Air mata Elena akhirnya jatuh juga.
“Jangan menangis, karena air matamu tidak akan mengubah apapun.” tangan pria itu terulur mengusap bulir air mata yang turun di pipinya. Elena terdiam sedangkan tubuhnya gemetar menahan isakan. Ucapan Alvaro membuat Elena teringat akan posisinya yang serba salah. Ancaman Vincent membawa ibunya, sedangkan perbuatan Alvaro melecehkannya. Setelah ini, apakah dia masih punya kesempatan untuk menyelamatkan harga dirinya? Melihat Elena yang tak lagi membantah, Alvaro tersenyum tipis. “Bagus! Sekarang jadilah wanita yang baik.” Alvaro kembali mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Elena. Tatapannya tajam, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya yang membuat Elena semakin tegang. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh dagu Elena dengan lembut, lalu memiringkan wajahnya sehingga mata mereka bertemu. Elena menelan ludah, tubuhnya terasa kaku. Ia ingin mundur, tapi langkahnya tertahan. Ketika Alvaro mulai mengecup leher dan pundaknya sebelum menyesapnya pelan. Elena terkejut, jantungnya berdegup kencang. "Tuan Alvaro, tolong... jangan," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Meski ia tahu, kata-kata itu tak bisa menghentikan pria yang sudah diselimuti hasrat menggebu. Tangan pria itu bergerak perlahan menyentuh lengan Elena, lalu turun ke pinggangnya. Sentuhan itu terasa begitu mendesak, membuatnya semakin sulit bernapas. "Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu," katanya dengan nada lembut, tapi ada sesuatu dalam ucapannya yang membuat Elena merasa semakin terpojok. Napas Elena terengah, pikirannya bercampur aduk. Ketika Alvaro mencoba mendekatkan bibirnya ke bibir Elena, wanita itu merasa panik. "Hentikan!" serunya tiba-tiba, suara lebih keras dari biasanya. Tangannya mendorong dada Alvaro, meski gemetar. Alvaro terhenti sejenak, menatap Elena dengan tatapan terkejut. Namun, senyum tipis kembali menghiasi wajahnya, seolah-olah tahu bahwa ini belum berakhir. "Masih berani menolakku?" Alvaro bersuara mengintimidasi. Elena menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya. "Ti-tidak, Tuan! Maksudku, aku.. aku sedang datang bulan." “Brengsek! Beraninya kamu mempermainkanku!” Alvaro tampak kesal, tangannya meraup wajahnya kasar. Ternyata, penampilan Elena yang menggoda sama sekali tak menguntungkannya. Padahal, hasratnya sudah terlanjur naik!! Melihat Alvaro yang kembali dingin, Elena menjadi semakin gemetar. Namun, ia tak punya pilihan dan terpaksa berbohong karena belum sanggup menyerahkan harga dirinya begitu saja ke pria yang sekarang sedang menatapnya penuh selidik. "Baik," ujar Alvaro dengan suara rendah. "Kali ini aku melepaskanmu." Sesaat Elena merasa senang bercampur lega. Namun, kata-kata Alvaro kemudian, membuatnya kembali terkejut. “Kamu harus tinggal bersamaku, sampai kamu siap melayaniku.” Elena terkejut, hingga mundur dua langkah. Ternyata usahanya tak benar-benar berhasil membuatnya menghindar dari pria ini. Kalupun dia bisa mengelabui Alvaro, di sisi lain, Vincent tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Oleh karena itu, dengan berat hati, Elena menerima tawaran itu. “Aku setuju untuk menjadi teman… tidurmu.” Alvaro sontak menarik ujung bibirnya ke atas. Namun, hanya sebentar karena beberapa saat kemudian Elena kembali mengatakan hal yang membuatnya kesal. “Tolong beri aku waktu untuk menyelesaikan periode ini. Setelah itu, aku sendiri yang akan menyerahkan diriku kepadamu.” Alvaro terdiam, menatap Elena tajam. Matanya menyelidik, seolah ingin memastikan setiap kata yang keluar dari mulut wanita itu bukan kebohongan. Ruangan itu pun sontak menjadi hening. "Baik," akhirnya, suara rendah penuh peringatan. "Tapi ingat, jangan pernah coba untuk memanfaatkan kepercayaanku atau tak hanya kamu seorang yang tamat.” Elena mengangguk cepat. Meski tubuhnya gemetar, dia berusaha tegar. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan pria itu. "Satu minggu," lanjut Alvaro dingin. “T-tapi saya periodeku lebih lama, Tuan. Setidaknya lima belas hari!” kata Elena lagi. Mendengar itu, Alvaro menatap Elena dengan alis terangkat, “Baik.” "Aku menunggumu tepat di hari ke-15. Ingat itu!" lanjut Alvaro datar dan tajam. Telunjuk pria itu menunjuk lurus ke arah Elena sebelum berbalik dan keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi. Elena menghembuskan napas panjang dan tubuhnya nyaris ambruk. Namun, ia lega karena setidaknya dia mendapat waktu tambahan untuk berjuang. Sepeninggal Alvaro, Elena melihat ke sekelilingnya dan berpikir mengenai kehidupannya beberapa waktu ke depan. Akan banyak yang berubah, tapi paling tidak, sementara dia akan aman dari hasrat pria itu dan ancaman dari Vincent. Yang terpenting lagi, nyawa ibunya juga aman. Beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang mendekat dan membungkukkan badan dengan hormat. “Permisi Nyonya, Tuan meminta saya mengantar Anda ke kamar,” ucap pelayan itu. Tanpa banyak bicara, Elena mengikuti pelayan itu. Ketika pintu kamar terbuka, dia tertegun. Kamar itu besar, mewah, jauh dari bayangannya. Tempat tidur besar dengan seprai sutra, lemari pakaian penuh gaun mahal, dan jendela kaca lebar menghadap ke Taman. “Ini kamar saya?” tanya Elena, tak percaya. Pelayan itu mengangguk, dengan senyum ramah. Dia kira, Alvaro akan memberinya kamar sempit tanpa makanan dan minuman, memperlakukannya bak seorang tawanan. Ternyata dia salah, pria ini tidak seburuk yang dia pikir. Pelayan itu kemudian pergi, setelah memastikan tak ada lagi yang dirinya butuhkan. Begitu pelayan pergi, Elena melangkah masuk. Dia duduk di sofa, memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Rasa cemas hinggap di pikiran. Bagaimanapun, dia telah melakukan sebuah kebohongan. Jika Alvaro tahu, entah apa yang akan dia lakukan padanya. Belum selesai dengan ketakutannya, ponsel di sakunya berbunyi. Nama Vincent terpampang di layar. Dengan berat hati, Elena mengangkat panggilan itu. "Brengsek! Apa yang kau lakukan?!" suara Vincent langsung meledak begitu dia bersuara.Bab 89Elena terhenyak, melihat siapa yang kini berdiri dengan senyum memuakkan. Dia mundur beberapa langkah saat pria itu mulai mendekat. “Ka…kamu bagaimana bisa?”Suara tawa pria itu semakin keras, seolah pertanyaan yang keluar dari mulut Elena hanya cuitan yang tak berarti. “Apa kamu merindukanku?”Elena mundur, seiring langkah pria itu yang semakin dekat dengannya. Namun…sial!Tubuh Elena terbentur tembok di belakang, hingga tak bisa menghindar lagi. “Berhenti! Bukankah kamu harusnya di penjara. Bagaimana…kamu… bebas?”Pria itu menyeringai, dan berdiri dengan angkuh. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Matanya mulai menyusuri tubuh Elena dari atas hingga bawah. Tangannya mengusap bibirnya, seolah sedang menatap makanan yang menggugah selera.“Sepertinya…Bajingan itu memanjakanmu. Tubuhmu semakin berisi dan terlihat…seksi.”“Tutup mulutmu itu, Vincent!”Perut Elena seperti diaduk-aduk, melihat ekspresi mantan suaminya itu. Rasanya ingin muntah. “Jika Alvaro melihatmu, ka
Elena terkikik pelan, matanya berbinar penuh semangat seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan impian.“Kalau begitu, siap-siap saja, dompetmu akan kurampok habis-habisan hari ini,” godanya dengan nada centil.Alvaro hanya mengangkat satu alis dan meliriknya sambil membuka pintu mobil. “Merampok dompetku?”Elena mengangguk, matanya menatap dalam Alvaro, menunggu reaksi pria itu. Alvaro mendekatkan wajahnya dan berhenti di sisi telinga Elena. “Mau yang lebih berharga?” tanya Alvaro pelan, hampir berbisik.“Apa?” Elena menatap Alvaro dengan serius. Mata Alvaro kemudian bergerak ke bawah. Memberikan isyarat ke bagian bawahnya. Elena nyaris tersedak saat melihat itu. Wajahnya merah padam. Ia mndelik. Tapi seperti biasa, Alvaro hanya memasang wajah datar. Seolah apa yang dia lakukan itu, hal biasa.“Dasar mesum!”Elena memukul dada Alvaro pelan, membuat pria itu meringis, dia segera bergegas masuk ke dalam mobil. Alvaro hanya tersenyum tipis dan kemudian duduk di samping Ele
Awan mendung menggantung rendah di atas area pemakaman. Rintik hujan tipis turun seolah turut merasakan duka yang membekap hati Elena. Di sisi liang lahat, Elena berdiri kaku, mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya pucat, matanya sembab, namun kali ini ia tak lagi menangis. Di sebelahnya, Alvaro menggenggam tangannya erat, tak melepaskan sedetik pun. Ia menjadi satu-satunya penopang Elena sekarang. Elena menatap nisan baru itu, bibirnya bergetar pelan. "Istirahatlah dengan tenang, Bu… Aku akan hidup lebih baik meski tanpamu." Setelah upacara selesai, Alvaro membawa Elena pulang. Sepanjang perjalanan, Elena bersandar di pundaknya dan terlihat hanya diam. Sesampainya di rumah, Alvaro mengajak Elena duduk di ruang tamu. Ia merogoh saku jas dalamnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru biru tua. “Ini…” ujarnya pelan, lalu menyerahkan kotak itu ke Elena. Dengan tangan gemetar, Elena membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah cincin emas putih sederhana dengan
Elena masih memberontak di pelukan Alvaro, tangisnya tak kunjung reda. Namun sesaat kemudian, pintu kamar terbuka cepat. Seorang dokter bersama dua perawat masuk dengan langkah tergesa.“Pak, kami harus memberinya penenang,” ucap dokter itu tegas.Alvaro mengangguk cepat dan menyingkir perlahan, meski tangannya masih menggenggam tangan Elena erat-erat.Perawat segera memegangi tubuh Elena. “Tolong tenang, Bu Elena.”Dokter lalu menyuntikkan obat penenang ke lengan Elena. Tubuhnya masih sempat menegang, bibirnya mengucap lirih, “Aku mau Ibu… Aku mau Ibu aku…”Namun perlahan, efek obat itu mulai bekerja. Tubuh Elena melemas, tangisnya melemah menjadi isakan, dan akhirnya matanya tertutup. Hening.Alvaro berdiri terpaku, menatap wajah pucat Elena yang kini terbaring tenang di ranjang. Perasaannya hancur, namun ia berjanji akan menemani Elena melewati masa-masa sulitnya ini. Alvaro pernah merasakan sakitnya kehilangan saat dia ditinggal ibunya. Tetapi mungkin, rasa sakit itu tak seberapa
Telepon di tangan Elena hampir terjatuh. Wajahnya seketika pucat pasi, tubuhnya limbung.Melihat perubahan drastis di wajah Elena, Alvaro dengan sigap memegang kedua bahunya. "Apa yang terjadi?"Elena menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Suaranya bergetar saat menjawab, "Ibuku... kritis. Aku harus ke rumah sakit sekarang."Tanpa banyak bertanya lagi, Alvaro langsung meraih kunci mobil dari saku jasnya. "Ayo. Aku antar kamu."Elena mengangguk cepat, cemas. Alvaro menggenggam tangan Elena erat-erat, memberikan kekuatan tanpa berkata apa-apa, lalu mereka berdua bergegas keluar dari ruangan.Di lorong, Jose yang baru saja lewat, melihat mereka dengan heran. Tapi saat menangkap ekspresi panik atasannya, dia segera tahu bahwa ada yang tidak beres. Karena itu, dia hanya menunduk tanpa berkata apa-apa, membiarkan mereka melewatinya begitu saja.Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Elena hanya bisa menggenggam erat sabuk pengaman, bibirnya terus-menerus bergumam dalam hati,
Elena diam di tempat. Matanya menatap Alvaro tanpa ekspresi. Alvaro yang tidak sabar, berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Elena. Tanpa aba-aba, pria itu langsung mengangkat tubuh Elena di pundaknya bak sebuah karung beras. “Lepaskan, Al. Kita sedang di kantor.” “Tidak peduli,” seru Alvaro. Teriakan Elena tak cukup untuk membuat pria itu menghentikan aksinya. Dari semalam dia sudah menahan diri, sekarang saat masalah sudah selesai. Elena masih bersikap dingin padanya. Itu membuatnya sangat marah. Elena meronta di atas pundak Alvaro, tangannya memukul punggung pria itu dengan sia-sia. "Alvaro! Turunkan aku sekarang juga!" Tapi Alvaro tetap berjalan dengan langkah besar. Para karyawan yang kebetulan lewat di lorong terkejut tapi tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa orang buru-buru menunduk, pura-pura tak melihat. Dengan wajah datar nan tegas, Alvaro membuka pintu lift dan masuk sambil tetap menggendong Elena di pundaknya. Begitu pintu lift menutup, suasana semakin panas. Al