Suasana malam ini begitu dingin, disertai gemericik air hujan dengan petir menyambar. Tapi agaknya, cuaca mencekam seperti itu tidak mengganggu Alina yang tengah menenggak minuman haram sambil sesekali melambungkan asap rokok. Uang sebanyak 100 juta rupiah sudah menggemukkan rekeningnya. Alina tertawa.
”Setidaknya ada gunanya juga si cupu itu. Lumayan lah, uang ini buat bayar dia numpang ke gue,” gumam Alina yang mulai teler.Krek!Pintu terbuka, Ardan -- suami Alina menggelengkan kepala melihat istrinya kembali mabuk. Ardan segera mengambil barang haram itu dan membuangnya ke tempat sampah. Alina meracau, meneriaki suaminya karena mengganggu kesenangannya.”Mana Melisa?” tanya Ardan.Alina tertawa, ”Dia adikku, udah gede. Kenapa kamu cari dia terus? Jelas-jelas istrinya ada di depan mata,” gerutunya.Ardan menghela napas. Ia tak habis pikir dengan istrinya karena tampak begitu tenang padahal adik perempuannya sudah pergi selama seminggu dari rumah. Ia bahkan tidak pernah mendengar istrinya mengeluh karena Melisa tak kunjung pulang. Ardan berkacak pinggang, menarik lengan istrinya agar berdiri meski sempoyongan.”Mana Melisa?! Adikmu itu masih 18 tahun, Lin. Kamu mikir nggak sih kalo adikmu itu hilang?” cecarnya.Alina kembali tertawa, kemudian berlari ke wastafel untuk memuntahkan cairan yang mengaduk-aduk perutnya. Setelah memuntahkannya, Alina merangkak ke sofa dan memilih tidur.”Alina! Alina!” Ardan berteriak, tapi Alina terlampau nyenyak hingga tak mendengar apapun.Frustasi, Ardan menjambak rambutnya sendiri kemudian menaiki tangga menuju kamar. Ia tak menghiraukan istrinya, bahkan pintu kamar sengaja dikunci. Di dalam kamar, Ardan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 23.11 malam. Pikirannya masih tertuju pada Melisa, adik iparnya hilang tanpa jejak, bahkan baju-bajunya masih tersimpan rapi di lemari.”Di mana kamu Mel?”Jujur saja, Ardan mencurigai Alina yang menjadi penyebab perginya Melisa. Tapi percuma juga Ardan mengorek informasi dari istrinya, karena istrinya tak akan mengatakan ke mana Melisa pergi. Ardan memejamkan matanya, hingga beberapa menit terlelap.•••Brak! Brak! Brak!Alina mencoba membuka mata yang terasa berat. Jendela yang berada di dapur dekat sofa yang ia tiduri terbuka, hingga tirainya melambai. Alina sedikit menyeret langkahnya, kepalanya masih pusing akibat terlalu banyak minum. Begitu sampai di dapur, ia tak langsung menutup jendela, Alina memilih mencuci wajahnya terlebih dahulu agar lebih segar.”Jam berapa sih ini?” gumamnya. Alina melihat arlojinya. ”Jam 1?”Kemudian Alina mendekat ke arah jendela untuk menutupnya, tapi ia urungkan saat di dekat pagar rumahnya terdapat seorang gadis bertubuh kurus tengah menghadap ke arahnya. Saat kilat menyambar, Alina menyipitkan mata karena melihat baju yang dipakai gadis itu seperti ia mengenalinya.”Kok bisa masuk ke dalam sih tu bocah?” gumam Alina. Ia segera menutup jendela dan menguncinya.Keadaan ruang tamu dan ruang tengah sudah gelap, hanya lampu kristal saja yang dibiarkan menyala, menjadikan cahayanya meremang. Alina duduk di sofa, mengambil gawainya untuk mengecek ada pesan atau tidak yang belum sempat dilihat. Satu nomor baru menarik perhatiannya, nomor itu hanya berjumlah 5 angka dengan pesan suara beberapa detik.(Teteh, tolong ....)Alina mengernyit. Kembali ia dengarkan lagi pesan suara itu, Kemudian matanya melotot.”Nggak jelas banget sih,” gumamnya, seraya menghapus pesan itu.Alina berdiri untuk mengambil remote tv, ia segera mencari film bagus untuk ditonton. Setelah mendapat film yang menurutnya menarik, Alina kembali merebahkan diri di sofa dan menonton televisi dengan posisi menyamping.”Ujan nggak udah-udah, heran gue,” gerutunya sambil menyisir rambut dengan jari.Semakin malam, semakin terasa dingin. Alina memilih beranjak ke lantai atas untuk mengambil selimut atau jaket. Ia menaiki tangga perlahan hingga sampai di pintu kamarnya. Sudah beberapa kali ia mencoba membuka pintunya, tapi tak bisa.”Dasar suami lucknut! Istri belum masuk kamar malah dikunci,” sungutnya.Kreek!Derit pintu justru terdengar dari arah belakang Alina, di mana itu adalah kamar Melisa yang memang berhadapan dengan kamarnya. Alina menoleh, memang pintu itu terbuka sedikit hingga membuatnya tertarik untuk mengambil selimut di kamar adiknya.Braak!Alina mendorong pintu berwarna putih itu hingga pintunya membentur tembok. Kamar Melisa masih sama seperti sebelumnya, bahkan boneka beruang yang ada di meja belajarnya masih sama posisinya. Alina membuka lemari Melisa, dan segera mengambil selimut berwarna biru. Begitu akan menutupnya, sayup-sayup Alina mendengar bunyi shower.”Halu paling,” gumamnya.Alina segera keluar dari kamar adiknya, dan kembali menuruni tangga. Begitu sampai di sofa, ia merebahkan badan dengan selimut biru yang mendekapnya.Ting!Ponselnya kembali berbunyi dan mendapat pesan suara baru dari nomor yang sama seperti sebelumnya. Alina dengan tampang datarnya mendengar pesan suara itu lagi. Suaranya begitu lirih, seperti suara isakan yang tertahan.(Teteh ... sakit, Teh.)Posisi Alina kini duduk dan kembali mendengarkan voice note itu. Suaranya sangat lirih, meski volume ponselnya sudah full.”Siapa ini?” Alina mengirimkan suaranya ke nomor itu. Dua centang biru, artinya pesan suara dari Alina langsung dibaca dan didengarkan di sana. Tanpa menunggu lama, pesan Alina terbalas.(Teteh, ini aku ....)Alina kesal mendengar jawaban pesan suara itu. Kemudian mencari nomor rekannya, kemudian menelfon. 2 kali tidak diangkat, tapi begitu Alina telfon ke 3 kalinya, telfonnya kini diangkat.”Alina, nggak ada waktu lain lagi apa buat telfon? Ini jam berapa, lihat,” gerutu temannya di seberang.Alina menggaruk kepalanya yang tak gatal. ”Maaf, Dip. Tapi adek gue masih aman di sana, 'kan?”Terdengar suara helaan napas dari lelaki bernama Dipta ini. ”Gue kan udah beli dia, kenapa loe nanyain adek loe lagi?”Alina tertawa sumbang untuk mengusir rasa tak enak. ”Takutnya dia kabur, Dip. Tapi kalo masih sama loe, ya, lega gue.”Kemudian sambungan diputuskan sepihak oleh Dipta, bahkan tanpa menunggu persetujuan Alina.•••Keesokan harinya, Ardan bangun setelah mendengar azan subuh. Lelaki berbadan tegap dan berkulit kuning langsat itu segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Begitu selesai mandi dan berpakaian, bahkan ia sudah selesai bermunajat. Ardan segera ke bawah untuk membuat sarapan.Namun, begitu ia di lantai bawah, Ardan dibuat ternganga saat kondisi rumahnya seperti kapal pecah karena banyak sekali wadah snack berceceran disertai televisi yang menyala. Sedangkan Alina tidur di posisi setengah duduk.”Bangun!”Ardan menaikan suaranya saat membangunkan Alina. Ia sudah tak ingin lagi bersabar pada istrinya, karena yang ada ia hanya diinjak-injak. Ardan memang mencintai Alina, tapi tidak seperti ini.”Alina, bangun!” bentaknya lagi.”Hah! Jangan!” Alina berteriak seraya melempar selimut biru yang ada di badannya. Alangkah terkejutnya Alina saat membuka mata, Ardan tengah menatapnya dengan wajah datar.”Bersihkan semua ini, atau kamu aku ceraikan!” ucap Ardan tegas.Alina yang baru saja bangun terkejut.”A-apa? Cerai?”Baku tembak antara pengawal yang dibawa oleh Rose dengan sekawanan orang memakai jas tak terelakkan. Clara sudah bersimbah darah karena kepala Rose yang tertembak terus menerus mengucurkan darah. Clara hanya memejamkan mata, mencoba menerima jika ia akan dijemput oleh ajal saat itu juga. Tubuhnya gemetar hebat. Malaikat maut seakan mengintai hendak mencabut nyawa siapa pun yang ada di sana. Desing peluru telah berhenti. Clara masih memejamkan mata dan mulai berpikir, kali ini ia akan menjadi tawanan oleh orang berbeda. Tangan dan kakinya terbebas, Clara membuka mata dan mendapati sepasang mata yang ia kenali memindahkan jasad Rose. Lantai kayu ini berubah berwarna merah dan berbau anyir. Semua pengawal Rose telah kalah telak oleh anak buah Dipta. ”Kita mau ke mana?” Dipta terus saja menarik tangan Clara setelah ke luar dari rumah itu. Dipta menarik tangan Clara memasuki hutan yang masih lebat. Riko dan Panji membabat habis pohon yang menghalangi jalan dengan parang.”Kita ambil tu
Dunia benar - benar berjalan seperti apa yang diharapkan untuk penjahat besar. Mereka bahkan bisa mempermainkan seseorang seperti bidak catur yang digerakkan maju, atau mundur. Alina masih saja meringkuk, menatap kotak berisi jari mungil manusia yang ia perkirakan, adalah jemari beberapa bayi atau anak-anak.”Nyokap Erika udah pergi?” ujarnya bermonolog.Alina menyelinap diam-diam, sembari mengingat ucapan Erika tentang patung dan buku kuno yang ada di perpustakaan. Alina ingin mengetahui perihal ini. Ia ingin memperjelas, jika orang tua Erika tidak terlibat soal ini. Tangga ini meliuk seperti ular kobra yang menganga. Tidak tidur membuat otak Alina berhalusinasi. Rumah bercahaya temaram, dan beberapa ruangan tidak dinyalakan, membuat Alina merasa menggigil.”Tolong kami ....””Siapa itu?” Suara bisikan saat Alina sampai di tangga terakhir ia dengar. Suaranya serak, dan bergetar. Menoleh ke sana ke mari, tidak ada apa-apa. Meyakinkan diri, jika salah dengar, Alina kembali menapaki la
Kengerian yang dirasakan oleh Clara membuat sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin yang dirasakan tubuhnya bukan perihal pakaian yang telah ditanggalkan, tetapi perasaan takut yang kini hinggap ketika melihat wajah Melisa begitu ayu dalam balutan jasad yang masih hidup. Beruntung tali yang mengikatnya terlepas secara ajaib. Baju yang berserakan Clara punguti sebelum gadis berwajah sama persis dengan Melisa menyadari ia telah pergi. Clara bertelanjang kaki, bersahabat dengan kerikil dingin yang semakin menusuk. Ia sudah terbebas dari bangunan setengah jadi itu. Dikejauhan, terdengar olehnya teriakan dari gedung tinggi itu. Clara semakin mempercepat langkah.Brug!Baru saja menginjakkan kaki di jalan besar, sebuah mobil mengkilap hampir menabraknya. Clara tergelincir, bajunya yang sudah compang camping itu tidak bisa menahan p4ntatnya mendarat ke aspal. Clara mengaduh, dan mendengar mesin berhenti. ”Rose ....”Seorang wanita berwajah bule berdiri di hadapannya, mengernyit. Mungkin wan
Kepala ketiga wanita ini terasa ringan, bahkan tubuhnya merasa melayang. Sejak pocong berukuran besar itu menyuarakan mantera, asap keabuan seakan menyelimuti rumah ini hingga ketiga wanita itu pun tak sadarkan diri. Derak langkah segerombolan orang merangsek masuk, tak mengindahkan wajah-wajah seram yang masih berdiri di kiri kanan. Segerombolan orang itu tetap memanggul satu per satu tubuh si wanita.Gadis cantik berjubah merah turun dari mobil, membunyikan lonceng, membuat para wajah seram itu kembali ke tempat pengap di sana. Gadis ini hanya menampilkan ekspresi datar memandangi para lelaki tengah saling bahu membahu membawa ketiga wanita. Ini sudah hampir subuh. Segerombolan orang-orang ini seakan tidak merasakan kantuk. Mereka menyalakan obor untuk menerangi ruangan di lantai empat. Tidak ada satu pun kendaraan yang akan lewat pada area ini. Orang-orang ini bekerja tanpa suara, seolah sudah di luar kepala apa saja yang hendak dilakukan.”Alina?”Wajah Alina masih saja diam kare
***Ada saja hal yang seharusnya tidak perlu kita mengerti, meski sebagian dari dalam diri seakan mendengar bisikan untuk mencari tahu agar mengetahui. Sebagian besar memilih untuk mundur dibanding terlibat terlalu dalam.---Clara mendorong pintu yang terasa sangat berat, napasnya tak beraturan, keringatnya bercucuran. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar, dibarengi tapak langkah banyak orang di depan rumah. Clara sudah menutup tirai, dan tidak ingin membukanya hanya untuk menegaskan apa yang ada di benak. Sahut-sahutan suara memanggil namanya, tetapi Clara tetap saja diam meringkuk di balik pintu. Clara benar-benar dikuasai rasa takut. Sekelebat memori saat di hutan perawan itu kembali memenuhi kepala. Clara takut Melisa yang saat itu mengejarnya pun turut ada di antara banyaknya pocong yang tengah mengerubungi di depan rumah sewaan ini. Sudah 15 menit berlalu, langkah-langkah itu tak lagi sekeras tadi terdengar. Langkah kaki mulai terdengar menjauh dari pekarangan, tetapi
Ada saja hal yang tidak bisa dijelaskan dengan baik, seperti situasi yang dihadapi orang-orang yang memiliki pertanyaan besar perihal ... siapa gadis yang memiliki wajah begitu mirip dengan Melisa? 2 jam lalu, adalah 2 jam yang menegangkan. Alina berhasil lepas dari cengkraman tangan Melisa misterius itu karena Melisa yang melepasnya dan kembali pergi. Erika yang memilih mengemudi karena Alina beberapa kali menghirup inhaler dan udara yang terasa menipis. Erika merasa kasihan pada sahabatnya itu, karena ketika terserang panik dan takut, tubuhnya akan memberi respon dan berujung sesak napas. Ia sering kali meminta Alina untuk diam saja di rumah, akan tetapi rentetan masalah ini, sahabatnya itu tetap ingin bertanggungjawab dan tak mau melimpahkan segalanya pada Erika.”Lo udah lebih baik?” tanya Erika, sesekali ia melirik sahabatnya yang masih memegangi inhaler di tangan kiri.Alina tak kuasa menjawab, hanya mengangguk saja karena tengah menetralkan pernapasan. Inhaler kembali Alina hi