A–aku berhasil mendapatkan tambahan waktu…” Elena mencoba menjelaskan.
"Apa kamu tidak punya otak?! Bodoh!" bentaknya lagi. “Aku menyuruhmu untuk menebus hutang itu secara total! Bukan meminta tambahan waktu!”
“Namun, Vincent! Kita bisa membayar hutang itu tanpa–”
“Aku tidak peduli!! Pokoknya, ikuti apa kata Alvaro dan buat dia menghapus hutangku!”
Elena terdiam. Meski marah, tapi dia tahu, membalas hanya akan memperburuk keadaan. Elena memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah.
“Kau dengar, Elena?! Aku ingin hutangku segera lunas!!”
Elena tercekat. “Vincent, aku tidak bisa—”
Tut…Tut…Tut
Suara Elena terputus ketika panggilan dimatikan sepihak oleh suaminya.
Elena menatap kosong ponsel di tangannya dan terduduk lemas. Ia tak mengerti kenapa Vincent berusaha keras untuk menyingkirkannya. Bukankah selama ini hubungan mereka baik-baik saja?
Merasakan kepalanya pusing, Elena berjalan keluar kamar untuk mengambil segelas air.
Namun, ternyata semua lampu telah dimatikan sehingga Elena sama sekali tak bisa melihat apa pun dalam kegelapan.
Sambil meraba dinding, Elena berjalan perlahan karena tak mau membangunkan penghuni rumah ini, apalagi Alvaro.
Saat mata Elena sudah beradaptasi dalam kegelapan, dia berjalan cerah ke arah kiri mansion untuk mengeksplor di mana dapur berada.
Namun, belum sempat Elena menemukan dapur, sebuah suara berat telah membuatnya terhenti.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Elena berhenti dan berbalik perlahan. Matanya melebar saat mendapati Alvaro telah berdiri di depannya, menatapnya tajam seperti elang mengawasi mangsanya.
“T-tuan?” ucap Elena pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya karena telah bertingkah kurang ajar. “Saya haus..”
“Haus?” ulang Alvaro sambil berjalan mendekat, langkahnya pelan, tapi penuh ancaman.
“Aku penasaran,” kata pria itu lagi. Kali ini dengan tatapan menyelidik.
“Bagian tubuhmu yang mana yang merasa haus, sampai kamu masuk ke kamarku?”
Elena membeku. Pandangannya menyapu ruangan dan menyadari kesalahannya. Dia telah salah masuk.
“Saya tidak tahu ini kamar Anda,” ucapnya terbata-bata. “Saya hanya ingin ke dapur.”
“Benarkah?” Alvaro mendekat, tatapannya semakin menekan.
Elena mundur perlahan, hingga tubuhnya terhenti saat punggungnya jatuh menabrak tempat tidur. Ia bingung, tak tahu harus melawan atau menyerah.
“Maafkan saya!” serunya panik, tangannya menghalangi dada Alvaro yang kini berdiri terlalu dekat.
Dengan gerakan cepat, Alvaro menangkap kedua tangannya dan menahannya di atas kepala. Elena terperangkap. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar.
“Kau tahu,” bisik Alvaro pelan, suaranya terdengar dingin di telinga Elena. “Aku bisa membantu menghilangkan dahagamu.”
Jarinya menyentuh pipi Elena, menyibak rambutnya yang berantakan. Mata Elena seketika terpejam, jantungnya berdetak semakin keras.
“T-tidak perlu, Tuan!” serunya. “S-saya baik-baik saja!”
Alvaro berhenti, bibirnya melengkung membentuk senyuman samar. Ia melepaskan tangannya, lalu berbalik mengambil sesuatu dari meja di sudut ruangan.
Saat kembali, ia menyodorkan segelas air.
“Apakah kamu yakin tidak membutuhkan ini?” tanyanya.
Elena tertegun. Ia langsung meraih gelas itu dengan tangan gemetar, wajahnya memerah karena malu.
“Terima kasih,” bisiknya, berusaha menghindari tatapan pria itu. Ia segera berlari keluar kamar, meninggalkan Alvaro yang berdiri dengan senyum misterius.
Keesokan harinya, saat Elena membuka mata, dia terkejut karena melihat seorang pelayan yang sudah berdiri di samping tempat tidurnya dengan beberapa stel baju yang harus Elena pakai.
Beberapa waktu bersiap-siap, Elena sudah duduk di ruang makan bersama dengan Alvaro.
Hari ini, pria itu mengenakan kaos berwarna hitam yang senada dengan celana kainnya sehingga membuat pria itu terlihat lebih santai, tetapi tetap elegan.
Namun, meski pakaian pria itu santai, tapi tatapan pria itu masih tetap sama, tajam, dan mengunci setiap gerak-geriknya.
“Selamat pagi, Tuan.” Panggil Elena, singkat sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
Melihat itu, Alvaro menjawab dengan ekspresi datarnya yang biasa. “Duduk dan makan. Beritahu koki apabila tak sesuai dengan seleramu.”
“Tidak, Tuan. Ini sudah lebih dari cukup! Terima kasih,” ucap Elena, sedikit canggung.
Apalagi setelah melihat satu meja penuh dengan makanan yang jarang ia lihat di rumah Vincent.
Di rumah pria itu, Elena selalu mengerjakan semuanya sendiri, sehingga masakan sebanyak ini biasanya hanya ia sajikan saat mengadakan acara keluarga.
Beberapa waktu kemudian, suasana kembali hening dan hanya terdengar suara denting alat makan yang saling beradu.
Hingga kemudian, Alvaro meletakkan alat makannya dan menatap lurus ke arah Elena.
"Selama tinggal di sini, aku ingin kamu memahami posisimu. Jangan berpikir kalau kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau."
Elena mengangguk pelan.
"Pertama," ucap Alvaro, sambil mengangkat satu jari telunjuk.
“Jangan coba melarikan diri. Aku punya banyak mata di luar sana, dan aku tidak akan segan mengambil tindakan jika kau mencoba kabur."
Elena bergidik. Ia tahu Alvaro tidak akan main-main dengan ucapannya.
"Kedua, jangan mencampuri urusan pribadiku.”
“Ketiga, jangan banyak bertanya karena aku akan memberitahumu jika aku memutuskan kamu perlu tahu sesuatu."
Nadanya sedikit penuh penekanan saat bicara, Elena kembali mengangguk.
Alvaro lalu mengelap bibirnya dengan sapu tangan sebelum bangkit dan berjalan memutari meja.
Ia berhenti tepat di belakang Elena sebelum tangan Alvaro perlahan menyentuh pundak wanita itu.
"Dan yang terakhir," suara Alvaro menjadi lebih datar lagi.
Sambil mendekatkan wajahnya di telinga Elena, pria itu membisikkan sesuatu yang membuat Elena tersentak. "Jangan pernah berbohong padaku, karena aku benci dipermainkan.”
“Mengerti?” Suara pria itu terdengar lagi, tenang tapi penuh tekanan.
Elena menelan ludah dan cepat-cepat mengangguk. Sebab, kali ini dia tidak lagi punya keberanian untuk melawan atau membantah.
“Bagus.” Alvaro berjalan kembali ke sisi meja. “Aku tidak suka mengulangi ucapanku.”
Setelah itu, Pria itu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Elena duduk terpaku. Merasa lemas karena sebelum pria itu mengancamnya, Elena sudah lebih dulu berbohong tentang kondisinya yang tak sedang menstruasi.
Apa yang akan terjadi kalau Alvaro tahu dia berbohong?
Awan mendung menggantung rendah di atas area pemakaman. Rintik hujan tipis turun seolah turut merasakan duka yang membekap hati Elena. Di sisi liang lahat, Elena berdiri kaku, mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya pucat, matanya sembab, namun kali ini ia tak lagi menangis.Di sebelahnya, Alvaro menggenggam tangannya erat, tak melepaskan sedetik pun. Ia menjadi satu-satunya penopang Elena sekarang.Elena menatap nisan baru itu, bibirnya bergetar pelan. "Istirahatlah dengan tenang, Bu… Aku akan hidup lebih baik meski tanpamu."Setelah upacara selesai, Alvaro membawa Elena pulang. Sepanjang perjalanan, Elena bersandar di pundaknya dan terlihat hanya diam. Sesampainya di rumah, Alvaro mengajak Elena duduk di ruang tamu. Ia merogoh saku jas dalamnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru biru tua.“Ini…” ujarnya pelan, lalu menyerahkan kotak itu ke Elena.Dengan tangan gemetar, Elena membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah cincin emas putih sederhana dengan satu mata ber
Elena masih memberontak di pelukan Alvaro, tangisnya tak kunjung reda. Namun sesaat kemudian, pintu kamar terbuka cepat. Seorang dokter bersama dua perawat masuk dengan langkah tergesa.“Pak, kami harus memberinya penenang,” ucap dokter itu tegas.Alvaro mengangguk cepat dan menyingkir perlahan, meski tangannya masih menggenggam tangan Elena erat-erat.Perawat segera memegangi tubuh Elena. “Tolong tenang, Bu Elena.”Dokter lalu menyuntikkan obat penenang ke lengan Elena. Tubuhnya masih sempat menegang, bibirnya mengucap lirih, “Aku mau Ibu… Aku mau Ibu aku…”Namun perlahan, efek obat itu mulai bekerja. Tubuh Elena melemas, tangisnya melemah menjadi isakan, dan akhirnya matanya tertutup. Hening.Alvaro berdiri terpaku, menatap wajah pucat Elena yang kini terbaring tenang di ranjang. Perasaannya hancur, namun ia berjanji akan menemani Elena melewati masa-masa sulitnya ini. Alvaro pernah merasakan sakitnya kehilangan saat dia ditinggal ibunya. Tetapi mungkin, rasa sakit itu tak seberapa
Telepon di tangan Elena hampir terjatuh. Wajahnya seketika pucat pasi, tubuhnya limbung.Melihat perubahan drastis di wajah Elena, Alvaro dengan sigap memegang kedua bahunya. "Apa yang terjadi?"Elena menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Suaranya bergetar saat menjawab, "Ibuku... kritis. Aku harus ke rumah sakit sekarang."Tanpa banyak bertanya lagi, Alvaro langsung meraih kunci mobil dari saku jasnya. "Ayo. Aku antar kamu."Elena mengangguk cepat, cemas. Alvaro menggenggam tangan Elena erat-erat, memberikan kekuatan tanpa berkata apa-apa, lalu mereka berdua bergegas keluar dari ruangan.Di lorong, Jose yang baru saja lewat, melihat mereka dengan heran. Tapi saat menangkap ekspresi panik atasannya, dia segera tahu bahwa ada yang tidak beres. Karena itu, dia hanya menunduk tanpa berkata apa-apa, membiarkan mereka melewatinya begitu saja.Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Elena hanya bisa menggenggam erat sabuk pengaman, bibirnya terus-menerus bergumam dalam hati,
Elena diam di tempat. Matanya menatap Alvaro tanpa ekspresi. Alvaro yang tidak sabar, berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Elena. Tanpa aba-aba, pria itu langsung mengangkat tubuh Elena di pundaknya bak sebuah karung beras. “Lepaskan, Al. Kita sedang di kantor.” “Tidak peduli,” seru Alvaro. Teriakan Elena tak cukup untuk membuat pria itu menghentikan aksinya. Dari semalam dia sudah menahan diri, sekarang saat masalah sudah selesai. Elena masih bersikap dingin padanya. Itu membuatnya sangat marah. Elena meronta di atas pundak Alvaro, tangannya memukul punggung pria itu dengan sia-sia. "Alvaro! Turunkan aku sekarang juga!" Tapi Alvaro tetap berjalan dengan langkah besar. Para karyawan yang kebetulan lewat di lorong terkejut tapi tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa orang buru-buru menunduk, pura-pura tak melihat. Dengan wajah datar nan tegas, Alvaro membuka pintu lift dan masuk sambil tetap menggendong Elena di pundaknya. Begitu pintu lift menutup, suasana semakin panas. Al
Keesokan harinya, di dalam ruangan rapat direksi.Suasana ruang rapat terasa begitu menegangkan. Para petinggi duduk berderet dengan wajah penuh tanya. Sebagian berbisik pelan, sebagian lagi hanya sibuk melirik jam.Pukul delapan tepat, Alvaro masuk dengan langkah tegap, wajahnya terlihat serius. Di belakangnya, Jose membawa laptop dan map. Suasana hening seketika.Alvaro langsung memberikan isyarat kepada Jose. Jose pun mengangguk dan mulai berbicara. “Terima kasih sudah hadir dalam rapat hari ini,” suara Jose tegas. Ia berdiri di depan meja rapat, sedang Alvaro duduk dengan tatapan tak lepas ke arah Elena yang duduk di kursi paling ujung.“Menindaklanjuti kasus Elena kemarin, ada satu hal penting yang harus kalian lihat.” Jose bergerak cepat. Ia menyalakan proyektor dan menghubungkan laptopnya. Tak butuh waktu lama, layar besar di depan ruangan menampilkan serangkaian bukti.“Beberapa minggu terakhir, akun milik Elena digunakan untuk mengakses sistem keuangan perusahaan dari peran
Alvaro menatap layar ponselnya lama. Pesan singkat dari Elena membuatnya semakin gelisah.“Shit!”Ia menghubungi Jose lagi. "Percepat penyelidikannya!”"Saya mendapat sesuatu Tuan. Ada satu ha yang menurut saya sangatl mencurigakan. Saya sudah mengecek log IT minggu lalu. dan saya menemukan ada aktivitas login dari perangkat berbeda, menggunakan VPN, ke akun Elena. Di luar jam kerja."“Siapa?”Wajah Alvaro menegang. “Masih kami telusuri. Tapi… ada satu nama yang muncul beberapa kali di sistem audit internal. Asisten Delisa—Rani. Aku rasa dia tahu sesuatu.”“Cari dia! buat bicara!”“Baik.”Alvaro mematikan panggilan. Dia menatap lurus ke depan dengan tajam. Tangannya menggenggam setir kemudi dengan erat.***Di salah satu ruangan kecil yang biasa digunakan untuk istirahat staf, Rani duduk gelisah. Ia memainkan flashdisk kecil di tangannya. Berkali-kali ia menoleh ke pintu. Wajahnya cemas.Sejak kejadian siang tadi, ia tak bisa berhenti merasa bersalah. Ia memang tidak tahu apa-apa d