"Ngedadak banget kayak gini, ada apa sih?" tanya Karina bingung. Ia bahkan baru pertama kali melihat raut wajah Marcel setegang tadi.
Sebenarnya ada apa? Karina hanya mampu pasrah dan duduk diam di dalam mobil yang terus melesat menuju tempat tujuan. Hingga akhirnya, mereka tiba setelah 10 menit kemudian. Marcel turun dan berjalan terlebih dahulu seolah tak ingat jika dirinya sedang bersama Karina. Jelas gadis di belakang nya semakin bingung.Mereka tiba di lantai ruang kerja, Marcel menghentikan langkahnya. Itu membuat Karina juga ikut menghentikan langkahnya. "Sel—Marcel, kenapa?" tanya Karina. Marcel mengeluarkan ponsel di sakunya. "Halo, Kayla, tolong datang ke ruangan saya sekarang." Marcel membalikkan badannya menghadap Karina. "Saya lagi butuh waktu sendiri, kamu bisa belajar bareng asisten sekretaris yang barusan saya telepon," ucap Marcel. Dirinya berjalan menuju pintu di jalur kanan yang tak lain adalah ruangan pribadinya. Beberapa detik sebelum ia masuk, gadis bernama Kayla yang tadi sudah ia telepon. "Sore, Kak Marcel. Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya dengan agak lantang. Dahi Marcel berkerut, sudah pasti ia tidak terlalu suka suara perempuan yang terlalu lantang, "Ajari dia bagaimana jadi sekretaris, dia sekretaris baru." Marcel masuk ke ruangannya. Setelah Marcel benar-benar tak terlihat, Karina juga Kayla menghela nafas secara bersamaan. Kayla jadi terlihat lebih santai dari sebelumnya, gadis dengan rambut sebahu itu tersenyum ke arahnya. "Kak Karina, kan? Ayo, aku ajarkan," ajak Kayla sambil menggandeng tangannya masuk ke ruang kerja. Satu hal yang Karina sadari sejak ia datang ke tempat ini adalah, semua yang ada di bawah kendali Marcel, mereka memiliki tata bahasa yang sangat sopan. Kayla duduk di hadapan Karina, gadis periang itu menjelaskan dengan begitu detail tapi di bumbui oleh cerita ringan yang membuat keduanya tidak bosan. Bahkan Karina sampai sesekali tertawa akibat candaan yang Kayla bawakan. Dan semua candaan itu harus berakhir pada pukul delapan malam. Karina sudah termasuk kerja lembur jika pulang di waktu itu. "Kak Karina, maafkan aku, ya. Gara-gara aku terlalu banyak mengobrol jadinya kita pulang malam," ucapnya. Kayla itu lucu, menurut Karina. Apalagi saat dia dengan lantangnya menceritakan semua tentang Marcel sebelum ia bekerja di sini. Satu hal yang perlu di ingat olehnya adalah, Marcel yang sekarang sangat berbeda dengan Marcel yang dulu. "Gak apa-apa, Kay. Ngobrol sama kamu itu seru banget, jadinya waktunya juga gak kerasa." Karina berikan senyuman tulus pada gadis di samping yang punya selisih umur tiga tahun dengannya. "Kamu pulang bareng siapa?" tanya Karina. "Ada yang akan menjemput aku, Kak Karina jangan khawatir." Karina mengangguk paham saat salah satu taksi berhenti di depannya. "Kak Karina," panggil Kayla. Karina berhenti dan berbalik. "Ini kak, aku udah buatin rekapan singkatnya tentang semua jadwal Kak Marcel. Mungkin bakal ada yang berubah, tapi itu kayak mirip jadwal harian Kak Marcel," jelasnya. Kayla memberikan sebuah usb yang berisikan banyak berkas dan siapa saja orang orang yang berbaur dengan kehidupan Marcel di dunia bisnis. Sudah pasti Karina wajib tahu itu. "Aku gak tahu harus bilang apa selain makasih, Kay. Kalo kamu gak ngasih ini, mungkin aku gak bakal tahu harus gimana." Senyum Karina merekah saat Kayla memberikan USB tersebut. Kayla ikut tersenyum melihatnya, "Tidak apa apa, Kak. Tugas ku itu asisten sekretaris, jadi Kak Karina kalo ada apa apa bisa langsung cerita sama aku," ucap Kayla. "Pasti, makasih banget, ya. Bye!" Karina pamit dan masuk ke dalam taksi. Karina tiba sekitar belasan menit kemudian, Karina masuk dan menyapa ibunya yang ternyata masih menunggu ia pulang. Karina lantas pergi ke dapur, ia meneguk se gelas air putih kemudian menghela nafas berat. "Gimana hari ini, Rin? Kamu masih semangat?" tanya Hani lembut. Karina hanya tersenyum kikuk. Ia terlalu bingung, apa ia harus menyebutkan jika hari adalah hari paling sial dalam hidupnya. "Kacau, Ma." Hani nampak terkejut dengan jawaban putrinya. "Kacau gimana, Rin?" "Ya, kacau aja, Ma. Tapi Mama tenang kok, Karina bakal tetep lanjut kerja." Alasan Karina berkata seperti itu adalah, agar sang ibu tidak kecewa padanya. Tapi dalam hati paling dalamnya, Karina ingin sekali cepat cepat berhenti bekerja dengan Marcel. Karina pamit pada ibunya untuk pergi ke kamar. Setelah tiba, ia langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur. Hari pertama Karina cukup melelahkan, apalagi tiap hari. Karina takut Marcel akan terus mengganggunya selama ia kerja di sana. "Si Marcel itu pasti sengaja nyatuin ruang kerja Bos sama Sekretaris, biar bisa terus nyiksa gue. Demen amat sih tuh bocah gangguin hidup gue. Padahal gue udah coba tenang selama tujuh tahun, ish!" gerutu Karina. Ia terus bermonolog dengan dirinya sendiri. Karina ingat satu hal, malam ini, waktu tidurnya akan cukup berkurang untuk rencana ini. Karina meraih tasnya, ia keluarkan USB yang kayla berikan padanya. Karina bangkit dan berjalan menuju laptop yang ada di meja belajar."Kalo gue tahu jadwal Marcel, kan setidaknya ada cara buat bikin dia kesel terus mecat gue, deh." "Jadinya gue gak perlu bayar pinalti sesuai di kontrak. Pinter, Karina, lo pinter!" pujinya pada diri sendiri. Hingga malam semakin larut, Karina terus menyiapkan berbagai rencana yang memungkinkan terjadi. "Hahahah, rencananya udah sempurna. Tunggu aja, Marcel. Hahahahhahaha! Ohok ohok!" Karina tersedak karena terlalu keras tertawa, tenggorokannya kering dan ia memutuskan untuk mengambil air minum terlebih dahulu. ¤¤¤"Yap, hari ini gue pasti bisa!" ujar Karina sebelum keluar rumah. Semalam, ia mendapat pesan dari Qiandra. Mungkin Marcel yang memberikan nomornya. Dan tentu pagi ini, ia akan terlebih dahulu pergi ke cafe Helly untuk bertemu Qia. Setelah menyelesaikan perjalanan, Karina tiba dan di sambut cerah oleh Qia. "Rin, ini ada sedikit hadiah dari gue. Kita kan baru ketemu lagi, jadi ini bisa di bilang sebagai kado atas kepulangan lo." Karina menerima kotak berukuran kecil itu, "Ini boleh gue buka?" tanyanya. Qiandra mengangguk. Karina membuka kotak kadonya dengan hati yang berdebar. Hanya Qia yang selalu memberikan hadiah padanya selama ini. Itu adalah gelang rantai dan mawar adalah bentuk hiasanya. "Ini bagus banget, Qia." "Itu gelang persahabatan, Rin. Nih gue pake.” Qiandra menunjukkan pergelangan tangannya. "Makasih banget ya, Qia." "Oh iya, gue belum ketemu Nita, dia apa kabar?" tanya Karina. Qiandra hanya terdiam seolah memikirkan apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan Karina. "Eh, Rin. Gak takut telat ke kantor? Gue takut nanti Marcel marah sama lo dan potong gaji lo!" Karina juga baru ingat dan ikutan panik, "Gue mau pesen dulu, Qia. Ehm.. Cofee latte sama americano, ya. Habis itu gue mau langsung buru-buru ke tempat kerja!" "Oke, gue siapin dulu." Qiandra berjalan meninggalkan Karina. Karina harus cepat cepat karena jadwal Marcel hari ini adalah bertemu klien lagi. Dan rencana pertama akan segera ia lakukan."Makasih, ya, Qia!" ucap Karina sambil keluar dari toko. Ia berjalan sebentar menuju pinggir jalan dan memberhentikan taksi. Hampir lima menit dirinya menunggu taksi yang tak kunjung ia temui. "Karina?" tanya seorang wanita yang datang dari arah kanan jalan. Karina merasa terpanggil dan menolehkan kepalanya. Ia mampu lihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja memanggilnya, Nita. "Nita! Kemana aja? Kita baru ketemu!" ujar Karina antusias. Ia benar-benar di pertemukan kembali dengan semua sahabatnya saat kembali. "Baik, Rin. Kamu gimana?" tanya Nita. "Baik. Lo mau kemana?" Nita nampak kesusahan menjawab pertanyaan Karina yang terkesan mudah. Ia menatap pijakan kakinya kemudian kembali menatap sendu wajah Karina. "Mau jemput ke sekolah Siska, Rin." "Siska? Keponakan lo?" tanya Karina bingung. Pasalnya ia tahu betul Nita itu adalah bungsu dan tidak mempunyai adik. Nita tersenyum tipis. "Dia anak perempuan aku, Rin. Aku tahu kamu pasti kaget, ya?" ucapnya. Karina termenung di t
"Terima kasih atas kedatangannya." Marcel menjabat tangan setiap orang yang hendak keluar setelah meeting selesai."Terimalah ini sebagai tanda terimakasih dari saya. Hanya kopi, tapi semoga bermanfaat, ya." Marcel dan Karina membagikan kopi kepada seluruh partner meeting. "Pak Marcel baik banget, padahal yang hadir lumayan banyak loh, Pak." "Eh tidak apa-apa, ini saya bawakan lagi takutnya ada yang tidak kebagian," ucap Kayla sembari membawa beberapa kopi lagi. "Tapi bukankah terlalu berlebihan jika uang perusahaan dipakai untuk barang yang tidak terlalu penting?""Tenang saja, ini pakai kartu kredit pribadi Pak Marcel!" ujar Kayla kegirangan. Setelah beberapa yang hadir meninggalkan ruangan, kini tinggal Marcel dan Karina juga tamu lainnya yang masih bersiap-siap atau hanya sekedar mengobrol dengan sesama. "Pak Marcel baik-baik saja kan?" tanya salah seorang di sana. Marcel tersentak. "Saya baik, tenang saja. Sepertinya akhir-akhir ini saya hanya kurang tidur saja," ucap Marce
Karina terus terduduk di depan pintu kamarnya. Ia tak mau siapapun masuk ke kamarnya saat ini. Termasuk ibunya. Sudah hampir 2 jam ia terdiam dengan pipi yang terus membasah. Karina sudah tak bisa menyeka air mata dengan tangannya sendiri. Selama ini, dirinya hanya mencoba tegar dan menerima semuanya. Ia mencoba untuk terus diam terhadap semua perlakuan ayahnya pada dirinya juga pada ibunya.Karina terlalu lemah. "Padahal semua udah mulai baik-baik aja, kenapa sih masalah datang lagi!? Padahal gue udah mulai nyaman kerja di tempat musuh gue! Padahal..." Karina kembali menangis dalam diam. Dadanya kembali terasa sesak. Ia tak punya siapapun, dirinya tak punya pegangan untuk kembali melangkah. Karina terlalu hancur untuk kembali membuka mata dan melihat dunia. Malam itu, Karina malah mengingat lagi kejadian yang sama sekali tidak ingin ia kenang. Kenangan yang terus membuat luka di benaknya. Perceraian kedua orang tuanya. Flashback On"Ma, kenapa kita pindah?" tanya Karina pada ibun
Karina mengusap wajahnya kasar, pagi ini ia sangat dibuat frustasi oleh keadaan. Gadis itu tak bisa berhenti memandangi dirinya di cermin. Cara satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menghubungi Kayla. "Halo, Kay!" panggil Karina. Kayla di seberang telepon menjawab, "Eh iya Kak? Tumben telepon ada apa?" "Itu, anu.. Kalo izin gak masuk kerja bisa gak?" "Oh, kalo itu biasanya langsung Kak Marcel yang handle. Jadi Kak Karina langsung hubungi Kak Marcel aja." Karina terdiam. "Oh, gitu, ya?" tanya Karina sambil terkekeh kaku. Karina menutup sambungan telepon dan kembali memikirkan nasib hidupnya selanjutnya. Ia menghela nafas berharap jika apa yang terjadi kemarin hanyalah mimpi semata. Karina pergi ke kamar mandi yang menyatu di kamarnya. 30 menit telah berlalu, Karina datang ke ruang makan hendak menyantap sarapannya. Ia tersenyum saat melihat punggung sang ibu. Namun senyumnya kembali pudar saat seseorang melempar tatapan ke arahnya. "Lo! Ngapain di sini!?" tanya Karina kaget
Karina menghela nafasnya setelah Ridwan mematikan sambungan teleponnya. Ia kemudian kembali duduk. "Siapa kak?" tanya Kayla. Bisa Kayla lihat perubahan suasana hati Karina yang memburuk. "Oh, itu... Keluarga," ucap Karina. Tentunya ia tak boleh membawa masalah pribadinya ke tempat kerja. Hanya cara yang Ridwan katakan lah yang bisa ia lakukan. "Aku mau rekomendasiin karyawan baru, itu langsung bilang ke Marcel, 'kan?" Kayla mengangguk, tak lupa ia meneguk kopinya. "Iya kak, langsung aja. Biar Pak Marcel tahu dan langsung ngasih surat persetujuan atau tidak," balas Kayla. "Marcel lagi ada dimana sekarang, ya?" "Biasanya ada di ruang pribadinya kak. Kakak coba cek aja." Karina mengangguk dan langsung melangkahkan kakinya. Aneh, padahal hanya akan bertemu dengan atasannya. Tapi kenapa hatinya jadi lebih senang seperti ini. Namun sedetik kemudian, semua rasa senang itu Karina usir jauh-jauh. "Dia itu pacar Kayla, Rin! Inget! Gak baik deketin pacar orang!" gumam Karina di depan pintu
Karina mengendus kesal setelah menghabiskan sebagian waktu malamnya untuk lembur. Dia menaruh tas kerjanya di meja rias lalu dengan buru-buru membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Aku merasa lelah hari ini, tetapi kenapa aku masih mau lanjut kerja di sini. Aku tidak tahu kenapa pikiranku berubah. Di awal aku ingin membuat Marcel memecatku tetapi makin ke sini tidak bisa dipungkiri kalau aku sudah cukup nyaman di tempat kerja, di sisi lain juga aku masih butuh uang untuk beberapa list harapanku sendiri,” gerutu Karina sambil memegang pelipisnya karena merasa sedikit pusing. Pandangan yang diarahkan ke langit-langit kamar itu seketika membuat Karina menatap sayu. Matanya pun kini mulai bergerak lambar hingga dirinya tertidur. Bayangan yang ada di pikirannya pada saat itu adalah soal Marcel yang masih saja mengacaukan hari-hari kerjanya. Kebersamaan yang tak terduga sebelumnya itu mengantarkan Karina hanyut dalam bayangan masa lalu saat masih bersama dengan Marcel sewaktu sekolah.
Di kamarnya, Luna berusaha untuk menyiapkan berkas yang sudah diminta oleh Karina. Dia berusaha menyusun semua berkas tersebut dengan rapi, tentu harapannya agar dirinya bisa segera dilirik oleh pimpinan perusahaan yang tak lain adalah Marcel.“Hm, yang aku tahu sih Marcel itu teman sekolah Kak Karina, dulu. Bikin penasaran aja sama nama itu,” ucap Luna menerka sambil mengedarkan pandangannya ke langit-langit kamar.Ada beberapa lembar kertas hasil print yang sudah dia siapkan sebelumnya karena beberapa menit yang lalu, printer miliknya sempat mengalami masalah sehingga harus beberapa kali mencetak kertasnya.Luna memasukkan surat lamaran dan berkas yang dibutuhkan ke dalam amplop coklat dan menaruhnya di atas meja.Sempat terlintas dipikirannya bahwa Karina berhasil tembus di perusahaan besar itu tidak lain karena pemilik perusahaan itu adalah teman sekolahnya dulu.“Aku heran, tapi apa yang aku pikirkan bisa jadi benar. Kemungkinan besar pasti karena teman sekolah, jaman sekar
“Bodoamat! Tugasku cuma nganterian dia sampe sini. Selebihnya, aku sih terserah dia!” gerutu Karina.Setelah masuk ke dalam ruangan miliknya, Karina kini meletakkan tasnya dan menghela napas lega. Seolah dirinya tengah dikejar oleh sosok penguntit yang membuatnya ingin merasa kabur.Beberapa menit yang lalu, dia sudah mendapat konfirmasi dari Luna kalau dirinya sudah melakukan sesi interview dan dalam proses pengecekan oleh pemilik perusahaan.Itu artinya Marcel sedang berada di ruangan HRD bersama mereka dan itu terbukti ketika Karina masuk ke dalam ruangannya ternyata tidak ada Marcel.“Yang penting tugas Gue sudah selesai yah, mau dia diterima atau tidak itu mah bukan kendali Gue!” ucapnya sambil membuka laptopnya.Ada beberapa hal yang membuat Karina merasa malas jika bertemu dengan Luna dalam satu tempat kerja. Tentu hal yang pasti adalah sifat buruk Luna yang bisa saja menjadi ular yang berbisa.Entah apa tujuann adik tirinya itu begitu ingin masuk ke perusahaan yang dia