Share

5.

Hanif terharu karena produk terbarunya diterima, orang-orang berbondong-bondong datang ke outletnya. Hanif dan Kris berpelukan. Perjuangannya tidak sia-sia selama ini. Lelahnya terbayarkan, seluruh team tersenyum lebar nan puas. Setelah ini mereka akan beristirahat, melepaskan penat dengan berlibur.

"Kamu ikut mas ke Jogja ya, Ki." Hanif menepuk bahu adiknya.

Kian mengalihkan pandangan dari laptop. Menyesap kopi sekali lagi dibarengi anggukan sedikit ragu.

"Kita showan ke si mbah, sudah lama tidak ke sana, kan?" tanya Hanif lagi.

"Kalau tidak sibuk ya, Mas," jawab Kian.

"Loh? Eyang kangen sama kamu, Ki. Lagipula kita sudah bekerja keras sampai sukses, sekarang waktunya menikmati hasil. Liburan sekalian ketemu keluarga dari papa juga."

Kian menarik napas panjang. Membenarkan ucapan mas-nya dalam hati.

"Iya juga ya, kita terakhir ke sana lebaran tahun lalu," gumam Kian.

Hanif menyeruput kopinya kembali. Mengangguk mantap mendengar ucapan Kian.

"Tapi tugasku numpuk, Mas. Aku kan kemarin-kemarin sibuk ke kerjaan, tugasku terbengkalai." Kian tampak menyesal.

"Yasudah nggak apa-apa, tapi nanti kamu ke sana pas udah nggak sibuk. Sempatinlah, Ki. Kamu nggak kangen Jogja apa?"

"Pasti, Mas." Kian tersenyum. Jemarinya kembali bergerak di atas laptop.

"Kayaknya stok kita di e-commerce habis, Mas. Nggak ada nambah begitu?" Kian melirik kakaknya lagi.

Hanif menepuk bahu Kian sebelum berlalu, "Nggak ada, Ki. Stok kita terbatas, lagipula segini saja sudah lelah, kan? Suruh nunggu volume selanjutnya aja." Kian terkekeh, mengiyakan perkataan sang kakak.

"Ya, liburan telah tiba!" Kian berseru girang. Hanif mengernyit, apa perkataan adiknya barusan?

"Biarin lah tugas mah, yang penting ketemu si mbah dulu."

****

"Selamat atas launching-nya produk baru kamu, Sayang. Aku dengar sukses, di e-commerce habis dalam waktu kurang dari satu jam. Kamu keren banget, aku bangga sama kamu dan team. Kerja keras kalian akhirnya terbayarkan."

Adia mengirim pesan suara pada Hanif. Setelah itu ia kembali merevisi naskah. Salah satu kawannya mengetuk pintu, kemudian masuk tanpa Adia persilakan.

"Gue kesal banget, Di." Gina menggerutu.

Adia memutar kursi, melirik Gina yang cemberut.

"Gue gak kebagian merchandise suami lo!" gerutu Gina lagi, tangannya melipat. Masih tidak terima, padahal ia sudah menunggu lama launching-nya produk Hanif itu.

"Lagian lo ngapain sih beli kaos begituan, Gina?" Adia memandang Gina dengan seksama.

"Buat cowok gue, Di. Dia pengin banget kaos itu."

Adia mengelus pundak kawannya.

"Pokoknya kalau gue ketemu Hanif, gue bakalan cecar dia. Kenapa nggak di sisain satu aja gitu buat gue?" Gina memonyongkan bibir.

Adia tersenyum melihat ekspresi Gina. Sekali lagi diusapnya pundak Gina dengan sayang.

"Jangan bete gitu dong, Na. Yaudah nanti gue kasih seblak gratis deh," bisik Adia.

"Beneran?" Gina mengangkat alis. Adia menjawab dengan anggukan.

"Yang pedes, ya!" ucap Gina lagi seraya melenggang.

Adia mengemas tas, merapikan meja kerja dan bersiap pulang. Adia berkaca sebentar untuk memastikan make up tetap on. Lantas menambahkan lipstik agar terlihat lebih segar.

"Loh?" Adia menunjuk Farhan, pacar Gina yang mengenakan kaos hitam dengan desain persis seperti yang Hanif tunjukan beberapa bulan lalu.

Farhan mengangkat bahu melihat Adia yang melongo.

"Itu lo pakai merchandise suami gue?" Adia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menatapnya.

"Gerak cepat dong, Di. Gue ikut pre order dua minggu yang lalu, ini baru sampai. Langsung dipake lah. Gue suka banget tahu sama merchandise Hanif. Desainnya keren, bahannya enak. Dan juga, gue beli kaos ini karena tahu kalau Hanif dan team mendonasikan sebagian  keuntungannya ke yayasan-yayasan."

Adia mengangguk mendengar penuturan Farhan. Baru saja ia melangkah menjauhi lelaki itu, sudah  terdengar suara melengking Gina, yang sepertinya baru tahu kalau Farhan sudah mempunyai merchandise keinginannya itu.

"Drama bucin dimulai!" Adia mengerlingkan mata begitu melihat Gina yang langsung memukul pelan bahu Farhan.

"Hai ...."

Hanif menyandarkan tubuhnya di mobil, menatap Adia yang terkekeh mendengar sapaan lembutnya. Hanif terlihat mengenakan kaus berwarna hitam dan celana pendek selutut, tangannya terangkat memperlihatkan kunci mobil, menandakan Adia harus segera mendekat untuk pulang.

"Kita ke Jogja, ya," kata Hanif saat keduanya sudah berada di mobil.

Adia mengerutkan kening. Hanif mengangguk lagi, meyakinkan pertanyaan yang tersirat di dahi istrinya.

"Kita liburan ke sana, sambil ketemu keluarga aku."

"Tapi aku belum persiapan, Nif!" Adia tampak panik.

"Memangnya apa yang mesti disiapkan?" tanya Hanif, bola matanya memutar.

"Seenggaknya kita harus bawa oleh-oleh buat mereka, belum lagi nyiapin baju segala macem. Oh iya, aku belum pergi ke salon, Nif. Bisa-bisa aku dikatain dekil sama tante-tante kamu."

Adia meraih cermin dari tas, mengeluh melihat jerawat yang tumbuh di dagu.

"Kita berangkat lusa!"

"Nggak bisa, Nif." Adia merengek, satu tangannya menekan jerawat kemerahan itu.

Hanif menghentikan mobilnya. Melirik Adia yang terus menekan jerawat, sampai jerawat itu memuncratkan nanah dan darah. Adia tersenyum puas.

"Pasti ada bekasnya tuh nanti!"

"Masa sih?" Adia cemberut. "Gimana dong nanti pas ketemu sepupu-sepupu kamu. Mereka kan pada glowing, Nif. Aku doang yang dekil begini."

Hanif menatap Adia lekat, perempuan itu mengalihkan pandangan. Adia paling tidak suka ditatap intens seperti itu. Pipinya terasa panas nan memerah. Dan Adia yakin, Hanif mengetahui itu.

"Musuh perempuan itu insecure, overthinking. Coba kalau kamu pede aja, Di. Pasti gak ada tuh perasaan-perasaan takut dipandang sebelah mata sama orang."

Setelah mengatakan itu, Hanif kembali menjalankan mobil dengan tenang. Tanpa melirik dan berbicara sepatah katapun. Adia hanya memainkan tangan, sesekali melihat jalanan yang dipadati kendaraan.

Tiba-tiba mobil berhenti di depan sebuah mal. Adia mengerutkan dahi, terdiam di tempat duduknya melihat Hanif yang bersiap keluar.

"Nih, pakai masker. Biar bisa nutupi bekas jerawat kamu," imbuh Hanif.

Adia menurut, tapi masih termangu.

"Di, ayo!" ajak Hanif sembari memasukkan dompet ke saku celananya.

"Nif, gak mau gandeng aku?"

"Adia ...." Hanif mendesah. Adia langsung paham seketika.

"Ya udah nggak."

Hanif tidak suka bermesraan di tempat umum. Dia cenderung cuek, berjalan terlebih dahulu, sementara Adia celingukan dari belakang, mencari punggung lelaki itu.

Kali ini berbeda, Hanif berubah pikiran sepertinya. Entah baik atau buruk bagi Adia, yang pasti, tangan Hanif tiba-tiba menaut dengan jemarinya. Mengajak Adia berjalan bersama-sama.

"Nif, nggak nyaman. Nggak biasa kita kayak gini." Adia mengubah ekspresi di wajahnya.

"Sssssstttt ... udah diam," balasnya seraya menarik Adia untuk melangkah.

"Kamu kenapa, sih?"

"Kalau tangan kamu dibiarkan, kamu bisa berkeliaran, kamu bisa hilang. Tiba-tiba saja kasir ngasih bon ke aku, disuruh bayar. Ternyata kamu ngambil tas seharga 50 jutaan." Hanif bergidik ngeri membayangkan hal itu.

Adia sebisa mungkin menahan tawa, tapi ternyata tidak bisa. Ia tertawa puas mendengar ketakutan Hanif.

Hanif akhirnya melepaskan tangannya. Dan benar, ia sendiri tidak nyaman bergandengan seperti itu. Lalu, kakinya melangkah pelan memasuki toko perhiasan. Hanif melihat-lihat, bertanya-tanya pada penjaga toko.

Adia? Ah, Hanif tidak tahu Adia kemana. Hanif memilah perhiasan, tapi dia tidak tahu mana yang cocok untuk Adia. Hanif takut salah memilih. Sehingga ia meminta penjaga toko yang memilihkan.

"Ini foto istri saya, kira-kira kalung yang cocok untuk dia yang mana, ya?" Hanif memberikan ponsel pada penjaga toko berwajah manis itu.

"Bapak romantis sekali, jadi iri," jawab penjaga toko itu setelah mengeluarkan beberapa sample kalung.

Hanif tersenyum, setelah cukup lama akhirnya menentukan pilihan juga.

"Sayang istri sekali ya, Pak."

"Rezeki yang Tuhan kasih kan tidak luput dari doa-doa istri, Mbak." Dikeluarkannya kartu kredit dari dompet, baru saja Hanif menyerahkan pada pelayan, seseorang menepuk bahunya.

Adia tersenyum lebar, memperlihatkan sesuatu di tangannya. Seperangkat perhiasan. Hanif mengangkat alis, seolah-olah berkata: maksudnya apa nih?

Diserahkan seperangkat perhiasan itu ke pelayan, lalu Adia bergelandotan mesra di tangan Hanif. Tidak peduli suaminya itu memasang ekspresi setengah kesal.

'Hei, bukan begitu maksudnya?' bisik Hanif dalam hati. Adia tetap bermanja-manja di lengan Hanif. Pelayan tadi menatap bingung.

"Iya, Mbak. Bayarnya pake kredit card punya suam saya tadi. Eh, kalung yang tadi, saya nggak terlalu suka modelnya, jadi saya cuma ambil ini aja."

Pelayan itu mengangguk sembari mengemas pesanan.

"Nggak apa-apa 'kan, Sayang?"

"Nggak apa-apa dong, yang penting kamu senang. Apasih yang nggak buat kamuuuuuuu ...." Hanif mencubit hidung Adia, setengah gemas dan kesal bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status