Share

18

Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya.

Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja.

"Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer.

"Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik.

"Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya.

"Di ... lo harus ngomong, cerita gitu gimana lo bisa jadi tukang seblak," komentar Elisa yang langsung diiyakan oleh yang lain.

"Happy anniversary untuk Mbak Adia dan Mas Hanif. Semoga semakin sukses, bahagia, selalu sehat dan secepatnya diberi momongan." Sekonyong-konyong suara Kian membuat Adia dan Hanif menoleh bersamaan.

Kian membawa buket bunga, sementara kue tart berada di tangan Anisa. Keluarga, sahabat serta customer yang hadir riuh memberikan tepuk tangan. Adia tersipu, matanya berkaca-kaca saat Hanif menggenggam tangannya erat.

Bunga itu langsung Adia terima, dan kue tart ditiupnya bersamaan dengan Hanif. Kembali terdengar tepuk tangan meriah.

"Selamat, ya, Mas ...." Ibu menepuk pundak Hanif. Segera lelaki itu membalas dengan pelukan hangat.

"Nduk ...."

"Ibu!"

Adia tidak bisa menahan diri, dipeluknya mama mertua disertai isakan pelan. Ibu mengusap pelan bahu menantunya, menyeka air mata Adia dengan tissu.

"Terima kasih, ya."

"Sama-sama, Ibu," ucap Adia. Kali ini bahunya berada dalam pelukan Hanif.

"Cerita dong perjalanan lo, Di. Sampai berada di titik ini!" teriak kawan-kawan Adia.

Hanif mengedikkan bahu, akhirnya Adia membuka suara, setelah sebelumnya memberikan buket bunga pada suaminya.

"Perjalanan saya nggak lepas dari suami dan orang tua yang luar biasa. Hanif selalu mensupport apapun yang saya lakukan. Sampai suatu hari, saya mencoba berjualan seblak di media sosial. Awal-awal dia nggak setuju, karena saya deliveri order setelah pulang kerja, Hanif nggak mau saya kecapekan. Tapi saya terus yakinin dia, sampai akhirnya Hanif menjadi kurir, mengantar seblak saya ke customer-customer. Dia bilang, ini cukup menyenangkan. Apalagi setelah capek kita ngantar, masaknya juga, kita menghitung uang bersama."

Hanif terkekeh, melihat istrinya menjelaskan dengan detail.

"Entah kenapa cowok itu sering banget nggak peka? Maksudnya, saya sama dia anniversary sebulan yang lalu seharusnya, tapi Hanif sama sekali nggak menggubris itu gitu. Dia fokus ke toko, sampai saya marah akhirnya."

"Wow, marah kenapa, tuuuuh?" Anisa mendelik di sela memanjakan mulutnya dengan kuah seblak yang super pedas.

"Saya marah karena ... kok kamu gitu sih? Kok kamu nggak romantis seperti kita masih pacaran dulu. Jaman kita pacaran, setiap anniversary, kita selalu pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang. Setelah senang-senang, duit habis, pusing, hehehe. Kok setelah menikah kamu cuek sih? Kok nggak perhatian lagi?"

Adia menghela napas sebentar, lalu kembali melanjutkan.

"Pada umumnya, perempuan suka diperhatikan dan dimanjakan, dan kenapa kamu nggak ngasih itu ke istrimu gitu?"

Mendengar pernyataan Adia, Hanif mengusap wajah, tergelak sendiri. Ibu menepuk pundaknya dan tersenyum.

"Ternyata selama ini, dia sudah menyiapkan ini semua. Dia sewa ruko sendiri, siapin ini itu sendiri. Pas saya marah, tiba-tiba dia ngasih kado." Adia mengusap lelehan air mata yang tiba-tiba keluar, terkekeh sebentar, memandang suaminya lekat. "Hanif, terima kasih, ya."

Hanif beranjak, mendekap istrinya dengan erat. Mencium puncak kepalanya berkali-kali. Diusap pelan bahu Adia yang bergetar karena isakan, lantas ditatap dalam nan penuh sayang. Sembari tersenyum, Hanif menyeka pipi Adia yang kemerahan.

"Maskara aku luntur gak?" tanyanya polos.

Hanif melorotkan bahu, Adia mengerucutkan bibir. Lantas lelaki itu berbisik lirih, "Nggak, kamu tetap cantik kok!" Sembari tangannya terayun untuk menggandeng istrinya duduk kembali.

****

Kian baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya, ia bergegas pulang. Sejak ibu kembali, Kian menjadi lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Ogah untuk berkeluyuran seperti hari-hari lalu, sekarang waktunya dicurahkan untuk sang ibu. Kian senang melakukan itu, karena selalu ada cerita dari ibu di saat keduanya menghabiskan waktu bersama.

Hari ini ibu meneleponnya, meminta diantar ke rumah salah satu rekannya untuk makan siang bersama. Kian bersiap, hanya menenggak segelas penuh air putih sebelum pergi kembali mengantar ibu.

"Nggak apa-apa, Ki?"

Kian tersenyum tipis, "Kian nggak ada lagi kelas, Bu. Aman kok." Matanya melirik ibu sebentar, lantas melanjutkan kemudi dengan tenang.

Mobil yang mereka tumpang sudah berada di depan gerbang sebuah rumah megah dengan gaya Eropa klasik. Rumah Hasanudin, sahabat ibu selama mengajar di salah satu universitas.

Kedatangan ibu dan Kian disambut keluarga Hasanudin dengan hangat. Kemudian bercengkrama sebentar sembari menunggu makanan disajikan di atas meja marmer itu.

"Hari ini ulang tahun putri pertama kami, Alya. Dia tidak ingin ada acara rame-rame, kami berinisiatif merayakannya dengan makan siang bersama." Sarah, istri Hasan tersenyum senang pada ibu.

"Ah, kami bahkan tidak membawa kado untuk Alya," balas ibu, merasa bersalah.

"Tidak apa, kadonya nanti ajak Alya makan malam ke rumah tante." Alya baru saja tiba, tampak cantik dan elegan, rambutnya tergelung rapi, sementara dres berwarna dusty membungkus tubuh mungilnya.

"Ya, pokoknya Alya harus ke rumah tante, nanti kita masak-masak." Ibu menanggapi antusias.

"Selamat ulang tahun Kak Alya." Kali ini terdengar suara serak Kian dari sofa single yang di dudukinya. Bangkit, Kian hendak menjabat tangan Alya.

Alya terkekeh, mengangguk mantap, membalas uluran tangan Kian dengan menempelkan pipinya ke pipi Kian. Kian berusaha tenang saat pipi kirinya kembali bersentuhan dengan pipi seorang perawat muda itu.

"Terima kasih, Kian."

Kian menyapukan pandangan pada ibu dan keluarga Alya yang ternyata sedang terfokus padanya.

"Gimana kuliah kamu?"

"Baik, tahun depan wisuda." Sedikit berdehem, Kian terduduk kembali. Merasakan dadanya berdesir saat jemari Adia menepuk lengannya dengan tenang.

"Semangat, ya. Kamu pasti bisa!" Alya tersenyum melihat raut Kian yang susah diartikan.

"Ah, makanan sudah siap. Mari." Hasanudin melangkah terlebih dahulu ke ruang makan, ibu dan Sarah menyusul dari belakang. Kian mengekor langkah Alya. Namun, tiba-tiba saja Alya menarik tangannya untuk berjalan bersamaan.

Suara kertak dari sepatu yang keduanya kenakan terdengar memenuhi lorong yang dilewati. Wangi parfum yang Alya semprotkan menusuk penciuman Kian, membuat ia mengusap hidung. Lengan Alya merapat dengan lengannya, sehingga membuat debar di dada Kian semakin kuat.

Untuk pertama kalinya Kian sedekat ini dengan perempuan. Sebelumnya mentok saling tatap-tatapan. Kian tidak seberani itu kepada perempuan, bahkan sering kali perasaan suka kepada cewek-cewek itu tidak terungkapkan karena malu, dan takut akan jawaban mereka yang tidak sesuai ekspektasinya.

"Bu Ningrum kalau ingin mengajar kembali, kami selalu welcome kok," ucap Hasanudin di sela makan.

"Akan saya pikirkan," jawab ibu tenang.

"Kak Alya tugas di rumah sakit mana?" Kian menoleh.

"Di rumah sakit Cipta Harapan, Ki."

Kian mengangguk, kemudian mengalihkan pandangan pada makanan yang tersaji di depan. Selepas makan, ibu mengobrol dengan Pak Hasanudin dan sang istri di ruang keluarga. Sementara Alya mengajak Kian berjalan-jalan di sekitar rumahnya.

"Saya punya akuarium, Ki. Biasanya setiap saya lelah pulang kerja, saya langsung ke sini. Natap ikan-ikan yang berlarian, tenang sekali rasanya." Alya membuka percakapan.

Kian dan Alya sudah berada di sebuah ruangan dengan kaca-kaca besar sebagai dinding. Selain akuarium dengan aneka tanaman air dan ikan hias, di ruangan itu juga berisi sofa dan rak buku. Permadani untuk merebahkan badan, serta lukisan-lukisan hasil karya tangan luwes ibunda Alya.

Alya mengembuskan napas, menyandarkan tubuhnya pada sofa. Kakinya dibiarkan di atas permadani tebal. Kian mengikuti, duduk di sampingnya.

"Ruangan ini tempat saya menemukan ketenangan, Ki."

Kian tersenyum datar mendengar penuturan Alya. Angin berembus pelan, membuat rambut Kian berantakan, tanpa canggung, Alya merapikan rambut Kian. Diperlakukan seperti itu, Kian mendesah, meraba tangan Alya untuk tidak berhenti.

Kepalanya dijatuhkan tepat di atas paha Alya. Seketika matanya terpejam, merasakan damai dan menyenangkan. Menghirup wangi perempuan yang khas.

Alya memainkan rambut Kian disertai senandung lembut. Entah mempunyai keberanian darimana, Kian akhirnya mengecup jemari Alya. Meski agak kaget, tapi akhirnya gadis yang pahanya sedang menjadi bantal kepala Kian itu tersenyum, mengedikkan bahu saat Kian meminta maaf lewat tatapannya.

Dari balik kaca besar itu, keduanya menatap dedaunan yang terbawa desau angin. Rintikan sebesar biji jagung berjatuhan. Semakin banyak, semakin deras, langit menumpahkan air matanya di siang yang tidak terlaku terik ini.

Mendesis, Kian tetap menggenggam tangan Alya, lalu kepalanya mengendus perut gadis itu. Alya merasakan geli di sekitar perutnya, ia tergelak mendorong kepala Kian darisana. Kian terdorong dengan napas terengah-engah, seulas senyum terbentuk di bibirnya. Kian kembali pada paha Alya, mengusap-usapnya perlahan.

"Kian ...." Alya melonjak, bangkit dari duduknya.

Kian mengaduh, kepalanya terlempar di atas permadani itu. Disertai tatapan sayu dan keberanian penuh, Kian mendekati Alya yang sedang berdiri sembari menatap tanah basah. Dari belakang, dagunya dibiarkan bersandar di bahu mulus Alya. Kedua tangannya menyelusup di perut ramping gadis itu.

Kian menghirup wangi parfum di atas tengkuk Alya. Bibirnya didaratkan di sana, membuat gadis di depannya mendesah. Kian mengecup leher jenjang Alya, tangannya meraba pelan, naik ke atas dada Alya yang tidak terlalu besar.

Sesaat terhenti ketika tangan Alya langsung menepis Kian. Segera tersadar akan kekhilafannya, Kian menunduk penuh penyesalan.

Gorden berwarna cokelat susu itu ditarik oleh Alya. Sehingga kini rumah kaca itu tampak gelap. Dengan sekali sentakan, Alya melompat ke pangkuan Kian.

"Ya ...?" Kian mengusap lembut rambut Alya.

Alya menggeleng, mengeratkan tangannya di pelukan Kian. Lelaki itu menurunkan resleting dres yang Alya kenakan, alhasil dres cantik itu melorot, sehingga punggung mulus Alya menjadi telanjang.

Menggigil, dieratkannya lagi pelukan. Alya menenggelamkan kepalanya di bahu Kian. Mencium wangi maskulin dari lehernya. Ah, Alya suka sekali bau laki-laki. Selanjutnya membawa Alya pada sofa panjang, gadis itu terbaring, tangannya merentang, meminta Kian kembali ke pelukannya. Namun, Kian hanya terdiam, memandang tubuh indah yang hanya terbalut dres yang sudah tersingkap itu.

"Come on, Baby!" bisik Alya, matanya mengedip menggoda.

Melihat Kian tak bereaksi, Alya mengangkat tubuhnya lagi. Sekarang wajahnya sudah tepat berada di bawah Kian. Bulu mata lentik itu berkedip mesra, seolah meminta Kian melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Akhirnya, disertai seringai nakal dilorotkan resleting celana, mengeluarkan benda pusaka yang membuat Alya tidak berkutik. Terdiam.

Tangan Kian menuntun Alya untuk menggenggam miliknya. Dengan perlahan, kini tangan Alya sudah maju mundur di sesuatu yang tegak itu. Kembali Kian menyeringai, merasakan kenikmatan menjalar di tubuhnya. Diremasnya rambut Alya, lantas menenggelamkan kepala gadis itu untuk mengisap pelan-pelan.

Kian mengerang, sesekali matanya terpejam. Sementara udara semakin terasa dingin, hujan disertai angin kencang semakin membuat dua manusia berbeda jenis kelamin itu menggelora. Napas keduanya menderu, menahan gejolak panas yang ingin disalurkan begitu saja.

Namun, baru saja Kian menurunkan g-string yang Alya kenakan, ibu meneleponnya. Mengajak pulang.

"Shit!" umpatnya.

Alya membenahi dresnya, mengusap bahu Kian. Memintanya segera menemui ibu.

"It's okey, kita bisa ketemu di lain waktu." Alya menggelayut di lengan lelaki yang dua tahun lebih muda darinya itu.

"Maafin aku, Alya."

"Kak Alya, Kian. Kamu mulai nggak sopan!" Alya mengerling.

"Ah, iya maaf." Kian menunduk, penuh penyesalan.

"Kita bisa staycation di Puncak, Ki. Atau nyari hotel yang aman. Kapan kamu free?"

"Nanti aku kabarin, ya."

"Ya!" Alya mengecup pipi Kian singkat, selanjutnya mereka berjalan bersamaan dalam naungan sebuah payung menuju rumah Alya.

Namun, Alya sempat menyelipkan g-string miliknya ke tangan Kian.

"Kita akan ketemu lagi, Ki."

Kian memasukkannya ke saku celana, mengangguk dengan debaran kencang.

"Kian sama Alya habis melihat rumah kaca, Ma. Kian suka sekali dengan ikan-ikan di sana." Alya tersenyum, bahunya dirangkul oleh sang ayah.

"Oh, ya? Apa perlu kita bikin akuarium juga di rumah, Sayang?" tanya ibu pada putranya.

Kian mengedikkan bahu disertai kekehan pelan.

"Kami pulang dulu, terima kasih atas jamuannya. Senang sekali bisa bertemu Pak Hasanudin beserta keluarga." Kian mencium tangan Hasanudin, Sarah. Kemudian mengangguk pada Alya. "Kak Alya, saya tunggu di rumah."

Alya mengangguk cepat, "Belajar yang rajin, Kian. Biar cepat lulus!"

Sarah beserta suami dan putrinya menatap mobil yang meninggalkan halaman rumah. Alya melirik sang papa, sebelum beranjak sempat berbisik.

"Kian baik, ya, Pa. Sopan, pinter lagi. Dia kuliah jurusan IT, kan?"

Mama mengernyitkan bibir mendengar perkataan yang keluar dari mulut putri pertamanya. Tidak biasanya Alya memuji orang, kecuali saat dia sudah merasa nyaman dan dekat dengan orang itu.

"Suka? Pacarin!" Papa berlalu, terdengar tawa renyah dari mulutnya.

"Papa, ah. Kamu fokus kerja, Alya. Jangan mikirin cowok dulu!"

"Alya udah gede!" Menarik napas, melangkah gontai menuju kamar tidurnya.

Sementara itu, Kian dan ibu sudah sampai rumah. Baju keduanya cukup basah, Kian melangkah terlebih dahulu. Melepas pakaiannya, memasuki kamar mandi. Sedangkan ibu mengecek ponsel, mendapat pesan dari salah satu kurir ekspedisi.

'Ada paket atas nama ibu Ningrum, maaf saya menyimpannya di bawah kursi beranda. Mohon dicek, Bu. Takut paketnya basah.'

Ningrum segera keluar rumah sembari mengusap-usap lengannya. Menengok bawah kursi beranda. Sebuah kotak tampak berada di sana, sudah sedikit basah karena terciprati air hujan.

Ningrum membawanya ke dalam. Melihat siapa pengirim paket tersebut.

'Irham Wirawan'

Lutut Ningrum seketika lemas, kepalanya mendadak pening melihat nama si pengirim paket tersebut. Entah apa tujuan Irham mengiriminya paket. Meski begitu, dengan cepat Ningrum buka boxnya itu. Melihat sebuah amplop, buru-buru Ningrum buka.

'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status