermin. Cara satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menghubungi Kayla. "Halo, Kay!" panggil Karina. Kayla di seberang telepon menjawab, "Eh iya Kak? Tumben telepon ada apa?" "Itu, anu.. Kalo izin gak masuk kerja bisa gak?" "Oh, kalo itu biasanya langsung Kak Marcel yang handle. Jadi Kak Karina langsung hubungi Kak Marcel aja." Karina terdiam. "Oh, gitu, ya?" tanya Karina sambil terkekeh kaku. Karina menutup sambungan telepon dan kembali memikirkan nasib hidupnya selanjutnya. Ia menghela nafas berharap jika apa yang terjadi kemarin hanyalah mimpi semata. Karina pergi ke kamar mandi yang menyatu di kamarnya. 30 menit telah berlalu, Karina datang ke ruang makan hendak menyantap sarapannya. Ia tersenyum saat melihat punggung sang ibu. Namun senyumnya kembali pudar saat seseorang melempar tatapan ke arahnya. "Lo! Ngapain di sini!?" tanya Karina kaget
Karina menghela nafasnya setelah Ridwan mematikan sambungan teleponnya. Ia kemudian kembali duduk. "Siapa kak?" tanya Kayla. Bisa Kayla lihat perubahan suasana hati Karina yang memburuk. "Oh, itu... Keluarga," ucap Karina. Tentunya ia tak boleh membawa masalah pribadinya ke tempat kerja. Hanya cara yang Ridwan katakan lah yang bisa ia lakukan. "Aku mau rekomendasiin karyawan baru, itu langsung bilang ke Marcel, 'kan?" Kayla mengangguk, tak lupa ia meneguk kopinya. "Iya kak, langsung aja. Biar Pak Marcel tahu dan langsung ngasih surat persetujuan atau tidak," balas Kayla. "Marcel lagi ada dimana sekarang, ya?" "Biasanya ada di ruang pribadinya kak. Kakak coba cek aja." Karina mengangguk dan langsung melangkahkan kakinya. Aneh, padahal hanya akan bertemu dengan atasannya. Tapi kenapa hatinya jadi lebih senang seperti ini. Namun sedetik kemudian, semua rasa senang itu Karina usir jauh-jauh. "Dia itu pacar Kayla, Rin! Inget! Gak baik deketin pacar orang!" gumam Karina di depan pintu
Karina mengendus kesal setelah menghabiskan sebagian waktu malamnya untuk lembur. Dia menaruh tas kerjanya di meja rias lalu dengan buru-buru membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Aku merasa lelah hari ini, tetapi kenapa aku masih mau lanjut kerja di sini. Aku tidak tahu kenapa pikiranku berubah. Di awal aku ingin membuat Marcel memecatku tetapi makin ke sini tidak bisa dipungkiri kalau aku sudah cukup nyaman di tempat kerja, di sisi lain juga aku masih butuh uang untuk beberapa list harapanku sendiri,” gerutu Karina sambil memegang pelipisnya karena merasa sedikit pusing. Pandangan yang diarahkan ke langit-langit kamar itu seketika membuat Karina menatap sayu. Matanya pun kini mulai bergerak lambar hingga dirinya tertidur. Bayangan yang ada di pikirannya pada saat itu adalah soal Marcel yang masih saja mengacaukan hari-hari kerjanya. Kebersamaan yang tak terduga sebelumnya itu mengantarkan Karina hanyut dalam bayangan masa lalu saat masih bersama dengan Marcel sewaktu sekolah.
Di kamarnya, Luna berusaha untuk menyiapkan berkas yang sudah diminta oleh Karina. Dia berusaha menyusun semua berkas tersebut dengan rapi, tentu harapannya agar dirinya bisa segera dilirik oleh pimpinan perusahaan yang tak lain adalah Marcel.“Hm, yang aku tahu sih Marcel itu teman sekolah Kak Karina, dulu. Bikin penasaran aja sama nama itu,” ucap Luna menerka sambil mengedarkan pandangannya ke langit-langit kamar.Ada beberapa lembar kertas hasil print yang sudah dia siapkan sebelumnya karena beberapa menit yang lalu, printer miliknya sempat mengalami masalah sehingga harus beberapa kali mencetak kertasnya.Luna memasukkan surat lamaran dan berkas yang dibutuhkan ke dalam amplop coklat dan menaruhnya di atas meja.Sempat terlintas dipikirannya bahwa Karina berhasil tembus di perusahaan besar itu tidak lain karena pemilik perusahaan itu adalah teman sekolahnya dulu.“Aku heran, tapi apa yang aku pikirkan bisa jadi benar. Kemungkinan besar pasti karena teman sekolah, jaman sekar